Minggu, 29 Mei 2011

Kesepakatan Bukit Marapalam



PADA tulisan terdahulu kita telah memperkenalkan Adat basandi Syarak-Syarak basandi Adat, yang embrionya diprakarsai oleh Syekh Burhanuddin, yaitu seorang ulama Minangkabau yang mengembangkan Islam di Ulakan (sekitar abad ke 17 M). Inspirasi ini diterimanya ketika ia berguru dan belajar pada Syekh Abdur Rauf as-Singkel di Aceh. Seperti diketahui bahwa Minangkabau memang telah cukup lama memeluk Islam, bahkan ada catatan sejarah yang menyebutkan negeri ini memeluk Islam pada awal Islam tersebut dikembangkan oleh pedagang Arab yang singgah di negeri ini (abad ke 7 M). Akan tetapi dalam kenyataan baru tahun 1560 M ada raja Minangkabau yang memeluk Islam, yang sekaligus memakai nama Sultan Alif.  Maka kita dapat membuat benang merah bahwa rakyat Minangkabau lebih dulu menganut Islam dari rajanya sendiri.
            Tambo alam Minangkabau menghikayatkan bahwa sebelum adanya kerajaan Pagaruyung yang dipimpin oleh Adityawarman, masyarakat Minangkabau telah dipimpin oleh dua bersaudara (berlainan bapak), yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang. Masing-masing mereka dalam mengatur pemerintahan; Datuk Ketumanggungan dengan sistem Koto Piliang, dan Datuk Perpatih nan Sebatang memakai sistem Bodi Caniago. Dua sistem tersebut populer disebut Lareh nan Duo.
            Kedua kelarasan ini melahirkan aturan-aturan Adat yang kemudian menjadi pandangan hidup mereka, yang didasarkan pada ketentuan nyata yang terdapat dalam alam pikiran yang tertuang dalam filosofi Alam takambang jadi guru. Sejalan dengan filsafat tersebut maka Adat Minangkabau dengan segala sistem dan struktur masyarakatnya telah ada sebelum Islam masuk. Dan bagi orang Minangkabau, Adat adalah merupakan kebudayaan secara utuh, akan dapat berubah-ubah seperti filosofi yang mereka anut tersebut. 
            Digambarkan Adat Minangkabau sebelum Islamisasi telah terjalin hubungan erat antara lembaga keagamaan (surau) dengan kerajaan Pagaruyung sebagai pusat kekuasaan. Jalinan ini tampak dipertegas dengan didirikan surau besar di zaman Adityawarman tahun 1356 M, di kawasan Bukit Gombak. Surau besar yang didirikan oleh Adityawarman tersebut, adalah tempat mempelajari agama Hindu-Budha, yang saat itu menjadi agama sebagian besar masyarakat Minangkabau. Pula, surau selain menjadi tempat mempelajari agama tapi juga merupakan asrama bagi anak-anak muda. Di sini mereka melaksanakan pertemuan untuk membicarakan Adat. Kita mengenal akan pepatah syarak mangato, adat mamakai, maksudnya syarak memberikan fatwa, adat melaksanakannya. Sehingga agama dan adat menjadi identitas orang Minangkabau. Aiblah bagi orang Minangkabau bila ia tidak beragama.
            Syekh Burhanuddin, kembali dari Aceh segera menyebarkan agama Islam dengan gencar, walaupun menurut catatan sejarah orang Minangkabau telah di-Islamkan oleh para pedagang Arab. Akan tetapi Syekh Burhanuddin adalah ulama pertama yang mengembangkan agama Islam dengan sistem pendidikan surau
            Sebagai ulama besar yang giat menyebarkan Islam dengan sistem pendidikan surau itu, bukanlah berarti Syekh Burhanuddin tidak mendapat tantangan dari pihak lain di Minangkabau, khususnya dari kaum Adat yang merasa keberadaan mereka merasa tergusur. Namun berkat kejelian dan bantuan dari saudara-saudara seperguruannya, Syekh Burhanuddin “kecurigaan” dari kaum Adat tersebut dapat dinetralisir. Syekh Burhanuddin bersama keempat temannya segera mendatangi Basa Ampek Balai, yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam tampuk pemerintahan di Minangkabau. 
            Dari pertemuan Syekh Burhanuddin dan empat orang temannya yang mewakili pihak ulama dengan Basa Ampek Balai di Bukit Marapalam- Puncak Pato- terciptalah kesepakatan Adat basandi Syarak-Syarak basandi Adat.  Dengan inspirasi inilah kemudian pada zaman Paderi  kembali dikukuhkan kesepakatan tersebut (1837).
            Kesepakatan Bukit Marapalam ini disebutkan oleh sebagian cerdik pandai dan pemuka masyarakat Minangkabau sebagai Marapekan alam. Marapek alam itu berarti “mempertemukan pikiran masing-masing yang berbeda” Namun kesepakatan tersebut masih menyisakan tanda tanya bagi sebagian besar orang Minangkabau dan para ahli, kapan sebenarnya berlangsungnya pertemuan. Dan apa landasan pikir dan latar belakangnya, sehingga disebut sebagai filosofi, tidak banyak orang yang tahu. Bung Hatta dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau di Batusangkar (1970) mengemukakan bahwa ungkapan itu tidak pernah didengarnya waktu kecil, yang didengarnya adalah ; Adat basandi Syarak-Syarak basandi Adat. Lantas bagaimana menyikapi apa yang disampaikan oleh Bung Hatta dengan peristiwa Sumpah Sati Bukit Marapalam, yaitu Adat basandi Syarak-Syarak basandi Kitabullah?
            Merujuk apa yang telah dilakukan sebelumnya oleh Syekh Burhanuddin dan keempat temannya, yaitu Adat basandi Syarak-Syarak basandi Adat, seperti yang diungkapkan oleh Bung Hatta dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau di Batusangkar itu, merupakan penjelasan dan pengulangan dari upaya Syekh Burhanuddin, menyatukan antara agama dan adat. Yang pada kurun waktu itu mengurangi konflik dengan kaum adat, terutama konflik dengan kekuasaan di Pagaruyung. Bagindo M.Letter salah seorang ulama Sumatra Barat kelahiran Pariaman memberi komentar,”Persenyawaan adat dan syarak yang dirintis oleh oleh Syekh Burhanddin Ulakan , adalah buah karya besar, yang tidak ternilai harganya bagi kehidupan sosial dan budaya orang Minangkabau.”
            Kilas balik dari upaya Syekh Burhanuddin tersebut, dapatlah digambarkan bahwa setelah 10 tahun mengajar di Ulakan, ia mengadakan evaluasi menyangkut perkembangan perguruan dan umat Islam di Minangkabau, serta bagaimana sikap kaum adat atau para penghulu dalam menerima ajaran Islam. Setelah diadakan pertemuan di surau Tanjung Medan, Syekh Burhanuddin tahun 1079 H pada bulan Syafar (1659 M). Memang setiap bulan Syafar, Syekh Burhanuddin bersama temannya yang sama-sama belajar di Aceh dulu, yang kemudian membantu mengajar di Ulakan senantiasa melakukan pertemuan. Dalam pertemuan tahunan tersebut senantiasa dibicarakan adat dan syarak, yang kebiasaan ini pun diikuti oleh perguruan masing-masing, yang kemudian menjadi tradisi pada masa ini. Dan secara kebetulan wafatnya Syekh Burhanuddin bertepatan dengan bulan Syafar tahun 1111 H, maka disepakati pula pada bulan Syafar dilaksanakan acara ziarah ke makam guru – pada bulan terang atau purnama- Pertemuan tahun 1079 H/1659 M ini melahirkan dua rekomondasi penting :
Pertama : untuk mempercepat perpaduan antara adat dan agama, maka diperlukan dukungan lebih besar dari para penghulu yang berkedudukan di wilayah Darek. Kedua : dengan lambatnya pengembangan Islam di Luhak nan Tigo (pusat alam Minangkabau), karena dalam pengembangannya pemuka-pemuka agama mendapat tantangan dari kalang adat, disebabkan oleh ; pengaruh dari agama Budha yang masih berbekas bagi masyarakat pedalaman. Sementara itu para penghulu (kaum adat) masih kukuh memegang kebiasaan-kebiasaan jahiliyah, seperti menyabung ayam dan minum tuak, bermain dadu, dan perbuatan maksiat lainnya. Dan di kawasan Luhak 50 Kota, asal mulanya masuk Islam, pernah terjadi pertentangan antara paham Sunni dan Syiah.
Dengan pertentangan paham keagamaan tersebut, maka kekuasaan di Minangkabau, dipecah dalam tiga bentuk, yaitu ; Raja Adat di Lintau Buo, Raja Ibadat di Sumpur Kudus, Raja Alam di Pagaruyung. Ketiganya disebut Rajo Tigo Selo. Walaupun demikian ketiganya merupakan simbol belaka. Sedangkan kekuasaan pemerintahan dilaksanakan oleh Basa Ampek Balai. Mereka adalah Datuk Bandaro menjabat menteri utama dan menteri keuangan, yang berkedudukan di Sungai Tarab. Tuan Indomo menteri urusan Adat yang berkedudukan di Suruaso. Berikutnya, Tuan Mangkudum sebagai pengatur wlayah kerajaan urusan rantau, bermarkas di Sumanik. Sedangkan Tuan Qadi  sebagai menteri agama yang berkedudukan di Padang Ganting. Perangkat ini pun ditambah dengan Tuan Gadang di Batipuh sebagai menteri pertahanan dan keamanan. Kalau ditilik maka Tuan Mangkudum yang menjabat sebagai menteri urusan rantau, maka kekuasaannya lebih besar, karena segala ajaran yang masuk ke Minangkabau dialah yang menentukan.
Fenomena pergolakan dan pergerakan kehidupan keagamaan sejak awal priode di Minangkabau sampai berakhirnya gerakan Paderi dan munculnya  “Kaum Tua” dan “Kaum Muda”  dengan para pelaku ulama dan penghulu-penghulu terkemuka di Luhak nan Tigo. Maka dilaksanakan kesepakatan Bukit Mapapalam, di mana pemilihan ini pada tempat ketinggian di puncak Pato, yang terletak di antara desa Sungayang dan Bukik Bulek. Dan sejak dikukuhkannya Perjanjian Bukit Marapalam oleh pemuka Adat dan Ulama di Minangkabau, maka dilakukanlah penyebaran kesepakatan oleh kedua belah pihak. Wujud kongkrit dari perjanjian ini dituang dalam filsafat adat, yaitu :
Adat basandi Syarak-Syarak basandi Kitabullah. Syarak mangato-Adat mamakai. Adat yang buruk dibuang, adat yang baik dipakai. Syarak jo adat bak aua jo tabiang-sanda manyanda kaduonyo. Dalam penjelasannya, maka Adat Minangkabau itu didasarkan pada agama Islam, dan agama berdasarkan kitabullah atau al-Quran. Agama memberikan fatwa, adat melaksanakannya. Adat yang baik adalah sesuai dengan normanorma Islam – harus dipertahankan – Sementara itu adat yang buruk, yang bertentangan dengan Islam harus dibuang. Antara syarak dan adat tidak dipertentangkan sebagai filosofi pandangan hidup orang Minangkabau. 
Ada beberapa untai benang merah yang perlu dibicarakan dalam hubungan antara Minangkabau dengan ungkapan Adat basandi Syarak-Syarak basandi Kitabullah. Pertama, Adat lebih dahulu hadir dari pada syarak yang Islam di tengah-tengah msyarakat Minangkabau. Seperti dikenal secara umum sejarah Minangkabau yang tidak memiliki media tulis, tidak meninggalkan jejak sejarah kecuali mitologi dan Tambo. Peninggalan sejarah yang ditemukan, tidak mencerminkan kenyataan kedekatan Minangkabau dengan agama Hindu. Namun satu-satunya kerajaan yang berdiri dimasa kejayaan Hindu adalah kerajaan Pagaruyung dengan rajanya Adityawarman. Masuknya Islam ke Minangkabau ini berhadapan langsung dengan masyarakat yang telah mengenal konsep Tuhan yang disebut dengan “Nan Bana”, yang berdiri dengan sendirinya, yang kemudian diungkapan dalam mamangan :
           
            Kamanakan barajo ka mamak
mamak barajo ka pangulu.
Pangulu barajo ka mufakat.
Mufakat barajo ka nan Bana
Nan Bana badiri sandirinyo.

