Kamis, 30 Juni 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (18)

18
 Jakarta Jakarta


Sebelum itu Anurangga dan manusia kucing datang LP Cipinang. Lewat kaca pembatas, dan intercom yang tersedia, Anurangga berbicara dengan Katib Agam.
“Kita sahabat lama, tuan Katib. Oleh karena itu denai menjenguk anda,” ujar Anurangga memulai percakapan.
Katib Agam tidak langsung menjawab. Ulama itu muak dan jijik melihat wajah Anurangga. Betapa masih membekas dalam ingatannya ketika ia ditawan di benteng Belanda di Fort de Cock, Bukittinggi. Anuranggalah yang mengusulkan kepada Belnda agar dia dikubur hidup-hidup. Sekarang, Aunrangga datang menjenguk di penjara Cipinang ini. Pasti ada sesuatu rencana yang tersembunyi dalam benak lelaki tersebut. Seperti pameo lazimnya, “Tak ada berada, tak mungkin tempua bersarang rendah” Katib Aagam tidak percaya kedatangan Anurangga tersebut diberengi ketulusan.
“Kita bukan kawan lama. Tapi musuh lama.”
Kelabu wajah Anurangga mendengar jawaban ulama tersebut. Bukanlah  Anurangga namanya kalau tidak mampu meredam perasaannya. Ia tersenyum nenatap Katib Agam. “Waktu terus bergulir. Wahai Katib Agam, teman denai yang alim dan bijak bestari. Denai datang menjenguk dengan tulus dan hati seputih kapas. Tiada maksud lain agar kita dapat bekerjasama,” ujar Anurangga bersahaja.
“Kerjasama?”
“Ya.”
“Minyak dan air tak mungkin bersatu. Tujuanmu hanyalah dunia semata. Kamu mirip Firaun. Demi tercapainya cita-citamu, kamu tidak malu bersekutu dengan setan!”
Ketawa lepas Anurangga. Ia surut selangkah menjauhi wajah Katib Agam di balik kaca itu. Kemudian maju lagi, matanya mendelik geram memandang Katib Agam. “Tahukah engkau Katib Agam? Dunia ini tempat meraih cita-cita. Doa dan zikir tak bermanfaat bila tak disertai upaya. Orang yang sukses di dunia juga akan sukses di akhirat.”
“Hebat kamu sekarang Anurangga. Tapi jangan coba menggurui saya. Ucapanmu sama dengan ucapan orang kafir. Manis di awalnya tapi pahit di ujung. Hanya Allah yang
akan menghukum kalian!”
Ketawa terbahak-bahak Anurangga. “Katib Agam, lihatlah denai baik-baik. Perhatikan penampilan denai. Segala yang denai pakai sekarang ini, dari ujung kaki sampai kepala, dibuat oleh orang kafir.”
Penjara itu mendadak panas bagi Katib Agam. Ia beristighfar membaca nama Tuhan. “Kita akhiri perbincangan ini,” ujar Katib Agam kemudian.
“Maafkan denai sahabat.”
“Saya bukan sahabatmu!”
“Denai ingin menawarkan sesuatu padamu. Sesuatu yang dapat membuat engkau kembali menghirup udara segar. Bebas di luar sana.”
“Mestinya saya dibebaskan. Tetapi ada pihak-pihak yang berkepentingan untuk membenam saya ke dalam penjara ini.”
“Justru karena itu denai mendatangimu. Jika engkau mau mengakui segala perbuatanmu bahwa kerusuhan-kerusuhan yang ada di negeri ini adalah tanggung jawabmu. Maka engkau akan dibebaskan,” bujuk Anurangga.
“Artinya kamu aku bertanggung jawab terhadap apa yang tidak saya lakukan. Aatau dengan kata lain, saya harus berdusta.”
“Ya.”
“Andaikata langit ini runtuh pada hari ini. Saya tidak akan berdusta!”
Tertegun Anurangga. Lebih tertegun lagi ketika katib Agam pergi dari hadapannya. Ulama itu melangkah masuk ruangan yang menghubungkan kamar tahanannya.
Anurangga menghentakkan kaki. Ia sangat kesal. “Dasar bebal!” Lelaki tersebut menggerutu. Lantas mengajak manusia kucing keluar penjara.

Ketika mobil Anurangga hendak keluar halaman LP Cipinang, ia melihat seseorang berjalan terpincang-pincang mendekat. Lelaki tersebut adalah Janggo, preman Benhil. “Ada apa dengan kamu,” tegur Anurangga.
“Saya terjatuh, Tuanku.”
“Ayo naik. Kita bicara di atas mobil saja.”
Janggo naik di depan di samping Kucing Air Kuning yang menyopiri kendaraan itu.
“Jadi kamu biarkan Nago Salapan bersama Nago Salapan ke bungalow?” Anurangga bertanya di belakang. Ia pura-pura tidak tahu peristiwa yang dialami Janggo. Padahal Slang telah memberi kabar tentang situasi di bungalow.
Janggo tidak menyahut. Tubuhnya kuncup, dan ia tidak ingin menjawab. Tidak ingin jawabannya akan membuat Anurangga marah.
“Lupakan semua itu. Kamu ada tugas baru. Tapi kali ini, kamu tidak boleh gagal!”
*


Anurangga bertemu dengan Zahir dan dua orang lelaki di sebuah kontrakan. Mereka terlibat percakapan serius. Zahir memperlihatkan peralatan yang dirakitnya. “Saya telah merakit bunuh diri ini, seminggu lamanya. Hanya tinggal menunggu perintah Tuanku, “ tutur Zahir seraya menoleh pada Ook dan Damiri, kedua lelaki berjanggut itu.
“Okelah. Saya setuju saja. Kita buat tipuan-tipuan biasa, yaitu memberikan “sport jantung” kepada masyarakat. Letakan kardus-kardus kosong di Mall-mall. Atau di kantor-kantor pemerintah, sehingga polisi terpancing ke sana. “Kamu paham maksud denai?”
Zahir mengangguk.
*

Malam itu bintang-bintang bertaburan di langit. Udara di bungalow dingin menusuk ke tulang sumsum. Nago masih belum tidur, ia bersandar di kepala ranjang, melonjorkan sepasang kakinya lurus-lurus. Berbagai masalah berkeliaran dalam benaknya. Ia belum bertemu dengan Katib Agam. Juga belum bertemu dengan Puti Rinjani yang kini berada di Jakarta, mencari Westenk Jr. Lantas di bungalow ini seakan-akan masuk ke sarang harimau betina. Tapi semua masalah tersebut harus dihadapinya.
Pintu kamar terkuak, Nago menoleh ke arah pintu tersebut. Aroma parfum khas tercium. Gemerincing halus berbunyi ketika Olivia melangkah masuk. Lampu kamar masih terang benderang. Nago melihat jelas sekujur tubuh perempuan itu karena Olivia memakai pakaian tidur yang tembus pandang.
“Tuan pendekar belum tidur?”
Nago Salapan bangkit dan duduk di pinggir ranjang. Ia jatuhkan pandangannya ke lantai sejenak.
Olvia melangkah ke ceruk ruangan, ia mengambil sebotol sampanye dan dua gelas, meletakan di meja sofa yang ada di kamar tersebut. Kemudian mengambil beberapa potong kecil es di kulkas. “Sebagai tuan rumah, saya harus menghormati tamu.” Perempuan itu menuangkan sampanye ke gelas.
Nago Salapan melangkah ke sofa. Serba salah ia tidak bangkit menemani Olivia. “Puti belum tidur?”
“Ya, sama seperti tuan. Orang-orang yang ditinggalkan kekasih selalu gelisah. Dan susah tidur,” sahut Olivia tersenyum.
“Pagi saya harus berangkat.”
Sendu tatapan mata Olivia memandang Nago. “Kesempatan kita untuk berbincang-bincang malam ini. Malam masih panjang…Marilah kita nikmati hidup ini dengan santai.” Perempuan muda itu mengangkat gelas. Nago pun meneguk sampanye.
“Kapan Anurangga kembali?” Nago berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Saya tidak peduli. Apakah tuan pendekar peduli akan kedatangan Anurangga?”
“Tergantung pada apa urusannya.”
Gemerincing gelang di tangan Olivia tatkala perempuan muda itu beringsut ke samping mendekati Nago. Desah nafasnya yang harum berembus ke hidung lelaki tersebut. Ia menarik lengan Nago dan menjatuhkan ke pangkuannya. “Saya sudah lama merindukan pertemuan dengan tuan. Pertemuan dengan seorang pendekar besar seperti kamu.”
Menggigil Nago, seluruh bulu romanya merinding. Siapa yang akan tahan berhadapan dengan perempuan secantik Olivia? Apalagi di kamar itu hanya dia dan Olvia, tidak ada siapa-siapa.
Bulan tumbuh sepotong di langit. Cahayanya jatuh lewat sela=sela cabang cemara yang menjuntai. Seperti benda yang terseret oleh magnit, Nago merapatkan tubuhnya ke badan Olivia.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Olivia. Ia merangkulkan lengannya ke pinggang laki-laki itu. Nago Salapan membalas, dadanya menggelora berdebar-debar. Seekor laba-laba merayap di ceruk loteng, binatang itu melihat mangsanya terjerat.
Di luar kedengaran kokok ayam.
Laki-laki itu tersentak. Nago bergulir ke pinggir, lalu bangkit. “Maafkan saya,” ujarnya menyesal. Segera ia berpakaian seteleh menghidupkan lampu. Ruangan terang benderang.
Olivia duduk di pinggir ranjang sambil membungkus sebagian tubuhnya dengan selimut. Ketika Nago melangkah ke pintu, Olivia berkata,”Apakah saya kurang pintar di ranjang?” Ia memburu lelaki itu, dan mendekap dari belakang. “Jangan tinggalkan saya,” berkata lirih.
“Kita bukan suami istri,” sahut Nago datar. Ia melepaskan dekapan perempuan itu. “Iblis telah memperdayai kita. Jadi harus kita hentikan permainan ini.”
“Kamu goblok!”
“Lebih baik saya jadi orang goblok. Saya tidak ingin kamu perangkap seperti Gugum.” Nago mengambil sebuah benda dari tasnya, ia lemparkan ke lantai. “Benda itu telah saya cabut. Bukankah benda tersebut juga digunakan merekam permainanmu dengan Gugum?”
Terbelalak Olivia alias Puti Bagalang Banyak. Ia tidak menyangka alat perekam gambar itu telah ditemukan Nago Salapan. Padahal alat itu disembunyikan pada sekat dinding kamar. Tiba-tiba perempuan itu tersedu-sedu. “Percayalah, tuan pendekar. Di hati saya tidak ada keinginan untuk memerangkap tuan. Tuan tidak sama nilainya dengan Gugum.”
Nago Salapan diam. “Selamat tinggal,” ujar lelaki tersebut. Ia berkelabat keluar.
*

Menjelang pagi Nago telah sampai di jalan Pramuka. Lalu ia cari penginapan. Karena semalam ia tidak tidur sepicing pun, lelaki itu terhampar lelap di ranjang penginapan. Nago Salapan baru terbangun ketika pelayan penginapan itu mengetok pintu.
“Sudah lohor,” ujar pelayan tersebut.
“Terima kasih,” sahut Nago. Saat itu pula ia ingat akan Katib Agam. Segera Nago ke kamar mandi. Ia guyur kepalanya basah-basah. Beberapa jenak kemudian, ia naik taksi menuju LP Cipinang hendak menjenguk Katib Agam.

