Rabu, 27 Juli 2011

KECAPI NAGA (2)

2

Lima Mustika Alam

Kini Kati Muno yang telah muncul di alam nyata. Setelah membunuh Westenk Jr, ia keluar dari hotel. Langkah cepat lelaki itu cepat bagai orang berlari, dalam sekejap Kati Muno telah berada di trotoar.
Orang ramai mengerling heran menyaksikan Kati Muno, karena lelaki tersebut tidak peduli pada ramainya kendaraan berlalu-lalang. Ia menyeberang tanpa menoleh ke kiri dan kanan, menyelenong seenaknya.
Pengemudi angkutan kota menginjak rem mendadak ketika hampir menabrak Kati Muno. Para penumpang bersusun ke depan. Ada di antaranya yang benjol.
“Kampungan lu. Apa pengen mati!” Sopir angkot memaki. Kemudian angkot itu melaju lagi.
Kati Muno hanya menyeringai mendengar makian tersebut. Lelaki tersebut menyeberang bolak-balik.
Seseorang yang berdiri di seberang jalan menggumam,”Aneh juga orang ini.” Ia mendekati Kati Muno dan menyapa. “Kamu dari desa, ya?” Orang itu memandang Kati Muno dari ujung rambut sampai ujung sepatu.
Dilihat dari penampilannya, Kati Muno tidak terkesan kampungan. Pakaian yang dipakainya terbuat dari bahan impor, modelnya pun model masa kini. Rambutnya disisir rapi. Hanya saja orang tersebut heran karena cara Kati Muno menyeberang seenaknya, dan bolak-balik seakan-akan kurang kerjaan.
“Desa? Saya tidak punya desa.”
“Lalu kamu dari mana?”
Kati Muno menunjuk ke atas.
“Kamu datang dari langit. Akh, yang benar aja.” Sekali lagi orang itu mengamati Kati Muno dengan cermat. Jangan-jangan dia baru lepas dari Grogol. “Kalau kamu dari langit. Pastilah makhluk UFO.”
“Barangkali ya.”
Orang tersebut berpikir sejenak. Muncul akal bulusnya seketika,”Orang desa ini jelas makanan empuk. Mudah dikerjai,” gumamnya. “Tuan makhluk UFO mau ke mana? Saya punya mobil omprengan. Boleh saya antar ke mana tujuan, tuan,” katanya kemudian.
Kati Muno menyeringai. Matanya mencorong tajam menatap orang tersebut. Tapi kemudian tersenyum. “Ya, denai makhluk UFO. Denai mau ke rumah teman. Dia tinggal di Caracas. Ayo kita berangkat,” ujar Kati Muno.
Surut selangkah orang itu ketika bertemu pandang dengan Kati Muno. Cahaya mata lelaki tersebut amat kuat bagai hendak membakar. Iim, lelaki itu membuka mebuka pintu mobil, ia mempersilahkan Kati Muno masuk. Dia kemudian menggamit Somad yang sedang main catur di warung sana.
Somad, lelaki bertampang sangar itu bergegas mendekati Iim. Lelaki itu tersenyum pada Kati Muno, ia lalu duduk di samping Iim. Sedangkan Kati Muno duduk di belakang. “Kamu dapat tumpangan ini?” tanya Somad.
“Ya, kita dapat kijang patah kali ini.”
Somad terkekeh. Lalu mengerling ke belakang, dan manggut-manggut. Sedan omprengan itu melaju.
Kati Muno duduk santai di belakang, ia melihat keluar, memandang kendaraan berlalu lalang di luar sana. Lelaki itu tampak terkagum-kagum menyaksikan bangunan yang menjulang tinggi.
“Dapat di mana kijang ini?”
“Dia datang sendiri.”
“Apakah dia punya uang?”
“Oh, soal itu saya kurang tahu. Tapi dari lagaknya, dia pasti punya uang banyak. Lihatlah pakaiannya. Sepertinya ia orang desa yang baru saja jual tanah, “ sahut Iim.
“Oh, soal uang, jangan kalian cemaskan,” tukas Kati Muno. Ia segera merogoh kantong celananya. Dan mengeluarkan segumpal dolar. Kemudian menarik selembar cek dan mengacungkan ke depan. “Denai akan membayar secukupnya. Asal bisa mengantar denai sampai ke tujuan.”
Somad dan Iim sejenak saling bertukar pandang.
“Bisikanmu terlalu keras. Dia mendengarnya,” ujar Iim pelan.
“Tuan, jangan ragu. Tuan pasti antar sampai tujuan,” tukas Somad seraya mencolek paha Iim. Kemudian keduanya terkekeh.
Kati Muno mendehem.
Kendaraan itu terus melaju.
Lewat sebuah persimpangan, mereka membelok ke kiri. Mobil itu berhenti pada kawasan sepi. Somad turun, ia melangkah ke belakang, membuka pintu dan menarik lengan Kati Muno. “Turun!” seru lelaki itu.
Kati Muno terpana, tapi ia segera turun. “Kenapa berhenti di sini. Apakah kita sudah tiba?” Ia bertanya polos.
Somad tidak menyahut. Lelaki itu mencabut pistol di pinggang. Lalu mengacungkan ke pelipis Kati Muno. “Keluarkan uangmu!” Somad mengancam.
“Bagaimana kalau denai menolak?”
Somad menekankan laras pistol ke pelipis Kati Muno. “Pelipismu akan meledak!”
Namun Kati Muno tak bergeming. Sedikit pun laki-laki itu tidak peduli dengan ancaman tersebut. Ia malah menyeringai menatap Somad. Tampak taringnya menyembul, taring ular. Ia menjulurkan tangan lengannya, mengambil pistol di tangan Somad. Sangat cepat gerakan itu.
Somad tidak sadar bagaimana pistolnya berpindah tangan.
“Ini bukan pistol. Kamu lihat sendiri.” Kati Muno meremas pistol tersebut, pistol itu remuk bagai kerupuk pecah. Ia lalu membuangnya ke tanah.
Somad terbelalak. Lebih terperanjat lagi ketika Kati Muno menangkap lehernya. Laki-laki itu coba berontak tapi Kati Muno lebih kuat, lehernya seperti terkunci gembok besi. Berikutnya, Kati Muno menerkam leher korbannya itu. Lalu menghirup darah Somad. Somad lemas terkulai. Laki-laki itu mengelosor ke tanah. Tewas!
Menyaksikan kejadian tersebut, mengucur kencing Iim di celana. Betapa tidak, demikian mudah Somad dihabisi oleh Kati Muno. Segera Iim menghidupkan mesin mobil. Sedan itu menderu-deru. Anehnya, mobil itu tak bergerak seinci pun. Ia menoleh ke belakang, ia melihat Kati Muno mengangkat mobil. Iim memekik, berusaha membuka pintu hendak keluar. Tapi pintu tersebut macet.
Sementara itu buntut mobil Iim terangkat makin tinggi. Kepala sedan itu menukik ke bawah. Lalu sedan itu rebah kuda. Iim memekik histeris.
Belum puas Kati Muno agaknya. Bukan saja menjungkalkan mobil dan tiba-tiba mulut Kati Muno menganga lebar. Api menyembur dari mulut Kati Muno ke arah sedan yang terbalik. Cepat sekali api membakar kendaraan tersebut dan menjilat bensin yang tumpah.
Iim keluar dari mobil dengan susah payah. Sungguh malang nasib lelaki itu, tubuhnya dilalap api. Ia menjerit dan bergulingan di tanah.
Kati Muno ketawa puas. Ia berkelabat kencang meninggalkan Iim yang sekarat. Matahari kian garang memancarkan sinarnya. Burung-burung yang melintas di kawasan itu, tiba-tiba kehilangan tenaga, jatuh terhempas ke bumi.

*

Senja telah turun di bungalow itu. Matahari sempurna masuk ke peraduannya. Saat itu pula tampak Kati Muno memasuki halaman bungalow. Ia melompati pagar dengan enteng sekali, tanpa menimbul suara.
Sementara itu serdadu-serdadu mondar-mandir berjaga di halaman bungalow. Di samping gardu jaga berdiri seorang serdadu dengan wajah kaku. Saat Kati Muno melintas, serdadu tersebut berteriak lantang,”Hei!”
Teriakan lantang itu disertai kokangan senjata di tangan serdadu itu. Dan teriakan itu membuat serdadu lainnya menoleh.
Kati Muno tertegun sejenak. Tapi kemudian ia acuh tak acuh, terus melangkah memsuki halaman.
“Berhenti!” Serdadu jaga membidikkan senjatanya ke arah kati Muno. Ia melompat keluar dari gardu menghampiri Kati Muno.
Namun tanpa diduga Kati Muno bergerak secepat kilat, ia menarik senjata yang ditodongkan padanya. Belum sempat berpikir, serdadu itu terhempas. Rahangnya dihantam popor senjatanya sendiri!
Lima orang serdadu lainnya segera mengepung Kati muno. Mereka mengacungkan senjata ke arah lelaki tersebut. Salah seorang dari mereka maju ke depan dan bertanya, ”Siapa tuan?”
Mencorong tajam mata Kati Muno. Ia mendengus sinis memandang kelima serdadu tersebut. “Denai ingin bertemu dengan Anurangga.” Suara itu menggema.
Kelima serdadu saling bertukar pandang. Siapakah orang ini? Demikian lancang menyebut nama Anurangga tanpa menggunakan kata “Tuanku”. Serdadu yang maju ke depan tadi memberanikan diri bertanya. “Tuan ingin bertemu tuanku?”
“Ya, suruh dia menyambut denai.”
Makin geram serdadu-serdadu tersebut. Mereka mengokang senjata, segera hendak menghabisi Kati Muno.
“Minggirlah. Denai tidak berselera mebunuh kalian!”
Tentu saja ucapan Kati Muno tidak mereka pedulikan. Mereka maju lebih dekat lagi. Jari mereka siap menarik pelatuk senjata. Jika Kati Muno bergerak sedikit saja, maka senjata di tangan para serdadu itu meledak. Dapat dibayangkan bila lima pucuk senjata otomatis meledak bersamaan, dan menghantam Kati Muno.
Saat yang genting itu, Slang dan manusia kucing muncul.
“Tahan!” Slang berseru keras.
Serdadu-serdadu itu mendengar suara Slang. Mereka segera menurunkan laras senjata, menunda niatnya menembak Kati Muno.
Dan Slang berlari-lari kecil menghampiri Kati Muno. Ia mencium tangan Kati Muno. “Selamat datang, Guru. Tuanku Anurangga telah menunggu,” ujar Slang.
Kati Muno ketawa terbahak-bahak. Suara ketawa itu menggema sampai jauh. Seekor burung kecil yang melintas di udara, jatuh ke tanah. Sedangkan serdadu-serdadu tadi melongo. Nyali mereka ciut seketika.