Kemudian syarak (Islam) datang dari luar diungkapkan dengan pasti dalam mamangan; Syarak mangato-Adat mamakai. Artinya syarak datang dari luar (laut) yang terus mendaki sampai ke tanah asal (Luhak nan Tigo), berikutnya ajaran adat menurut dari tanah asal ke rantau dan pesisir.
Kedua, baik adat maupun syarak adalah mengandung nilai-nilai yang mengatur hidup manusia. Pengaturan adat lebih bersifat duniawi, dalam pada itu nilai-nilai syarak mengatur secara seimbang  antara hidup keduniaan dan keakhiratan. Maka dengan demikian ajaran Islam yang bersumber dari Allah dan Rasul diakui lebih sempurna dibanding adat. Pengertiannya, syarak menyempurnakan adat. (Syarak mangato-adat mamakai). Antara yang menyempurnakan dan yang disempurnakan tidak boleh bertentangan. Begitu pula antara nan mangato dan memakai.
Ketiga, syarak bersifat pasti, jelas dan tegas. Sementara itu nilai dalam adat lebih bersifat relatif dan terbuka untuk berimprovisasi;

Syarak batilanjang
Adat basitumpu
Adat babuhua sentak
Syarak babhua mati

Adat tunduk pada hukum perubahan, sedangkan syarak mengendalikan perubahan;

Adat dipakai baru
baju dipakai usang
Sakali aia gadang
sakali tapian baraliah

Benang merah yang terakhir adalah ungkapan Adat basandi Syarak-Syarak basandi Kitabullah, mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa perbedaan yang tidak menyebutkan pertentangan antara nilai yang ada dalam adat dengan nilai yang dikandung  syarak. Ketundukan adat kepada syarak masih terus berproses sesuai dengan kodrat adat yang tunduk pada hukum perubahan. Berdasarkan kesadaran demikian dapat ditarik kesimpulan ; masyarakat Minangkabau sejak dulu selalu bergerak maju menuju masyarakat Islam, sehingga upaya pencarian jati diri Minagkabau harus lebih mengacu kepada nilai dan ajaran Islam. ***

Dari Meja Kerja, Amran SN 
 Padangsarai - Sumatera Barat, Mei 2011



   

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (12 & 13)

12

Pencuri Selendang Pembunuh Anggang

            Malam ini malam Jumat. Anak-anak di bawah umur biasanya cepat tidur pada malam tersebut. Konon dimalam Jumat itu, setan dan hantu bergentayangan mencari mangsa. Makhluk halus tersebut sangat suka bau anak-anak. Jika anak-anak nakal dan terlambat tidur maka setan dan hantu akan menampakan diri.
            Makhluk halus yang bernama setan dan hantu dapat menjelma jadi apa saja, manusia tanpa kepala, perempuan berambut panjang dengan punggung berlobang, atau kelelawar yang suka mengisap darah manusia.
            Justru karena itulah, anak-anak lebih suka tidur lebih awal pada malam Jumat. Hanya orang dewasalah yang dapat bergadang di malam yang sakral ini. Akan tetapi Sabar dan Rakena, tidak perlu cerita seperti itu untuk didongengkan pada anak-anak mereka. Anak-anak mereka sudah dewasa, semuanya telah berumah tangga. Dan tinggal di rumah istri mereka masing-masing. Sedangkan yang perempuan ikut suaminya karena mereka telah membangun rumah sendiri.
            Sabar dan Rakena tinggal di kamar belakang, rumah Bu Rahmi. Mereka hanya berdua saja. Apalagi sekrang Bu Rahmi ke Bukittinggi dan Nadia ke Malaysia. Biasanya memang sebelum tidur, mereka berkumpul di ruang tengah, bercakap-cakap, kadangkala bercanda juga.
            Malam Jumat itu hujan turun sejak senja. Dan di Sungailareh sedang giliran lampu mati. Menurut pihak PLN setiap kawasan diatur giliran padam sekali tiga jam. Namun seringkali aturan tersebut melenceng, senja padam, kemudian menjelang Subuh pun padam. Di negeri gemah ripah loh jinawi ini, konsumen bukanlah raja tapi lebih terkesan pesakitan!
            “Kecilkan saja, buat apa dinyalakan besar-besar. Nanti minyaknya cepat habis,” kata Sabar yang sedang bermalas-malas bergolek di ranjang.”
            “Kalau Uda mau tidur. Tidurlah, saya membereskan kain-kain ini.” Rakena duduk di dinding, ia melipat pakaian-pakaian yang sudah dicuci. Dan kemudian dimasukan ke lemari.
            Hujan semakin deras. Sabar miringkan tubuhnya ke dinding seraya memperbaiki sarungnya melorot. Kemudian lekai itu berputar menghadap istrinya yang masih melipat pakaian. Lantas Sabar telentang, ia menguap lebar-lebar. “Sudah pukul berapa Kena?”
            “Entahlah. Jam dinding kan di ruang tengah,” sahut Rakena.
            “Saya kira sudah lewat tengah malam,” Sabar memandang istrinya. Perempuan itu belum selesai melipat kain tersebut. Dalam terang cahaya lampu dinding, Sabar dapat melihat kecantikan Rakena. Perempuan itu berusia sekitar 45 tahun. Dada perempuan itu belum kendor benar. Dan pinggulnya meskipun melebar namun masih dapat dikatakan padat. Apalagi dibandingkan dengan perempuan lain yang seusia Rakena.
            Rakena bangkit dan kain-kain yang terlipat, ia membuka lemari dan menyusun kain tersebut di sana. Sabar menatap istrinya yang melenggang ke lemari itu. Lelaki itu memperbaiki sarungnya, ia menggulungnya sampai ke paha.
Dinginnya malam membuat Sabar semakin tidak sabar agar Rakena bergolek di sampingnya. “Peci, baju koko dan sarung sudah saya siapkan untuk Jumat besok,” kata Rakena. Kemudian ia kembali bersandar ke dinding.
            “Oya, besok hari Jumat?”
            “Apa Uda lupa.”
            “Sekarang hari Kamis. Kamis malam Jumat, ya?”
            “Tanpa terasa hampir seminggu Bu Rahmi di Bukittinggi. Di terminal ia bilang akan membawakan saya oleh-oleh. Tapi oleh-oleh apa. Ya, saya tidak tahu,” kata Rakena.
            “Sekarang, malam Jumat kan?” Sabar coba mengingatkan kembali istrinya itu.
            Rakena tidak menyahut, ia bangkit dan berkaca pada cermin yang tergantung pada dinding dekat lemari. “Uban saya telah tumbuh satu-satu. Benar, saya memang sudah tua,” kata Rakena pada dirinya sendiri, tapi ucapan itu didengar Sabar.
            “Ah, kamu jangan soal uban. Sekarang uban bisa dihitamkan. Uban tidak tergantung pada usia. Anak muda ada juga yang berambut putih. Dan banyak orang tua masih berambut hitam. Bahkan ada yang mencat rambutnya dengan warna merah. Lagi pula tidak ada hubungan antara selera dengan uban. Tua-tua begini selera saya masih kuat seperti dulu,” sambut Sabar memancing Rakena.
            “Tapi lelaki seumur Uda harus menjaga selera. Misalnya makan gulai kambing dan jangan sering minum teh telur. Apalagi telur itik. Tensi Uda bisa naik.”
            Ketawa lebar Sabar mendengar omongan istrinya itu. “Hebat kau Rakena. Apa pula hubungannya gulai kambing atau teh telur itik dengan tangsi.”
            Rakena ketawa pula, malah terpingkal-pingkal. “Bukan tangsi Uda. Tangsi itu penjara, tapi yang saya maksud  tensi. Tensi itu ukuran tingginya rendah darah. Begitu yang dijelaskan Nadia pada saya. Gadis itu sering mengajari hal-hal yang baru. Semua itu menambah ilmu pengetahuan saya,” ujar Rakena bangga.
            “Terserah kamulah,” tukas Sabar seraya beringsut ke pinggir ranjang. Lelaki itu semakin tidak sabar, ia dekati Rakena. Tangan Sabar nakal menelusuri tubuh istrinya. Lampu dinding telah redup kehabisan minyak. Saat itu mereka rebah di lantai.
            Hujan semakin lebat.
            Malam pekat sepekat belacu hitam. Hujan turun bagai bilah-bilah panjang dari langit. Dalam kepekatan malam itu tampak sosok bayangan memasuki halaman rumah Bu Rahmi. Bergegas sosok hitam itu naik ke teras. Kemudian sosok tersebut mengungkit kaca jendela dengan linggis. Setelah jendela terbuka, ia masuk ke dalam.
            Sosok hitam itu berjingkat-jingkat, ia berusaha melangkah tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Ia tertegun sejenak mendengar di belakang dinding kamar yang dimasukinya ini, lenguh nafas bagai orang berlari. Kadang ia mendengar nafas mendesah.
            Namun ia terus bekerja dalam gelap tersebut. Ia coba ungkit lemari itu dengan ujung pisau. Tersendat-sendat benda tersebut menyelinap masuk. Lalu ia menekan lebih keras, bersitumpu sekuat mungkin.
            Hujan terus turun. Air jatuh ke atap, kedengaran bagai nyanyian cinta. Dan air yang jatuh ke atap bergulir ke bawah menyetuh tanah. Tanah kian basah dan menggenang. Sabar dan Rakena bersama di dunia cinta yang lain.
            Lemari dalam kamar Bu Rahmi telah menganga. Sosok hitam tersebut mengaduk-aduk isi lemari. Kain-kain berserakan tapi ia terus mencari sesuatu dalam lemari. Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah selendang. Selendang itu bercahaya dalam gelap!
            Sabar berguling ke pinggir, ia tengadah memandang langit-langit. Seakan-akan seluruh tenaganya telah terkuras habis. Sementara itu Rakena membereskan selimut mereka berserakan di lantai.
            Sosok hitam melompat turun. Ia menerobos hujan deras seraya memanggul buntalan. Ayam berkokok bersahut-sahutan.
*

            Bu Rahmi telah kembali dari Bukittinggi. Nadia pun telah pulang dari Malaysia. Suasana di rumah itu mendung. Padahal cuaca kota P cerah tak berawan.
            “Maafkan kami,” ujar Sabar.
            “Tidak biasa saya lelap seperti itu,” tukas Rakena memandang sendu pada Bu Rahmi dan Nadia.
            Nadia menarik nafas dalam-dalam. Ia berbagi pandang dengan Bu Rahmi. Perempuan tua itu tampak kuyu, berkali-kali ia menarik nafas panjang. Tampaknya ia sangat menyesalkan akan peristiwa yang menimpa tersebut.
            “Mestinya saya tidak pergi,” kata Bu Rahmi.
            “Sudahlah, Bu. Tak ada yang perlu disesalkan. Barangkali Selendang Pembunuh Anggang itu telah diicar orang sejak lama,” tukas Nadia membujuk dan menenggang rasa bersalah Sabar dan istrinya. “Saya yakin selendang itu akan kembali. Kembali pada saya.”
*

            Siang itu seorang lelaki berusia 40-an masuk ke halaman rumah Tuan Logos di jalan Ratulangi. Di luar tampak Gugum berdiri. Lelaki itu berdiri pada Gugum. “Saya ingin bertemu dengan Tuan Logos,” katanya seraya mengalihkan tas yang disandangnya ke depan.
            “Siapa nama anda?” Gugum bertanya.
            “Toj.” Laki-laki itu menyebutkan namanya dengan yakin.
            Gugum menggiring Toj masuk ke dalam. Di ruang tamu Gugum menyuruh Toj duiduk. “Saya akan laporkan kedatanganmu pada bapak. “Tunggu sebentar, “ katanya seraya masuk ke ruang kerja Tuan Logos.
            Selang beberapa saat Gugum kembali, ia memberi isyarat agar masuk, Toj berdiri melangkah mengikuti Gugum. Dari ruang tamu mereka melewati ruang tengah yang beralaskan tikar permadani merah. Kemudian tiba di ruang kerja Tuan Logos. Gugum mengetok pintu.
            “Silahkan masuk!”
            Gugum membuka pintu. Lalu memberi isyarat pada Toj agar masuk. Setelah memberi hormat Gugum meninggalkan Toj di ruang tersebut. Agak gugup Toj berdiri di ruang kerja Tuan Logos. Tuan Logos menatap lelaki kurus tersebut, ia tersenyum, senyum bersahabat.
            “Kamu membawa barang itu?”
            Masih berdiri Toj ketika Tuan Logos mempersilahkannya duduk di sofa. Ia merasa kecil di ruang tersebut. Seakan-akan ada saja yang salah dalam penampilannya. Oya, kancing bajunya bagian atas tidak terkancingkan, Toj segera memasang kembali.
            “Ya, saya membawanya, Tuan,” sahut Toj seraya menghenyakkan pantatnya di sofa. Ia membuka tas, mengeluarkan selendang. Selendang Pembunuh Anggang itu diletakkannya di atas meja. Cahaya kuning emas membias dalam ruangan tersebut.
            Tuan Logos mengamati selendang tersebut. Ia merasakan ada hawa gaib membersit dari benda itu. Namun sebagai seorang kolektor benda kuno yang berpengalaman, ia tetap punya kecurigaan.
            Dalamruang kerja tersebut ada tungku perapian. Tuan Logos menghidupkan tungku perapian, api menyala. “Saya akan menguji selendang ini,” ujarnya. Ia melemparkan selendang ke tungku perapian.
            “Tuan…” Terperanjat Toj melihat selendang tersebut dilemparkan ke dalam tungku yang menyala. Sebenarnya Toj tak perlu terperanjat dan cemas akan nasib benda tersebut. Selendang Pembunuh Anggang tidak terbakar dimakan api.
            Manggut-manggut Tuan Logos. Kini Selendang Pembunuh Anggang itu dihamparkannya di atas meja. Wajahnya riang. “Kamu merokok?” katanya seraya menawarkan cerutu pada Toj.
            Lagi-lagi Toj gugup. Ia gugup dan terperanjat ketika melihat Selendang tidak terbakar dimakan api. Menurut pengetahuannya selendang tersebut terbuat dari kain, apa pun jenisnya kain akan terbakar hangus oleh api. Sebenarnya laki-laki itu tidak tahu bahwa selendang yang dicuri itu adalah selendang keramat. Kemudian kegugupan yang kedua adalah saat ditawarkan rokok besar yang disebut cerutu. Ia memang pernah  mendengar tentang cerutu tapi baru kali ini melihat dengan mata kepala sendiri.
            Tuan Logos membakar cerutu di bibir Toj. Lalu membakar pula cerutu di bibirnya. Asap tipis menjulang dalam kamar kerja itu. Tuan Logos membuka jendela, asap rokok merayap lewat jendela.
            Toj batuk-batuk. Bibir dan lidahnya terasa kebal, tidak ada rasa nikmat mengisap rokok cerutu itu. Tapi karena segan pada Tuan Logos, ia terpaksa merokok juga.
            Tuan Logos tersenyum. “Nanti kamu akan terbiasa,” ujarnya.
            “Saya sudah biasa merokok putih keluaran Medan,” sahut Toj malu-malu.
            Tuan Logos manggut-manggut. Lalu ia menyimpan Selendang Pembunuh Anggang ke dalam brankas. Setelah itu ia berkata,”Berapa kamu jual selendang itu?”
            “Kalau di kampung saya, selendang ini namanya selendang balapak. Mahal selendang itu, Tuan. Bila selendang ini baru harganya sampai 500 ribu. Bahkan turis bule berani membayar sejuta. Jadi selendang ini, Tuan bayar saja 800 ribu.” Setelah berkata demikian, Toj menjatuhkan pandangannya ke lantai. Ia bimbang, jangan-jangan Tuan Logos marah. Karena menurut dia, harga itu cukup tinggi.
            Ketawa lepas Tuan Logos mendengar tawaran Toj. Saking kerasnya ketawa Tuan Logos, air matanya keluar. Puas ketawa, lelaki tersebut memndang Toj.
            Toj walau pun menunduk ke lantai, ia tetap saja mengetahui Tuan Logos memandangnya. Hanya saja ia tidak bisa menafsirkan pandangan itu. Sepasang lututnya goyang karena menggigil.
            “Kamu punya anak berapa?”
            “Dua belas, Tuan. Tapi yang hidup hanya sebelas, Seorang meninggal ketika masih bayi,” sahut Toj gugup dan cemas.
            “Kalau begitu kamu butuh biaya besar untuk mendanai keluargamu.”
            “Dua orang sudah bersuami. Yang tua dibawa suaminya ke Jawakarta. Dan yang nomor dua, suaminya menolong saya di sawah dan ladang. Selebihannya anak saya laki-laki. Lelaki yang tua jadi tukang ojek. Tapi kendaraannya punya orang pula. Ya, susahlah punya anak banyak.”
            Terenyuh Tuan Logos mendengar cerita Toj. Muncul rasa kasihan dari lelaki terpandang itu. Ia mengambil buku cek, sebelum menuliskan angka-angka, ia berkata,”Saya buka cek 25 juta untukmu. Cukupkan?”
            Dua puluh lima juta? Toj terhenyak di sofa. Apakah saya tidak salah dengar? Lelaki itu berkata dalam hatinya. “Bukankah saya tadi hanya menawarkan 800 ribu rupah,” sambungnya membatin.
            “Apakah angka-angka itu belum cukup?”
            “Saya harus bilang apa, Tuan. Saya bingung. Lagi pula saya tidak tahu cara menguangkan cek. Saya orang bodoh, Tuan. Kalau Tuan ingin bersedekah atau berzakat kepada saya. Berikanlah uang tunai saja.”
            Kembali Tuan Logos tersenyum karena kepolosan Toj. “Sejujurnya kamu telah berjasa mendapatkan selendang itu. Selendang Pembunuh Anggang adalah benda kuno yang tak ternilai harganya. Dan saya sangat tergugah mendengar ceritamu,” Tuan Logos berkata tulus. Ia bangkit melangkah ke brankas, dari sana ia keluarkan lima ikat uang. “Saya tidak tega membayar sesuai tawaran yang kamu ajukan, 800 ribu rupiah. Merasa berdosa saya jika membayar sebanyak itu.” Lelaki tersebut menumpuk uang tersebut di atas meja. “Ambillah.”
            Menggigil tangan Toj meraih uang tersebut. Seumur hidup belum pernah melihat uang sebanyak itu. Lima ikat uang pecahan seratus ribu rupiah. Satu ikat entah berapa jumlahnya, ia kurang tahu. Dan ia tidak hendak bertanya pada Tuan Logos. “Terima kasih, Tuan,” hanya itu yang bisa diucapkan. Lalu menyimpan uang tersebut ke dalam tas.
            “Hati-hati. Nanti kamu dirampok orang,” nasehat Tuan Logos. Kemudian mengantar ke ruang tamu. Di sana ada Gugum. “Antarkan Pak Toj ke rumahnya,” kata Tuan Logos.
*