“Dia telah datang kemaren,” kata Katib Agam.
“Anurangga ke mari?”
“Ya. Dia mengharapkan saya mengaku. Mengaku segala perbuatan yang tidak pernah saya lakukan. Dia tawarkan keringanan. Bahkan kebebasan.”
“Buya percaya?”
Ulama itu menggeleng. “Tidak akan kehilangan tongkat orang tua untuk kedua kalinya. Saya pernah ditipu Anurangga saat perang Paderi. Ia ajak saya berembuk dengan seorang letnan Belanda di Fort de Cock. Semula perundingan itu berjalan lancar, bahwa lentan tersebut akan menjual beberapa puluh pucuk senjata kepada kami. Tetapi setelah saya dan beberapa orangpaderi lainnya keluar benteng, kami diserang.”
Nago menatap Katib Agam.
Katib Agam pun menatap. Kemudian tatapannya beralih ke loteng ruang tamu penjara. “Ternyata penjualan senjata tersebut hanyalah siasat mereka. Siasat untuk menghabisi kami. Semua itu adalah berkat peranan Anurangga.”
“Sekarang, berapa lama Buya dijatuhi hukuman?”
“Dua puluh tahun.”
“Dua puluh tahun. Apakah mereka punya saksi-saksi dalam perkara tersebut? Dan hakim bisa percaya begitu saja.”
“Saya sungguh tak mengerti. Saya tidak pernah ke mana-mana. Tidak pernah meninggalkan Sumatera barat. Kapan saya memberi komando kepada mereka yang berada di Aceh, di Bali, di Poso dan Papua.” Ulama itu berkomat-kamit beristighfar. Lalu membarut wajahnya dengan tangan. “Barangkali Allah sedang menguji saya.”

Nago tercenung. Lantas menatap Katib Agam sendu. “Saya bisa mengeluarkan Buya dari penjara ini. Mestinya ketika di kota P, Buya bisa meloloskan diri. Apa sulitnya bagi kita menjebol tembok penjara ini.”
Lekat-lekat Katib Agam menatap Nago. Ia menggeleng halus. Bibirnya bergerak-gerak. “Jangan engkau berpikir demikian. Berusaha merubah takdir yang diridhoi Allah. Pasti ada maksud lain dari Dia. Justru karena itu sebaiknya kita bersabar.”
Termanggu Nago Salapan. “Saya memang emosi, Buya. Allah memang memberikan cobaan kepada hamba-Nya semampu ia memikulnya. Saya tahu Buya sedang memikul gunung. Tapi gunung itu tidak berat terasa di pundak orang yang takwa.”
“Syukurlah engkau paham,” tukas Katib Agam.
*
Setelah menjenguk Katib Agam, Nago naik taksi, kembali ke penginapan. Tatkala laki-laki itu melangkah ke teras, ia melihat sepasang sejoli. Seorang lelaki bule dan perempuan pribumi. Insting Nago bergetar, ada sesuatu yang tidak beres dengan mereka. Nago menunda niatnya masuk ke kamar. Sementara itu kedua orang tersebut berdiri di pinggir jalan.
Westenk Jr menyetop taksi, mereka mengarah ke selatan. Nago pun menyetop taksi. “Tolong ikuti taksi di depan itu.” Sopir taksi mengangguk. Taksi yang ditompangi Nago melaju mengikuti mereka itu.
Taksi di depan melaju melewati simpang dan lampu merah. Sementara itu Nago di belakang menyuruh sopir agar tidak kehilangan jejak. Kadang taksi Nago berdampingan dengan taksi yang ditompangi Westenk Jr. Kaca taksi lelaki bule itu tertutup, sehingga tidak bisa jelas ke dalam. Namun dengan “mata elangnya”, ia mampu menerobos kegelapan kaca. Westenk Jr duduk berdamping dengan Lola.
Memasuki persimpangan lampu jalan raya Gunung Sahari, tiba-tiba taksi yang ditompangi Nago mengambil jalan kiri. “Maaf Ban, ban depan kempes,” ujar sopir taksi. Dalam pada itu taksi Westenk Jr terus melaju melawati lampu merah.
Nago menarik nafas menghilangkan kesal. Terasa sangat lamban tukang tambal ban tersebut bekerja. “Pasti saya sudah kehilangan jejak,” gumam lelaki tersebut.  Tentu saja mereka telah kehilangan jejak. Insting Nago menduga Westenk Jr dan Lola masuk ke kawasan Ancol. Hampir setengah jam berputar di sana, Nago memutuskan turun dari taksi.
Lelaki itu duduk di kafe Pasar Seni. Nago duduk seraya memasan jus tomat. Memandang orang ramai berlalu lalang di pelataran Pasar Seni tersebut. Ia ingat kota P, kota tempat tinggalnya, kadangkala ia suka juga pergi ke Taman Budaya. Di sana ia melepaskan kejenuhan. Atos memperkenalkan dengan teman-temannya yang mangkal di sana. Asyik juga berbincang dengan mereka.
Tapi sejauh ini belum terlihat perkembangan kesenian di kota tersebut secara profesional. Acara kesenian, pameran atau pementasan teater kurang diminati masyarakat. Sebelum ia ke Jakarta ada pameran lukisan di sana.
Pembukaannya dihadiri oleh pejabat-pejabat daerah. Mereka berpidato, kemudian meresmikan pameran tersebut. Lalu membeli sebuah lukisan perupa. Hari-hari berikutnya, pameran itu mirip kuburan, sepi pengunjung. Apakah yang salah dari negeri yang pernah melahirkan orang-orang besar ini, baik di bidang kehidupan politik, ekonomi, agama dan budaya?
Dan Jakarta memang ibukota negera republik ini. Karena statusnya sebagai ibukota, maka segala ide dapat diterima, seperti ide berdirinya Pasar Seni Ancol. Seniman perupa dapat bekarya dan tinggal seraya memajang hasil rupaannya. Pun swasta juga ikut memberikan andil dan menghargai hasil seni para seniman. Barangkali hal ini merupakan “pekerjaan rumah” para pejabat di daerah.

Angin sore bertiup, nago tersentak dari lamunan pikirannya yang berkeliar-keliaran. Saat itu, seorang perempan bertubuh subur membimbing balita perempuan. Di belakangnya berjalan lelaki dan perempuan muda. Nago mengenal perempuan itu, ia adalah Bu Rahmi. “Bu Rahmi,” laki-laki itu langsung menyapa.
Bu Rahmi menoleh, tertegun sejenak. Kemudian membalas sapaan Nago. Perempuan utu memperkenalkan suami istri di sampingnya. “Ini Darman, keponakan saya. Dan ini istrinya, Warni. Bocah yang cantik ini, Cici, putri mereka.”
“Bukankah Nadia bersama ibu di sini?”
“Oya, saya memang lupa mengatakan padamu. Dan kamu ada keperluan apa ke sini? Jangan-jangan ada bisnis besar,” kata Bu Rahmi bercanda.
Sebenarnya Nago ingin mengatakan kedatangannya ke Jakarta untuk menemui Nadia. Tapi hatinya mendua sehingga ia bicara lain. Ia bilang menjenguk seorang sahabat lama, Katib Agam yang dipenjara di LP Cipinang.
“Pasti juga kamu ingin ketemu Nadia.”
Perlahan Nago mengangguk.
“Hmm. Sayang kamu terlambat.”
“Kenapa Bu?”
“Siang tadi Nadia telah berangkat ke Cangkareng. Semula kami ingin mengantar. Tapi Nadia bilang, ia tidak perlu diantar.”
“Ke Cengkareng. Ada apa?”
“Dia mendapat informasi bahwa Westenk hari ini akan berangkat ke Belanda. Bule itu membawa Selendang Pembunuh Anggang. Justru karena itu Nadia bergegas ke Cengkareng.”
*

Westenk Jr dan Lola mampir ke kafe. “Masih ada waktu setengah jam lagi. Pukul 6 sore kita baru naik pesawat,” ujar lelaki bule tersebut. Westenk Jr tampak agak gelisah. Ia acapkali mengerling ke kiri dan ke kanan. Lalu menukikan pandangannya ke koper yang di diletakan di bawah kakinya.
“Saya cemas,” kata Lola.
“Kamu cemas meninggalkan kampung halamanmu. Ah, itu biasa. Saya juga dulu begitu. Tapi lama-lama jadi biasa.” Westenk mencubit pipi Lola lembut. Gadis itu mengaduh manja. Westenk Jr tersenyum.
“Sepertinya ada yang mengikuti kita.”
Westenk Jr terpengaruh oleh ucpan Lola. Ia memindahkan kopernya ke atas meja. Nalurinya memang mengatakan ada bahaya mengintai. Sesaat ia mengatur nafas agar tenang.
Seorang berambut kuning mengamati Westenk. Tak berkedip matanya memandang koper di atas meja tersebut. Sesekali ia melangkah ke tempat lain. Di sana duduk Anurangga dan Janggo. Kucing Air Kuning berbisik pada Anurangga. “Lelaki bule itu mungkin bersenjata.”
Mengerling Anurangga pada Janggo.”Habiskan kopimu. Segera rampas koper itu. Ingat. Jangan gagal!”
Janggo bangkit menuju ke arah Westenk Jr.
Westenk Jr waspada. Ia telah melihat gelagat buruk Janggo yang mendekatnya. Namun Janggo lebih cepat, secepat kilat ia menyambar koper di atas meja tersebut. Aakan tetapi, saat yang bersamaan, berkelabat bayangan ramping. Bayangan itu lebih cepat dari Janggo.