Gembira Anurangga menerima kedatangan Kati Muno. Seketika Kati Muno mengerling pada Olivia. Anurangga segera berkata,” Lupakah guru pada Puti Galang Banyak. Dia istri denai.”
Sekali lagi Kati Muno mengamati perempuan muda itu. “Oh, tidak. Hanya saja ketika itu ia masih ingusan. Sekarang ia telah tumbuh menjadi perempuan yang jelita. Lagi pula gayanya sudah berubah,” tukas lelaki tersebut. Dan sekali ia mengerdip pada Olivia.
Jengah juga Puti Galang Banyak menerima kerdipan lelaki tersebut. Kendati pun usia Kati Muno ratusan tahun, tapi penjelmaan kali ini, ia tampak muda dan ganteng.
“Dan Silangkaneh, kamu masih seperti dulu. Tetap bergaya banci,” Kati Muno melayangkan pandangannya pada Slang. Kemudian pada manusia kucing. “Bukankah kamu Kucing Air Kuning. Setahu denai, kalian kembar. Mana kembaranmu?”
Ketawa Kucing Air bagai kucing merungus. “Benar guru. Kami memang kembar. Tapi saudara saya, Kucing Air Merah tewas dibunuh Nago Salapan.”
“Nago Salapan? Ternyata anak nakal itu semakin besar kepala setelah dididik Janaka Mantrolot. Dia memang penghalang nomor satu!”
Anurangga mengangguk.
“Tapi kini setelah kita bergabung. Dia akan lenyap dari muka bumi ini, selama-lamanya.”
“Ya, guru. Tapi kita harus hati-hati. Dia dan Puti Rinjani memiliki senjata pamungkas untuk memusnahkan kita. Senjata itu adalah, Selandang Pembunuh Anggang dan Kecapi Naga.”
Diam Kati Muno sejenak. Pikirannya menerawang ke masa lalu. Masa itu ia berbuat onar di ranah Minangkabau, membunuh semua orang, yang tidak sepaham dengan dia.
Perbuatannya itu didengar oleh Datuk Perpatih nan Sebatang. Mereka bertemu dan bertarung sampai seribu hari. Tidak ada yang kalah atau menang. Dan suatu saat Perpatih nan Sebatang mengeluarkan senjata Kecapi Naga dan Selendang Pembunuh Anggang. Kati Muno tewas. Tubuh lelaki tersebut hancur lebur dihantam kedua senjata sakti tersebut.
Bergidik Kati Muno mengingat peristiwa tersebut. Tapi dia adalah tokoh maha jahat, jauh lebih sakti dari Anurangga. Lagi pula di Alam Antah Berantah, Kati Muno berguru dengan sang Dajjal. “Kelak bila engkau kembali ke dunia fana, untuk melengkapi kesaktianmu, carilah lima mustika alam. Dengan kelima mustika tersebut, engkau tidak akan terkalahkan,” pesan gurunya itu.
“Mustika alam. Benda apakah itu?”
“Dengarlah baik-baik. Dulu sebelum alam semesta ini diciptakan Tuhan. Tuhan mengambil lima buah batu di bawah Arsy. Kelima buah batu tersebut dijadikan penyangga antara langit dan bumi. Setelah bumi tidak memerlukan lagi untuk menyanggah langit. Tuhan melemparkan kelima mustika tersebut, ke lima penjuru bumi.”
“Lalu apa hubungannya, keabadian seseorang dengan lima mustika itu?”
“Kati Muno, kamu jangan bego! Tanpa kesaktian lima mustika ini, bumi dan langit tidak akan berpisah. Lalu jika kamu memiliki lima mustika alam, maka kamu dapat menghancurkan bumi setiap saat.”
Kati Muno menjelaskan petuah Dajjal tersebut pada mereka yang hadir dalam pertemuan itu. “Mustika yang pertama, mustika Api. Mustika itu bewarna merah darah. Sedangkan mustika kedua bewarna putih jernih. Mustika ketiga, yaitu mustika Tanah yang bewarna hitam. Lalu mustika Angin dan Kayu!”
Semua yang hadir mendengar penuturan tersebut Kati Muno manggut-manggut. Bagi mereka kisah yang dituturkan Kati Muno adalah hal baru. Sebab mereka tidak sezaman dengan lelaki tersebut. Dalam tambo disebutkan waktu kehidupan Kati Muno; bumi masih belum berkembang seperti sekarang, tidak ada benua-benua. Apalagi pulau-pulau. Zaman tersebut disebut zaman Alun Barabalun. Hal ini membuat Anurangga tergelitik untuk bertanya.
“Denai takjub akan penuturan Guru. Tapi denai ingin bertanya. Bolehkah?”
Kati Muno mengangguk.
“Guru menyebutkan ada lima mustika alam. Apakah Guru telah mendapatkan kelima benda sakti tersebut. Di mana benda tersebut sekarang?”
Kati Muno tersenyum. “Lima mustika itu ada di bumi ini. Justru karena itulah denai lahir kembali. Dan keluar dari Alam Antah Berantah. Mustika itu harus kita cari, bagaimana pun caranya.”
“Saya bersedia membantu Guru,” sahut Slang.
“Bagus. Besok ita segera mencari. Anurangga dan manusia kucing ke daerah lain.”
Anurangga mengangguk. Sementara itu Olvia merasa tertinggal, ia segera menukas. “Bagaimana dengan saya. Apa tugas saya?”
“Oho, anak manis. Kamu jangan tersinggung. Tapi untuk saat ini, kamu tetap di bungalow. Denai khawatir, musuh-musuh kita akan ke mari. Dan segala rencana kita jadi berantakan.”

*

Keesokan hari, Kati Muno dan Slang terlihat di jalan Surabaya, sebuah kawasan yang terkenal di Jakarta, menjual dan membeli barang antik. Buka saja turis domestik tapi turis mancanegara pun datang mencari benda-benda antik ke sini.
Kedua orang tersebut, masuk toko keluar toko, masuk kios keluar toko untuk mencari benda yang mereka cari. Hampir dua jam mereka berkeliling di kawasan tersebut, namun mereka belum juga menemukan satu mustika alam saja.
Slang mengarukgaruk kepalanya, sejenak menghilangkan stresnya. Lelaki itu mengerling pada kati Muno, wajah lelaki tersebut tampak kusam. Kusam karena kesal.
“Mungkin kita harus mencari ke tempat lain. Atau ke daerah lain,” usul Slang.
Tetapi ketika Kati Muno hendak meninggalkan kawasan tersebut. Tiba-tiba Slang melihat sebuah kios dekat jalan keluar. “Guru, untuk menghilangkan was-was kita. Coba kita msuk kios itu,” ujar Slang. Kati Muno mengangguk.
Kios itu tampak sepi, seakan-akan tidak ada penghuninya. Slang memanggil berkali-kali. Akhirnya, seorang tua muncul dari belakang. “Tuan. Tuan mau cari apa?” Orang tua itu menyapa.
“Kami mau mencari suatu benda. Benda antik, tentunya.”
“Ohh, ada tuan. Barang-barang antik saya beragam. Silahkan tuan lihat. Semuanya asli,” tukas orang tua itu.
“Denai mencari mustika alam.”
“Mustika alam. Semacam batu akik ya?.”
“Begitulah…”
Orang tua itu manggut-manggut. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari etalase. Ia membuka kotak itu dan memperlihatkan sebuah batu delima. “Ini batu merah delima. Batu langka. Tapi tuan boleh mengujinya.”
“Bagaimana cara mengujinya?”
Orang tua itu tersenyum. Ia mengambil lima gelas dan mengisi kelima gelas tersebut dengan air putih. Dia memasukan batu delima ke dalam gelas yang berada di tengah. Sejenak ia menoleh pada kedua tamunya. Kemudian mengalihkan pandangannya ke gelas yang berderet di atas etalase.
Beberapa saat kemudian, muncul buih dalam gelas batu merah delima. Dan air dalam gelas seketika menjadi merah. Tersenyum orang tua tersebut, ia mengerling pada kati Muno dan Slang. Saat yang bersamaan, air dalam gelas di kiri kanan pun berubah merah.
Ada perasaan bangga di wajah orang tua itu. “Tuan saksikan sendiri, betapa air di gelas lainnya menjadi merah pula. Inilah batu delima asli. Saya kira inilah batu yang tuan cari.”
“Sungguh menakjubkan, “ tukas Slang memuji.
Kati Muno mendehem. Lalu mencibir. Sorot matanya mencorong ke arah orang tua tersebut. “Akal bulusmu sungguh hebat. Tapi denai tidak mungkin engkau tipu,” kata Kati Muno. Ia mengambil batu merah delima dalam gelas. Sejenak ia mengamati batu tersebut. Lalu menatap orang tua itu kembali.
Orang tua itu terperanjat.
“Perlihatkan tanganmu!” Kati Muno berseru lantang.
Seketika ciut nyali lelaki tua tersebut. Gemetar ia memperlihatkan telapak tangannya. Sepintas lalu, orang tidak akan mengetahui apa yang ada di telapak tangan orang tua tersebut. Tapi mata Kati Muno luar biasa tajam dan awas, ia dapat melihat serbuk putih hinggap di telapak tangan si tua.
“Kini kamu pegang gelas itu kembali!”
“Tapi tuan…”
“Ayo!”
Gemetar tangan orang tua itu. Ia menyentuh gelas-gelas di atas etalase. Ternyata dugaan Kati Muno benar. Tanpa batu merah delima dalam gelas, air kelima gelas itu jadi merah. Serbuk putih yang ada di telapak tangan si tua, menguap ke dalam gelas-gelas tersebut. Memang si tua telah meramu serbuk putih sedemkian

“Grrrhhh!”
Kati Muno mencekal leher orang tua tersebut. Tubuh si tua terangkat naik.” Kamu akan selamat bila mengatakan di mana Mustika Api yang asli berada.”
Orang tua itu terbatukbatuk ketika Kati Muno menghempaskannya ke lantai. Dia tersengal-sengal seraya meraba lehernya. Wajah si tua pucat bagai kertas kumal kena air. “Saya tidak tahu apa itu Mustika Api,” sahut orang tersebut ketakutan.
“Mustika Api itu mirip dengan batu merah delima. Benda tersebut mempunyai tujuh star atau tujuh bintang. Denai yakin kamu pernah melihatnya.”
“Ya, pernah. Tapi tuan berdua jangan menyakiti saya.”
“Tidak, bila kamu dapat memberikan keterangan yang sebenarnya.”
Si Tua mulai lega. Ia mereguk air di gelas. Terpena sejenak. “Sebulan yang lalu ada seseorang datang ke kios ini. Seperti juga tuan, ia mencari Mustika Api.”
“Kamu menjual mustika tersebut pada dia. Siapa namanya?”
“Ya, saya menjual mustika tersebut padanya. Tapi, saya lupa nama?”
Orang tua itu membisu.
“Coba kamu ingat,” Kati Muno mendesak.
Lagi-lagi orang tua tersebut membisu. Ketika Kati Muno menyeringai, terlihat taring menyembul di rahangnya. Lelaki tua itu tergagap-gagap. “Ya, saya ingat. Pembantunya memanggil orang tersebut Mbah Bejo.”
“Di mana dia tinggal?”
“Dia tinggal di kaki gunung Tangkuban Perahu.