            Toj minta turun sebelum sampai di jalan gang masuk rumahnya. “Saya di sini saja, tuan. Tuan sudah bersusah payah mengantarkan saya.” Namun Toj lupa mengajak Gugum singgah ke rumahnya.
            Sepanjang jalan menuju ke rumahnya, Toj mulai mengkhayal seraya mengempit tasnya erat-erat. Pertama, ia suruh istrinya ke Pasar Raya. “Kamu beli ikan tongkol yang besar. Daging sekilo. Oya, jangan lupa membawa martabak Bandung. Ya, macam-macamlah. Terserah kamu. Beli makan yang enak-enak agar selera kita bersepuh.”
            Lelaki itu terus melangkah menuju rumah. Tentu Dasril, menantunya itu sedang mencangkul di sawah, keringat menetes di sekujur tubuhnya sebesar biji jagung. “Berhentilah dulu, Das. Kamu cobalah merokok cerutu. Pastilah kamu terkelap-kelap,” Toj mengambil sebatang cerutu dari dalam tas, ia menyodorkan pada menantunya itu.
            Hampir saja Toj kelampauan dari rumahnya karena khayalan itu.
“Abak!” Kedengaran anak lelaki tanggung, berusia 10 tahun memanggil. Toj menunda langkah. Itulah anak bungsunya. Menggeleng kepala laki-laki itu, lalu surut ke belakang masuk ke halaman rumahnya.
**

           
13

Selingkuhan

Tersentak Slang mendengar ponselnya berdering di bawah bantal. Agak malas ia meraih ponsel seraya menyalakan lampu dekat meja ranjang. “Oh, Tuanku. Tumben nelpon malam begitu.”
            “Denai sudah di Jakarta sekarang. Bagaimana dengan pengkhianat itu. Apa sudah kena jerat?”
            “Oya, sekarang dalam proses.”
            “Maksudmu dia sudah ditangkap?”
            “Bukan begitu, Tuanku. Dia mulai memakan umpan yang kita sediakan. Sekarang Gugum tergila-gila pada Olivia. Gadis itu top model yang kebetulan datang ke ranah Minang. Saya yakin di apasti terjerat. Rumah tangganya mulai gocang. Dan Tuan Logos mulai mengurangi kegiatan yang sering ditangani Gugum.”
            “Hmmm. Lalu bagaimana dengan bisnis kita di sana?”
            “Semua oke.”
            “Oya. Kamu dapat berita tentang Puti Rinjani?”
            Slang duduk di ranjang. “Saya dengar dia tinggal di Sungailareh dengan perempuan itu. Dan ada kabar yang menggembirakan.”
            “Apa itu?”
            “Tuan Logos telah mendapatkan Selendang Pembunuh Anggang. Jadi Tuanku tidak perlu bimbang menghadapi gadis tersebut.”
            “Siapa bilang denai bimbang menghadapi Puti Rinjani. Denai sangat rindu padanya. Tapi sekarang denai sedang sibuk. Baiklah, kalau tidak ada perubahan, denai akan ke P.”
            Telepon di seberang sana putus. Slang mematikan  di samping ranjangnya. Ia kembali tidur. Dan di luar rembulan tumbuh bersinar cemerlang. Saat yang sama Gugum berada dalam kamarnya. Sumiati terhampar di ranjang, perempuan itu gelisah, berulang kali mendesah. Sesekali mengerling pada suaminya itu. Lelaki itu menengadah ke langit-langit.
            “Saya lelah,” bisik Gugum. Dia membelakangi Sumiati.
            Sumiati turun dari ranjang. Ia nyalakan lampu kamar seraya duduk di depan kaca. Perempuan itu becermin. “Saya masih cantik,” berbisik ia sendiri. Kenapa suaminya akhir-akhir ini, nyaris tak menyentuhnya.
            Dulu, betapa pun sibuknya Gugum, ia masih sempat menyebadaninya. Kendati pun sekali seminggu. Namun ketika mereka bercinta, Gugum sangat jantan, sejantan tindakannya dalam tugas lapangan.
            Sumiati mengerling ke ranjang. Gugum tidur pulas dengan menutup wajahnya dengan selimut. Perempuan itu mengeluh,”Perkawinan ini kian rapuh. Aagaknya ada perempuan lain, selain saya,” perempuan itu membatin.
            Gugum sebenarnya belum tidur, di balik selimut pikirannya menerawang pada Olivia. Gadis itu amat sempurna dalam pikirannya. Oly jauh lebih muda dari Sumiati. Gadis itu selalu tersenyum dengan bibirnya basah. Suaranya mendesah bila berbicara, tubuhnya harum, kulitnya cemerlang berkilau bagai pualam Cina.
            Sayangnya, Oly adalah gadis yang jinak-jinak merpati. Dalam beberapa pertemuan dengan Oly, Gugum hanya bisa mencium sekali. Lembut dan syahdu. Besok adalah hari terakhir, dia dan Oly bertemu. Gadis itu akan show di Singapura.

*
           
Keesokan malam Gugum hadir lebih cepat dari biasanya di Diskotik & Pub. Oly merapatkan bahunya ke tubuh lelaki itu. Gugum seperti di awang-awang. Aroma bau tubuh Oly membuat laki-laki tersebut mabuk kepayang.
            “Saya tidak ingin berpisah denganmu.”
            “Saya juga.”
            “Tapi kamu akan pergi,” ujar Gugum dengan nada khawatir. “Saya ingin malam terakhir ini, kita mempunyai kesan tak akan terlupakan,” sambungnya. Ia meremas jemari Oly lembut.
            Dalam keremangan cahaya lampu diskotik, Oly menatap Gugum. Tatapan itu menggoda Gugum. Tiba-tiba ia mencuri sebuah ciuman di bibir itu. Lama mereka saling menyatu. Nafas Gugum tersengal-sengal. “Malam ini adalah malam spesial kita,” desah Gugum. Oly mengangguk.
            Pertemuan kedua anak manusia ini memang telah dilewatkan dengan istimewa. Mereka telah jadi sepasang kuda binal, berlari kencang di padang rumput cinta. Kuda jantan mendengus-dengus. Dan kuda betina meringkik ketika kuda jantan meracak dari belakang.
*

            Cuaca kota P sering tak menentu tahun ini. Kadang panas menyengat, dan mendadak turin hujan lebat. Senja itu Nadia berjalan ke terminal Angkot di Pasaraya. Gerimis ketika itu.
            Saat Nadia hendak naik Angkot, tiba-tiba ia diserang oleh dua orang lelaki tak dikenal. Mereka menyumpal mulut Nadia. Gadis itu hendak berontak tapi Nadia mencium bau tak sedap. Bau yang membuat ia pusing dan lemas seketika. Setelah itu Nadia tidak mengetahui apa yang terjadi.
            Ketika Nadia siuman, ia mendapatkan dirinya tergolek di ranjang. Nadia bangkit dan duduk di pinggir ranjang. Di manakah saya? Ia menggumam.
            Tiba-tiba pintu terbuka. Di pintu berdiri seorang lelaki. Lelaki itu tersenyum pada Nadia saat menutup pintu. “Sudah lama kita tak jumpa, wahai manis,” sapa Anurangga mendekat.
            Terperanjat Nadia, ia tak menyangka akan bertemu dengan raja muda itu kembali. Entah berapa kali ia bertemu dengan Anurangga, pada setiap zaman yang berbeda. Akan tetapi masih tetap sama yaitu maksud Anurangga untuk mempersunting dirinya. Menikahi dia, Puti Rinjani.
            Anurangga duduk di sofa yang ada dalam kamar. Dia menghamparkan lengannya di sandaran sofa. “Ke marilah Rinjani. Denai telah lama merindukan pertemuan ini,” lelaki itu menepuk jok sofa. “Duduklah di sini, sayang. Marilah kita bicara baik-baik.”
            Mual perut Nadia mendengar rayuan Anurangga. Gadis itu tak beranjak dari pinggir ranjang. Kepalanya masih terasa pusing karena bius yang disumpalkan dua lelaki tak dikenal di terminal Angkot tersebut. Nadia mengatur nafas, ia menghirup udara sedalam-dalammya. Lalu menghimpun hawa murni dalam dada, kemudian menurunkan ke perut. Perlahan-lahan ia hembuskan. Kini Nadia merasa kondisinya lebih baik.
            Tak sabar agaknya Anurangga menunggu kedatang Puti Rinjani. Ia melangkah mendekati dan berdiri di hadapan Nadia yang masih duduk di pinggir ranjang.
            Nadia memalingkan wajah ke samping ketika Anurangga membelai rambutnya. “Jangan sentuh saya. Tinggalkan saya sendirian.” Gadis itu menjauh beberapa jengkal dari lelaki tersebut.
            Anurangga menggeleng halus. Ia tatap gadis tersebut lekat-lekat seakan-akan hendak melahapnya bulat-bulat. Memang! Sekinyong-konyong ia merangkul Nadia.
            Nadia menjerit. Gadis itu berontak, ia menyikut Anurangga. Anurangga terbungkuk, meringis. Gadis itu melompat ke depan. Matanya mencorong tajam penuh kemarahan.
            Lelaki itu ketawa terbahak-bahak. “Kamu tidak bisa lolos dari kamar ini,” ujar Anurangga. “Marilah kita bersenang-senang. Dan malam ini kamu resmi menjadi permaisuri denai,” sambung Anurangga.
            “Lebih baik saya mati dari pada menuruti kehendakmu!”
            “Ooo, begitukah?” Anurangga tersenyum. Ia mementangkan lengannya. Tiba-tiba menubruk Nadia yang berdiri mepet ke dinding.
            Nadia berputar, ia melepaskan tendangan ke selangkang Anurangga. Lelaki itu berkelit seraya menangkap kaki Nadia. Gadis itu hilang keseimbangan karena Anurangga begitu cepat menjatuhkannya. Ketika Nadia telentang di lantai, Anurangga menindihnya dan menjepit dengan sepasang lutut yang ditekuk.
            Anurangga tersenyum riang. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Nadia, ia mencium bibir gadis tersebut. Nadia berontak. Tetapi lutut Anurangga telah mengunci pinggang Nadia. Lelaki itu dengan beringas mencium wajah Nadia.
            Gadis itu tidak putus asa, ia berusaha membuka kuncian lutut Anurangga. Ia beringsut di lantai bagai seekor ular yang hendak melepaskan kulit atau bersilih kulit. Jurus tersebut tampaknya menggoyahkan jepitan Anurangga. Nadia lepas dari kungkungan laki-laki tersebut. Ia bangkit dan mundur beberapa langkah.
            “Saya suka permainan ini. Makin binal engkau semakin bangit birahi denai. Ha…ha…ha!”
            Nadia tetap waspada. Ia bersiap menunggu serangan Anurangga selanjutnya.
            Menapak maju Anurangga. Matanya mencorong tajam. Tubuhnya tiba-tiba bergetar. Lelaki itu merapalkan ilmu “Serat Akar Lunang” Rambut di kepalanya mencuat naik. Dan sekonyong-konyong sepasang lengannya berubah jadi akar hidup.
            Nadia balas menatap tajam ke arah lawannya. Agaknya kali ini Anurangga tidak main-main. Lelaki itu benar-benar ingin menangkap dirinya. Justru karena itu, Nadia pun bersiap dengan jurus Selendang Dunia. Zaman dahulu jurus Selendang Dunia pernah mengguncang dunia persilatan. Jurus tersebut mengutamakan kelincahan dan kelenturan tubuh.
            Kedengaran suara mendesis, sepasang lengan Anurangga bergerak menyerang Nadia. Sementara itu, gadis tersebut melangkah lincah bagai seorang penari. Serangan-serangan lengan akar hidup hanya menyentuh angin kosong.
            Kian beringas Anurangga, sepasang lengannya menyambar ke sana sini. Kadang menghantam lemari yang ada dalam kamar. Lemari itu porak-poranda. Benda-benda yang ada di kamar tersebut centang perenang. Namun sampai saat itu, belum satu pun serangan Anurangga mampu menyentuh ujung pakaian Nadia atau Puti Rinjani.
            Tiba-tiba pintu kamar diketok dari luar. Anurangga tertegun. Ia mengatur nafas sejenak. Sepasang lengannya kembali seperti sediakala. “Baik. Kita hentikan permainan ini sejenak,” kata Anurangga kesal. Ia lalu menoleh ke pintu. “Siapa itu!”
            “Saya Slang, Tuanku,” sahut suara dari luar.
            “Mau apa kamu!”
            “Tuan Logos mau bicara dengan Tuanku.”
            “Oya. Tunggu denai di lobi,” ujar Anurangga berusaha setenang mungkin. Kemudian ia menatap Nadia yang masih berdiri memasang kuda-kuda. “Tenanglah Rinjani. Denai akan kembali. Dan permaian ini akan kita lanjutkan lagi.” Sejenak Anurangka membereskan pakaiannya yang kusut karena pertarungan tadi. Ia melangkah ke pintu. Sebelum keluar ia berkata,”Denai ingatkan, kamu jangan coba-coba melarikan diri. Kamar dabn hotel ini telah dikawal ketat!”
            Nadia mendengus cemooh mendengar ancaman Anurangga.
            “Nanti karyawan hotel akan membereskan  kamar kita.” Anurangga seraya membuka pintu. Lalu mengunci pintu dari luar.