“Puti Rinjani!”
Bayangan itu memang Puti Rinjani alias Nadia. Gadis tersrebut kini menenteng koper di tangannya. Janggo terperangah karena kecolongan. Segera Janggo menghambur ke arah Nadia. Sebuah tendangan keras ke arah lambung laki-laki itu. Karena tidak menyangka akan diserang mendadak, ia tidak semapt berkelit.
Dan tunggang langgang Janggo, menggelosor ke lantai. Susah payah ia bangkit. Ketika Janggo berhasil bangkit, Nadia melesat keluar kafe.
Suasana di sekitar kafe centang perenang. Janggo mengejar Nadia sampai ke ruang tunggu. Dan Kucing Air Kuning pun bergerak.
Sementara itu Westenk mengikuti dari belakang. Ia berteriak,”Rampok.Rampok!”
Dua orang Satpam bandara tersentak. Segera mereka mengejar Nadia yang kelihatan menenteng koper milik Westenk Jr. Suasana kian heboh. Suatu saat kedengaran letusan ke udara. Kedua Satpam tersebut memberi tembakan peringatan. Namun tembakan peringatan tersebut dianggap angin lalu oleh mereka.
Orang ramai di pelataran bandara berlari ke sana sini menyelamatkan diri dari peluru nyasar.
“Dia menghilang!”
“Cari ke sudut sana.”
Westenk Jr bersandar ke dinding, tersengal-sengal laki-laki itu.
Janggo dan Kucing Air Kuning menggeladahi ruangan. Nadia seakan-akan jarum yang menghilang dalam lumpur. Dua Satpam pun kehilangan jejak. Mereka mendekati Westenk Jr yang masih bersandar di dinding. Wajah lelaki bule tersebut pucat bagai kertas buram.  Kedua Satpam memapah Westenk Jr ke kantor. Lalu memberi segelas air.
“Gadis itu merampas koper saya,” Westenk Jr mendesah kecewa.
Sementara itu Kucing Air Kuning dan Janggo menelusuri setiap sudut ceruk yang mereka anggap tempat bersumbunyi Nadia. Tetap saja mereka tidak menemukan gadis itu. Manusia kucing menghentakkan kaki. “Bangsat!”
Sekonyong-konyong Janggo melihat sebuah benda tergeletak di pelataran parkir. Tanpa berpikir panjang lagi, ia mengambil benda tersebut, itulah koper yang dirampas Nadia dari tangan Westenk Jr. Kemudiam menenteng koper ke mobil. Di sana menunggu Anurangga Mereka segera berangkat.

Sebelum itu, ketika Nadia dikejar Manusia kucing dan Janggo, ia masuk ke sebuah ruangan kosong. Tiba-tiba seseorang menarik lengan Nadia. Ternyata yang menarik adalah Nago. “Kita sembunyi di balik dinding ini,” bisik Nago.
 Di luar kedengaran langkah kaki ramai. Para pengejar masuk ke ruangan kosong itu. Tentu saja mereka tidak menemukan siapa-siapa di sana. Seekor kucing melenggok keluar dari sana. Kucing Air Kuning menggerutu. Lantas mengajak Janggo keluar dari sana.
Sebenarnya, Nago dan Nadia ada dalam ruangan tersebut. Lelaki itu merapatkan tubuh ke dinding bersama Nadia. Kabut tipis membungkus tubuh sejoli itu. Nago Salapan merapalkan merapalkan ilmu “Hilang di balik ilalang sahalai”.
*

Begitu tiba di bungalow, Anurangga turun menenteng koper. Wajahnya tampak ceria. Slang datang menyambut Anurangga. “Puti Bagalang Banyak menunggu Tuanku di kamar,” ujarnya. Anurangga tidak menyahut, ia hanya mendengus.
Anurangga meletakkan koper di meja buffet. Puti Bagalang Banyak menyapa suaminya dengan senyum. Senja telah berlalu ketika itu. “Akhirnya kita mendapatkan Selendang Pembunuh Anggang,” kata Anurangga gembira.
“Oya.”
Lalu membuka koper tersebut. Tiba-tiba wajahnya berubah!
“Ada apa?”
Isi koper ini hanyalah sebuah boneka. Tak tahan lagi, Anurangga bercarut bungkang. Dengan langkah lebar ia menuju ruang tamu. Silangkaneh,Kucing Air Kuning dan Janggo sedang minum tuak seraya bernyanyi kecil. Anurangga marah yang bergejolak di dada, ia melemparkan koper ke hadapan mereka.
“Kalian bodoh. Rinjani telah menipu kalian!”
Kecut ketiga orang tersebut. Mereka menatap koper yang tergeletak di lantai berisi sebuah boneka lucu. Lalu saling bertukar pandang. Dan seraya bersungut-sunggut Anurangga kembali ke kamar di atas sana.
Slang mendelik pada Janggo. “Kamu memang goblok. Tapi saya yang kena getahnya. Mestinya kamu periksa koper itu.”
“Tapi koper itu memang milik Westenk, si bule itu.”
Kedua orang itu segera keluar. Slang takut jika Anurangga kembali, tentu mereka akan dimaki habis-habisan. Makian Anurangga kalau sedang, anjing saja tak mampu mendengarnya!
Mereka duduk di gazebo, bangunan yang berbentuk bulat. Biasanya kalau sedang santai, Anurangga dan Puti Galang Banyak bercengkrama di sana.

Di kamar, Anurangga tersengal-sengal menahan amarah. Puti Bagalang Banyak tiduran di ranjang. “Kanda tidak memeriksa isi koper tersebut?” perempuan itu bertanya. Lelaki itu hanya menggumam. Lantas ia melangkah ke lemari. Dari lemari ia keluarkan sebuah pedang yang berbentuk melengkung. Itulah pedang Jinawi.
“Kesabaran denai sudah habis,” kata Anurangga seraya mencabut pedang. Kedengaran bunyi desingan halus. Lalu ruangan kamar itu hiruk pikuk, seperti ada sorak-sorai dalam suatu pertempuran. Dan derap langkah ramai. Lalu suara pekikan pilu. Suara itu berasal dari pedang Jinawi.
“Sarungkan kembali pedang itu!”
Puti Bagalang Banyak melihat hawa iblis membias pada wajah Anurangga. Mata lelaki itu terbuka lebar. Namun ketika Puti Bagalang Banyak berseru, Anurangga sadar. Ia sarungkan kembali pedang tersebut.
*

Di luar bulan menggantung di pucuk pohon cemara. Seekor burung hantu hinggap di dahan pohon. Suara burung hanti itu membuat bulu kuduk Slang dan Janggo merinding. “Suara burung hantu itu pertanda kurang baik,” ujar Janggo berbisik.
Slang menggumam.
Manusia kucing muncul dari pos. Ia bergabung dengan kedua orang tersebut. “Kamu dari mana saja?” tegur Slang. Manusia kucing mendecih. “Tuanku sedang sakit gigi. Dia sakit hati karena ditipu Rinjani.”
“Biarkan aja. Emangnya gue pikirkan,” sahut Kucing Air Kuning ketawa lepas.
Slang menepuk paha manusia kucing. “Hebat kamu sekarang. Bicaramu gaya orang Betawi. Padahal kamu baru tinggal dua minggu,” cemooh Slang.
Dada manusia kucing berguncang-guncang karena ketawa. “Silangkaneh…Kalau kita hidup bersama Anurangga, kita harus santai. Biar saja dia mencak-mencak marah. Nanti juga reda. Apalagi Puti Galang Banyak ada di sampingnya. Ha…ha…ha.”
*
Seekor belut melata di tanah berlumpur. Binatang itu melata dan beringsut mencari lubang, ia menjulurkan lidahnya, menyibakan rumput yang menyemak. Anurangga rebah di punggung Olivia. Berkilauan punggung perempuan muda itu bagai pualam.
Ketika Olivia membalik, lelaki itu mengerang syahdu. Dan belut yang menyibak lubang tersebut menyorong ke dalam. Olivia seperti berkecimpung-kecimpung di sungai dangkal.

“Saya ingat Inem, tuan,” desah Janggo di luar sana.
“Siapa Inem?”
Gendak saya. Tapi ia sangat setia dan juga cantik. Dua tahun saya di penjara, perempuan itu masih menunggu. Pada malam yang dingin saya tiba-tiba ingat dia. Jika urusan ini selesai, saya akan menjenguknya.”
“Kamu romantis juga.”
“Dia kan manusia. Janggo butuh seorang perempuan,” tukas manusia kucing.
Malam semakin dingin.
Anurangga terhampar lelah di samping Puti Bagalang Banyak. Perempuan itu mengerling seraya melemparkan senyum. Anurangga membalas senyum itu dengan mengelus punggung perempuan muda itu. “Denai merasa semakin muda,” desahnya.
Olivia sambil berbaring membakar sebatang rokok bermentol. Asap rokok itu ia hembuskan, melayang ke udara, berbundar-bundar. “Kanda masih menyintai Rinjani?” Perempuan itu bertanya tiba-tiba.
Anurangga bangkit, ia duduk di pinggir ranjang. “Denai hanya mengikuti petuah Tambo. Bila seorang raja mengawini perempuan tersebut maka akan kekal kekuasaannya.”
“Pendapat itu hanya dibuat-buat saja. Tak lebih dari sebuah dongeng.”
Anurangga tak menyahut.
Asap rokok Olivia berbundar-bundar naik ke udara. Perempuan itu bangkit dan duduk di sofa. Ia kemudian mematikan rokok di asbak. Kemudian menyibakan rambutnya, jatuh ke depan.
“Kita habisi saja mereka,” ujar Anurangga seraya mendekati Olivia. Ia mencium punggung indah perempuan itu.
Menggelinjang halus Olivia. Lalu mereka bertatapan. Bibir Olivia basah menggoda birahi Anurangga.
“Apa yang kanda tunggu?”
“Denai bukan menunggu. Tapi adalah menyangkut waktu, yaitu waktu yang tepat buat menghabisi Nago Salapan.”
Kembali pandangan mereka bertemu. Bibir Olivia yang basah semakin menggoda lelaki itu. Tak tahan lagi, Anurangga menarik lengan perempuan tersebut. Tidak ada lagi kata-kata. Mereka berguling kembali di ranjang. Di sana kedengaran melodi-melodi cinta. Melodi yang dibahasakan dalam desah nafas, rintihan sendu dan kebinalan.** (Bersambung...19)