Setelah mendapat informasi dari orang tersebut, kati Muno dan Slang segera berangkat. Orang tua itu melongo memandang kepergian mereka. Dan tiba-tiba dadanya berdenyut-denyut. Lalu terhenyak di lantai, mulutnya berbusa-busa. Jelang beberapa saat, ia kejang-kejang. Orang tua itu tewas dengan mata mendelik.

*

Padepokan Mbah Bejo

Padepokan Mbah Bejo terletak di desa, di kaki gunung Tangkuban Perahu. Orang desa di sana menyebutnya “Orang Pintar”. Mbah Bejo bukan saja populer di desa tersebut, dia juga terkenal sampai ke Ibukota dan daerah lain. Konon banyak orang kota minta pertolongan pada Mbah Bejo.
Berbagai masalah yang terjadi memang tidak selamanya bisa diselesaikan oleh manusia, karena memang kemampuannya terbatas. Disaat ini, di tengah-tengah krisis, orang sering kali kehilangan akal sehat sehingga mereka coba mencari alternatif lain untuk menyelesaikan persoalannya dengan hal yang tidak lumrah.
Setiap hari padepokan Mbah Bejo selalu ramai dikunjungi orang. Mereka minta pertolongan kepada Mbah Bejo, umumnya orang minta tolong berhubungan dengan penyakit seperti kena guna-guna, kena santet. Di samping itu ada juga yang berobat karena mengidap kanker payudara, rahim dan mencari jodoh, penglaris usaha. Kebanyakan orang kota yang datang ke sana untuk minta naik pangkat, disayang bos, disayang suami dan sebagainya.

*

Senja berkabut di kaki gunung Tangkuban Perahu. Sebuah jip masuk ke desa tersebut. Bunyi mesin jip menderu-deru karena melintasi jalan tanah yang menanjak. Slang beberapa kali harus menukar perseneling. Kadang kendaraan tersebut berguncang keras karena rodanya terganjal batu atau masuk lobang.
“Sudahlah. Kita turun di sini saja,” kata Kati Muno tak sabar. Ia segera melompat turun.
Slang mematikan mesin. Lalu mengikuti langkah Kati Muno, berkelabat cepat menuju padepokan Mbah Bejo.
Kendati pun padepokan Mbah Bejo jauh dari jalan raya tapi listrik telah amsuk ke sana. Pada sebuah tenda tampak orang ramai menunggu. Pasien yang hendak berobat dan ingin bertemu dengan Mbah Bejo harus mendaftar terlebih dahulu.
“Ramai juga orang di sini,” tukas Slang.
“Denai tidak suka birokrasi macam ini.”
“Ya, tampaknya kita juga harus lapor.”
“Persetan dengan semua itu!”
Tanpa peduli, Kati Muno menyelenong masuk, masuk melewati petugas penerima tamu. Slang pun ikut bergegas. Tiba-tiba ia ditegur petugas tersebut. “Catatkan nama tuan,” kata petugas itu.
Tertegun sejenak Slang. Namun ia mengikuti langkah Kati Muno. Orang ramai melongo. Segera petugas bangkit dan menahan Slang. “Tuan harus menunggu giliran. Jangan seruduk wae!”
Slang menatap lelaki yang memegang lengannya. Ia mengibaskan tangan orang tersebut. Pelan kibasan itu tapi lelaki yang memegang Slang, meringis kesakitan. Ia seperti kena sengatan listrik. Ngilu lengannya seketika.
Sementara itu, di dalam sana Mbah Bejo sedang menerima tamu seorang lelaki. Lelaki tersebut memakai safari abu-abu, usianya sekitar 40-an. Ia duduk bersimpuh di hadapan Mbah Bejo.
Mbah Bejo belum berusia separuh baya. Tapi dengan dandannya, memakai blangkon warna hitam, berjanggut keperakan menjuntai di dagunya, ia tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Jemarinya dipenuhi batu akik, lengannya kanan bergelang akar bahar.
Mbah Bejo duduk di atas tilam beralaskan kain sutra merah muda. Di depannya ada tungku perapian yang terbuat dari tanah lempung. Suasana tampak menyeramkan karena dari perapian tercium bau kemenyan. Di samping lelaki tersebut, ada baskom besar berisi air yang ditaruh bunga-bungaan.
Pada cerung ruangan tampak benda-benda aneh. Ada tengkorak manusia, tengkorak harimau, tengkorak srigala. Pun ada boneka-boneka kayu berbentuk aneh. Lampu yang menerangi ruangan praktek Mbah Bejo redup, membiaskan warna kelam.

“Apakah jalan saya akan mulus jadi Walikota, Mbah?” lelaki berpakaian safari tersebut bertanya.
Mbah Bejo manggut-manggut. Ia mengambil serbuk kemenyan dari kotak kecil. Lalu menyiramkan ke perapian. Asap mengepul semakin tinggi dengan aroma kemenyan. Ruangan itu semakin terasa magis.
Dan mata Mbah Bejo mengikuti kepulan asap yang menjulang. Kemudian dia berkedip-kedip. Tiba-tiba sekujur tubuh lelaki tersebut bergetar, menggigil. Lalu matanya mendelik-delik. Sesaat kemudian, ia normal kembali seraya mengusap wajahnya.
“Tuan bilang apa tadi?”
“Apakah saya akan jadi Walikota?”
“Walikota…Eh, siapa nama tuan?”
“Bukankah sudah saya katakan pada Mbah.”
“Saya ingin mendengarnya sekali lagi. Sebab Ki Samudra Reksa yang masuk ke raga ini, menanyakan namamu.”
“Nama saya, Barda Wiyogo,” kata lelaki itu seraya menyodorkan kartu namanya.
Mbah Bejo ketawa senang. “Nama anda akan membawa keberuntungan. Tapi tentu ada syaratnya.”
Barda Wiyigo menyeka keringat dengan sapu tangan. Entah kenapa tiba-tiba ia berkeringat. “Saya sudah memberikan syarat itu pada Mbah,” katanya kemudian.
Tersenyum Mbah Bejo. “Ya, kamu sudah membawa bunga tujuh ragam. Sekepal menyan Hindustan. Dan…”
“Lima juta rupiah,” sambung Barda Wiyogo.
“Ya, tapi menurut Ki Samuddra Reksa, kamu harus tambah lagi.”
Calon Walikota tersebut kembali berkeringat. Tapi kemudian ia merogoh kantong safarinya. Dari kantong itu ia keluarkan amplop tebal. “Saya tambah tiga juta lagi, Mbah.”
Cepat Mbah Bejo menarik amplop di tangan lelaki tersebut. Ia tidak menghitungnya, segera saja ia masukan ke kantong bajunya. Mbah Bejo terkekeh, wajahnya ceria. Berikutnya, bibir Mbah Bejo komat-kamit. Kedengaran suara mendengung-dengung. Mata lelaki itu terpejam. Ketika ia membuka mata kembali, Mbah Bejo berkata,”Untung tuan cepat melengkapi syarat yang diminta oleh Ki Samudra Reksa. Sedikit saja terlambat, maka jabatan itu akan disambar orang lain.”
“Ada yang akan menyambarnya?”
“Ya.”
“Mbah bisa mengatakan siapa lawan saya itu?”
Mbah Bejo tidak langsung menjawab. Ia mengaduk-aduk air bunga dalam baskom. Matanya terpejam lagi, bibirnya komat kamit. “Orang itu musuh dalam selimut!”
“Musuh dalam selimut. Pasti dia,” tukas Barda. “Menurut Mbah siapa dia?”
“Tuan pasti sudah tahu siapa orangnya.”
Barda menyeka keringatnya yang mengucur di dahi. Lalu mengangkat wajahnya memandang Mbah Bejo. “Bolehkah saya pulang?”
“Tentu saja. Tapi kalau ada kendala, datanglah ke pedepokan ini. Pintu saya terbuka 24 jam untuk tuan calon Walikota. Dan jangan lupa bawa oleh-oleh.” Mbah Bejo terkekeh.
Barda keluar, ia berpapasan dengan Kati Muno. Kati Muno melangkah masuk dan kini berdiri di depan Mbah Bejo.
Mbah Bejo menatap heran pada lelaki yang berdiri di depannya. Tidak biasanya seorang tamu yang berkunjung, bersikap seperti itu. Pengunjung yang masuk ke ruangan tersebut, langsung bersimpuh dan mencium tangan Mbah Bejo.
Bahkan lelaki tersebut tidak mengalihkan pandang ketika bertemu tatapan mata Mbah Bejo. Sebaliknya dia menyorotkan matanya yang bercahaya tajam. Tajam setajam mata pedang. Anehnya, tilam tempat duduk Mbah Bejo, jadi panas membara. seperti terbakar!
“Kamukah Mbah Bejo?” Kati Muno masih berdiri.
Mbah Bejo menarik nafas dalam-dalam. Kini ia merasa stabil lagi. “Ya, saya Mbah Bejo. Tuan perlu bantuan apa?”
Sinis pandangan Kati Muno. Matanya memandang sekujur sosok Mbah Bejo yang duduk di tilam tersebut. Ia melihat sebentuk cincin yang melingkar di jari lelaki itu. Ya, benda tersebutlah yang dicarinya. “Ada sesuatu yang denai minta darimu,” ujar Kati Muno bernada tinggi.
“Tuan membutuhkan pertolongan saya? Tapi tuan harus duduk bersimpuh di hadapanku,” balas Mbah Bejo.
Sekonyong-konyong Kati Muno ketawa terbahak-bahak. Ruangan itu bergetar hebat. Benda-benda yang ada di dalam sana bergotang bagai diguncang gempa.Lidahnya yang bercabang dua menjulur.
Perapian di depan Mbah Bejo meletikkan bunga-bunga api. Dan air bunga dalam baskom muncrat menyiram wajah lelaki tersebut.
“Kamu kira engkau siapa!” Kati Muno membentak.
Mbah Bejo mengusap wajahnya yang basah. Nyalinya ciut sesaat. Bibirnya kemudian komat-kamit, membaca mantera. Percaya dirinya kembali lagi. “Tamu ini berisi juga,” gumamnya. Kini ia lebih waspada. “Tuan jangan sombong!” Mbah Bejo balas membentak.
“Serahkan cincin Mustika Api itu!”
“Mustika Api. Oh, maksud tuan Mustika Agni. Tuan jangan sombong dulu. Tidak mudah mendapatkan benda ini. Saya bertapa 40 hari di puncak gunung Tangkuban Perahu, barulah Mustika Agni ini kudapat.” Selesai berkata demikian, Mbah Bejo menancapkan jarum ke boneka yang dipegangnya.
Seketika Kati Muno terhuyung ke belakang, ia memegang perutnya, perut itu seperti ditusuk jarum. Sementara melihat lawannya kesakitan, Mbah Bejo terus menghunjamkan jarum-jarum ke boneka berkali-kali.
Kati Muno berguling-guling di lantai.
“Mampus kau!”
Kati Muno terus berguling di lantai. Ia memegang perut, dada, dan wajahnya. Mbah Bejo semakin garang menghunjamkan jarum-jarum ke boneka. Itulah ilmu Santet yang dimiliki lelaki tersebut. Jangankan korban berdekatan, jauh di seberang lautan pun akan tewas disantet.
Tiba-tiba ruangan itu berguncang hebat. Kedengaran suara ketawa terbahak-bahak. Kati Muno berdiri di depan Mbah Bejo, ia menyeringai. Wajah lelaki tersebut tampak menakutkan. Lidahnya yang bercabang dua menjulur.
Mbah Bejo terkesiap.
“Kamu sangka permaian anak-anak itu bisa membunuh denai,” ujar Kati Muno. Boneka di tangan Mbah Bejo berpindah ke tangan lelaki tersebut, saat ia menjulurkan lidahnya. Kati Muno kemudian menginjak-injak boneka tersebut sampai lumat.
Berkeringat sekujur tubuh Mbah Bejo.
“Sekarang berikan Mustika Api itu!”
“Tapi mustuka ini milik leluhur saya. Mustika itu milik Ki Samudra Reksa. Mohon jangan tuan ambil. Tuan bisa kualat.”
“Hmm. Kamu jangan dusta. Mustika itu kamu beli pada kios penjual barang antik?”
Makin berkeringat Mbah Bejo. Kerongkongannya semakin kelat. Tapi ia berusaha juga berkilah. “Benar tuan. Tapi semua itu atas wangsit Ki Samudra Reksa, ketika saya bertapa.”
Mendengus Kati Muno. “Biar denai berurusan dengan Ki Samudra Reksa.” Saat bersamaan Kati Muno mencopot cincin merah delima itu dari jari Mbah Bejo.
Mbah Bejo melongo. Ia melihat cincin merah delima itu telah berpindah ke jari Kati Muno. Dalam pada itu Slang muncul. “Guru telah selesai?”
“Ya, dia menyerahkan mustika itu,” sahut Kati Muno seraya memperlihatkan cincin melekat di jarinya.** (Bersambung...3)