            Di lobi menunggu Logos dan Kompe. Di sana juga menunggu Slang dan Kucing Air Kuning. Wajah Logos tampak kelabu, sesekali ia melihat foto-foto yang tergenggam di tangannya. Gerahamnya gemeretak.
            “Malam,” Anurangga menyapa Logos.
            “Malam juga.”
            “Oya. Kenapa tuan begitu mendadak menemui denai?” Anurangga mengerling ke foto-foto yang ada di tangan Logos.
            Tuan Logos menggelar foto-foto tersebut ke atas meja. Foto-foto itu menampilkan potret Gugum dan Olivia beradegan suami istri. “Potret ini saya terima dari Slang. Tapi saya tidak tahu siapa gadis ini,” kata Tuan Logos seraya menatap tajam pada Slang.
            Anurangga mendoyongkan tubuhnya ke sandaran sofa di lobi. “Ini namanya pornografi. Dan adegan ini tidak pantas dilihat oleh orang terpandang seperti kita,” tukas Anurangga. Lelaki itu mengambil sebuah foto, ia mengamati dengan cermat. Manggut-mangut ia. Lalu menatapfoto itu kembali, berulang-ulang. Tersirap darah Anurangga. Tapi ia bimbang lagi, Anurangga berusaha mengusir dugaannnya. Ia biarkan foto tersebut menggeletak di atas meja. “Siapa nama gadis ini, Silangkaneh?”
            Ditanya mendadak seperti itu, Slang gugup. Ia berpikir sejenak. “Informasi yang saya terima, namanya Olivia.” Gelisah Slang di tempat duduknya. “Ia keponakan Wacong,” sambung lelaki banci tersebut.
            Anurangga termanggu, ia menopang dagunya dengan tangan. “Sungguh denai tidak percaya,” bisiknya dalam hati.
            “Panggil Wacong!” Tuan Logos memberi perintah pada Kompe. Kompe mengangguk. Segera lelaki tesebut berangkat menuju Diskotik & Pub.
            Sejenak suasana seperti malaikat lewat. Semuanya diam. Mereka saling bertukar pandang. “Kucing Air Kuning, kamu jaga kamar denai. Jangan biarkan gadis itu lolos,” perintah Anurangga pada manusia kucing tersebut. Kemudian ia beralih pada Slang, “Kamu bilang pada petugas hotel agar menyediakan ruangan khusus untuk kita.”
“Saya tidak menduga Gugum berbuat sebodoh ini, “ kata Logos ketika berada di ruangan khusus. Wajahnya kaku memandang Slang. Juga ketika menatap Anurangga.
“Denai juga heran. Kenapa staf tuan begitu gegabah. Namun semuanya telah terjadi,” balas Anurangga datar. Tatkala itu Kompe datang bersama Wacong. Tampak kekhawatiran di wajah Wacong.
“Tuan memanggil saya?” Wacong berkata terbata-bata.
“Ya, saya ingin tahu. Apakah gadis selingkuh itu keponakanmu?”
Hangat terasa sofa yang diduduki Wacong. Ia gemetar akan pertanyaan tersebut. Lalu mengerling pada Slang. Sementara itu Slang acuh tidak acuh. Dalam pada itu Wacong menjawab,”Ya, tuan.”
“Di mana dia sekarang?”
Semakin gemetar Wacong mendengar pertanyaan Tuan Logos tersebut. Ketika ia mengangkat wajahnya, ia bertemu pandang dengan Tuan Logos, mata lelaki tersebut memandang garang. Lalu Wacong beralih pandang pada Slang dan Anurangga. Ia semakin serba salah!
“Saya duga Gugum diperangkap. Tapi dia memang bodoh. Tuan Anurangga, saya kurang suka akan permainan ini. Kesatuan kami telah tercemar!”
Kerasnya pernyataan Logos, tidak membuat Anurangga tersinggung. Dia malah tersenyum. Laki-laki itu menggamit Slang agar mendekat. Slang datang menghampiri, mereka berbisik sejenak. Kelihatan Anurangga manggut-manggut.
“Tuan Logos…Hubungan kita tidak mungkin putus oleh hal sepele seperti ini. Tujuan kita adalah membersihkan “Sindikat Tanpa Bentuk” ini dari pengkhianat. Imbas dari sebuah pengkhianatan adalah robohnya organisasi. Dan denai khawatir pribadi anda pun ikut tercoreng.”
Ucapan Anurangga datar tanpa tekanan. Namun di telinga pendengarnya merupakan ancaman. Logos tahu bahwa pengaruh Anurangga sangat besar dan kuat di organisasi. Bahkan Logos mengetahui jaringan koneksi Anurangga sampai ke lembaga kepresidenan.
“Gugum segera saya pecat,” sahut Logos kemudian. “Namun keberadaan gadis yang bernama Olivia tersebut akan terus kami lacak. Bila perlu sampai ke Singapura!”
“Denai hormati keputusan tuan. Oya Slang, apakah engkau telah masukkan dana organisasi yang menjadi bagian Tuan Logos ke rekeningnya?”
“Sudah, Tuanku.”
Di luar gerimis telah reda. Logos dan Kompe berangkat. Lelaki itu tampak lelah. Wacong berlari-lari kecail mendekati Logos yang telah naik ke mobil, “Saya besok ke rumah bapak,” ujarnya.
Tuan Logos hanya mendegus.

**

Sepeninggal Logos Anurangga melangkah kembali ke kamarnya. Slang mengekor dari belakang. Lelaki banci tersebut agak sungkan mendekati Anurangga, ia takut akan diomeli lelaki itu.
Kucing Air Kuning berdiri di depan kamar. Ketika Anurangga muncul, manusia kucing tersebut memberikan kunci kamar pada Anurangga. “Aman, Tuanku. Dia telah tidur pulas,” manusia kucing melapor.
Saat hendak membuka pintu, Anurangga tercenung. Ia menunda niatnya untuk masuk ke kamar. Lalu mengajak Kucing Air Kuning dan Slang duduk di sofa yang tergeletak di ceruk kamar. “Ada sesuatu  yang ingin denai bicarakan.”
“Ada Tuanku?”
“Ya, Tuanku,” sahut Slang. Tetapi sebenarnya hati Slang mendua. Mendua karena ia takut didamprat habis-habisan. Menunduk Slang ke lantai, menyembunyikan wajahnya dari tatapan Anurangga.
“Di mana gadis selingkuhan Gugum itu kalian ambil?”
“Saya tidak mencarinya. Tuanku kan tahu, saya lebih suka memperkosa perempuan dari bermanis-manis pada mereka. Oleh karena itu, tugas mencari perempuan saya serahkan pada Slang,” ujar Kucing Air Kuning menuding Slang.
“Kamu menemukan gadis itu di mana?” Anurangga kini bertanya pada Slang.
Kelat kerongkongan Slang seketika. Seorang pelayan hotel melintas. Slang menggamit dan memesan minuman. “Saya minta es krim,” sela Kucing Air Kuning. Dan Anurangga pun memesan dua botol bir hitam. Lalu membuka matanya lebar-lebar menatap Slang.
“Saya memesan gadis itu pada Wacong,” Slang menjelaskan tentang gadis yang ditanyakan Anurangga.
“Apakah dia memang keponakan Wacong?”
“Wacong yang bilang begitu.”
Anurangga terdiam. Namun detak hatinya jadi lain. Anurangga curiga bahwa gadis itu bukan keponakan Wacong. Laki-laki tersebut sangat mengenal gadis tersebut. Gadis itu pernah masuk dalam kehidupannya. Sejenak Anurangga melupakan Puti Rinjani yang disekapnya dalam kamar. Pikiran Anurangga tertuju pada Oly gadis selingkuhan Gugum. Ada kekhawatiran dalam benak lelaki itu. Berkelabat kembali dalam ingatannya wajah Oly.
Malam terus merangkak. Di luar udara dingin. Ketiga orang tersebut mereguk bergelas-gelas bir hitam. Tersusun tujuh botol kosong dan tiga botol bir yang belum dituangkan ke gelas. Tentu saja Anurangga yang paling banyak minum. Ucapannya mulai melantur.
“Kapan ia bertemu dengan denai. Terus terang denai tidak pernah mengkhianati denai. Peristiwa itu adalah kecelakaan,” semakin menceracau tak menentu Anurangga. Mabuk!
“Puti Rinjani telah tidur pulas, Tuanku,” tukas Kucing Air Kuning.
“Biar. Biarkan dia tidur. Oya mana Silangkaneh!” Tiba-tiba Anurangga membentak. Pandangannya kabur. Di depannya hanya kelihatan kabut asap.
“Saya di sini, Tuanku.”
“Bagus. Kamu masih setia. Tapi kamu tidak mampu menghadirkan gadis itu pada denai. Kamu goblok!”
Pantat Slang seperti terbakar di atas sofa. Ia gugup mendapat bentakan Anurangga. “Gadis mana yang Tuanku maksud?”
Melotot mata Anurangga. Tapi cahaya mata itu redup. Kemudian melotot pada Kucing Air Kuning. Dada laki-laki tersebut turun naik bagai orang habis berlari jauh. Kadang ia meringis, kadang tersenyum. “Gadis itu bukan Oly. Gadis itu adalah….” Anurangga mengatupkan mata.
“Dia bukan Oly?”
“Siapa dia?”
Slang meneguk minumannya. Demikian juga Kucing Air Kuning. Mereka pun mulai mabuk. Saat itulah pintu kamar terbuka. Kucing Air Kuning dan Slang terperanjat. Mereka tahu, kunci kamar tersebut masih ada pada Anurangga.
Sementara itu Anurangga bermimpi di sofa. Ia naik kereta kuda bersama Puti Galang Banyak. Mereka menikmati pemandangan indah di pegunungan. Kereta kuda itu melaju kencang menyusuri jalan berkerikil. Kian lama kian jauh mereka meninggalkan Kotaraja.
“Ke mana kita kanda?” tanya Puti Bagalang Banyak.
“Hari ini kita menikmati udara segar. Denai sangat bahagia dapat bersama adinda,” Anurangga melingkarkan lengannya ke pinggang Puti Bagalang Banyak.
Berbunga-bunga hati perempuan itu. Tersenyum ceria Puti Bagalang Banyak menyambut pelukan lelaki tersebut. Selama ini raja muda itu sibuk mengatur pemerintahan bersama Maharaja Di Raja. Kadangkala muncul juga perasaan curiga di hari perempuan tersebut. Anurangga memang bukan tipe lelaki “rumahan”. Dia selalu tidak tenang bila berada di istana, berada di sisi istrinya, Puti Bagalang Banyak.
Puti Bagalang Banyak memang perempuan muda yang pandai dan cerdas. Tentu  ia tidak percaya begitu saja pada alasan sibuk yang dikatakan suaminya. Ia punya orang-orang untuk menyelidiki tingkah laku Anurangga. Bahkan ia pernah memergoki Anurangga melompat turun dari jendela seorang janda muda.
Sejak itu Puti Bagalang Banyak lebih suka berdiam diri. Ia lebih suka bertenun di anjungan perangin. Tapi hari ini Anurangga mendatanginya. Raja muda itu minta maaf seraya menunduk di kaki Puti Bagalang Banyak. Bahkan rasa bersalah bersebut dilahirkan Anurangga dengan mengajak istrinya menikmati keindahan alam Minangkabau.
Kereta kuda yang mereka kendarai terus melaju. Dalam perjalanan Anurangga terus memperlihatkan sikap mesra pada istrinya. Mereka makin jauh meninggalkan Kotaraja. Suatu saat mereka melintasi hutan yang di kanannya menganga jurang. Jurang tersebut dikenal nama “Jurang Satungka Banang”. Jika melihat ke bawah akan terlihat kabut asap mengambang.
Perempuan itu merapatkan tubuhnya ke dalam pelukan Anurangga. Semakin berbunga-bunga hatinya ketika Anurangga mencium keningnya.
Semakin jauh dan semakin jauh kereta kuda mereka bergerak. Matahari bersinar menembus dedaunan, jatuh ke kereta kuda yang sedang berpacu kencang itu. Cemeti di tangan Anurangga berulang-ulang memecut punggung kuda.
Roda-roda mengelinding melintasi tanah basah bewarna merah. Sekonyong-konyong kuda itu meringkik. Sebuah pohon tumbang, Anurangga menarik kekang kuda. Roda kereta tergelincir. Anurangga melompat turun ketika kereta kuda tersebut meluncur deras ke Jurang Satungka Banang.
Kedengaran pekik pilu Puti Bagalang Banyak.
Sekonyong-konyong kedengaran bunyi gemerincing gelang. “Apakah kanda menunggu hamba?” Suara merdu menyapa Anurangga yang sedang tidur pulas di sofa. Lelaki itu tersentak. Dan terbelalak seperti melihat hantu.
Mulut Slang terbuka. Melongo dengan wajah bengong. Sementara itu Kucing Air Kuning gelisah di tempat duduknya. Tak beranjak mata mereka memandang perempuan muda tersebut. Perempuan muda dengan perhiasaan emas berbentuk gelang. Saat dia bergerak kedengaran gemerincing gelang yang demikian banyak itu. Di masa lalu mereke mengenal seorang perempuan yang berdandan seperti itu adalah Puti Bagalang Banyak.
“Puti…”
“Bukankah Puti telah….”
Puti Bagalang Banyak mendengus. Ia ketawa lepas. Lalu menyapukan pandangannya berganti-ganti. Pada Anurangga. Pada Slang. Pada Kucing Air Kuning. “Kalian boleh saja berencana membunuh saya. Tapi Tuhan belum mengizinkan saya mati. Dan sekarang kita berjumpa lagi dalam zaman lain,” ujar perempuan itu bersembilu.
“Saya hanya menerima perintah, Puti.”
“Saya juga.”
Mencibir Puti Galang Banyak mendengar ucapan Silangkaneh dan Manusia Kucing itu. Ia tatap leceh kedua orang tersebut. Lalu tersenyum sinis pada Anurangga. “Puti Rinjani telah saya lepaskan. Dan sekarang kita, kanda dan saya akan selalu bersama.” Perempuan itu melangkah mendekati Anurangga yang semakin bingung.
Terlambung Anurangga dari tempat duduknya. “Rinjani telah lolos. Di mana dia sekarang?”
Puti Galang Banyak ketawa lepas. Gemerincing di lengannya semakin ramai. Anurangga tidak mampu bergerak ketika perempuan itu duduk di sampingnya. Keringat dingi menetes di dahinya.
Slang dan Kucing Air Kuning mendadak jatuh pingsan!** (Bersambung...14)




SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (10 & 11)

10

Membakar Surau

Katib Agam tersentak, empu kaki kirinya berdenyut. Ia segera bangkit. “Astaghfirullah,” lelaki beristighfar. Dan menyapupan pandangan ke arah murid-murisnya yang sedang tidur nyenyak dalam surau itu.
Melangkah Katib Agam keluar mengambil wudhuk. Setelah itu kembali ke surau, lalu shalat Tahajut. “Ya, Allah. Engkau Maha Mengetahui. Saya serahkan diriku ke dalam takdir-Mu,” doa lelaki itu selesai shalat.
Lelaki itu membangunkan murid-muridnya. Mereka mengeliat, mengucek-ngucek mata. Bahkan ada yang menguap lebar-lebar. Agaknya tidur mereka belum puas. Memang jam dinding menunjukkan pukul dua dinihari. “Kalian segera bangun!” Katib Agam berseru lantang.
“Waktu subuh belum tiba, Buya.”
“Saya masih mengantuk, Buya.”
“Kalian boleh tetap tidur. Tapi kalian akan mati!” Terpaksa laki-laki itu berkata demikian untukmenakuti mereka.. Kalau tidak demikian, tentu mereka akan merebahkan tubuh kembali. Sementara itu firasat Katib Agam sangat keras akan terjadi sesuatu di surau itu.
Para murid tersebut membelalak, penuh ketakutan. Wajah mereka tampak pucat. Kematian? Betapa menakutkan kematian itu. Pikiran mereka menjalar jauh. Betapa mereka digotong ke pekuburan. Lalu dimasukkan ke dalam lobang kubur. Dan setelah pengantar beranjak tujuh langkah dari kubur, mereka terbangun. Oh, alangkah gelapnya dalam kubur tersebut.
“Kalian harus mengungsi dari surau ini. Semua kita dalam bahaya,” Katib Agam menjelaskan.
“Siapa yang ingin mencelakai kita, Buya?”
“Jangan banyak tanya. Segera turun dari surau ini. Jabir, bawa teman-temanmu ke masjid di seberang sana. Kalian menginap di sana. Kalau sudah aman, akan saya jemput,” perintah Katib Agam pada Jabir murid tertuanya itu.
“Baik Buya,” sahut Jabir setelah tertegun sejenak. Memelas tatapannya pada Katib Agam. Cemas remaja tersebut akan nasib gurunya itu. Karena ada rasa khawatir, Jabir bertanya,”Kalau memang ada bahaya, kenapa Buya tidak ikut bersama kami?”
“Pergilah. Jangan pikirkan saya!”
Jabir tidak membantah lagi. Ia segera memimpin teman-temannya menyeberang menuju masjid. Jarak antara surau dan masjid tidaklah begitu jauh. Murid-murid itu berjalan kaki ke sana, tidak sampai setengah jam, mereka telah tiba. Seperti pesan Katib Agam, mereka langsung merebahkan diri di masjid.
Ayam berkokok tanda perkisaran waktu. Dua unit kendaraan masuk ke jalan gang, sebuah jip dan satu truk. Kendaraan tersebut berhenti di depan surau.
Katib Agam duduk tafakur di mihrah surau, dalam gelap. Pintu surau terbuka lebar. Dari mihrab surau Katib Agam melihat puluhan orang bersenjata melompat turun, dari atas truk. Dan dari jip turun tiga orang. Beeamaan dengan itu ia mendengar deru sepeda motor.
“Dia telah tahu kedatangan kita,” ujar Slang. “Gugum, perintahkan anak buahmu masuk ke surau,” sambungnya seraya menoleh pada Gugum dan Kompe.
“Jangan. Biar saya bicara dengan Katib Agam,” sahut Gugum. Tapi ketika ia kan melangkah, Slang menahannya. Slang mengerling pada Kompe,”Seret Katib Agam ke mari!”
Terpengaruh Kompe bagai kena hipnotis oleh ucapan Slang. Tanpa banyak bicara laki-laki itu lalu mengajal dua orang anak buahnya naik ke surau. Slang tersenyum. Dia memang amat benci pada Katib Agam. Ia masih ingat, ketika mereka hidup di zaman lampau. Katib Agam pernah mempermalukannya. Slang diikatkan pada sebuah pohon rambutan yang penuh semut karanggo. Memekik histeris Silangkaneh ketika semut tersebut menjalari sekujur tubuhnya. Sungguh tersiksa dia, sampai terkencing-kencing dalam celana. Kini Slang atawa Silangkaneh berharap dengan “serangan” ke surau tersebut, dendamnya akan segera terbalas.
Tanpa membuka sepatu, Kompe dan anak buahnya sudah berada di teras surau. Namun ketika menginjak lantai teras, tiba-tiba mereka merasakan sesuatu kekuatan mendorong keluar. Maka Kompe dan kedua anak buahnya terlempar, jatuh terhenyak di halaman. Susah payah mereka bangkit kembali.
“Katib Agam. Keluar kau!” Kompe berteriak marah.
“Pintu terbuka lebar. Masuklah!”
Kompe memberi isyarat pada kedua anak buahnya. Segera mereka mengokang senjata. Lalu ketiga orang tersebut kembali melompat ke teras. Seperti tadi, mereka pun terdorong keluar oleh tenaga tanpa ujud. Kembali tumpang tindih di halaman surau.
Hilanglah kesabaran Kompe, ia memberi aba-aba. “Tembak!”
Berhamburan peluru-peluru dari senjata otomatis mereka. Kumbang-kumbang api tanpa sayap itu melesat menyerang Katib Agam yang duduk di mihrab. Saat itu pula Katib Agam bangkit seraya mengibaskan tangannya. Mustahil. Tapi itulah kenyataan. Peluru-peluru yang melesat kencang bagai kilat itu, rontok ke lantai!
Slang mengusap wajahnya. Laki-laki itu stres seketika. Kemudian ia menoleh pada Kucing Air Kuning dan Kucing Air Merah. “Katib Agam tidak mempan oleh senjata modren. Dia juga manusia abadi seperti kita juga,” gumam Slang.
“Kalau begitu, biar kami berdua maju,” sahut Kucing Air Kuning.
“Tunggu dulu,” tukas Slang. Berpikir sejenak ia. Tiba-tiba berteriak lantang,”Bakar surau itu!”
Puluhan serdadu bergerak cepat, mereka menuangkan bensin dari jerigen yang memang telah dipersiapkan dalam penggerebekan ini. Tidak berapa lama kemudian api menggelora membakar surau tersebut. Dan bangunan pasentren yang berdekatan dengan surau pun terbakar.
Katib Agam melompat dari surau. Lelaki itu disambut oleh tembakan gencar. Berkelabat lelaki tersebut bagai seekor rajawali yang menyambar ke sana-sini. Dua sampai tiga serdadu terkapar kena terjangannya.
“Jangan dekati dia!” Slang berseru memperingatkan, sebab setiap Katib Agam berkelabat menyerang serdadu yang berada paling dekat terkapar. Lelaki itu memukul dan tinju lawan-lawan yang mengeroyoknya.
Dan ketika Katib Agam mendengar seruan Slang, ia segera menghambur ke arah laki-laki banci itu. Terlambat Slang menghindar. Katib Agam menelikung lengan Slang, lalu ia putar ke belakang. Wajah Slang dicecahkan ke tanah.
“Wooowww. Kamu sadis amat,” raung Slang. Slang merasakan seolah-olah lengan itu lepas dari bahunya.
Beberapa orang serdadu siap menembak ke arah Katib Agam.
“Jangan bertindak bodoh. Kalau kalian menembak. Saya bisa mati!” Slang memekik.
Serdadu-serdadu itu mundur.
Tiba-tiba kedengaran suara kucing meraung. Lalu dua sosok kuning dan merah menerjang ke arah Katib Agam. Katib Agam melepaskan Slang seraya berkelit.
Slang merangkak di lumpur, kemudian dengan susah payah ia bangkit. Banci itu mendelik pada Katib Agam. “Kamu jangan bangga dulu Katib. Sebentar lagi kau akan koyak-koyak disuntih sepasang Kucing itu.”
Katib Agam mendengus. Ia bolak-balik memandang Kucing Air Kuning dan Kucing Air Merah. “Agaknya kalian telah bisa menyesuaikan diri dengan dunia modern,” cemooh laki-laki itu. “Rambut kalian mirip penari “baruakden”(break dance).”
Sepasang Manusia Kucing mengeong. Lalu menyeringai memperlihatkan taring mereka. Rambut mereka mencuat naik, lurus menjulang bagai duri landak. Di tangan mereka masing-masing tergenggam sepasang sabit atau clurit. Senjata tersebut merupakan senjata andalan mereka. Konon kabarnya, sepasang manusia kucing ini hanya setingkat di bawah Anurangga, ilmu silatnya.
“Katib Agam. Kamu akan berkubur di sini!”
“Kepalamu akan terpisah dari badan!”
Kembali Katib Agam mengeluarkan suara dari hidung, mencemooh ucapan sepasang manusia kucing tersebut. Ia memasang kuda-kuda, agak membungkuk tubuhnya. Mata laki-laki itu mencorong tajam mengikuti gerak-gerik lawan.
“Wooooowww!”
“Ngeoooongg!”
Sepasang sabit yang tergenggam di tangan mereka melesat menyerang Katib Agam. Serangan itu cepat dan ganas. Hawa kematian membersit dari sepasang manusia kucing tersebut.
Berkelabat Katib Agam, lengannya mengibas mantap, langkahnya ringan dan lincah. Lima jurus telah berlalu, gerakan-gerakan mereka bertarung semakin cepat.
Gugum, Kompe dan para serdadu melongo melihat pertarungan itu. Seakan-akan mereka sedang menyaksikan film laga di layar kaca. Sementara itu api terus menjalar membakar surau. Bunga-bunga api melayang-layang bagai kunang-kunang ke udara. Dinding surau yang terbuat dari papan mengeropos berderai. Tiang tua yang menyanggah bangunan surau dijilat api!
Lewat dua puluh jurus pertarungan berlangsung, Katib Aagam agak terdesak menghadapi sepasang manusia kucing tersebut. Nafas tua lelaki itu mulai tersengal-sengal. Sebaliknya, Kucing Air Kuning dan Kucing Air Merah semakin meningkatkan serangannya.
Sebuah tebasan menyilang dari Kucing Air Kuning melukai lengan kiri Katib Agam. Namun semangat laki-laki tersebut tetap gigih memberikan perlawanan. Ia berkelit , mengibas dan berkelabat. Seraya menyapu kedudukkan kuda-kuda lawan.
“Senjata modern mungkin tak mampu melukai kulitmu. Tapi clurit kami adalah senjata ampuh. Kamu akan mati sebentar lagi!”
“Wooouuw. Meeooong!”
Serentak sepasang manusia kucing itu menebas, menebas dari kiri dan kanan. Katib Agam membungkuk serendah mungkin. Ia terhindar dari serangan Kucing Air Merah. Akan tetapi tebasan Kucing Air Kuning berhasil menebas betis Katib Agam.
Dalam pada itu, tiang tua surau berderak-derak hendak roboh. Katib Agam seraya berjumpalitan. Ia terhuyung di teras. Darah segar di lengan kiri dan betis kanannya tampak meniris. Pintu surau pun roboh.