Dari Meja Kerja Amran SN
Padangsarai, Sumatera Barat, Juni 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (17)

17

Puti Bagalang Banyak

Sekitar pukul 10 pagi Nago turun dari pesawat. Segera saja dia keluar. Bis khusus Bandara Sukarno Hatta berderet-deret menunggu penumpang. Ketika hendak naik bis, seorang sopir taksi mendekatinya.
“Bukankah nama Abang, Nago?”
“Ya, ada apa?” Nago balik bertanya.
“Saya dipesan agar menjemput Abang. Beliau menunggu di hotel,” ujar sopir taksi seraya meraih tas yang ditenteng Nago.
“Tidak usah, saya bisa bawa sendiri,” tukas Nago seraya menyandang tas ke bahunya. Masuk ke dalam taksi, sebenarnya ia merasa curiga. Siapakah “beliau” yang dimaksud oleh sopir taksi tersebut? Jempol kaki kiri Nago berdenyut tiba-tiba. Insting lelaki itu bergerak segera, sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi!
Taksi terus melaju kencang. Sopir taksi melarikan kendaraannya sangat kencang, beberapa kendaraan di depannya, dilewati tanpa peduli kiri kanan.
“Bung sopir, siapa sih yang kamu sebut belaiu itu. Saya tidak kenal dia.”
“Saya juga tidak tahu siapa nama. Tapi para pembantunya menyebutnya “beliau” atau Tuanku. Tenanglah Bang, sebentar lagi kita sampai ke tujuan.”
“Arah ke mana kita?”
Lewat kaca depan di atas kepala sopir taksi, kelihatan sopir itu tersenyum. “Saya bilang tenang, ya tenang,” sopir taksi mulai mengancam. Dan pada sebuah persimpangan, taksi berhenti. Di pinggir jalan tampak seorang lelaki tegap berdiri. “Agar Abang kesepian sendiri di belakang. Kita naikkan si Janggo. Dia preman Benhil.”
Nago beringsut ke kanan ketika Janggo membuka pintu. Pada lengan Janggo yang telanjang tampak tato kalajengking. Wajahnya kasar dan memandang sinis pada Nago. “Inikah kelinci itu Man?” Janggo bertanya sinis. Sementara itu Nago pura-pura tidak mendengar ocehan lelaki tersebut.
“Iya Bang. Beliau bilang dia berbahaya, Bang,” sahut Mansur, sopir taksi itu.
Terbahak-bahak Janggo mendengar ucapan Mansur. Ia menatap Nago yang duduk di sampingnya, seperti hendak melahap Nago bulat-bulat. Geraham Janggo berderak-derak. Kemudian tubuhnya pun bergerak-gerak, tulang belulang Janggo berkretokan. Itulah demonstrasi kekuatan si preman tersebut. Dia berharap Nago kehilangan nyali!
Kendaraan terus melaju menuju Cisarua. Mansur tersenyum. Tersenyum karena ia merasa bebas dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Nago. Ia pun merasa aman karena ada Janggo.
“Kamu bilang dia berbahaya?” Janggo ketawa terpingkal-pingkal, seakan-akan informasi Mansur hanyalah sebuah lelucon. Kembali ia memandang Nago. “Tampangnya boleh juga. Kayak preman. Tapi aneh sekali, orang yang memberimu order kok memperlakukan preman kampungan ini kayak pejabat.”
“Mungkin dia orang penting, Bang.”
“Orang penting… Sudahlah Man, kita habisi saja,” kata Janggo bersemangat.
“Jangan Bang. Nanti upah kita tidak dilunasi.”
Tiba-tiba Nago berkata,”Kalian orang-orang yang tak mengenal diri. Pasti juga tak mengenal Tuhan.”
Janggo naik pitam mendengar ucapan Nago. Segera ia mengekang rahang Nago dengan tangan kanannya. “Kamu bilang apa?” Janggo mempelototi lelaki tersebut dengan geram.
Tenang setenang mungkin, Nago meraba tangan Janggo yang mengekang rahangnya.”Anda suka bercanda.” Bersamaan dengan ucapan itu pegangan Janggo melemah. Lelaki tersebut merasakan tangannya seperti disengat listrik. Ia tersandar ke pintu kiri.
Menggigil preman Benhil beberapa jenak. Ia tidak percaya pada apa yang dialaminya. “Agaknya kamu jagoan juga!” Janggo membentak seraya mencabut clrut di pinggangnya. Ia acungkan ke wajah Nago.
“Jangan dibunuh Bang. Kasi aja pelajaran,” seru Mansur.
Nago Salapan tersenyum. “Kamu tidak mungkin membunuh saya dengan ular itu.”
“Ah, ular!” Terperanjat Janggo, clurit di tangannya berubah jadi ular. Ia ketakutan seraya membuka pintu. Taksi terus melaju. Kedengaran benda jatuh. Lelaki itu bergulingan di jalan raya.
Mansur memelankan taksi hendak berhenti. “Biarkan dia. Kita terus jalan,” kata Nago datar.
“Ampun saya Bang. Saya tidak tahu dia akan menjahili Abang,” sahut Mansur menghiba.

Pada sebuah tanjakan rendah, ada jalan gang. Taksi yang disopiri Mansur masuk ke sana. Sekitar 100 meter dari jalan kelihatan sebuah bungalow. Pintu halamannya terbuka.
“Bungalow itu tempat tinggal beliau itu?”
“Ya Bang.”
Nago turun. Dan berkata pada Mansur,”Bilang pada beliaumu itu bahwa Nago Salapan telah datang!”
Mansur berlari-lari kecil naik ke teras bungalow. Ia memencet bel yang terletak di sudut pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka. Slang muncul di hadapan Mansur. “Tuan, saya telah membawa lelaki yang bernama Nago itu,” ujarnya seraya menoleh ke belakang.
Slang melihat Nago berdiri di halaman menyandang tas. “Mana Janggo?” Dia bertanya.
Mansur menggaruk-garuk kepala. “Oya, preman Benhil itu turun di jalan, tuan. Entah kenapa tiba-tiba dia melompat begitu saja. Saya sungguh tak mengerti.”
Kelabu wajah Slang mendengar ucapan Mansur. Sungguh tak masuk akal, kenapa pereman Benhil tersebut melompat turun dari taksi. Padahal Janggo dipersiapkan untuk mengawal Nago. “Goblok kamu jadi orang. Kenapa dia bisa melompat tanpa sebab. Ayo jawab!”
Gatal-gatal lagi kepala Mansur. “Saya menyetir di depan. Saya mendengar Janggo membentak-bentak. Lalu ia menjerit dan melompat keluar. Sepertinya ia sangat ketakutan.”
“Kamu biarkan ia jatuh. Kenapa kamu tidak berusaha menolongnya.”
Mansur semakin gugup dan hilang akal. Dia mau menjawab apa? “begini tuan, saya hendak menolong Janggo. Tapi lelaki tersebut mengancam hendak membunuh saya. Maka saya segera tancap gas menuju ke sini.”
Percakapan itu didengar Nago dengan jelas. Kendati pun jarak mereka cukup jauh dan berbicara tak begitu keras. Sebab Nago Salapan menggunakan ilmu “Telinga Angin” Dengan ilmu tersebut, Nago mampu menyerap suara puluhan kilo meter.
“Wahai banci penebar berita bohong. Ternyata kamulah yang disebut beliau itu oleh Mansur. Sungguh hebat panggilan tersebut untuk seorang pengecut seperti kamu!” Suara Nago Salapan menggema.
Bergetar kuping Slang. Nyalinya menciut seketika. Namun karena ia berada di sarangnya, nyalinya segera kembali. Slang berteriak,”Pengawal!” Suara itu membuat beberapa puluh orang muncul dari belakang bungalow. Begitu mereka muncul, Slang memberi perintah. “Kepung dia!”
Orang-orang berseragam hitam itu bergerak cepat, mereka mengepung Nago Salapan dengan formasi tapal kuda. Namun Nago Salapan masih dapat melihat Slang dan Mansur di sana.
“Slang, sebenarnya apa yang kamu inginkan. Sebaiknya engkau panggil saja induk semangmu, Anurangga. Saya tahu ia bersembunyi di sini.”
Bibir Slang berdecap-decap. Ia haus seketika, lalu menyapukan lidahnya ke bibir. “Soal itu tidak bisa saya jawab. Sebab ada orang yang lebih berwenang menjelaskan padamu.”
Sekonyong-konyong kedengaran suara nyaring dari dalam bungalow. “Persilahkan Nago Salapan masuk!”
Terperanjat Nago Salapan mendengar suara itu, ia pernah mendengar suara tersebut ratusan tahun yang lalu. Tapi suara siapa itu?
Slang masih bingung. Ia menoleh pada Mansur. Sopir taksi hanya bisa menggaruk-garuk kepala. Dia juga bingung dan telinganya merasa hendak pecah oleh suara nyaring dari bungalow.
“Apakah kamu sudah tuli Silangkaneh.”
“Ya, ya Puti,” sahut Slang terbata-bata. Kemudian ia memberi perintah pada serdadu-serdadu hitam itu untuk memberi jalan lebih lebar pada Nago Salapan. Para serdadu itu berkuak sehingga Nago dapat lebih leluasa melangkah memasuki bungalow.
Nago melangkah menuju bungalow. Senjata di tangan para serdadu hitam mengacung ke arah lelaki itu. Ketika Nago naik ke teras, pandangan matanya bertemu dengan Slang. Slang surut selangkah, ia seakan-akan terbakar oleh cahaya mata itu. Sementara itu Mansur menghindar ke pinggir. Gemetar ia.

