Sabtu, 07 Januari 2012

KECAPI NAGA (4)


4

Tamu Lewat Tengah Malam

Malam itu Nadia dan Sarah shalat tarwih di masjid Taqwa. Tentu saja ia harus menginap di rumah kost Sarah, karena untuk pulang ke Sungailareh, angkutan kota malam itu tidak ada. Dalam perjalanan pulang ke rumah kost, mereka bertemu Mori, kreografer tari itu.
“Kita minum dulu. Sambil omong-omong santai,” tawar lelaki itu.
“Okelah. Tidak ada doa tolak rezeki,” tukas Sarah. Sebenarnya nadia ingin menolak tapi Sarah terlanjur bicara duluan. Nadia terpaksa ikut ajakan Mori.
Mori dalam percakapannya dengan gadis tersebut, menuturkan kegiatan sanggarnya. Seperti baiasanya, Mori mengajak Nadia untuk bepartisipasi dalam pagelaran tari. Kali ini pagelaran tari itu dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. “Pagelaran tari ini dilaksanakan dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan. Tentu saja nafas sndra tari tersebut bernafaskan Islam. Saya harapkan kalian berdua mau bergabung dengan rombongan kami.”
“Tapi kami belum berlatih dan tidak tahu alur sendra tari yang Bang Mori persiapkan,” tukas Sarah.
“Oh, soal itu mudah diatur. Saya kan pimpinan sanggar. Latihan baru baru saja dimulai kemaren. Kalian kan penari yang sudah jadi. Tinggal poles sedikit, bereslah.”
Nadia belum menjawab ajakan Mori. Kendatipun di kafe itu orang ramai, Nadia tetap merasa sepi. Ia sepi karena masih dalam keadaan “berkabung”. Seratus hari telah berlalu kematian Nago. Jiwanya terasa kosong. Kadangkala ia termenung sendiri. Betapa dalam kehidupannya, terutama dalam percintaan dengan Nago, gadis tersebut selalu mendapat halangan. Ada saja jurang pemisah di antara mereka. Seakan-akan perpisahannya dengan lelaki itu merupakan takdir tersendiri.
“Nadia,” tukas Sarah seraya mencolek bahu gadis itu.
“Oya.”
“Kamu kenapa?”
Ngak kenapa-napa.”
“Kamu setuju?”
Mori menatap gadis itu. Lelaki tersebut berharap agar Nadia ikut rombongannya. Ia telah melihat penampilan Nadia, ketika di Malaysia dan Brunai. Gadis itu banyak mendapat pujian penonton. Bahkan beberapa kritikus tari mengacungkan jempol terhadap penghayatan dan gerak tari gadis tersebut. Foto-foto Nadia terpampang di mass media negeri jiran tersebut. Umumnya mereka kagum akan kepiawaian Nadia menari.
“Kapan latihannya?” tiba-tiba Nadia bertanya.
“Besok sore. Kamu bisa kan?”
Nadia mengerling pada Sarah. Sarah mengangguk. “Iyalah, saya bersedia,” sahut Nadia kemudian.
Legalah perasaan Mori. Tadinya lelaki itu seperti terhimpit oleh sebuah gunung, nafasnya sesak.. Tapi ketika Nadia menyatakan kesediaannya, plonglah perasaannya.