Dari meja kerja Amran SN
Padangsarai Sumatera Barat, Juli 2011

Jumat, 15 Juli 2011

KECAPI NAGA (1)

Amran SN

Kecapi Naga adalah lanjutan dari kisah Selendang Pembunuh Anggang. Pada kisah terdahulu dikisahkan Nago tewas karena ledakan bom dahsyat. Mass media pers, baik cetak maupun elektronik memberitakan tentang peristiwa naas tersebut.
Kematian Nago Salapan didengar oleh Puti Rinjani dan mereka yang berada di Minangkabau atau Sumatera Barat. Namun Nago Salapan tiba-tiba muncul di kota P. Kisah dalam buku kedua ini semakin seru ketika munculnya Kati Muno. Kati Muno seorang tokoh jahat sezaman Datuk Perpatih nan Sebatang.
Amran SN, pengarang cerita ini memaparkan kisah Kecapi Naga bagai air mengalir. Dan anda akan ikut terbawa oleh cerita, seakan-akan ikut berperanan di dalamnya.  

------------------------------------------------------------------------------------------------------



1
Alam Antah Berantah


            Kendaraan patroli polisi berada di belakang mobil boks yang dikendarai Ook dan Damiri. Ook yang menyopiri mobil boks tersebut menggerutu karena mobil patroli polisi itu sangat lamban bergerak. Tentu saja mobil mereka tidak bisa langsung ke halaman Kedutaan. Akhirnya Ook memutuskan kembali mengitari kawasan Kuningan tersebut. Sementara itu Damiri di belakang cemas, bom rakitan yang mereka bawa beberapa menit akan meladak!
            Nago menyusuri trotoar di depan Kedutaan, ia memperlambat langkahnya, menoleh ke belakang. Atos belum juga muncul. Barangkali anak muda itu asyik berbincang-bincang dengan pemilik kios rokok, gumam Nago.
            Tiba-tiba sebuah mobil boks menikung kencang. Nago melompat! Saat itu kedengaran bunyi ledakan dahsyat. Bumi berguncang hebat. Jalanan terkuak. Langit merah menyala. Benda beterbangan bagai kapas diterpa badai.
            Lelaki itu masih mendengar pekikan membahana. Kemudian tubuhnya seperti tertarik ke bawah oleh kekuatan luar biasa, masuk ke dalam perut bumi. Tarikan di bawah bumi sangat kencang membenamkan lelaki tersebut.

            Sayup-sayup Nago mendengar suara seruling dan talempong. Irama itu menggiring tubuh Nago menembus perut bumi. Terapung-apung laki-laki itu menukik melewati lapisan kerak bumi. Sekian lama tubuh itu belum juga mencapai dasar. Berjam-jam ia melayang-layang. Berhari-hari Nago mengapung.
            Hawa panas menyembur di antara kerak bumi. Api yang membiru bergelora membakar tubuh Nago. Lelaki itu memekik, tubuhnya dilalap api biru. Tubuh itu menghitam bagai arang kayu. Dan melaju terus bagai meteor jatuh. Beberapa saat angin puting beliung bertiup. Nago berputar bagai gasing. Lama dan kian lama tubuh lelaki tersebut berpusing. Namun belum ada juga tanda-tanda kakinya hendak menyentuh dasar bumi.
            Berikutnya, Nago mendengar dentingan suara kecapi. Ia kenal benar suara kecapi tersebut. Itulah suara kecapi Naga. Ia coba membuka mata tapi kabut tebal menghalangi pandangannya.
            Dan tiba-tiba tubuh Nago menggigil. Tubuh itu seakan-akan membeku. Ia lemas tak berdaya. Nago terkapar pada sebuah padang luas.
            Saat itu pula, Nago mendengar burung murai berkicau di balik hijau dedaunan. Kabut telah lenyap, ketika ia membuka matanya. Aroma rumput liar dan bau tanah tercium hidung Nago. Ia berusaha bangkit, kondisi tubuhnya masih lemah. Kini ia punya kekuatan untuk bangkit walaupun sempoyongan.
            “Apakah saya telah mati?” Nago menyapukan pandangan ke sekeliling padang tersebut.
Di atas kepalanya matahari menyinari padang luas itu. Bunga-bunga semak tumbuh di sana-sini, bewarna-warni. Indah sekali. Ia mengayunkan langkah menyusuri padang tersebut. Angin semilir bertiup membelai rambut Nago, berkibar-kibar rambut itu. Cahaya matahari lembut membelai tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba Nago mendengar suara azan. Suara azan itu hadir bersamaan dengan tiupan angin. Nago menyeruak semak ilalang, mencari selokan untuk berwudhuk. Ia mendengar gemericik air.
Dan lega ia ketika mendapatkan anak sungai yang mengalir. Airnya jernih sehingga dapat berkaca. Terperanjat lelaki tersebut tatkala melihat wajahnya hitam legam dalam bayang-bayang air. Lalu ia membasuh wajahnya. Tapi noda hitam di wajahnya tidak terhapus. Termanggu Nago di pinggir sungai itu.
“Sudahlah,” ia menggumam membujuk dirinya sendiri. Kemudian shalat lohor.
“Saya harus ke mana. Di mana saya sekarang?”  Nago membuang pertanyaan itu jauh-jauh. Ia segera melanjutkan perjalanan.
Burung-burung terbang di angkasa. Sekelompok rusa sedang merumput. Makin jauh Nago berjalan, ia hanya melintasi padang rumput dan semak perdu. Ia belum juga menemukan kehidupan manusia.
Sekarang ia memasuki hutan belantara. Pohon-pohon besar berdiri bagai raksasa menantang. Tanah basah dalam hutan belantara itu karena cahaya matahari tertutup dedaunan.
Makin jauh Nago menelusuri belantara tersebut. Dalam hatinya ia terus bertanya, di daerah mana ia sekarang. Apakah ia bisa keluar dari kawasan ini?