“Tuan, tugas saya telah selesai. Jadi saya harus pulang,” kata Mansur.
“Oya, silahkan.”
“Tapi tuan…”
Slang memasukan tangannya ke dalam baju, dari balik baju tersebut ia keluarkan bungkusan. “Dalam bungkusan ini ada duit lima juta. Silahkan kamu hitung.”
Tanpa basa basi Mansur mengambil bungkusan uang tersebut. Riang tak terkira Mansur mendapatkan uang sebanyak itu. Dan ia tidak menghitungnya. Ia membayangkan, setelah dipotong setoran maka masih banyak sisanya dibawa pulang. Pokoknya ia akan membeli macam-macam.
Santai Mansur keluar dari halaman bungalow. Ia hidupkan tip mobil, kedengaran lagu dangdut yang dinyanyikan Inul. Sambil menyetir tubuh Mansur bergoyang-goyang mengikuti irama dangdut.
Seekor kucing melintas. Mansur terperanjat, ia menginjak rem mendadak. Kucing itu melompat ke seberang, selamatlah binatang itu. Kendaraan itu meluncur kencang. Ketika Mansur menginjak rem lagi, laki-laki tersebut terperanjat. Rem blong. Mansur berupaya mengocok-ngocok rem tapi kendaraan itu terus meluncur kencang. Saat itu sebuah truk gandeng dari arah berlawanan menderu. Tabrakan tak terhindarkan lagi!
Taksi yang dikendarai Mansur terseret hampir 100 meter. Truk gandeng yang bermuatan sarat itu berhenti. Sopir dan keneknya melompat turun. Mereka termanggu menyaksikan taksi tersebut terguling remuk rendam.
Orang ramai berdatangan.
“Mana penumpangnya?”
“Itu sopirnya!”
Mansur tertangkup di setir, berlumuran darah. Ketika orang-orang mencoba mengeluarkan mayat Mansur, mereka terhalang oleh pintu taksi yang peot.
Sopir truk menyuruh keneknya mengambil linggis yang ada dalam truk. Lantas bersama yang lainnya mengungkit pintu taksi yang peot tersebut.

Bersamaan dengan itu Nago masuk ke dalam bungalow. Slang dan dua serdadu hitam mengantar ke ruang tersebut. Ruang itu amat luas. Lantainya beralaskan permadani merah. Di sana ada sofa tamu. “Tunggu di sini,” kata Slang.
Nago duduk. Tapi ia belum melihat tuan rumah. Slang berdiri mondar-mandir, sesekali memandang ke tangga yang menghubungkan ruang bawah dengan ruang atas.
Sesaat kemudian kedengaran suara langkah kaki ringan dan gemericingan benda bergoyang. Tampak seorang perempuan muda menuruni tangga. Ia melemparkan senyum pada Nago Salapan. “Selamat sore tuan pendekar,” sapa Olivia alias Puti Bagalang Banyak.
Nago Salapan mendongak. Dugaannya ternyata benar, suara merdu dan nyaring yang didengarnya di luar tadi adalah suara Puti Bagalang Banyak, permaisuri Anurangga. Perempuan bangsawan itu menyalami Nago Salapan. Lelaki itu menyambut salam tersebut. Lama juga Puti Bagalang Banyak menggenggam tangan Nago.
“Tinggalkan kami berdua saja,” ujar Olivia seraya mengibaskan tangan, memberi isyarat pada Slang dan dua serdadu hitam itu.
Kuncup Slang mendengar perintah Olivia, ia mengajak dua serdadu hitam keluar. Tetapi ketika Slang mendekati pintu keluar, Olivia menggamit,”Kamu panggilkan pelayan. Sediakan minuman,” ujarnya. Lalu berkata pada Nago Salapan,”Maaf, saya telah merepotkan tuan pendekar.”
“Ya, Puti telah menunda perjalanan saya.”
Ketawa renyah perempuan itu, ia menyilangkan kakinya. Dari belahan longdresnya tampak sebagian pahanya. Nago memalingkan wajah ke samping. “Sebenarnya tuan Anurangga ingin bertemu dengan anda. Tapi mendadak ia bersama Kucing Air Kuning mengunjungi seorang teman lama. Akan tetapi saya suka bertemu dengan tuan pendekar.”
“Sebaiknya saya pergi,” tukas Nago Salapan hendak bangkit.
“Tunggu. Kenapa tuan pendekar begitu tergesa-gesa. Tanpa Anurangga kita pun bisa berbincang-bincang. Lagi pula kita sudah lama tak berjumpa.” Olivia menatap lelaki tersebut dengan cahaya matanya yang indah. Perempuan ini memang cantik. Dalam penjelmaannya di abadi ini, ia berprofesi sebagai seorang selebritis. Puti Galang Banyak memanfaatkan kecantikan lahiriahnya pada bidang ini yang dikenal dengan nama Olivia. Tidak sedikit kaum lelaki jatuh dan bertekuk lutut dalam pangkuannya.
“Bukankah Anurangga ingin bertemu dengan saya?”
Bola mata Olivia bermain indah menatap Nago yang berada di hadapannya. Perempuan semakin genit. Ia sapu bibirnya yang merah delima tersebut dengan sentuhan lembut ujung lidah. Bersamaan dengan itu ia menuangkan vodka ke gelas yang telah terhidang di atas meja.  Olivia menyodorkan segelas ke depan Nago.
“Mari kita bersulang tuan pendekar. Kita rayakan perjumpaan dua orang teman lama ini,” desah Olivia seraya mengangkat gelas di tangannya.
Serba salah Nago Salapan menerima ajakan perempuan tersebut. Aroma minuman vodka di gelas itu berkadar alkohol. “Saya lebih suka secangkir teh atau kopi panas,” Nago coba berkilah.
Renyah ketawa Olivia menanggapi ucapan Nago. “Anda tampaknya mulai meninggalkan kebiasaan lama. Bukankah dulu, tuan pendekar seorang peminum tuak. Lalu kenapa tiba-tiba berubah.”
Nago tersenyum. Ia kemudian mencicipi vodka di gelas tersebut. Setitik vodka membasahi bibir lelaki itu. “Puti. Kita manusia, manusia itu bagain dari alam. Kerena itu seperti alam yang senantiasa berubah. Manusia pun dapat berubah karena perjalanan kehidupannya.

Senja pun mulai hadir di bungalow itu. Nago Salapan masih belum bisa berangkat meninggalkan bungalow tersebut. Olivia masih tetap mengajak Nago berbincang-bincang. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, ia mampu mengimbangi pikiran-pikiran Nago Salapan.
“Jika manusia tersebut berubah karena perjalanan kehidupannya. Apakah cintamu pada Puti Rinjani juga berubah?” Pertanyaan tersebut memang berusaha menjebak Nago.
Semakin lekat punggung Nago ke sandaran sofa. “Cinta saya pada Puti Rinjani tak lekang dipanas, tak lapuk oleh hujan,” sahut lelaki itu pasti.
“Oya.” Ada sejumput kecewa dalam hati Puti Bagalang Banyak.
“Dan suami Puti terus mengejarnya. Itulah salah satu alasan Anurangga membenci dan memusuhi saya sepanjang masa.”
Kabut tipis mengambang di luar sana.
“Saya telah menyelamatkan Puti Rinjani ketika ia disekap Anurangga. Bagaimana pun kami berdua masih kerabat. Lagi pula, saya tidak suka dimadu,” ujar Puti Bagalang Banyak.
“Terima kasih…Puti telah menyelamatkan Rinjani.”
Tiba-tiba Slang muncul dari luar. “Tuanku menelpon Puti lewat HP. Katanya ponsel Puti sedang dialihkan,” lapor lelaki tersebut. Olivia mengangguk. Slang lalu kembali keluar. Perempuan itu mengaktifkan ponselnya. “Kanda sedang di mana sekarang? Oya, kanda sudah bertemu dengan dia. Okelah, Nago Salapan juga sudah hadir di sini. Kini dinda sedang bicara dengan pendekar itu.Ah, kanda jangan begitu. Kok masih belum percaya pada dinda.”
Nago Salapan tidak tertarik pada percakapan tersebut.
Olivia menutup ponsel, ia mengerling dan tersenyum berkulum pada Nago Salapan. “Anurangga cemburu pada anda. Lelaki memang begitu,” desah Puti Bagalang Banyak alias Olivia.
“Kenapa dengan lelaki?”
“Ya begitulah sifat lelaki. Mereka tajam sebelah ibarat mata pedang. Kalau mereka berselingkuh dengan beberapa perempuan, mereka anggap biasa. Bahkan ada pameo mengatakan,”Dunia akan menangis bila perempuan mengkhianati cinta. Tapi bila lelaki berkhianat maka dunia akan ketawa.” Sekarang saya sedang bicara dengan teman lama. Anurangga langsung cemburu. Dunia seakan-akan berguncang!”
Diam Nago Salapan mendengar ocehan Olivia yang berisi protes itu. “Hukum seperti itu berlaku sejak zaman purba. Bukan saja manusia, binatang pun demikian. Kodrat lelaki senantiasa berpoligami. Sementara itu perempuan cenderung monogami,” tukas Nago Salapan kemudian.
Olivia ketawa renyah. Gelang di lengan dan kakinya menimbulkan bunyi gemerincing. Bahasa tubuh perempuan itu memancarkan gairah. Olivia memang ingin menarik perhatian Nago.
“Anda sebaiknya menginap di sini. Anurangga dan Kucing Air Kuning besok baru kembali,” bibir Olivia mendesah.
“Pertemuan kita sudah cukup lama. Saya juga hendak bertemu dengan seseorang.”
“Harapan saya, tuan pendekar menginap. Bungalow ini mempunyai kamar sebanyak 12 kamar.Tapi kami telah mempersiapkan kamar khusus untuk anda,” bujuk perempuan itu.
Nago Salapan bimbang. Mestinya dia sudah bertemu dengan Katib Agam yang dipenjara di LP Cipinang. Namun malam ini, ia tidak mungkin bertemu dengan ulama tersebut.** (Bersambung....18)

Dari Meja Kerja Amran SN
Padangsarai, Sumatera Barat, Juni 2011



Kamis, 09 Juni 2011

YAHUDI DAN MINANG (Dalam Persamaan dan Perbedaan)