Saat genting itulah kedengaran bunyi “Tiiiinggg!”
Sepasang Manusia Kucing tertegun. Semula mereka hendak menghabisi Katib Agam. Namun ketika mendengar suara dentingan keras tersebut. Nyali mereka mendadak ciut. Mereka saling bertukar pandang. “Bukankah itu suara Kecapi Naga?” Kucing Air Kuning seperti bertanya kepaka dirinya sendiri.
“Nago Salapan telah muncul!”
Lewat cahaya api yang bergelora, dari ujung gang sana tampak sosok bayangan mendekati Katib Agam. Sosok itu memang Nago Salapan. Anak muda itu memondong Katib Agam. Tatkala itu pun pintu surau dan tiang tua roboh. Akan tetapi Katib Agam dapat diselamatkan Nago Salapan.
“Maaf Buya, saya terlambat,” ujar Nago Salapan seraya merebahkan Katib Agam di pangkuannya.
Katib Agam batuk-batuk. “Manusia kucing itu terlalu tangguh buat saya. Tapi yang paling saya sesalkan, mereka telah membakar surau dan pasentren.”
“Jangan pikirkan semua itu. Mereka akan saya hadapi,” tukas Nago Salapan.
Melihat Katib Agam dapat diselamatkan Nago Salapan, Slang menyeruak di antara serdadu-serdadu tersebut. Banci itu menuding ke arah Nago Salapan yang menyinggir ke bawah pohon manggis. “Kamu kira akan bisa menyelamatkan Katib Agam? Jangan bermimpi dulu. Dua temanku, Kucing Air Kuning dan Kucing Air Merah segera akan menghabisi kalian!”
Tersenyum Nago mendengar ocehan Slang. Ia tinggalkan Katib Agam yang bersandar di bawah pohon manggis. Melangkah anak muda tersebut beberapa tindak. “Dari zaman ke zaman engkau memang tidak pernah berubah. Kerjamu hanya menghasut dan memfitnah. Dan kepiawaian engkau yang paing menonjol adalah memikulkan beban kepada orang lain.”
Mendengar komentar Nago tersebut, banci itu menggeliatkan tubuh bagai seorang gadis manja. Tapi kemudian ia mendelik penuh emosi. “Wahai kucing kembar yang perkasa. Kalian tunggu apa lagi. Binasakan dia!”
“Meeooonggg!”
“Wooouuw!”
Sepasang Manusia Kucing itu terbakar oleh hasutan Slang. Mereka membungkukkan tubuh sepasang tangan mereka menyentuh tanah. Sesaat kemudian melayang ke arah Nago Salapan. Clurit di tangan mereka masing-masing menebas. Senjata sepasang manusia kucing itu, berkelabat ke arah Nago, menebas di kiri dan kanan.
Nago waspada. Ia waspada akan keganasan serangan senjata lawan. Langkah lelaki tersebut ringan berkelit. Kadang ia mengapung bagai kupu-kupu. Beberapa kali berhasil mengetok kepala Kucing Air Kuning dan Kucing Air Merah.
Merasa dipermainkan lawannya, sepasang Manusia Kucing itu segera merubah cara menyerang. Di mana tadi mereka menyerang silih berganti, sekarang berubah. Mereka menyerang berbarengan tapi sasarannya berbeda. Jika Kucing Air Merah menyerang bagian atas, maka Kucing Air Kuning menyerang bagian bawah.
Ternyata serangan itu telah terbaca oleh Nago Salapan. Dengan mengandalkan kelenturan tubuh, Nago menyelinap di antara serangan-serangan berbahaya tersebut. Bahkan Nago berhasil membanting Kucing Air Merah dengan sapuan kaki.
“Woooouuuw!”
Kucing Air Merah berguling di tanah. Tapi segera bangkit. Manusia kucing itu menyeringai menatap Nago. “Woooouuw!” Belum habis suara “meong” manusia kucing itu, dia lantas menghambur kembali menerjang lawannya. Dan saat yang bersamaan Kucing Air Kuning pun menerjang. Kedua Manusia Kucing tersebut melencarkan serangan beruntun.
Terlambat sepersekian detik Nago menghindar, kedengaran kain robek! Celana Nago di bagian paha robek melebar. Dari sana meniris darah segar. Terasa perih luka tersebut bukan alang kepalang, akibat tebasan clurit lawan.
Sepasang manusia kucing ketawa melengking. Riang mereka menyaksikan lawannya yang tangguh itu terluka.
“Nago! Nasibmu tidak lebih baik dari Katib Agam,” ujar Kucing Air Merah gembira.
Ayam berkokok. Nago Salapan menggigit bibir sesaat. Ia lalu merobek celananya yang tertebas clurit, semakin lebar sobekan itu. Kemudian laki-laki itu meludahi telapak tangannya, lalu ia barutkan ke luka di paha kirinya tersebut.
Sepasang Manusia Kucing saling berpandangan. Kemudian saling mengangguk. Tiba-tiba menerjang serentak. Kucing Air Merah menebas leher, dan Kucing Air Kuning menebas pinggang lawannya itu.
Agaknya serangan kilat bagai kilat menyambar itu tidak mungkin ditangkis atau dielakan Nago. Memang! Nago hanya diam tak bergeming, tak bergerak sedikit pun.
Ayam berkokok lagi. Bunga-bunga api terus melayang mengudara. Surau Katib Agam semakin dilalap api. Saat yang bersamaan Nago Salapan merentangkan lengannya, menjulang ke angkasa. Clurit sepasang manusia kucing mendarat di leher dan pinggang Nago Salapan. Dan saat itulah melayang sepasang benda putih berkilau.
Katib Agam yang bersandar di pohon manggis beristigfar. Lalu menyapu wajahnya. Serdadu-serdadu terbelalak. Slang menganga. Ayam berkokok bersahut-sahutan.
Sepasang benda putih yang berkilau tersebut adalah senajata kedua manusia kucing, yang tadinya menyerang leher dan pinggang Nago. Clurit-clurit itu membalik kembali kepada pemiliknya, Kucing Air Merah dan Kucing Air Kuning. Leher Kucing Air Merah terasa dingin. Kemudian terkulai! Dan pinggang Kucing Air Kuning robek dengan luka lebar. Manusia kucing itu terhuyung-huyung.
Ternyata, Nago Salapan saat merentangkan lengannya ke angkasa, ia sedang merapalkan ilmu “Balik Awah”. Suatu ilmu hawa murni yang mampu membalikkan serangan atau benda apapun yang berasal dari lawan. Konon pemilik ilmu “Balik Awah” tersebut mampu membalikkan arus sungai dari hilir kembali ke hulunya.
Tertatih-tatih Slang mendekati sepasang Manusia Kucing itu. Terperanjat ia melihat luka besar menganga di pinggang Kucing Air Kuning. Banci itu mengguncang bahu Kucing Air Kuning. Manusia kucing itu merintih lemah. Lalu Slang mendekati Kucing Air Merah, Slang terpana. Leher Kucing Air Merah nyaris putus. Dan laki-laki tersebut tak bernyawa lagi.
Tiba-tiba langit seperti rengkah. Tampak kilatan cahaya jatuh pada tubuh Kucing Air Merah. Tubuh manusia kucing merah itu terbakar jadi abu. Abu itu melayang seperti ditipu angin dan jatuh di atas ubun-ubun Nago Salapan.
Petir menggelegar. Kilat menyambar. Sekujur tubuh Nago bergetar. Ia meraung bagi naga.
**



11

Perangkap

Ketika Nadia kembali ke Sungailareh, Sabar mengabarkan bahwa ada yang mencarinya. “Siapa yang mencari saya. Laki-laki atau perempuan?” tanya gadis itu.
“Mereka berdua, keduanya laki-laki.”
“Laki-laki. Siapa ya?”
“Seorang bernama Nago. Dan laki-laki yang lebih muda dipanggil Atos. Akan tetapi laki-laki yang bernama Nago menaruh perhatian padamu. Agaknya kalian berpacaran, ya.”
Gerah seketika wajah Nadia mendengar ucapan Sabar. “Ah, Pak Sabar pintar juga bercanda,” sahut Nadia seraya ketawa polos. Sesaat kemudian gadis itu mengalihkan pandangan ke kandang bebek. Seekor bebek jantan mengejar bebek betina. Bebek betina menghindar ke semak di pinggir kolam sana. “Lalu apa yang dikatakannya.”
Sabar menggaruk kepala, sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu. “Oya, ia berkata suatu saat akan kembali ke sini. Ia sangat rindu padamu.”
Berbunga-bunga hati Nadia mendengar penuturan Sabar. “Saya juga rindu padamu,” kata gadis itu dalam batin. Sejenak Nadia mencuri pandang pada Sabar, laki-laki tersebut batuk-batuk kecil. Tampak itu maklum akan perasaan Nadia. Ia kemudian memanggul ranting kayu buat junjungan tanaman kacang panjang, dan berjalan ke ladang yang terletak di halaman belakang.
Di teras depan duduk Ibu kost, ia memandang ke jalan. Sementara itu Nadia menyiram bunga-bunga yang tumbuh di depan. Tatkala itu telah sore. Dan di sore hari tersebut berhenti sebuah mobil. Dari mobil turun Mori dan Sarah. Sarah mendahului masuk ke halaman.
“Nadia!” Sarah bersorak riang seraya berlari mendekati Nadia.
Kedua gadis itu berpelukan. “Dari mana kamu kami tinggal di sini?” tanya Nadia.
Sejenak Sarah mengatur nafas. “Sungguh panjang ceritanya sehingga saya tahu di mana kamu tinggal,” tutur Sarah. Dalam pada itu Mori pun melangkah masuk ke halaman. Nadia mengajak keduanya naik ke rumah. Tiba di atas rumah tak tahan lagi, Sarah memeluk Ibu kost,” Saya sangat merindukan Ibu,” ujar Sarah sambil mencium perempuan tua itu.
Suasana pertemuan tak terduga itu jadi ramai. Masing-masing mereka menuturkan kisahnya. Sementara itu Ibu kost melangkah ke belakang, membiarkan ketiga anak muda itu bercakap-cakap
“Saya akan pagelaran di Malaysia. Dan kamu masih punya peluang untuk ikut,” kata Mori pada Nadia.
Nadia diam.
“Saya juga ikut Nadia,” sela Sarah.
Angin semilir menyapu rambut Nadia. Gadis itu menelisik rambutnya dengan jemari. Sepertinya ia sedang berpikir. Beberapa jenak kemudian ia menyahut,”Tapi saya belum berlatih bersama kalian. Lagi pula saya belum bicara dengan Bu Narni.”
“Saya sudah bicara pada Bu Narni. Dia oke-oke saja,” tukas Mori. “Di samping itu akan ikut bersama kita Pak Mustafa. Kamu kenal Pak Mustafa kan?”
“Ya, bukankah dia orang dekat Walikota? Saya pernah ke rumahnya di Lubukminturun.”

Berebut senja Mori dan Sarah meninggalkan rumah Ibu kost. Nadia mengantar mereka ke mobil. “Hati-hati di jalan,” ujar Nadia. Mobil yang ditompangi Mori dan Sarah kembali lewat kampung Lolo arah selatan.
Sementara itu Anurangga sedang rebah-rebahan di ranjang hotel berbintang di kota P ini. Matanya berkedip-kedip memandang langit-langit kamar tersebut. Pikirannya menerawang jauh melintasi zaman. Tatkala itu ia bertemu dengan Ibusuri, Puti Campa.
“Kamu telah mendapatkan segala-galanya di negeri ini. Kekuasaan, harta dan perempuan. Lalu buat apa kamu gelisah begini,” ujar Puti Campa.
Anurangga menghela nafas perlahan. Kemudian ia menjawab dengan hati-hati ucapan Ibusuri tersebut. “Apa yang Ibusuri katakan itu, telah cucunda maklumi. Hamba adalah pangeran pertama di negeri ini, memiliki kekuasaan di bawah Maharaja Alam. Punya banyak selir dan perempuan-perempuan muda yang cantik. Tapi ada yang mengganjal dalam pikiran hamba.”
“Kamu menginginkan Puti Rinjani?”
“Ya, hamba menginginkan Puti Rinjani. Menurut tambo gadis itu itu akan menurunkan ras terpilih di muka bumi ini. Jika ia hamba nikahi maka sempurnalah kekuasaan hamba.”
“Cucunda Anurangga. Tidak semua apa yang diingini manusia dapat diraihnya. Engkau sudah mendapatkan Puti Galang Banyak. Perempuan itu pintar dan cerdas. Kenapa kamu tidak membangun rumah tanggamu bersama dia. Maksud denai kenapa engkau tidak menyintai dia?”
Tunduk wajah Anurangga. Ia tidak tahan menantang sorotan mata Ibusuri yang tajam membakar itu. Tanpa menangkat wajah, Anurangga menjawab, “Dia mandul, Ibusuri.”
Beberapa saat Puti Campa hening.
Anurangga merasa dirinya sangat kecil di hadapan perempuan berbangsa tersebut. Ada kekhawatiran dalam hatinya, jangan-jangan Ibusuri akan mendampratnya, karena ia telah lancang mengatakan Puti Galang Banyak mandul!
“Cucunda Anurangga. Hubungan suami istrimu bukanlah sekadar hubungan bersebadan. Manusia bukan binatang, manusia mahkluk yang berakal dan berbudi. Sebenarnya yang menjadi pikiranmu setiap saat adalah nafsu syahwat yang tak terkendali. Bukan kemandulan Puti Bagalang Banyak,” keras nada Puti Campa memecahkan kesunyian.
“Ampun hamba Ibusuri. Sebagai seorang pangeran keturunan Maharaja Alam, salahkah hamba memiliki seorang istri lagi?”
“Tidak juga.”
“Perempuan itu adalah Puti Rinjani.”
Lama Puti Campa menyahut ucapan Anurangga. Ibusuri mendesah. “Denai menyayangimu engkau cucuku. Justru karena itulah denai tidak membantah ketika Maharaja Alam mengukuhkan engkau sebagai pangeran utama negeri ini.” Setelah berkata seperti itu, Puti Campa menukikan pandangannya pada Anurangga yang masih menunduk. “Puti Rinjani akan menimbulkan malapetaka bagimu!”
Petir menggelegar menyambut ucapan Puti Campa.