“Denai yakin engkau akan datang,” tiba-tiba kedengaran suara menggema dalam belantara tersebut.
Nago menunda langkahnya. Ia menengadah ke atas, mengitari pandangannya ke sekeliling. Dari mana suara tersebut datang. Ia menyeruak semak, menuruni lereng, mencari tahu asal usul suara itu. Namun semakin ia berusaha makin kecewa dia. Ia tidak menemukan apa-apa.
“Perlihatkan dirimu!” Nago berseru lantang. Suara itu menggema sampai jauh.
“Lupakah engkau pada denai?” Kedengaran gema jawaban nun jauh.
Nago berbalik ke belakang karena ia mendengar gema suara tersebut dari sana. Namun tidak ada sosok siapa pun di belakang itu. Lelaki itu melangkah, ia mendengar air berdesau. Segera Nago berlari ke arah desauan air.
Di sana, tampak sebuah air terjun. Di bawah air terjun itu duduk seorang lelaki berjubah putih dan besorban. Anehnya, air terjun yang meluncur dari atas tidak menyentuh tubuh lelaki yang berada di bawahnya.
Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu tenaga dalam orang tersebut. Dan yang membuat Nago terheran-heran, lelaki besorban yang duduk di bawah air terjun itu, ia duduk mengambang di air. Hanya orang sakti mandragunalah yang dapat melakukan perbuatan itu.
Jarak antara Nago dan orang itu ada sepuluh tombak. Namun lelaki tersebut dapat melihat orang bersorban itu. Tapi Nago tidak mengenalnya, namun ia mengenal suaranya, suara tersebut adalah suara Tuan Janaka Mantrolot, gurunya.
“Guru!” Nago menyapa untuk meyakinkan dugaannya.
“Ya,” ujar lelaki besorban itu. Sejenak kemudian ia melayang keluar dari air terjun. Ketika Tuan Janaka menginjakan sepasang kakinya di pinggir sungai, sedikit pun rumput yang disentuhnya tak bergoyang.
Orang tua itu lantas duduk di bawah pohon rindang. Sedangkan Nago bersimpuh di hadapan orang tua tersebut.
“Saya tidak tahu di mana sekarang?”
“Oh, itukah yang membuatmu gamang?”
Nago mengangguk.
Tuan Janaka tersenyum.
“Ya. Saya gamang. Apakah saya berada di alam kematian atau berada di alam kenyataan. Dalam perjalanan kemari, saya selalu bertanya-tanya dalam hati.”
“Anak muda, engkau denai panggil kemari untuk mengemban tugas berat. Negeri ini adalah Antah Berantah. Suatu negeri yang tidak ada di alam nyata dan tidak dapat dilihat dengan akal modern. Negeri ini hanya ada dalam ilmu Sang Pencipta.”
Terdiam Nago sejenak mendengar penuturan Tuan Janaka Mantrolot. Ia memang pernah mendengar perkabaran Negeri Antah Berantah. Namun tidak mengetahui di mana letak negeri tersebut.  Dulu ia hanya mengira, negeri ini sebuah dongeng tukang kaba. Ternyata kini ia berada di sini.
“Apa yang membedakan antara Negeri Antah Berantah dengan Alam Ujud atau Fana?” Tak tahan Nago bertanya.
“Denai sudah menduga engkau akan bertanya seperti itu.”
Nago menunduk.
Orang tua sakti itu menatap Nago dalam-dalam. “Negeri ini sebenarnya adalah bagian dari alam ujud. Makhluk yang tinggal di sini merupakan bayang-bayang dari manusia di alam fana. “
Nago mendengar dengan seksama.
“Di sini ada rombongan putih dan rombongan hitam. Engkau termasuk rombongan putih, yang berjuang menegakan kebenaran. Sedangkan rombongan hitam adalah iblis, setan, hantu penasaran serta mereka yang suka membuat kemungkaran. Engkar terhadap perintah Tuhan.”
 “Di manakah bermukimnya rombongan hitam tersebut?”
“Nanti engkau segera tahu.
Nago tidak bertanya lagi. Ia diajak Tuan Janaka ke sebuah gua. Di sanalah orang tua itu tinggal. Gua tersebut sangat lapang. Ada puluhan orang di dalam sana. Mereka berjubah putih, duduk bersila di pasir, mereka mengundangkan Asma Allah. Di atas kepala mereka mengapung kabut tpis, mengawang ke langit-langit gua, akhirnya menembus ke alam bebas di luar sana.
“Siapakah mereka?”
“Mereka adalah para Aulia. Orang-orang terpilih. Di negeri ini mereka hanya berharap akan pertemuan dengan Sang Khalik. Justru karena itu mereka berzikir pagi dan petang.”
“Dan merekakah yang disebut rombongan putih. Lalu di mana rombongan hitam?”
“Kamu benar. Sedangkan rombongan hitam, nanti akan ketahui kelak. “
Suara azan berkumandang.
“Panggilan Allah telah datang. Mari kita shalat berjamaah,” kata orang tua itu.

**
Di negeri Antah Berantah Nago bertemu dengan Imam Ali. Menurut Tuan Janaka, Imam Ali di masa hidupnya adalah seorang sufi dan filsuf. “Denai sering bertukar pikiran dengan beliau. Wawasan denai kian mengental ketika berdiskusi dengan Imam Ali,” kata Tuan Janaka Mantrolot.
“Ini murid tuan?”
“Ya. Dia dari dunia fana. Denai sengaja memanggilnya ke mari agar wawasannya kian terbuka lebar. Lagi pula denai hendak menugaskannya untuk menyelamatkan dunia fana dari gangguan  kemaksiatan dan kemungkaran.”
Imam Ali menatap Nago Salapan. Mereka bertemu pandang. Nago melihat wajah lelaki itu bersih dan di sekitar sorbannya ada seberkas cahaya mengelilingi. Janggut Imam Ali putih keperakan.
Nago tidak tahan berlama-lama menatap wajah Aulia itu. Ada semacam kekuatan gaib yang luar biasa sehingga ia harus menunduk.
Ketika Imam Ali berbicara, suaranya lembut. Fatwanya tentang agama menyejukan hati. Pengetahuan orang tua tersebut sangat luas. Ia bicara tentang apa saja, tentang alam semesta ciptaan Tuhan, tentang hubungan manusia dengan Khalik, dan hubungan manusia dengan sesamanya. Dan hubungan manusia dengan alam.
Kemudian kedua orang tua sakti tersebut mengajak Nago ke tempat bermukimnya “rombongan hitam”. Kawasan rombongan tersebut berada di atas bukit tandus. Setelah berjalan cukup lama, mereka tiba di kawasan itu. Tampak batu cadas hitam menjulang tinggi.
Kawasan bukit itu benar-benar tandus, tidak ada secuil pun rumput atau lumut tumbuh. Cahaya remang-remang di sana. Padahal masih sore. Tampaknya suasana demikian, sudah biasa. Namun hawa di kawasan tersebut panas menyengat.
Makhluk yang berada di sana berwajah hitam legam. Ketika melihat kedatangan ketiga orang tersebut, mereka menyeringai. Lantas berlompatan mendekati, pada batas tertentu makhluk itu berdiri terpaku, tidak berani mendekat. Kebencian tersirat di wajah mereka.
Sekonyong-konyong kedengaran suara mengguntur. Nago merasakan gendang telinganya hendak pecah. Kawasan tersebut berguncang. Makhluk-makhluk yang berada di tapal batas berlari ke arah batu besar.
Ternyata bukan batu besar tapi sebuah kepala raksasa yang menyembul. “Mereka datang untuk mengejek kita!” Raksasa itu berkata. Suaranya menggema.
“Kepala raksasa yang menyembul tersebut adalah Dajjal. Sedangkan makhluk-makhluk yang mengerubunginya adalah pengikutnya, “ Imam Ali menjelaskan. “Dia dikubur di sana sampai datang suatu masa. Namun ia berusaha melepaskan diri. Tapi Tuhan belum menghendaki, Dajjal itu bebas.”
“Kenapa makhluk-makhluk itu tidak berani menginjak tapal batas ini?”
“Mereka tidak bisa menginjak tapal batas itu. Sebab bila mereka melewati tapal batas tersebut, maka tubuh mereka akan hangus. Mereka akan lenyap selama-lamanya,” sahut Imam Ali.
 Sesaat Nago tercenung. Ia memang pernah mendengar cerita tentang Dajjal. Tapi belum pernah mengetahui mengenai makhluk-makhluk yang mengelilingi Dajjal di Antah Berantah tersebut. Dan di sinilah ia baru menyaksikan tempat penguburan kepala Dajjal.
“kecuali Dajjal, sekali rima tahun, di antara makhluk-makhluk ini dibebaskan, dikembalikan ke dunia fana. Ada diantaranya yang sadar dan mau kembali ke jalan Allah. Tapi ada juga yang semakin sesat,” lanjut Imam Ali.
“Apakah salah seorang dari mereka itu adalah Kati Muno?”
“Ya. Dia sekarang mencari teman dan sekutu-sekutunya. Dan juga mencari “Lima Mustika Alam”, agar kesaktiannya sempurna kembali,” tukas Tuan Janaka Mantrolot. “Ada dua senjata pamungkas yang paling ditakuti manusia abadi, termasuk Kati Muno,” sambung orang tua itu.
“Senjata apa itu?”
“Kecapi Naga dan Selendang Pembunuh Anggang. Namun bila kelima mustika alam tersebut jatuh ke tangan Kati Muno, akan sulit menghadapinya.”

Hari-hari berikutnya Nago ditempa oleh kedua orang tua sakti itu. Siang malam Nago berlatih dengan tekun. Tasauf dan filsafat dipelajari Nago dari Imam Ali. Sedang Tuan Janaka menurunkan ilmu “Memetik kecapi tanpa kecapi” Ilmu tersebut merupakan penyempurnaan dari ilmu kecapi yang dipelajarinya dulu. Kalau dulu Nago harus memetik dawai kecapi sehingga menimbulkan bunyi. Tapi sekarang, tanpa kecapi, ia cukup menggerakkan jemarinya maka akan kedengaran suara kecapi berdenting.
Tidak mudah mempelajari ilmu kedua orang tua tersebut. Kadangkala Nago gagal mencernakan maksud-maksud keduanya. Tapi karena kegigihannya yang luar biasa, Nago akhirnya mampu menyerap ilmu pengetahuan Imam Ali dan Tuan Janaka Mantrolot.*** (Bersambung... 2

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (21)

21

Kematian


Udara cerah pagi itu. Ketika itu Nago dan Atos sedang di atas bis kota. Dari halte Tanjung Priok, mereka menuju kawasan Kuningan.
“Semalam Abang tidur di luar?”
Nago mengangguk.
“Sepertinya tadi malam ada gempa. Apa Abang tidak merasakan?”
“Benar. Justru karena itu saya pindah ke ruang tengah.”
“Kenapa Abang tidak membangunkan saya.”
“Kamu mendengkur semakin keras.”
Atos ketawa.

Sampai di Plaza Kuningan mereka turun. Atos mengajak Nago naik lift ke tingkat atas. Keduanya berkeliling melihat barang-barang yang dipajang di etalase. Penat berkeliling, mereka duduk bersandar ke pagar yang terdapat pada pinggiran toko. Dari sana mereka dapat melihat orang berlalu-lalang.
Sebagian pengunjung Mall adalah orang berduit atau anak orang kaya. Namun ada juga di antaranya dari masyarakat klas menengah yang kadangkala berkunjung. Kunjungan itu mereka jadikan sebagai rekreasi.
“Heran juga, orang bilang ekonomi sedang terpuruk. Atau bahasa yang lembut, bahwa ekonomi belum stabil. Tapi kalau kita lihat keadaan di sini, daya beli mereka kok begitu tinggi.”
“Yang belum stabil itu, ekonomi rakyat seperti kita ini. Kalau kelompok “the haves”, ya biasa-biasa saja. Kamu kok pura-pura begitu. Semua ini kan bukan rahasia umum lagi.”
“Benar Bang, sebebulan yang lalu saya ikut reses dengan anggota legislatif. Biaya perjalanan mereka lima juta setiap orang. Menurut SPJ mereka berkunjung selama seminggu, pergi pulang dengan pesawat terbang. Tapi tiga hari kemudian, mereka telah pulang. Tema perjalanan reses tersebut yakni mempelajari kelebihan daerah yang dikunjungi.”
“Barangkali itulah sebabnya sebagian anggota legislatif menjadi tersangka dalam kasus korupsi,” tukas Nago sambil mengerling pada Atos. “Dan kamu sebenarnya ikut pula menikmati perjalanan haram tersebut.”
“Abang ini gimana sih. Saya kan hanya pengikut,” Atos berkilah. Tapi kemudian ketawa.
“Ya, sudahlah. Lebih baik kita singgah ke kafe. Kita bisa minum atau makan nasi goreng di sana,” ajak Nago.