Oleh : Amran SN

                                                                     Orang Yahudi
Bangsa Yahudi dikenal oleh masyarakat dunia sebagai bangsa yang mempunyai otak cemerlang. Di kalangan mereka banyak muncul para nabi dan rasul Tuhan, kata “yahudi” menurut bahasa berarti orang yang berasal dari turunan Yahuda. Yahuda adalah salah seorang dari 12 putra Nabi Ya’qub, nabi yang hidup sekitar abad ke 18  sM, yang bergelar Israil. Kemudian segenap turunan dari 12 putra Nabi Ya’qub (Israil) itu dikenal dengan sebuatan bangsa Israil.
            Semula bangsa Yahudi merupakan kelompok keluarga, yang bermukim di tanah Kan’an. Ketika terjadi kelaparan di Kan’an mereka pergi ke Mesir, yang dikenal makmur di masa itu ( Nabi Yusuf, putra ke 11 dari Ya’qub mempunyai andil besar dalam bidang pertanian di Mesir. Ia kemudian menduduki kedudukan tinggi karena kecerdasan dan budi luhurnya di kerajaan Mesir). Tapi beberapa abad kemudian setelah mereka berkembang sampai berpuluh-puluh ribu orang, mereka mengalami nasib naas. Mereka diperbudak oleh penguasa Mesir(Fir’un). Dan perbudakan tersebut berakhir ketika Nabi Musa membawa mereka keluar dari sana.
            Bangsa ini mengalami pasang dan surut dalam perjalanan zaman. Daud, yang juga rasul Tuhan berhasil membawa bangsa ini pada masa kejayaan, yang kemudian menjadi kenangan dan impian bangsa Yahudi ( setelah mereka silih berganti oleh berbagai kerajaan). Pada masa Sulaiman (putra Daud) membangun sebuah haikal (rumah suci) yang megah. Kemungkinan besar rumah suci tersebut dikenal sebagai Baitul Maqdis, yang sampai sekarang disakralkan oleh kaum Nasrani dan Islam.
            Perjalanan panjang, naik turunnya peranan bangsa ini dalam kehidupan manusia. Barangkali itulah yang membuat mereka menjadi gigih dalam mempertahankan hidup. Lagi pula latar belakang bangsa Yahudi yang pernah menoreh kejayaan, dan salah satunya, dari bangsa ini lahir manusia-manusia terpilih ( nabi dan rasul Tuhan). Dalam pandangan umat Islam, umat Yahudi memang umat yang diseru oleh Nabi Musa, dan banyak nabi sesudahnya. Mereka dianggap umat yang keras kepala, yang sering menyimpang dari ajaran agama, yang benar dan lurus. Mereka disebut oleh al-Quran sebagai umat yang banyak membunuh nabi. Ulama-ulama mereka bukan menyambut seruan  Allah untuk kembali ke jalan benar, yang disampaikan oleh utusan Tuhan, Isa al-Masih, tapi malah menghinanya dengan menuduhnya sebagai anak zina. Bahkan berupaya membunuh atau menyalipnya.
            Kelompok Yahudi yang dijumpai Nabi Muhammad di Madinah pun tidak memilih hidup berdampingan secara damai dengan umat Islam, tapi cenderung berkhianat pada umat Islam, dan sebagai akibatnya, mereka terusir dari Madinah. Tampaknya bangsa Yahudi selalu ditakdirkan untuk hidup dalam kegelisahan, mereka terpaksa berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Kecerdasan dan kelicikan mereka, membuat Hitler membenci bangsa ini. Ketika Hitler berkuasa di Jerman, sang diktator itu sangat membenci kaum Yahudi. Menurut catatan sejarah, lebih 6 juta orang Yahudi dibantai oleh Nazi atas perintah Hitler ( Perang Dunia ke II – 1936 – 1945). Dan setelah berabad-abad tidak memiliki negara, maka tahu 1948 dengan bantuan negera-negara barat mereka mendirikan negara Israel Yang sekarang dikenal sebagai negara zionis, yang selalu menindas bangsa Palestina (yang sebenarnya merupakan rumpun bangsa mereka).
            Saat sekarang kita menyaksikan dalam percaturan dunia, baik politik, sosial ekonomi, maupun budaya dan teknologi, bangsa Yahudi benar-benar telah menjajah bangsa mana pun di dunia ini. Penjajahan dan penindasan terhadap bangsa lain seolah-olah tidak kelihatan. Tapi mereka mampu menguasai perekonomian dan politik dunia karena bangsa “perantau” ini mempunyai kedudukan strategis, dan pengaruh besar di setiap negara, termasuk negara yang mengakui dirinya Adikuasa. Sifat mereka yang selalu “membangkang dan bangga kecerdasan otak”, mereka bangun terus. Cobalah berbicara dengan orang Yahudi, maka mereka akan terlihat manggut-manggut sambil memperhatikan ekspresi anda dalam bicara itu. Sedikit pun ia tidak akan menjawab, kata-kata anda. Ia hanya mendengar dan mendengar. Dalam pengamatannya, ia akhirnya dapat menyimpulkan arah pembicaraan anda. Kesimpulan pertamanya, adalah bahwa omongan anda hanyalah sekadar untuk tujuan “ minta sedekah” alias minta duit. Lalu kesimpulan kedua, adalah ucapan anda tersebut, tidak punya arti apa-apa, hanyalah sekadar omong kosong belaka.  Justru karena itulah pejuang Palestina tak kunjung menang bila berunding dengan mereka.
              
Orang Minang

            Suku bangsa Minangkabau, menurut Tambo mempunyai nenek moyang keturunan dari Iskandar Zulkarnain, yang dinukilan dalam al-Quran pada surat al- Kaffi. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud Iskandar Zulkarnaini adalah Alexander the Great yang hidup sekitar abad ke 4 sM*. Orang Minang sangat bangga dengan garis keturunan tersebut. Apalagi nenek moyang mereka yang bernama Maharaja Diraja bersaudara dengan Maharaja Alif dari negeri Rum, dan Maharaja Dipang dari Cina. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Iskandar Zulkarnain tersebut bukan Alexandre the Great. Yang dimaksud dalam al-Quran adalah seorang raja yang hidup sezaman dengan Nabi Musa, yang hidup pada abad ke 13 sM. Zulkarnaen itu artinya seorang raja mempunyai “dua terompet”, yang mampu mengalahkan Yakjul dan Makjut. Dan juga mampu membuat benteng tinggi sehingga kedua makhluk tersebut, tidak bisa masuk.
            Suku bangsa Minangkabau, adalah masyarakat perantau, seperti juga bangsa Yahudi. Kalau bangsa Yahudi merantau karena negeri mereka diporak-porandakan bangsa penjajah. Akan tetapi orang Minang merantau adalah untuk mencari ilmu pengetahuan sekaligus mencari penghidupan. Dalam sebuah mamangan mereka, berpetuah : Karatau madang diulu, babuah babungo balun. Marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun ( Karatau madang di hulu, berbuah berbunga belum. Merantau bujang dahulu, di rumah berguna belum). Di samping itu orang Minangkabau memiliki filsafat yang mereka sebut Alam takambang jadi guru, dengan filsafat ini mereka dapat menyesuaikan diri di mana mereka berada. Mereka juga cerdas dan cerdik seperti bangsa Yahudi tapi berpantang  berperangai licik seperti orang Yahudi.
            Serupa tapi tak sama dengan nasib bangsa Yahudi, negeri Minangkabau pun silih berganti diduduki oleh bangsa maupun kerajaan lain. Namun bukan seperti orang Yahudi, suku bangsa Minang tidak pernah terusir oleh bangsa atau kerajaan asing yang menjajahnya. Malah mereka yang datanglah yang harus menyesuaikan diri dengan masyarakat Minangkabau.
            Adat dan filsafat Minangkabau terus mereka pakai. Dengan adat dan filsafat tersebut orang Minang mampu menampilkan jati diri mereka. Mereka dikenal menganut paham egaliter atau kesetaraan, mereka tidak merasa canggung berhadapan dengan bangsa maupun suku bangsa mana pun. Orang Minang dikenal pintar berbicara, kepintaran mereka berbicara tersebut mereka asah di lapau-lapau. Dalam berbicara mereka menggunakan kias dan tata tertib bicara. Kelebihan orang Minang yang menonjol adalah mampu “membaca pikiran” lawan bicaranya. Sikap kesetaraan yang dianutnya, membuat ia sangat Pe-De (percaya diri) dalam posisi yang bagaimanapun sulitnya.
            Pada pasca perang saudara (PRRI), kendatipun mereka berada dipihak yang”kalah” , orang Minang masih bisa memasuki pikiran orang yang mengalahkannya. Tatkala Sukarno berkuasa, mereka berhasil memberi gelar pada Hartini, salah seorang istri Sukarno. Gelar tersebut adalah gelar kebesaran perempuan bangsawan Minangkabau, yaitu Bundo Kandung. Di mana Bundo Kandung, diyakini sebagai ratu di negeri tersebut. Dan di saat sekarang, beberapa orang pejabat negara mereka beri gelar kebesaran adat Minangkabau. Orang Minang tahu benar, jika seseorang telah mempunyai kecukupan materil maka mereka akan mencari dan ingin mendapat kebesaran nama, yaitu Simbol status.
            Soal pantas atau tidak, dan pro atau kontra adalah soal lain. Tapi mereka telah mampu menyalurkan keinginan orang lain. Di mana keinginan orang lain tersebut tidaklah merusak dan merugikan mereka. Orang Yahudi boleh saja bangga karena telah berhasil menguasai “pikiran” negara barat. Dan menindas bangsa Palestina tapi mereka dikutuk dunia. Sementara itu kebanggaan orang Minangkabau tidak pernah merusak orang lain. Orang Minang bukan suku bangsa penjajah dan zionis tapi secara semu anda pasti menemukan “penjajahan tanpa senjata” Di mana-mana anda pasti menemukan rumah makan Padang (baca rumah makan Minang) , dan selera anda akan cocok dengan masakan hidangan mereka. Kelakar mereka adalah, “ andaikata sudah dibuka permukiman di bulan, maka orang Minag pasti membuka rumah makan di sana.” Mereka yang pernah bertugas dan bermukim di Minangkabau, pasti merasakan bahwa jiwa mereka sebenarnya telah “tinggal” di negeri ini. Walaupun mereka telah kembali ke kampung halamannya.   
            Orang Minang dalam petuahnya menyatakan : Kok gapuak indak mambuang lamak. Kok cadiak indak mambuang kawan. Kalau mandepek, urang indak kahilangan. Lamak di awak katuju di urang! ( Jika gemuk tidak membuang lemak. Kalau cerdik tidak membuang kawan. Kalau mendapat, orang tidak kehilangan. Senang bagi kita, urang lain setuju) Itulah pikiran orang Minang yang mendunia.