*

Kedua gadis itu masih belum tidur menjelang sahur. Mereka berbincang tentang ajakan Mori untuk bergabung mengikuti pagelaran sendra tari di Taman Ismail Marzuki.
Sementara itu di luar sana tampak sosok bayangan ramping. Bayangan itu mengamati rumah tersebut. Kemudian menyelinap masuk ke halaman. Lampu teras di depan menyinari sosok ramping itu. Setiap sosok misterius itu bergerak, kedengaran bunyi gemerincing halus.
Beberapa orang remaja berteriak menyorakkan sahur untuk membangunkan  warga. Kadangkala mereka mengetok tiang listrik dengan batu.
“Sahur. Sahur!”
“Ibu-ibu, bangunlah!”
“Yang belum masak segera masak!”
“Bangun…Bangun!”
Puti Bagalang Banyak atau Olivia merapatkan tubuh ke tiang teras. Setelah para remaja tersebut berlalu, perempuan itu menatap lampu teras. Sorot matanya yang tajam tersebut memadamkan lampu di rumah itu. Kemudian masuk ke dalam tanpa merusak kunci pintu rumah.
Ayam berkokok di kejauhan.
Nadia ketika itu sedang di ruang tengah. Gadis itu baru saja selesai sahur. Sedangkan Sarah telah lelap di kamar. Kedengaran langkah kaki ringan dan gemirincing halus. Dalam keredupan ruangan itu, Nadia melihat bayangan melintas. Matanya menangkap bayangan ramping.
“Siapa itu?”
Tidak ada sahutan, tapi suara gemerincing semakin jelas kedengaran.
Ayam berkokok tanda perkisaran waktu. Dan gadis itu melihat sosok tersebut melangkah mendekatinya. Nadia mengenalnya, lalu menyapa, “Oh, kamu Puti Bagalang Banyak. Tumben kamu menyelinap kemari pada sahur ginian.”
“Saya kira kamu lupa pada teman lama,” kedengaran suara merdu menyahut.
“Begitukah cara teman lama bertamu padaku?”
Puti Bagalang Banyak tersenyum. “Keberatankah engkau, saya kunjungi dengan cara ini.”
Nadia menghidupkan kembali lampu di ruang tengah dengan tatapan mata. Ia melihat Olivia masih berdiri. “Silahkan duduk,” basa gadis tersebut. “Oya, Puti sudah makan sahur?”
“Terima kasih. Saya datang kemari untuk berbincang-bincang dengan kamu. Tapi sebelum itu saya minta maaf atas kejahilanku tadi. Saya hanya bergurau.” Ucapan Olivia terasa bersahabat. “Perbincangan ini antara dua perempuan yang bernasib sama.”
“Nasib yang sama. Apakah maksudmu?”
“Kita perempuan yang selalu ditinggalkan laki-laki. Itulah persamaan kita berdua.”
Sejenak Puti Rinjani tertegun. “Puti, engkaulah adalah seorang permaisuri. Sedangkan saya hanyalah rakyat jelata. Bagaimana kita bernasib sama,” sahut gadis itu kemudian.
Ketawa renyah Puti Bagalang Banyak. Gelang di lengannya gemerincing. “Kamu jangan terlalu merendahkan diri. Apa pun masalahnya, kamu masih berdarah biru. Dan saya kurang suka disebut sebagai permaisuri. Semuanya adalah masa lalu yang kelabu.” Sejenak Olivia alias Puti Bagalang Banyak menatap Nadia lekat-lekat. “Anurangga adalah lelaki yang penuh ambisi. Segala kehendaknya, selalu ia paksakan agar cita-cita tercapai,” sambung perempuan itu.
“Tapi dia suami Puti.”
“Secara pisik ia suami saya. Namun jiwaku ini tidak menyintainya. Bukan saya menolak hubungan pernikahan tersebut, tapi dia telah merusak hubungan itu sendiri. Anurangga lebih menyintai engkau…”
Nadia tercenung.
“Apakah kamu masih mendengar ucapan saya?”
“Ya.”
“Dan engkau lebih beruntung dari saya. Nago Salapan terus mencintai engkau sepanjang masa. Dua orang lelaki yang saling berseberangan paham mencintai kamu. Anurangga dan Nago Salapan memperebutkan engkau. Sementara itu saya mengharap cinta mereka.”
Nadia masih diam.
“Oya, saya hampir lupa,” ujar Olivia ketika ia melepaskan pandangan pada Nadia, ia melihat lontin yang tergantung di leher gadis itu. “Kati Muno telah lahir kembali. Sekarang ia sudah hadir di alam fana ini.”
“Kati Muno muncul kembali?”
“Ya, dan untuk melengkapi kesaktiannya, sekarang Kati Muno mencari lima mustika alam. Demi benda tersebut ia tak segan-segan membunuh. Dan dia menyatakan bahwa kamu dan Nago Salapan adalah musuh yang harus dilenyapkan.”
Sepasang alis mata Nadia mencuat ketika mendengar penuturan Olivia. Sebenarnya, ia dan Nago Salapan sebagai musuh utama para golongan hitam bukanlah hal yang baru. Sebab dendam Kati Muno padanya adalah dendam turunan. Menurut tambo dan ranji, Puti Rinjani mempunyai tali darah dengan Perpatih nan Sebatang. Sedangkan Nago Salapan adalah murid Tuan Janaka Mantolot, seorang yang mempunyai hubungan erat dengan tokoh mitos tersebut, Perpatih nan Sebatang itu.
“Apakah Puti telah bertemu dengan Kati Muno?”
Olivia mengangguk. “Kami bertemu di bungalow. Kati Muno itu guru Anurangga. Tentu saja mereka bersekutu. Pula, kalian dianggap musuh utama karena mempunyai senjata pamungkas, Selendang Pembunuh Anggang dan Kecapi Naga.”
“Jika demikian, saya akan lebih waspada. Terima kasih atas informasi anda.”
Sayup-sayup kedengaran kokok ayam.
Olivia dan Nadia bertukar pandang. Lontin di leher Nadia bercahaya terang disinari lampu. Ingin perempuan muda tersebut menyampaikan tentang lontin yang dipakai gadis itu. Tapi akhirnya Olivia mengalihkan pembicaraan tentang keberadaan Nago Salapan. “Tahukah engkau di mana Nago Salapan sekarang?”
Sejenak agak terguncang Nadia mendengar pertanyaan itu. Tapi dengan tarikan nafas, ia kembali dapat mengembalikan diri. “Saya belum mendapat kabar tentang dia. Konon kabarnya, dia telah tewas. Tewas kena ledakan bom.”
Olivia menggeleng lembut. “Saya kurang percaya dia bisa tewas oleh senjata modern secanggih apa pun. Dan saya yakin Nago Salapan akan kembali.”
“Harapan saya memang begitu.”
Fajar menyingsing.** (Bersambung...5)

0 komentar:

Posting Komentar