*

Dari kafe mereka keluar halaman Mall. Ketika itu hampir pukul 11 siang. Mereka menyeberang melintasi, melintasi zebra cross. Tiba-tiba Atos ingin merokok, ia mengeruk kantong kemeja, hendak mengambil rokok. Ia kecewa karena bungkus rokok dalam kantong kemejanya itu, kosong.
“Saya beli rokok dulu, Bang.” Atos singgah di kios pinggir jalan tersebut. Sementara itu Nago terus melangkah. Makin jauh dan makin jauh meninggalkan Atos.
Kawasan Kuningan memang kawasan ramai dan padat. Kendaraan berlalu lalang tanpa hentinya. Dan tanpa sadar Nago terus melangkah, ia seakan-akan melupakan Atos yang membeli rokok di kios sana.
Sebuah mobil boks telah dua kali melintasi kawasan tersebut. Lalu berhenti di depan Kantor Kedutaan.
Sekonyong-konyong kedengaran suara ledakan. Bumi berguncang!
Berhamburan benda-benda ke tas bagai kapas ditiup angin. Serpihannya jatuh dan menimpa orang ramai yang berlalu lalang. Atos terlempar. Kios rokok roboh. Hingar bingar, hiruk pikuk jadi satu. Selanjutnya Atos tidak tahu apa yang terjadi.
Kala ia sadar, Atos telah berada di rumah sakit. Ada luka lecet di kening dan kaki kirinya diperban, juga terasa nyeri di tumitnya. Ketika menoleh ke samping, beberapa orang mengalami nasib yang lebih buruk dari dia. Mereka mengerang-ngerang kesakitan, kadang menyebut nama Tuhan.
Rumah sakit tersebut semakin ramai dan terasa sumpek. Para pelayat berdatangan menjenguk keluarga masing-masing. Wajah mereka tampak cemas, ada yang menangis tersedu-sedu, dan ada pula yang memekik histeris. Mereka tidak tahan melihat korban tewas dengan menggenaskan.
Atos berusaha bangkit, ia gigit bibirnya menahan sakit. Akhirnya ia bisa berdiri. Seorang perawat muda menyodorkan tongkat pada Atos. “Anda harus menyangga tubuhmu dengan tongkat ini,” ujarnya.
Tiba-tiba Atos ingat Nago. Di mana lelaki tersebut. Apakah dia selamat? Atos berusaha bangkit dengan tongkat itu. Terpincang-pincang anak muda tersebut mengelilingi ruangan itu. Setiap orang atau mayat yang terbujur, ia perhatikan dengan seksama. Tidak ada Nago. Di antara desakan orang ramai, Atos keluar.

*

Di layar kaca diberitakan meledaknya bom berkekuatan tinggi di Kedutaan Australia, tercatat 100 orang lebih korban menderita cedera berat dan ringan. 90 orang tewas. Mass media cetak dan elekronik memberitakan peristiwa tersebut tak putus-putusnya.
Sementara itu aparat keamanan mensinyalir bom itu diledakkan oleh kelompok yang sama dengan mereka yang meledakan bom di Hotel Mariot dan Bali. Kemudian berbagai pendapat dilansir oleh pengamat di televisi, radio dan surat kabar. Ada yang memojokan keamanan dan polisi karena kurang peka serta tidak cepat tanggap.

*

Atos kembali ke P. Gugum terperanjat ketika melihat Atos terpincang-pincang berjalan. Dan dari Atos, lelaki tersebut mendengar penuturan bahwa Nago hilang dalam peristiwa meledaknya bom di Kedutaan Australia itu.
“Saya sudah mencari Bang Nago ke mana-mana. Ke penginapan, ke rumah teman-teman yang biasa kami kunjungi. Dan ke kantor polisi. Namun Bang Nago tidak ada,” kata Atos memelas. “Mestinya kami tidak ke sana. Padahal kami tidak punya urusan di kawasan itu.”
Gugum menengadah, terenyuh hati lelaki itu. Mereka baru saja bergaul beberapa bulan. Tapi kini Nago telah tiada. “Saya merasa kehilangan. Dia seorang sahabat yang baik dan sekaligus seorang guru. Masih banyak yang harus kita timba dari almarhum. Tapi takdir mengatakan lain,” desahnya.
Keesokan harinya, Gugum mengajak Atos ke Sungailareh. Gadis itu terhenyak Ketika mendengar penuturan Atos tentang kematian Nago. Berlinang air mata Nadia. Daun-daun tua rontok diterpa angin.*** (Bersambung....Kecapi Naga)

Dari Meja Kerja Amran SN
Padangsarai - Sumatera Barat, Juli 2011





SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (20)

20

Kati Muno

          Westenk Jr kembali ke hotel bersama Lola. Wajahnya keruh tapi lelaki itu berusaha memperlihatkan senyum pada gadis itu. “Lola, kita tunda keberangkatan ini, dua hari lagi. Mungkin Selendang Pembunuh Anggang itu tidak berjodoh menjadi milik saya.”
“Atau kita hubungi Tuan Logos di P,” gadis itu mengusulkan.
Diam sejenak Westenk Jr. Ia kemudian menggeleng halus. “Tidak usah sekarang. Sebaiknya kita istirahat dulu. Dan yang paling penting, kamu ada di samping saya.”
Malam telah tiba. Cahaya rembulan masuk ke kamar Westenk Jr dan Lola yang sedang tidur seranjang. Sepoi-sepoi angin laut merembes lewat ventilasi. Kesejukan hembusan angin membangunkan gadis itu.   
            Lola membuka mata perlahan-lahan. Westenk Jr yang berbaring di sampingnya sedang lelap. Gadis itu lantas beringsut ke pinggir ranjang, duduk termangu di sana. Sekonyong-konyong bertiup angin kencang. Pintu jendela terbuka lebar!
Segera Lola turun dari ranjang, ia bergegas menutup jendela. Kala hendak kembali ke ranjang, angin bertiup lagi. Jendela terbuka. “Kok terbuka. Bukankah saya sudah mengunci jendela itu,” gumamnya heran. Dengan kesal Lola kembali turun dari ranjang, mendekati jendela, bermaksud hendak menutupnya.
Di luar sana, gadis tersebut melihat bulan tumbuh selebar nyiru. Gadis itu terpana, ada sesuatu kekuatan  gaib menariknya, agar dia terus memandang bulan di atas sana. Lola menyaksikan dari bulan keluar dan melayang sosok aneh, seekor makhluk berkepala ular. Makhluk itu menatap tajam pada Lola.
Lola tertegun. Makhluk aneh itu melayang ke arah gadis tersebut. Bergetar lembut tubuh gadis itu lembut. Seekor kelelawar hinggap di ruang tamu kamar. Lalu terbang lagi. Saat itu perut Lola terasa mulas. Mulas yang tak tertahankan, segera ia bergegas ke kamar mandi.
Betapa terkejutnya Lola, di selangkangannya meleleh darah. Ia rebah di lantai kamar mandi, lemas sekujur tubuhnya. Perutnya terasa seperti diudak-udak, ada sesuatu benda bergerak kencang. Sekujur tubuhnya seakan-akan rontok. Lalu berteriak minta tolong. Namun Westenk semakin pulas.

*

Malam itu Nago tersentak dari tidurnya. Atos mendengkur di sebelahnya. Ada sesuatu kekuatan luar biasa yang membuat ia terbangun. Ia melangkah ke rungan tamu. Semua penghuni rumah itu tidur pulas.
Di luar pun sepi ketika Nago menyingkapkan gordin. Ia memandang bulan yang menggantung di angkasa. Langit bersih. Lelaki itu membiarkan gordin tersingkap, ia duduk sendirian di ruang tamu tersebut.
Sekonyong-konyong kedengaran suara menggema memenuhi ruangan. Nago berpaling ke kiri kanan. Tidak ada siapa-siapa di ruang tamu tersebut. Termanggu Nago sendiri. “Saya mendengar gema suara Tuan Janaka Montrolot. Tapi kenapa ia tidak mewujudkan diri?”
Angin berdesir halus.
“Kati Muno segera lahir. Kelahirannya tak dapat ditolak lagi. Semua itu telah tersurat dalam Tambo.”
“Tuan Janakakah itu?”
“Ya. Karena itu kamu harus kembali ke Alam Antah Berantah. Di sana kita akan bicara tentang Kati Muno.”
Alam Antah Berantah. Apa saya bisa kembali ke sana?”
“Kenapa tidak.”
“Bagaimana saya bisa masuk ke sana?”
“Nanti kamu akan tahu.”
Tiba-tiba terasa getaran di ruang tamu itu.
“Guru!”
Suara Tuan Janaka Mantrolot terputus. Asap tipis mengudara di ruangan itu.
Rumah itu berguncang hebat, digoyang gempa. Nago tersandar di kursi. Keringat dingin mengalir membasahi tubuhnya. Ia tertidur di kursi itu sampai subuh tiba.