Padang, medio Oktober 2006

Catatan Kaki :

*) Tentang Orang Minang adalah keturunan Iskandar Zulkarnain, hanya anggapan sebagian pengamat. Pendapat ini merupakan pendapat yang kontroversial. Menurut sebagian pengamat dan pemerhati Tambo yang dimaksud dengan Zulkarnain dalam surat al-Kaffi bukanlah Iskandar the Great tapi adalah Zulkarnaen seorang Maharaja dari Persia. Dan menurut seorang ulama, yang dimaksud dengan Zulkarnaen adalah Rasulullah Saw sendiri. Barangkali kontroversi-kontroversi akan kita bahas lebih mendalam pada tulisan lain (penulis ; Amran SN)

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (16)

16

Westenk Jr

Westenk Junior diterima Logos di ruang tengah kediamannya. Lelaki berkebangsaan Belanda tersebut mengamati Selendang Pembunuh Anggang yang terhampar di atas meja. Ia mengamati selendang itu dengan kaca pembesar. “Benda ini asli,” komentarnya.
Logos tersenyum riang. “Selendang ini berusia ratusan tahun. Dan tidak muda untuk mendapatkannya,” tukas lelaki itu.
“Tidak sia-sia saya melakukan perjalanan dari Holland. Dulu kakek buyut saya pernah bertugas di negeri ini. Beliau sudah pernah mendengar tentang Selandang pembunuh Anggang. Namun beliau belum pernah melihatnya. Tulisan dan catatannya tentang benda ini cukup banyak.”
Logos menyodorkan cerutu pada Westenk Jr. “Cerutu ini dari Havana. Pasti tuan suka,” kata Tuan Logos. Lelaki berkebangsaan Belanda itu menariknya sebatang. Keduanya merokok.
Di antara kepulan asap cerutu, Westenk Jr berkata,”Tuan mau tawarkan berapa benda ini?”
“Saya kira 200 ribu dolar adalah harga yang pantas,” sahut Tuan Logos. Sambil menunggu jawaban Westenk, dia menggamit seorang gadis cantik yang duduk di ceruk ruangan itu. “Kamu siapkan teh dan makanan ringan buiat kami berdua,” perintah Tuan Logos pada gadis tersebut.
Asap rokok mengepul di bibir Westenk Jr. lelaki itu benar-benar menikmati cerutu Havana tersebut. “Saya pernah bertemu dengan diktator Fidel Castro. Ternyata orangnya ramah, tidak seperti yang diberitakan pers Amerika. Anda pernah berjumpa dengan Fidel Castro?”
“Belum. Tahun 1980 saya dikirim ke West Point. Karena itu, saya kurang simpati pada diktator Komunis tersebut. Apakah tuan tertarik pada Komunis?”
Lola muncul dan menghidangkan dua cangkir teh, juga makanan ringan. Westenk mengerling pada Lola. Lalu mengalihkan pandangan pada Tuan Logos. “Mmm, saya pernah membaca Das Kapital karya ilmiah Karl Mark, dalam buku itu ia menuangkan rumusan dasar teori Komunis.” Berkata demikian, Westenk hanya menatap lawan bicaranya sekilas. Tapi matanya lebih condong pada Lola.
“Teh ini, teh Kayu Aro. Teh yang sangat disukai bangsa tuan,” kata Tuan Logos seraya mempersilahkan Westenk Jr mencicipi minuman dan penganan yang terhidang. Setelah lelaki berkebangsaan Belanda tersebut meneguk minuman di cangkir, Tuan Logos berkata,”Tuan penganut ajaran Komunis?”
Diam sesaat Westenk Jr. Ia melayangkan pandangannya pada Lola yang menyilangkan kakinya di ceruk sana. “Saya kagum pada Karl Marx tapi tidak suka pada Komunis,” sahut lelaki itu datar. “Oya, pembicaraan kita jadi melantur ke mana-mana. Saya lupa pada angka yang anda tawarkan.”
“200 ribu dolar…”
Manggut-manggut Westenk Jr. Ia kembali mengamati selendang yang terhampar di atas meja. Lalu mendongak pada Tuan Logos. “Tawaran anda cukup menggelitik saya berpikir. Agaknya anda mata duitan juga.”
“Tuan keberatan?”
Diam Westenk Jr sesaat. Bola mata lelaki itu berkeliaran, menatap Tuan Logos. Lalu beralih pada Lola, seakan-akan ia lebih tertarik pada gadis tersebut dari pada Selandang Pembunuh Anggang. “Saya ingin menawarnya.” Kata Westenk tak lepas memandang Lola.
Logos mengusap wajahnya. “Dalam duania bisnis tawar menawar adalah lumrah. “Ingin saya mendengar tawaran anda.”
“100 ribu dolar!” Westenk Jr melipat selendang di hadapannya. Seolah-olah ia yakin tawarannya itu akan diterima. Bahkan semakin nakal pandangannya pada Lola. Mirip kucing melihat ikan panggang di atas meja makan.
Tidak menyahut Tuan Logos. Ia membakar kembali cerutu di bibirnya yang telah padam. Lelaki itu menikmati senikmat-nikmat cerutu Havana tersebut. Otaknya menjalarkan mengkali-kalikan angka tersebut dengan kurs rupiah. Cukup banyak pikirnya. Tapi belum pantas sebagai sebuah harga barang langka dan benda kuno seperti Selandang Pembunuh Anggang. Instingnya pun bergerak bahwa di samping Selandang Pembunuh Anggang, Westenk Jr pun tertarik pada Lola. “Sebaiknya tuan nikmati dulu teh Kayu Aro di cangkir itu.”
Ketawa Westenk Jr, lalu meneguk minuman di cangkir. “Di negeri kami teh ini sangat terkenal. Harganya juga mahal. Nenek moyang kami telah berjasa memperkenalkan teh ini pada dunia.”
“Nenek moyang tuan telah banyak membuat sengsara bangsa kami. Sejarah mencatatnya sebagai malapetaka,” balas Tuan Logos.
“Tapi generasi muda Belanda sadar akan hal itu. Justru karena itu negeri kami sangat peduli pada Indonesia.”
“Generasi muda Indonesia tak pernah melupakan bibit kesengsaraan yang diciptakan bangsa tuan.”
Westenk Jr merapatkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia tampaknya tersinggung akan ucapan Tuan Logos. “Anda lebih nasionalis dari penganut nasionalis. Dan sekaligus juga kapatilas liberal.”
“Saya lebih suka tawaran tuan dinaikkan.”
Mendesah Westenk Jr. “Okelah, saya setuju membayar selendang ini 200 ribu dolar,” ujar lelaki tersebut seraya mengeluarkan buku cek dari kopernya. Ia menuliskan angka 200 ribu dolar di cek tersebut. Kemudian menyodorkan pada Tuan Logos. “Oya, saya suka pada Lola,” sambungnya.
Tuan Logos mengambil cek yang disodorkan lelaki itu. Dan menoleh pada Lola. “Kamu diajak tuan Westenk Jr. Saya harap kamu tak menolak,” sahut Tuan Logos.
Sebelum Lola menyahut, Westenk Jr memasukan Selendang Pembunuh Anggang ke dalam koper. “Saya sudah pesan dua tiket ke Jakarta. Kamu dan saya enjoy-enjoy semalaman di sana. Lalu berangkat ke Amsterdam. Kamu setuju kan?”
“Kapan tuan berangkat?”
“Siang ini juga. Time is money. Jadi saya tidak mau menunda-nunda jadwal.” Lelaki itu bangkit dan menyalami Tuan Logos. Lantas mengerling pada Lola. “Mari kita berangkat.”
Lola mengangguk.

*

Nago diajak Gugum ke kawasan kampung Duku. “Rumah orang tua saya di sana. Ayah saya pensiunan tentara. Ada sesuatu yang hendak perlihatkan kepada anda,” ujar Gugum di atas Angkot dalam perjalanan tersebut.
Ternyata di rumah ayah Gugum ada sebuah motor Harley Davidson. “Waktu saya masih dinas dulu, saya suka naik motor ini, “ tutur ayah Gugum. “Setelah saya pensiun, motor ini hanya parkir dalam rumah saja.”
“Kenapa Mas Gugum tidak memakainya?”
“Saya tidak suka naik maotor. Dulu pernah saya pakai tur bersama teman-teman ke Pakanbaru. Hanya sekali saja.”
“Kok kapok?”
Gugum tersenyum. “Pulang dari Pakanbaru, sekujur tubuh ini seakan-akan lepas tulang belulang. Kalau kamu mau, bisa pakai. Begitu kan Ayah,” kata Gugum seraya mengerling pada ayahnya.
“Boleh. Kendaraan ini masih tokcer. Setiap pagi Ayah panaskan.” Orang tua itu lalu menghidupkan mesin kendaraan tersebut. Kedengaraan bunyi mesinnya menderu-deru.
“Tapi saya tidak punya uang. Kendaraan macam ini kan sedang tren, dan harganya sangat mahal,” tukas Nago Salapan.
Gugum ketawa. Ayahnya pun terkekeh. “Kamu ada-ada saja. Motor ini tidak dijual. Tapi kamu bisa pakai sampai kamu bosan,” kata orang tua itu.
Kendaraan itu memang masih layak jalan. Menjelang sore Nago pulang. Ia pulang sendirian karena Gugum tinggal di rumah orang tuanya. Sungguh beruntung Nago mendapat pinjaman motor besar tersebut. Biasanya ia pinjam motor Atos. Bila Atos sibuk maka terpaksalah dia naik Angkot.