Pikiran Anurangga yang menerawang melintasi zaman terputus seketika tatkala mendengar ketokan pintu. Lelaki itu tetap saja rebah di ranjang. “Silahkan masuk,” sahut laki-laki itu. Anurangga melihat Slang masuk dengan wajah kuyu. “Apa kabarmu,” sapa Anurangga.
“Surau dan pasentren Katib Agam telah musnah jadi abu, Tuanku.”
Anurangga mendengus mengeluarkan suara dari hidung.
“Lalu?”
“Sayang ada pengkhianatan. Rencana tersebut diketahui lebih awal. Nago Salapan tiba-tiba muncul di sana. Lelaki tengik itu telah menyelamatkan Katib Agam dari kematian. Dan Kucing Air Merah ditangan Nago Salapan. Kami tidak mampu mencegahnya.”
Kelabu wajah Anurangga mendengar keterangan Slang. Ia bangkit, mondar-mandir di kamar, sepasang lengannya terjuntai ke belakang. Kesal raut wajahnya, geraham lelaki tersebut berdekak-dekak menahan amarah. “Kamu bilang tadi ada pengkhiatan. Siapa yang berkhianat?”
Slang mengangkat wajahnya memandang Anuranga. Kecut Slang ditatap laki-laki itu, tapi ia menyahut juga, “Orang itu adalah pembantu tuan Logos.” Wajah Slang kemudian membenam ke lantai.
“Denai sudah menduga,” ujar Anurangga ketus. “Namun berhadapan dengan militer, kita harus hati-hati. Segera kamu pasang perangkap untuk menjebaknya.”
“Kita usulkan dia agar ditugaskan ke daerah konflik.”
“Jangan! Kamu harus tahu, kelemahan manusia zaman sekarang tidak berbeda dengan manusia abadi. Mereka mudah terjebak, pertama oleh harta, kedua oleh jabatan atau kekuasaan, ketiga oleh perempuan. Sisi lemah yang mudah dimanfaatkan adalah perempuan.”
Slang terkikik malu-malu.
“Cari seorang gadis cantik. Tawarkan kepada dia. Denai tidak perlu menjelaskan bagaimana cara menjebaknya. Tapi Gugum harus terjebak hingga mendapat malu!”
“Amanlah itu, Tuanku,” riang Slang menjawab. “Lalu bagaimana dengan Nago Salapan. Dia akan terus menjadi duri dalam daging bagi kita.”
“Persetan dengan Nago Salapan. Denai mempunyai kiat sendiri cara melenyapkan bedebah. Kamu tidak perlu tahu!”
Ketika Slang hendak keluar membuka pintu kamar. Anurangga berkata lagi, “Sore nanti denai akan ke Jakarta. Kemudian terus ke Tokyo. Di sana ada pertemuan akbar antara sindikat. Jadi urusan di sini, denai serahkan padamu.”
Slang mengangguk.

*

Mustafa dengan beberapa orang staf Pemerintahan Kota berkunjung ke surau Katib Agam. “Pak Wali sedang ke Jakarta. Beliau menjemput piala Adipura. Tapi beliau berpesan agar membangun kembali surau dan pasentren Buya ini, “ ujar Mustafa.
Masyarakat di sana bergotong royong membangun kembali surau dan pasentren Katib Agam di Koto Panjang tersebut. Surau itu telah terkerangka kembali. Mustafa berkeliling bersama rombongannya, mereka manggut-manggut menyaksikan puing-puing yang tersisa.
“Kemungkinan besar setelah kembali dari Jakarta, Pak Wali akan mengunjungi Buya,” tutur Mustafa. “Konon dulu beliau pernah belajar mengaji di sini sampai khatam,” sambungnya. Mustafa menyerahkan bantuan itu kepada Katib Agam. Setelah itu Mustafa menyalami orang ramai yang duduk di bawah pohon manggis, melepaskan lelah.
Lai takana jo ambo (Apa masih ingat pada saya),” sapa Inggih, seorang laki-laki berusia 50-an ketika bersalam dengan Mustafa.
Sebagai pejabat yang sering turun ke lapangan, Mustafa memang piawai menghadapi situasi seperti itu. Ia cepat tanggap dan memasang wajah seceria mungkin. Ia guncang-guncang tangan Inggih, lalu mencolek telapak tangan lelaki itu. Ingih bangga. Apalagi ketika Mustafa berkata,”Saya ingat benar. Bukankah kamu dulu menyuruk di bawah kandang One Siar bersama Lela.”
Tersipu malu Inggih. Tapi kebanggaan tetap saja bernaung di dadanya. “Sekarang Lela sudah beranak tujuh. Bahkan kami sudah punya cucu. Anak yang sulung di Batam menggalas nasi ampera. Dan Rosliana jadi guru di Painan. Dan yang paling bungsu masih di SMK.”
Mustafa menepuk-nepuk bahu Inggih. Dan orang lainnya pun datang menyalami Mustafa. Beragam kata dan cerita mereka. Mustafa manggut. Kemudian pejabat itu naik ke mobil plat merah, ia melambaikan tangan di atas mobil sambil tersenyum.

*

Bersama dengan itu, Atos masuk ke dalam rumah. Ia tampak kesal. Tatkala itu Nago sedang memperbaiki dawai Kecapi naga, menyetel dawai yang menggendor. Nago mengerling sejenak pada Atos, lalu kembali asyik dengan kecapinya.
“Sial, Bang,” kata Atos seraya meletakan tas yang disandangnya ke meja kerja di sana. Ia mengambil foto-foto dalam tas, memperhatikan dengan cermat. Melihat foto-foto itu berulang-ulang. “Abang lihatlah ke mari. Semua foto-foto ini rusak,” sungutnya sambil mengerling pada Nago yang masih asyik dengan kecapi.
Agak enggan Nago bangkit, melihat foto-foto yang digelar Atos di meja kerjanya. Mengerling sesaat, ia hanya melihat gambar api yang membakar surau dan pasentren. Lalu serdadu-serdadu yang mengacungkan senjata, Gugum yang berdiri dekat jip, dan Kompe yang sedang berteriak, hanya itu!
“Foto Slang hangus. Foto Katib Agam yang sedang bertarung dengan Kucing Air Merah dan Kucing Air Kuning juga hangus. Dan peristiwa mengabadikan Abang menyerap kekuatan murni Kucing Air Merah pun hangus!”
“Buat apa peristiwa itu kamu abadikan?”
Sepasang mata Atos membulat memandang Nago Salapan. “Abang ini bagaimana. Inikan karya jurnalistik. Sebagai seorang wartawan muda saya punya obsesi untuk mendapatkan penghargaan. Mungkin penghargaan Adinegoro. Kalau bisa saya mendapatkan Award International Jurnalistic. Apa Abang tidak bangga?”
Nago ingin ketawa lepas, tapi khawatir menyurutkan cita-cita anak muda tersebut. Ia hanya tersenyum tulus. “Ya, saya bangga akan kegigihanmu.”
Senang juga hati Atos tanggapan Nago. Sementara itu Nago kembali bersimpuh di lantai, memperbaiki kecapi. Atos mendekati lelaki tersebut, sangat dekat sekali, bahu mereka bersentuhan. Anak muda itu mengamati Nago dalam-dalam.
“Bang,” tegur Atos lembut.
“Hmmm.”
“Apa manusia abadi itu tidak bisa dipotret?”
“Kadang-kadang bisa juga begitu. Jika memang sedang “in” mereka tidak bisa direkam foto atau dipotret. Tapi dalam keadaan biasa, mungkin bisa,” jawab Nago Salapan seadanya.
Hening sesaat Atos. Tiba-tiba kepalanya merasa gatal, ia garuk kepala tersebut. “Akh, saya kok jadi ketombean,” sungut Atos. Tapi kemudian ketawa lepas.
“Kenapa kamu ketawa?”
“Saya heran. Ternyata selama ini, saya tinggal bersama seorang manusia abadi. Tapi saya tidak mampu mengetahui bagaimana sebenarnya manusia badai tersebut sebenarnya.”
Nago Salapan selesai memperbaiki dawai-dawai kecapi, ia bangkit dan meletakan kecapi di lemari. Lalu kembali duduk bersimpuh di lantai, dekat Atos. “Selama ini kamu selalu saja sibuk dengan berita di luar sana. Juga tidak pernah pada saya tentang itu.”
Oke deh. Anggap saya selama ini salah. Tidak pernah bertanya pada Abang,” sahut Atos. “Sekarang tolong Abang tuturkan tentang beda manusia abadi dengan malaikat, jin, iblis, dan hantu.”
“Baik. Kamu orang beragama bukan?”
“Kenapa Abang bertanya begitu?”
“Jika kamu orang beragama. Kamu akan lebih dapat menangkap penjelasan saya ini dengan baik.”
“Akh, Abang ada-ada saja. Saya bukan atheis. Kedua orangku adalah muslim yang taat beribadah. Sedangkan di KTP, agama saya Islam. Abang jangan macam-macam. Jelek-jelek begini, kakek saya haji.” Atos ketawa terkekeh.
Nago pun terpingkal-pingkal keterangan Atos, begitu lengkap. Kemudian Nago Salapan menjelas apa yang diharapkan anak muda itu. “Malaikat itu dari cahaya hijau diciptakan Allah. Iblis atau Setan dan Jin diciptakan dari api yang menyala-nyala. Sedangkan Adam dari tanah lempung yang diambil di bawah Arasy.”
Anak muda itu mendengar penuturan Nago dengan seksama bagai seorang murid yang baik.
“Semua mereka itu mahkluk ciptaan Tuhan. Malaikat patuh dan taat serta selalu bertasbih kepada Allah sepanjang hari. Semula iblis dan jin patuh pada perintah Allah tapi ketika Adam diciptakan, iblis diperintahkan bersujud kepada Adam maka iblis membangkang. “
Interupsi, Bang,” tiba-tiba Atos menyela.
Nago Salapan berhenti sejenak. “Apa ada keterangan saya yang salah?”
“Kapan Iblis diusir dari surga. Dan mengapa Adam dan Hawa pun diusir dari surga. Apakah mereka juga engkar seperti Iblis?”
“Bagi saya, engkau lakukan interupsi tadi, tidak masalah. Pertanyaan-pertanyaan yang kamu ajukan sangat menggelitik.Tandanya engkau menyimak,”sahut Nago. Kemudian laki-laki itu melanjutkan bengkalai pembicaraannya. “Sebenarnya ada keraguan dalam hati malaikat ketika Adam hendak diciptakan Tuhan. Tuhan mengetahui keraguan malaikat tersebut. “Aku lebih tahu dari kalian,” sabda Tuhan. Ternyata keraguan malaikat sirna ketika Adam diuji untuk menyebutkan nama-nama benda, Adam dapat menjelaskan dengan lancar dan benar. Oleh karena itu malaikat disuruh bersujud kepada Adam. Karena perintah itu dari Allah maka malaikat pun bersujud. Namun ketika Iblis disuruh bersujud kepada Adam, Iblis membantah.”
“Kenapa Iblis membantah?”
“Malaikat bersujud kepada Adam atas perintah Allah. Tetapi Iblis menolak karena kesombongannya. “Saya dijadikan dari api yang menyala-nyala. Kejadianku lebih baik dari Adam. Sementara itu Adam berasal dari lumpur dan tanah lempung yang hina dan busuk. Tidak! Sampai kapanpun saya tidak akan sujud di hadapan Adam,” ujar Iblis.
Mendengar kesombongan Iblis, Allah mengusir Iblis dari taman firdaus. Namun sebelum Iblis meninggalkan taman firdaus, ia bersumpah,”Saya akan keluar dari taman firdaus ini. Tapi saya akan menggoda dan menjerumuskan Adam dan keturunannya sepanjang masa.”
Petir menggelegar meyambut sumpah Iblis.
“Aku penuhi permintaanmu,” kata Tuhan. “Akan tetapi manusia yang dapat engkau goda dan jerumuskan adalah mereka yang tidak beriman dan takwa kepada-Ku!”
Nago Salapan memandang Atos yang duduk sambil memeluk sepasang lututnya. “Kamu masih mendengar apa yang kuucapkan?” Laki-laki itu menyapa.
“Teruskanlah…”
“Akhirnya Adam dan pasangannya tergoda oleh bujuk rayuan Iblis. Mereka mendekati pohon Kuldi dan memakan buahnya. Padahal pohon Kuldi dilarang oleh Tuhan untuk didekati. Apalagi memakan buahnya. Karena kekhilafan mereka, Adam dan Hawa yang melanggar larangan Allah, maka mereka diusir dari surga. Keduanya dilemparkan ke bumi ini.”
Atos meregangkan pinggang, melonjorkan sepasang kakinya. Ia hening sejenak. Lalu memasang sebatang rokok di bibir, dan membakarnya. “Boleh saya bertanya Bang?”
Lelaki itu mengangguk.
“Dari penuturan Abang, saya dapat menangkap bahwa malaikat, iblis dan jin hidup sepanjang masa. Kesempatan hidupnya lebih lama dari keturunan Adam. Makhluk tersebut abadi menjelang alam semesta ini digulung oleh Allah.”
“Ya.”
“Tapi ada manusia abadi. Apakah mereka itu sama dengan malaikat, iblis dan jin?”
Termanggu sejenak Nago mendengar pertanyaan dan tanggapan Atos yang bernas itu. Setelah menarik nafas dalam-dalam, lelaki itu berkata,”Manusia abadi tidak sama dengan malaikat, iblis dan jin. Dengan akal modern pastilah akan bertentangan. Namun harus diingat, akal dan pengetahuan manusia tidak mampu menerjemahkan kehendak dan ilmu Allah. Manusia abadi terus hidup menjelang alam semesta ini dihancurkan dan digulung oleh Tuhan. Mereka sebenarnya pun dapat mati seperti manusia biasa. Mereka dapat mati ketika bertarung sesama mereka. Tubuh mereka jadi debu ketika tewas. Dia dapat hidup kembali setelah 500 tahun kemudian,” tutur Nago Salapan.
Nago dan Atos kian serius dalam membicarakan keberadaan manusia abadi. Cukup banyak pertanyaan yang diajukan Atos kepada Nago Salapan. Lelaki tersebut menjawab dengan tenang dan sabar. Tanpa terasa hari telah sore.
*
Sepi kembali mengungkung Ibu kost sejak Nadia berangkat ke Malaysia. Perempuan memang bukan ibu yang melahirkan Nadia, dan ia pun belum pernah melahirkan anak dari rahimnya. Namun sampai akhir hayatnya, suami Ibu kost tetap mencintai perempuan itu. Ia sangat terpukul dan kehilangan ketika suaminya meninggal, seakan-akan dunia ini telah kiamat baginya.
Hadirnya Nadia dalam kehidupannya, semangatnya kembali bersinar, ia gembiara dan dapat ketawa lepas ketika gadis itu melucu. Kendati pun Ibu kost tidak lagi tinggal di kawasan padat, ia tetap merasa nyaman dan ceria. Bu Rahmi atau Ibu kost percaya bahwa kehadiran Nadia merupakan rahmat dari Tuhan.
“Ibu mau dibawakan oleh-oleh apa dari Malaysia?” tanya gadis tersebut pada malam sebelum berangkat.
Ibu kost diam tak menyahut.
“Atau Ibu keberatan saya ikut rombongan kesenian itu?”
Perempuan tua itu menggeleng. “Saya tidak mengharapkan oleh-oleh yang engkau bawa. Engkau kembali selamat, cukuplah.”
Sekarang sudah lima hari Nadia di Malaysia. Bagi Bu Rahmi, lima hari tersebut terasa sangat lama. Jadwal Nadia di negeri jiran itu sekitar seminggu lagi. Waktu yang tersisa tersebut membuat perempuan tua itu kesepian.
Hari keenam Bu Rah memanggil Sabar dan istrinya. “Saya hendak ke Bukittinggi, ke rumah adik saya, Malin Rajo,” ujar perempuan itu.
“Kapan Ibu kembali?”
“Saya tidak lama. Hanya sebentar. Kalau Nadia datang, kalian bilang, saya ke rumah Malin Marajo,” Bu Rahmi menjelaskan.
“Kapan Ibu ke Bukitting?”
“Ya. Siang ini. Kalian jaga rumah. Dan kamu antarkan saya ke terminal,” kata Bu Rahmi pada Sabar.
*