Sementara itu Lola sedang berjuang antara hidup dan mati, di kamar mandi hotel. Benda yang ada dalam rahimnya mendesak hendak keluar. Darah menggenang di lantai kamar mandi, darah yang bercampur dengan cairan keputihan. Mengerang perempuan muda itu kesakitan. Kedua lututnya menggigil, ia terus mendorong agar benda yang ada dalam rahimnya keluar. Gadis itu berulang-ulang mengatur nafas, menarik nafas sedalam-dalamnya, lalu menghembuskan sebanyak mungkin.
Darah menggenang di hadapan Lola, bergelembung bagai balon-balon kecil. Gadis itu semakin ketakutan. Balon-balon kecil itu menyatu. Lalu bersatu padu dan membentuk sosok. Cairan putih lenyap tak berbekas Perut Lola kini telah kosong. Perempuan muda itu beringsut ke dinding. Ia lemas tak bertenaga.
Sekonyong-konyong petir menggelegar. Cahaya petir masuk ke dalam kamar mandi, dan menerpa sosok tersebut. Lola terpekik. Ia tewas dengan mata membelalak.
Di hadapan perempuan malang itu, merangkak makhluk aneh, manusia berkepala ular. Makhluk berkepala ular tersebut, layaknya bayi raksasa.
Bayi berkepala ular itu meraung panjang. Tiba-tiba terjadi perubahan pada bayi itu, ia kini tumbuh sebagai seorang lelaki berpostur tinggi semampai. Dia adalah Kati Muno yang baru saja lahir lewat rahim Lola.
Di luar sana bertiup angin kencang. Pohon-pohon bergoyang kencang. Angin bertiup semakin kencang, angin putting beliung. Debu di jalanan membubung ke udara. Kios-kios darurat yang berada di pinggir jalan ambruk. Orang-orang yang sedang makan dan minum di sana, berhamburan keluar.
Ombak tampak menggelora, menggulung naik. Perahu-perahu nelayan yang sedang melaut terpuruk dihempas gelombang. Langit mendung seketika. Angin puting beliung terus bertiup, suaranya berdesau-desau.
Pohon-pohon bertumbangan. Orang-orang yang berada di dalam rumah terbangun dari tidurnya. Pintu, jendela dan atap rumah terbuka, beterbangan dihantam angin putting beliung itu. Mereka berlarian keluar penuh kecemasan.

Ayam berkokok di kejauhan.
Westenk Jr terbangun, ia menghamparkan lengannya ke samping, mengira Lola masih ada di sana. Tapi lengannya yang menghampar hanya menyentuh bantal. Lelaki itu segera bangkit. Ia menangkap suara langkah kaki dan gemericik air di kamar mandi. “Dia sedang mandi,” gumamnya.
Kemudian Westenk Jr melangkah menuju kamar mandi. Ia bermaksud hendak membuat kejutan pada Lola. Lelaki itu berjingkat agar langkahnya tak kedengaran oleh Lola.. Tapi sebelum ia membuka kamar mandi, pintu tersebut terbuka. Bola mata Westenk membelalak. Di depannya berdiri seorang lelaki tanpa busana.
Menyeringai makhluk tersebut menatap Westenk Jr. Sepasang mata makhluk itu mencorong tajam bagai hendak membakar laki-laki tersebut. Westenk mundur seraya menuding ke arah Kati Muno. “Kamu memperkosa Lola?”
“Grrrhh!”
Dengan segala sisa nyali yang ada padanya, Westenk Jr bergegas ke kamarnya. Segera ia mengambil pistol di bawah bantal. Sementara itu Kati Muno terus mendekati laki-laki itu. “Jangan mendekat!” Westenk Jr menodongkan pistol.
“Grrrh!”
Sekujur tubuh Westenk Jr berkeringatan.Telapak tangannya berpeluh, gagang pistol yang digenggamnya terasa licin. Tiba-tiba pistol itu meledak, peluru melesat kencang menghantam dada Kati Muno.
Surut selangkah Kati Muno. Ia meraba dadanya yang dihantam peluru. Lantas ia kutil peluru yang lengket di dada itu. Ia pandang sejenak, kemudian meletakkan di telapak tangannya.
Westenk Jr terperanjat. Apa yang dilihatnya, tidaklah masuk akal sama sekali. Ia menembak Kati Muno dengan jarak yang sangat dekat. Dan tembakan pistolnya telah menembus dada makhluk tersebut. Mestinya Kati Muno terkapar berlumuran darah. Namun keterperanjatan Westenk Jr hanya sesaat.
Kati Muno meniup peluru di telapak tangannya. Peluru itu melesat kencang dan menembus kening Westenk Jr. Lelaki itu terhempas ke lantai dengan kening berlobang.
Seekor burung gereja yang bertengger antene parabola terjungkal ke tanah, dan mati seketika. Kati Muno terbahak-bahak, tampak lidahnya menjulur bercabang dua.*** (Bersambung...21

Dari Meja Kerja Amran SN
Padangsarai - Sumatera Barat, Juli 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (19)

19

Luka


Pukul sepuluh pagi, Anurangga mengajak Slang, Manusia Kucing dan Janggo ke jalan Lagoa di kawasan Tanjung Priok. Mereka menuju rumah, tempat menginap Bu Rahmi. Tadi malam informan Anurangga melaporkan bahwa Bu Rahmi dan Nadia tinggal di kawasan tersebut. Tanpa menunggu lagi, ia dan ketiga anak buahnya segera berangkat pagi itu.
Darman, keponakan Bu Rahmi itu seorang pengusaha besi tua. Pagi itu ia telah berangkat ke tempat penumpukan besi tua yang terletak tidak berapa jauh dari rumahnya. Sedangkan Warni mengantar gadis kecilnya ke TK. Di rumah itu, kini tinggal Bu Rahmi dan Nadia. Setengah jam kemudian, Nago datang.

“Apa kamu jadi pulang hari ini?” tanya Nago.
“Ya, rumah di Sungailareh sudah lama tinggal,” sahut Bu Rahmi. Sementara itu jalanan di depan rumah, seperti biasa ramai dilewati kendaraan.
Pagi hari itu, warga kampung itu sibuk dengan berbagai aktivitas masing-masing. Dan perempuan yang tidak bekerja kantoran, tinggal bersama anak anak mereka. Sambil bersih bersih rumah, kadangkala mereka juga menonton televisi.
“Kami pesan tiket untuk berangkat sore. Oya, Abang tidak pulang?” Nadia balik bertanya seraya meletakan secankir kopi di meja.
“Mungkin minggu depan. Saya masih ada urusan di sini.”

*

            Anurangga dan rombongannya berhenti di depan rumah itu. “Coba kamu cek, apa gadis itu memang berada di sana,” kata Anurangga pada Janggo.
            Janggo melompat turun, ia bergegas memasuki halaman rumah. Pintu rumah tersebut tampak terbuka. Nadia dan Nago sedang bercakap-cakap. Janggo melihat kedua orang tersebut. Kemudian ia kembali menemui Anurangga. “Mereka ada, Tuanku,” lapornya.
            “Semuanya turun,” ujar Anurangga. Lelaki itu turun dari mobil seraya menenteng pedang Jinawi. Slang dan manusia kucing mengikuti langkah Anurangga. Matahari pagi terasa panas menyengat. Langkah kaki mereka menghentak bagai genderang perang.
            Nago melihat kedatangan mereka. “Kita kedatangan tamu istimewa,” tukasnnya seraya melangkah ke depan. Dan Nadia bersiap, ia memegang Selandang Pembunuh Anggang, berkibar-kibar selendang itu dihembus angin.
            Slang dan Janggo maju ke depan. “Nago, dunia ini memang sempit. Kalian tidak mungkin lari dari kami. Sebaiknya kamu serahkan Selendang Pembunuh Anggang tersebut.”
            “Silangkaneh. Mulutmu memang besar. Tapi kamu tidak ada apa-apanya,” tukas Nadia.
            Surut selangkah Slang, ia menyuruk di belakang Janggo. “Tangkap gadis itu. Biar saya membereskan Nago,” kata banci itu seraya mendorong Janggo.
            Tanpa didorong pun Janggo telah maju. Ia mencabut belati di pinggangnya. Kemudian menghambur ke arah Nadia. Sebenarnya Janggo hanya ingin menggertak gadis tersebut. Menurut pikiran Janggo gadis itu akan menjerit ketakutan bila diancam dengan belati. Namun dugaannya meleset, gadis itu bukan menjerit atau lari terbirit-birit tapi malah menangkap lengannya.
            Meringis Janggo tatkala lengannya yang memegang belati ditarik gadis itu. Kesemutan lengannya bagai disengat arus listrik. Janggo berusaha menarik lengannya. Dan Nadia mendadak melepaskan! Janggo tunggang langgang. Belati itu berpindah ke tangan Nadia.
            Sementara itu Nago mendekati Slang. Pucat seketika Slang. Ia mundur beberapa langkah. Lalu menoleh pada Manusia Kucing. “Tolong saya!”
            Sebelum Manusia Kucing bergerak, Nago telah menelikung lengan Slang,”Jika kamu berontak. Maka lenganmu akan patah!” Nago mengancam.
            Manusia Kucing terpaku.
            Dalam keadaan genting itulah, berkelabat Anurangga ke arah Nago. Ia menebaskan pedang Jinawi. Kedengaran suara berdesing mirip raungan harimau.
            Untung Nago waspada. Ia merasakan hawa panas keluar dari angin sambaran pedang Jinawi. Nago melepaskan lengan Slang. Sehingga serangan Anurangga menemui tempat kosong. Namun serangan pedang Anurangga, tidak berhenti sampai di sana saja. Ia menyerang beruntun, membuat gerakan menusuk, menebas dan menetak. Anurangga tidak memberi ruang gerak sedikit pun pada lawannya.
            Di lain posisi, Manusia Kucing menerjang Nadia dengan clurit. Selendang Pembunuh Anggang berkibar-kibar menyambut serangan lawan. Janggo coba membantu Manusia Kucing.
            Berkali-kali Manusia Kucing kena sambaran Selendang Pembunuh Anggang. Laki-laki tersebut sungsang balik dihantam ujung selendang Nadia. Ia menggelosor di tanah, terus menggelinding dan masuk comberan.
            Bu Rahmi terperanjat melihat adegan pertarungan tersebut. Jantungnya berkipas-kipas. Perempuan itu berlari ke sana sini tak menentu. Bu Rahmi berteriak minta tolong. Namun tak ada seorang pun yang keluar rumah.