Sore itu Nago singgah di surau Katib Agam. Ia diterima oleh Pakih Basyir yang mewakili orang tua tersebut. Menjelang magrib mereka berbincang-bincang.
Pakih Basyir menuturkan bahwa praperadilan yang diajukan Katib Agam di pengadilan kalah. Instansi berwenang di Jakarta menyatakan Kejaksaan tidak salah dalam prosedur. “Guru sekarang dititipkan di LP Cipinang.”
 Membeku Nago mendengar penuturan Pakih Basyir. Lelaki tersebut menyalahkan dirinya. “Mestinya saya menggunakan hawa gaib agar bisa menyelamatkan Katib Agam. Kenapa saya terlalu lemah menghadapi urusan dunia ini,” bisiknya dalam hati.
“Sebenarnya sebagai manusia abadi, Buya mampu meloloskan diri. Tapi hal itu bukan meruapakan jalan terbaik, kata Buya dalam suratnya kepada kami,” ujar Pakih Basyir menjelaskan. Sepertinya informasi tersebut menjadi jawaban dari perasaan Nago Salapan.
“Pikiran saya jadi buntu.”
“Kami berencana hendak ke Jakarta. Dalam waktu dekat ini Katib Agam segera disidangkan.”
“Ya, saya pun akan ke sana. Mudah-mudahan dengan kehadiran kita, Buya terbantu secara moral.”
*

Lepas senja Nago ingat akan Nadia. Ia segera memacu motor besar itu menuju Sungailareh. Rumah itu tampak lengang. Berkali-kali Nago mengetok pintu depan. Tapi tak ada sahutan.
Sabar muncul dari belakang. “Oh, Nago. Mari ke belakang,” ajak lelaki separuh baya tersebut.
“Ke mana Nadia?”
“Kamu selalu melangkah dengan kaki kiri. Sore tadi Bu Rahmi dan Nadia berangkat ke Jakarta. Nadia mendapat informasi bahwa Selandang Pembunuh Anggang dibawa ke Jakarta.”
Galau pikiran Nago sesaat. “Oh, Tuhan apakah salah umat-Mu ini. Kenapa begitu banyak masalah yang harus kami hadapi,” gumam laki-laki itu.
“Ternyata yang mencuri Selendang Pembunuh Anggang itu, tetangga kami. Pantas akhir-akhir ini, ia kaya mendadak. Ia perbaiki rumah, lalu membeli sepeda motor. Tubuh Toj yang dulu kerempeng, sekarang gemuk bagai babi.”
“Kok Pak Sabar bisa tahu…”
“Anaknya sendiri yang membuka rahasia. Semula saya hendak melaporkan ke kantor polisi. Tapi Nadia melarang. Biar saya menangani hal ini, katanya.”
“Lalu kepada siapa benda itu dijual?”
“Toj mengaku pada Nadia, ia menjual Selendang Pembunuh Anggang pada Tuan Logos. Dan Tuan Logos menjualnya pada seorang kolektor Belanda. Sebab itu Nadia berangkat mendadak ke Jakarta.
Mendapat informasi dari Sabar, Nago berangkat pulang. “Saya harus ke Jakarta,” bisiknya di atas motor besar tersebut.

Sampai di rumah ia melihat Atos sedang shalat Isya. Nago terus ke belakang mencuci muka sekaligus berwudhuk. Dan tidak seperti biasanya, kali ini selesai shalat laki-laki itu berdoa lebih lama.
Ketika selesai shalat, Atos menyapa,” Abang dari mana. Kok bawa motor Harley Davidson.”
“Cukup panjang perjalanan saya hari ini. Motor ini milik ayah Gugum. Beliau berbaik hati meminjamkan pada saya.”
“Mujurlah itu. Kalau Abang naik motor ini, ya mirip Charles Bronson. Dan pasti cewek-cewek semakin banyak naksir,” Atos ketawa lepas.
“Ah, kamu bisa aja.”
“Oya Bang. Hari ini kan Kamis malam Jumat. Biasanya di surau-surau ada wirid pengajian Tarekat. Sebulan yang lalu Abang pernah menjelaskan tentang Adam.”
“Ya.”
“Sejauh mana kedekatan manusia dengan Tuhan?”
“Apakah itu perlu bagimu.”
“Ya, iyalah. Jika tidak, tentu kita akan mengawang-awang, khususnya dalam beribadah. Saya sering mendapatkan orang Islam yang tidak shalat. Tapi ia selalu membusungkan dada sebagai Muslim sejati. Sebagai orang awam, tentu hal itu membuat saya bingung.”
Nago Salapan mengatur nafas sejenak. “Sungguh dalam pertanyaanmu Tos. Saya sebenarnya bukan ahli dibidang ini. Kendati pun demikian merupakan kewajiban bagi seorang Muslim sepanjang yang diketahuinya. Pertama tentang kedekatan manusia dengan Tuhan. Dalam al-Quran dijelaskan Tuhan itu sangat dekat dengan manusia. Dekatnya Allah dengan manusia yaitu lebih dekat dari urat leher kita sendiri.”
Mata Atos berkejap-kejap, agaknya ia sedang mempersiapkan pertanyaan baru atau tanggapan. “Begini Bang, manusia itu kan berjuta-juta bahkan milyaran bertebaran di muka bumi ini. Kalau Allah itu dekat dengan manusia sedekat urat leher. Tentulah Allah itu lebih dari Satu. Sedangkan ajaran agama kita menyebutkan Tuhan itu Esa.”
“Ya, Tuhan itu Esa. Ia tempat bergantung segala sesuatu. Perlu engkau pahami dekat Tuhan dengan manusia, bukan dekat secara pisik atau ujud.”
“Maksud Abang.”
“Yang dekat itu adalah qalbu manusia. Dan manusia yang tidak berusaha mendekat kepada Allah, Ia pun akan menjauh. Oleh karena itu sebagai umat-Nya kita wajib menjalankan perintah dan menghentikan larangan-Nya. Hal ini memang tidak mudah. Apalagi bagi orang yang enggan.”
Malam semakin larut. Bulan tumbuh bagai belanga tergantung di langit. Percakapan mereka kian mendalam dan serius. Atos terus bertanya dan menanggap apa yang disampaikan Nago Salapan.
“Shalat itu tiang agama. Dengan shalat kaum muslimin dan muslimat akan dapat menjaga agamanya sekaligus dirinya sendiri. Dari perkembangan tumbuhnya Islam maka berbagai paham muncul di antara ulama-ulama kita. Kadang karena kecintaannya kepada Allah, mereka pun “terpeleset” dalam memahami.”

Menjelang Subuh wirid tersebut diakhiri Nago Salapan. Selesai shalat Subuh Nago duduk bersandar di kursi memejamkan mata. Sedangkan Atos bergelung di lantai. Dia terbangun pukul sembilan. Ketika Atos siap mandi, Nago telah siap hendak berangkat ke bandara.
“Abang mau ke mana?”
“Saya hendak ke Jakarta menjenguk Katib Agam. Beliau sekarang dipenjara di LP Cipinang.”
“Ya, biar saya antar ke bandara,” ujar Atos.
“Tidak usah. Nanti mengganggu pekerjaanmu. Lagi pula jangan-jangan Gugum bertandang ke mari. Karena itu saya naik bis khusus ke bandara.”
*
Westenk Jr duduk di teras kamar sambil memandang ke pantai. Malam itu ia melihat lampu-lampu nelayan yang melaut, kelihatan bagai kunang-kunang. Dari dalam kedengaran langkah kaki halus. Dan aroma parfum yang semerbak membersit dari tubuh Lola. Ketika Lola duduk di sampingnya, Westenk Jr menyapa,”Hai.”
Dan gadis itu pun menyahut dengan ucapan yang sama.
“Negeri ini sangat indah,” gumam Westenk Jr. “Berbahagialah orang-orang yang dilahirkan di sini.”
“Oya.”
“Sudah lama kamu bekerja pada Tuan Logos?”
Gadis itu menyibakan rambutnya. Wajahnya terasa hangat disapu angin laut. “Lebih setahun. Tapi saya bekerja part time. Karena saya kuliah,” sahut Lola.
Lelaki tersebut mengerling menelusuri Lola, menelusuri tubuh gadis itu, yang tampak nyaris sempurna. Aapalagi dia memakai pakaian tidur yang terbuat dari sutra tipis. Westenk beralih pandang ke pantai tapi pikirannya menerawang ke masa-masa lalu. Setelah ia menyelesaikan kuliah dan mendapat gelar sarjana arkeologi, ia mengembara ke pelosok dunia. Westenk Jr pernah menetap di dataran Mekong. Di sanalah ia tertarik pada tenunan kuno. Kemudian ia mendapat informasi tentang Selendang Pembunuh Anggang. Informasi tersebut digabungkannya dengan catatan yang ditulis oleh kakek buyutnya, Westenk.
“Tuan ingat seseorang di negeri tuan?” Lola memecahkan kesunyian.
Westenk Jr terjaga dari lamunannya. Tersenyum dia. “Oh, tidak. Saya belum punya tambatan hati. Waktu kuliah saya pernah pacaran. Tapi ia kemudian menikah dengan sahabat saya. Sonya dan Albert kini menetap di Amerika.”
“Tuan patah hati?”
Lelaki itu menggeleng. “Entahlah,” sahutnya kemudian.Westenk meraih lengan Lola ke pangkuannya. “Gadis Asia umumnya cantik. Saat mendarat di bandara Minangkabau, saya melihat wajah asli gadis-gadis Minang. Tapi tampaknya mereka kurang suka pada bangsa lain.” Lelaki tersebut mencium punggung tangan Lola.
Lola membiarkan jemarinya dalam genggaman Westenk Jr. “Bangsa tuan lebih suka menjadikan gadis-gadis kami sebagai Nyai. Sekadar pelepas rindu. Lalu kembali pulang ke negerinya untuk menikah,” tukas Lola.
Westenk Jr menarik nafas. Matanya lekat menatap Lola, ada arti tersendiri dalam tatapan itu. “Semua itu adalah masa lalu bangsa kami. Dulu nenek moyang kami menganggap inlander adalah bangsa barbarian, suka bikin kerusuhan, merampok. Justru karena itu sebagai penjajahmereka bersikap keras pada bangsamu.”
“Dan melecehkan kaum perempuan?”
“Sekarang tidak. Generasi muda Belanda telah membuka mata. Membuka mata bahwa setiap orang suku bangsa dan bangsa mempunyai kebebasan dalam menentukan hidup mereka.”
Lola menarik lengannya lembut dari genggaman Westenk Jr. “Lalu apa pandangan tuan terhadap saya?”
“Kamu gadis yang cantik dan cerdas.”
“Hanya itu saja?”
Westenk Jr menghenyakkan punggungnya dalam-dalam ke sandaran kursi. “Saya jatuh cinta padamu.”
Bercampur antara senang dan bimbang dalam hati Lola. Mereka baru saja berkenalan. Mungkin debu tanah Minang belum hapus di telapak sepatu saya, bisik gadis tersebut. Dan mereka berkencan di hotel ini. Tapi apakah enjoy-enjoy dadakan tersebut dapat membentuk cinta. Kebimbangan tersebut terus menggeluti diri Lola.
“Besok siang kita berangkat ke Amsterdam. Say aharap kamu tidak menolak,” ujar Westenk seraya mengecup kening gadis itu. Lampu-lampu nelayan yang sedang melaut tampak bergerak seperti kunang-kunang.
Lola diam. Ia terus bergelimang dengan kebimbangannya. “Mudah-mudahan ia tidak melontarkan rayuan gombal.
Dan tiba-tiba Westenk Jr memondong Lola masuk kamar.** (Bersambung...17)



Dari Meja Kerja Amran SN 
Padangsarai - Sumatera Barat, Juni 2011