Malam telah turun di kota P. Malam itu, malam minggu. Suasana kota P sebagai ibukota provinsi layaknya, malam minggu tersebut cukup ramai. Nafas kehidupan kota berdenyut sampai dini hari, mereka melepaskan kerutinan sehari-hari. Mereka ajak keluarga mengitari kota, duduk di pantai menikmati deburan ombak. Aatau berdiri di jembatan Siti Nurbaya seraya menikmati jagung bakar.
Gugum masuk ke sebuah diskotik di jalan Diponegoro. Ia memang sudah biasa masuk ke sana untuk menghilangkan pikiran suntuk. Tugasnya yang berat dan padat, kadang mengimbas pada pikirannya. Hal ini membuat rumah tangganya kurang harmonis.
Sumiati, istri Gugum acapkali kesal karena suminya itu jarang berada di rumah. Bahkan ketika Gugum sedang berada di rumah, ia sering dipanggil Tuan Logos lewat ponsel. Saat itu mereka hendak “bercinta”. Tapi gara-gara ponsel berdering, Gugum terpaksa kembali berpakaian. Dan segera keluar rumah. Sumiati kecewa.
“Sebaiknya kita bercerai saja,” ujar Sumiati ketika sampai pada puncak kesabarannya.
Lelaki tersebut tidak menanggapi ucapan Sumiati. Gugum menganggap ucapan sitrinya itu hanya karena emosi. “Tahun depan saya akan ajukan cuti. Dan kita lebih banyak punya waktu santai. Kita bisa ke Bali atau ke mana saja yang engkau sukai,” Gugum coba menghibur.
“Tahun depan? Tahun lalu, kamu juga bilang begitu. Kenyataannya tugas-tugasmu semakin berjibun. Semuanya jadi berantakan,” tukas Sumiati merajuk.
Bayangan ketidak-harmonisan hubungan rumah tangganya sirna seketika, saat seseorang pelayan meletakkan minuman yang dipesannya di meja. Ia teguk bir di gelas itu, terasa hangat kerongkongannya.
Di depan sana, seorang biduanita melantunkan suaranya. Perempuan muda itu menyanyikan lagu melayu pop, suaranya merdu dan indah. Kadangkala pemain orgen di sampingnya pun ikut menyanyi.
Gugum memang sering ke diskotik & Pub ini tapi ia belum pernah melihat gadis tersebut menyanyi. Apakah ia seorang pramuria atau memang khusus sebagai biduanita. Di antara keredupan lampu di ruangan tersebut, mata Gugum masih dapat menangkap kecantikan penyanyi itu. Ia menduga gadis itu bersia sekitar 20-an.
Selesai menyanyi, gadis itu melangkah ke sudut sana, ia duduk sendirian di sudut sana. Beberapa saat muncul Wacong, manejer diskotik & Pub. Mereka kelihatan bercakap-cakap. Tampak akrab.
Entah kenapa tiba-tiba saja, Gugum merasa cemburu pada Wacong. Gugum segera menggamit pelayan. “Siapa gadis itu?” ia bertanya.  Pelayan menoleh ke sudut di mana gadis tersebut sedang bicara dengan Wacong.
“Maksud tuan, gadis yang bersama bos itu?”
“Ya.”
“Dia, Olivia.”
“Dia gadis selingkuhan Wacong?”
“Bukan. Dia keponakan bos. Olivia itu tamu di sini. Sama juga dengan tuan. Oya, apa tuan naksir dia?”
Gugum lega. Lantas ia berbisik pada pelayan. “Boleh saya kenalan dengan Olivia?”
Tertegun sejenak pelayan itu. “Saya usahakan, tuan. Tapi…”
Gugum merogoh kantongnya. Lalu menyelipkan selembar uang ke kantong pelayan. “Saya tunggu kabar dari kamu segera!”
Tanpa menunggu lagi pelayan mendekati Olivia. Kebetulan Wacong telah beranjak ke belakang. Pelayan dan Olivia tampak berbiacara sejenak. Lalu kembali ke meja Gugum.
“Tuan…”
“Hmm.”
Pelayan memberikan secarik kertas pada Gugum. “Ini pesan Olivia.” Gugum membaca pesan tersebut. “Oly merasa tersanjung atas pujian tuan. Jika tuan tidak keberatan, Oly ingin duduk bersama tuan. Tertanda Oly.”
Lelaki itu mengerling ke sudut sana, tersenyum Gugum. Ia mengangguk ramah. Ketika Olivia melangkah ke arahnya, denyut jantung Gugum semakin keras. Dan menetes keringan di dahinya.
“Boleh saya duduk?” Merdu suara itu.
Temaram cahaya lampu di ruangan diskotik itu tidak mampu menyembunyinan kecantikan Olivia Gadis itu memang cantik. Gugum terpesona. Apalagi ketika aroma parfum yang dipakai Olvia menebarkan keharuman ekosotik. Sehingga lelaki tersebut lupa menyahuti ucapan Olivia.
Olivia duduk di samping Gugum, ia menyilangkan kakinya yang indah, menyeruak di antara belahan roknya. Gadis itu menyibakan rambut, tampak lehernya putih berkilau diterpa cahaya lampu.
“Kenalkan nama saya Gugum,” laki-laki tersebut seraya mengulurkan tangan. Olivia menyambut salam itu. “Oh, Om Gugum. Saya Olivia. Dan panggil saja saya Oly. Lebih mudah dan simpel.”
Suara musik melantun di ruangan itu. Romantis suasana di sana. Ketika musik lebmbut terdengar, tamu-tamu melantai bersama pasangan masing-masing.
“Om mau melantai?”
Gugum tersenyum. Ingin, ia ingin sekali melantai bersama gadis tersebut. Tapi kenapa lidahnya terasa berat mengucapkan kata “ya”. Saat ia coba berkata, yang diucapkannya adalah,”Panggil saja saya Mas. Bukankah lebih akrab?”
“Oya,” sahut Oly mendesah.
Keberanian akhirnya muncul juga dalam diri Gugum. “Om Wacong itu pacarmu?”
Membulat sepasang mata Oly mendengar tuduhan lelaki itu. Tapi kemudian ia tersenyum. “Dia Om saya. Saya ke sini berlibur. Kata orang, negeri ini sangat indah dan permai. Ya, kemaren Om Wacong dan istrinya membawa saya ke Bukittinggi, ke Ngarai Sianok. Dan juga sempat menyaksikan Perkampungan Minangkabau. Its beatiful
“Kamu kerja atau kuliah?”
“Oly?”
“Ya.”
“Hmmm. Ya, dua-duanya. Kuliah sambil kerja. Oya, Mas kerja di instansi mana. Kayaknya Mas punya jabatan penting di instansi tempat Mas bekerja.”
Hening Gugum. Kerongkongannya terasa kering, ia mengeguk bir. Terasa hawa panas menjalar di pembuluh darahnya. Ia menatap gadis itu. “Saya hanya karyawan biasa di suatu instansi.” Gugum berusaha menutup diri.
“Mas bercanda ya?” Oly mencubit lengan laki-laki itu.
Gugum berkeringat dingin.
“Tapi Mas ganteng. Saya suka deh.”
Debaran jantung Gugum makin berpacu karena pujian gadis itu. Gelas yang berisi bir di atas meja tidak melepaskan dahaganya. Laki-laki itu sangat dahaga, dahaga untuk mereguk bibir Oly yang basah. Sayang nyalinya untuk mengatakan itu, tidak kunjung muncul. Lelaki itu berupaya mengumpulkan segala nyali yang ada padanya.
Seperti semut yang merayap di tanah, jemari Gugum merayap ke tangan Oly. Ia remas jemari gadis itu sambil menahan nafas. Laki-laki itu lega ketika Oly pun membalas rangkuman jemarinya. Melayang Gugum di awang-awang tak bertepi.  
“Berapa lama kamu di sini?” Gugum berkata parau.
“Jadwal saya hanya seminggu. Dari sini Oly akan bergabung dengan teman-teman yang telah menunggu di Singapura. Semalam di Singapura, kami berangkat ke Tokyo. Jadi waktu Oly sangat singkat,” desah gadis itu manja.
Malam semakin larut. Bagi Gugum semakin larut malam, semakin terpaku dia duduk bersama Oly. Sedikit tidak keinginannya untuk meninggalkan ruangan tersebut.
“Saya ingin selalu bersamamu, Oly.” Gugum rapatkan ke tubuh gadis tersebut. Laki-laki itu mendengar hembusan nafas Oly, panas dan harum. Tangan lelaki menyibakan rambut di kuduk Oly. Bibir Gugum mencuri sekecup ciuman di sana.
Curian cimunan di tengkuk itu membuat Oly berjarak dengan Gugum. Tapi ia senyum pada Gugum. Namun setelah itu ia merapatkan bahunya ke bahu laki-laki tersebut. Gadis itu merasakan degupan jantung laki-laki itu kian bekejaran. “Oly pun ingin bersama, Mas,” bisik Oly ke kuping Gugum.
Dan saat itu pula ponsel Gugum berdering. Ada pesan dari Tuan Logos lewat SMS. “Segera ke Ratulangi. Penting!” Terhenyak Gugum di kursi. Ia kecewa. Lalu menoleh pada Oly, seakan-akan melahap wajah gadis itu. Dan enggan untuk beranjak dari samping gadis tersebut. “Maafkan saya. Ada tugas penting menunggu,” ujar Gugum bernada kecewa.
“Kapan kita bertemu lagi?”
Agak bimbang Gugum berdiri di pintu. “Saya janji akan kembali besok. Kamu mau menunggu?”
Oly mengangguk.
Bagai kapal oleng Gugum melangkah ke mobil. Bahagia dan kecewa bercampur aduk jadi satu ketika laki-laki itu menyetir kendaraannya di jalan raya. Kota P telah sepi tapi hati Gugum lebih sepi. Ada yang direnggutkan dalam hatinya.** (Bersambung....12)