            Suatu saat Nago mundur beberapa tindak. Ia menggumam,”Dari mana ia mendapatkan pedang itu?” Akan tetapi Nago tak sempat berpikir lebih jauh, karena Anurangga semakin gencar menyerang lawannya itu. Pedang Jinawi di tangan Anurangga terus mencecar ke mana Nago berkelit.
            Sekali saat, pedang Jinawi menyentuh Nago. Kedengaran suara kain robek. Pakaian di dada Nago robek. Sejenak kemudian, tampak darah meniris di dada lelaki tersebut. Dada Nago yang tergores itu berdenyut-denyut. Sementara itu Anurangga terus mendesak lawannya. Nago terhuyung ke dalam rumah. Anurangga ketawa lebar, penuh kemenangan.
            Pedang Jinawi memang senjata ampuh. Sekian abad yang lalu, pedang Jinawi mejadi milik Timur Leng. Dengan pedang sakti tersebut, Timur Leng menaklukan Eropa dan Asia Tengah. Entah berapa musuh-musuh Timur Leng tewas di ujung pedang itu. Ia menjadi penakluk yang melegendaris, tak ada tandingannya di abad tersebut. Setelah ia Timur Leng tewas, pedang Jinawi pun menghilang. Tapi tidak banyak informasi, kenapa kemudian pedang Jinawi menjadi milik keluarga Al Lahab, kemudian dihadiahkan kepada Anurangga.
            Anurangga mengejar Nago sampai ke pintu rumah. Ia sambil mengacungkan pedang, ia menyeringai seraya menebaskan leher lawannya. Sungguh-sungguh genting keadaan Nago. Bagai kilat tebasan itu dilancarkan Anurangga. Tidak mungkin Nago berkelit, satu-satunya jalan adalah menangkis dengan lengan kanannya.
            Kedengaran suara berdetak, pedang Jinawi bertemu dengan lengan lelaki tersebut. Nago Salapan mengerahkan tenaga saktinya. Namun pedang Jinawi adalah senjata keramat. Kekebalan tubuh Nago sirna, seketika lengan itu terluka, menganga lebar. Racun pedang tersebut masuk ke pembuluh darah Nago. Kepalanya tiba-tiba merasa pusing. Nago terhuyung-huyung.
            Nadia sedang bertarung melawan Manusia Kucing dan Janggo. Saat itu ia menoleh ke arah Nago. Ia melihat lelaki tersebut terhuyung-huyung. Sementara itu dengan ganas Anurangga melangkah hendak menghabisi Nago Salapan.
            “Hiaaat!”
            Nadia berseru keras, ia menyabetkan Selendang Pembunuh Anggang. Menderu kencang selendang itu, ujung selendang menghantam Manusia Kucing. Terlambat Manusia Kucing berkelit, ia hanya sempat mundur setindak. Clurit di tangannya lepas. Lelaki itu terjerembab. Saat yang hampir bersamaan, Nadia berkelabat, ia mengibaskan selendang menyerang Anurangga yang siap hendak menghabisi Nago.
            Anurangga terperanjat. Sedikit pun ia tak menyangka akan diserang Nadia dengan Selendang Pembunuh Anggang. Laki-laki itu berguling menghindar. Lunglai sekujur tubuh Anurangga karena ujung selendang menerpa tubuhnya. “Selendang itu benar-benar sakti. Andaikata denai terlambat menghindar. Habislah denai,” gumamnya.
            Orang ramai mulai berdatangan. Mereka menonton pertarungan. Bu Rahmi menarik Nago ke dalam rumah. Sedangkan Nadia bersiaga, ia merentangkan selendangnya di dada. Matanya mencorong tajam.
            Melihat keadaan yang tidak memungkinkan, Anurangga kembali ke kendaraan. Manusia Kucing dan Janggo terpincang-pincang melompat ke mobil. “Silangkaneh. Kamu tunggu apa lagi. Jalankan mobil!” Anurangga membentak.
            Mobil menderu kencang. Orang ramai yang berada di pinggir jalan terpekik mundur. Takut keserempet.

**

            Matahari jatuh memuntahkan sinarnya di langit Jakarta. Walaupun sudah saatnya musim hujan, kota megapolitan ini belum memperlihatkan akan terjadi perkisan cuaca. Dalam panas terik yang menyengat itu Nago melangkah gontai di trotoar, ia menyandang tas di bahu. Peristiwa penyerangan Anurangga ke rumah Darman, tempat Bu Rahmi dan Nadia menginap di jalan Lagoa, telah berlalu, seminggu lamanya. Luka di dada Nago akibat sabetan pedang Jinawi dari Anurangga, masih belum sembuh. Kadangkala ia menunda langkahnya karena terasa nyeri di luka tersebut.
            Nadia dan Bu Rahmi telah pulang ke kota P.
“Ya, sebaiknya kamu kembali ke P,” ujar Nago tatkala gadis itu hendak naik pesawat. “Di sini kurang aman bagimu. Terutama bagi Bu Rahmi,” sambungnya. Sebenarnya Nago ingin berdekatan dengan Nadia. Tapi instinknya berkata lain.
            “Saya juga mengkhawatirkan Uda. Kelihatannya luka tersebut belum sembuh benar.”
            “Saya akan mengobati sendiri.”
*

            Sengatan matahari kian panas jatuh di atas kepala Nago. Ia telah melewati beberapa persimpangan. Keringat menetes di dahi laki-laki itu. Namun ada keindahan tersendiri kala berjalan kaki di trotoar sepanjang jalan Gunung Sahari. Sepanjang perjalanan ia dapat menangkap makna kehidupan. Wajah-wajah orang berlalu lalang ketika berpapasan dengan dia, dapat ditangkapnya. Ada wajah yang optimis menjalani kekerasan hidup, tapi ada pula wajah getir yang sendu duduk di pinggir trotoar sambil menadahkan tangan mengharap belas kasihan.
            Ibukota memang impian bagi mereka yang berada di daerah. Segalanya tampak menggiurkan. Di sini ada harapan. Di sini juga ada kekecewaan. Orang bisa sukses, dan bisa juga terpuruk. Namun bagi yang tidak siap maka muncul kekecewaan. Semula harapan menggunung di dada, ternyata harapan hanyalah tinggal harapan. Akan tetapi kekerasan hidup itu harus dijalani oleh mereka yang tergusur situasi kehidupan itu sendiri. Mereka hidup apa adanya, tidur di emper toko bila malam tiba, melacurkan diri, mengemis, mencuri. Atau yang punya keberanian lebih, bisa merampok, bahkan bila perlu korup jika kesempatan itu memang ada.
            Langkah-langkah Nago di bawah sengatan matahari terus bergerak. Pikirannya terus menerawang, bergalau ke mana-mana. Nago tiba-tiba ingat Nadia. Seakan-akan antara dia dengan gadis tersebut selalu terpisah. Rindu-rindu mereka terputus oleh keadaan. Apakah karena ia tidak bernai mengambil keputusan? Keputusan untuk menikahi Nadia alias Puti Rinjani.
            Ada semacam tabir tipis yang menghalangi di antara mereka. Tabir itu adalah “keabadian”. Saat ia berguru pada Tuanku Janaka Mantrolot, orang tua sakti tersebut berpetuah,”Kamu ditakdirkan jadi manusia abadi. Akan tetapi kamu tidak boleh mempersunting Puti Rinjani. Dia perempuan pilihan zaman. Rinjani itu perawan abadi.”
            “Tapi saya juga manusia. Saya butuh perempuan pendamping hidup,” tukas Nago Salapan.
            Nago…Kita bukan bicara tentang baik atau buruk. Tapi kita bicara tentang keharusan. Kewajiban kamu sebagai makhluk ciptaan-Nya, yaitu menerima takdir yang dibebankan dipundakmu.”
            Dialog itu terputus ketika Tuan Janaka Mantrolot mengambang di udara.
*
            Ayunan langkah Nago menerawangkan pikiran lelaki itu pada Anurangga. Anurangga dalam setiap reinkarnasi selalu memburunya. Alasan klasik dari Anurangga, bahwa segala perbuatannya selalu mendapat halangan dari Nago Salapan. Di samping itu terselip kedengkian akan cintanya tak berbalas dari Puti Rinjani. “Suatu saat dunia akan denai beri bertampuk, dan akan denai jinjing. Dan kalian berdua akan sujud minta ampun di kaki denai,” kata Anurangga.
            Nago menunda langkah, ia meraba dadanya yang terasa nyeri. Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia hembuskan perlahan-lahan. Sekejap dadanya terasa lapang. Kemudian ia berdiri di pinggir jalan hendak menyetop angkot.

            “Bang. Bang Nago!”
            Nago menoleh, Atos berlari-lari kecil menghampiri lelaki itu. “Saya mengikuti Abang dari simpang sana. Semula saya bimbang. Tapi setelah dekat, baru saya yakin yang berjalan di depan, adalah Abang.”
            “Tumben kamu kok di sini?”
            “Saya sudah seminggu di sini. Apa Abang tidak tahu, sekarang Jakarta sedang sibuk. Sibuk soal pilihan presiden. Saya ikut rombongan tim sukses. Di samping itu banyak peristiwa yang dapat dijadikan berita di sini.”
            “Oya. Tapi kamu harus hati-hati. Bisa-bisa kamu dituduh teroris,” gurau Nago.
            Atos tergelak. “Abang ini ada-ada saja.”
            “Kamu sudah makan?”
            “Kebetulan. Saya memang lapar. Kita ke Senen, di sana ada warung Padang.”
            Tampaknya Atos memang lapar. Di warung Padang itu, ia bertambuh sampai tiga kali. Selesai makan ia minta segelas kopi. “Bang. Saya ingat Buya Katib Agam. Bagaimana kabar beliau?” Tiba-tiba Atos bertanya.
            “Beliau telah dijatuhi hukuman.”
            Batuk-batuk kecil mendengar jawaban Nago. “Bagaimana mungkin seseorang yang tak bersalah dijatuhi hukuman,” tukas Atos datar. “Saya kira kedailan telah dipermainkan.”
            “Barangkali itulah situasi di negara ini. Saya bukan orang politik atau ahli hukum. Tampaknya kita harus bersabar menunggu perubahan.”
            Atos membakar rokok yang sejak tadi diselipkan di bibir. Ia menawarkan rokok pada Nago. “Konflik internal di negeri ini semakin tidak menentu. Sementara itu pemerintah dalam posisi lemah. Korupsi merajalela di mana-mana.”
            Asap rokok Atos mengambang ke udara. “Saya melihat kita telah tercabik-cabik. Masing-masing kita sudah tak merasa aman tinggal di negeri sendiri. Di mana-mana bom meledak. Dan para petinggi keamanan negeri ini bergerak setengah-setengah. Hangat-hangat cirit ayam. Mereka selalu mendua.”
            “Justru karena itu, kita perlu perubahan. Tidak boleh sepotong-potong. Jangan hanya kita bebankan saja pada pemimpin. Rakyat pun harus ikut aktif melakukan perubahan.”
            “Bernas juga pikiran Abang.”
            “Saya hanya melihat realita yang terbentang.”
            Panas mulai lindap, menjelang sore.
            “Oya, Abang menginap di mana?”
            “Saya menginap di losmen sana. Losmen itu murah meriah. Saya kan hanya turis lokal. Lagi pula saya ke sini atas kemauan sendiri. Tentu saja tidak ada SPJ (surat perintah peejalanan).”
            Tersenyum Atos. Ia lalu menggamit pelayan dan membayar makan dan minum mereka. “Rombongan tim sukses telah kembali ke P. Jadi sekarang, saya nginap di rumah Om. Kalau Abang tidak keberatan, kita ke sana.”*** (Bersambung....20)

Dari Meja Kerja Amran SN
Padangsarai - Sumatera Barat, Juli 2011