ROH
![]() |
Sumber: Google |
Kisah Roh Mencari Tuhan.
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, Roh itu termasuk urusan Rabbku dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
(Al-Isra’: 85)
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati diwaktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah ditetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum berpikir.”
(Az-Zumar : 42)
Sinopsis
Novel ini mengisahkan pengembaraan roh. Ia kembali ke dunia nyata setelah mengetahui bahwa catatan amal salehnya lebih sedikit dari dosa yang diperbuatnya selama hidup. Memang tidak mudah mendapatkan dispensasi kembali ke alam nyata. Roh harus melewati siksaan kubur. Tapi ia kemudian membantah siksaan kubur itu dengan pengetahuan agama yang dipelajarinya.
Kembali ia ke dunia bukanlah sebagai makhluk lain, yaitu menjelma sebagai harimau, ular atau reinkarnasi pada seseorang. Ia tetap seperti adanya, sebelum ia meninggal. Namun beban yang disandangkan ke pundaknya oleh malaikat Mungkar dan Nangkir, yakni kembali meraih amal saleh, berbuat baik kepada sesamanya.
Nihil, sang Roh itu mengembara ke mana-mana. Ia bertemu dengan seorang ibu yang putus asa mendidik putranya. Juga bertemu dengan tokoh masa lalu, ikut serta mencari jalan lurus. Nihil dalam perjalanan sucinya itu pun dihadang oleh Iblis. Pun berdialog dengan orang-orang yang meragukan Islam. Dalam pengembaraannya, Nihil berupaya naik ke langit.
Itulah ringkasan novel yang berjudul Roh ini. Agaknya novel ini bisa menimbulkan kontrovesi, karena novel ini hanyalah sebuah fiksi. Pesan aku sebagai penulis, jangan lepaskan buku ini sebelum menamatkannya!
***
Sekilas tentang Penulis:
Amran SN, dilahirkan 31 Desember 1948.
Mulai menulis sejak masa kanak-kanak di majalah Anak si Kuncung (Sekolah Rakyat). Lebih aktif menulis tahun 1980 di berbagai media, baik lokal maupun nasional ; Di Harian Haluan ia dikenal pembacanya sebagai penulis cerita silat. Cerita silatnya antara lain : Rimau, Gorilla Setan. Kisah Negeri Hulu dan Sungai, Nago Salapan, Selendang PembununAnggang. Pada Harian Siinggalang, disamping menulis cerita pendek, ia juga menulis cerita silat antara lain Janggo sang Buronan. Ketika Mingguan Canang terbit dia menjadi penulis tetap, di sana ia menulis cerita pendek dan aksyen, antara lain Baron Lakon, Rompak. Pada majalah Anak “SAI” menulis cerita anak. Cerita Anaknya yang paling populer di majalah itu adalah MACO.
Sekitar tahun 90-an Harian Calon Kuat. Pada saat yang bersamaan Majalah Harison pun memuat cerita pendeknya “Gaek”. Dalam rangka bulan bahasa, ia memenangkan Lomba Cerita Rakyat dengan judul “Lubuk Buaya” (juara III) Pada usia senja ini dia masih menulis di berbagai mass media.
***
1
Catatan Buku Putih
Menjelang pagi, tiba-tiba kepalaku pusing. Aku berbaring di ranjang, dada ini terasa menyesak dan sempit. Biasanya penyakit seperti itu tidak begitu kupedulikan, karena dalam usia 60-an ini, penyakit semacam itu merupakan bagian kehidupan seorang yang gaek. Seperti biasa, setelah berbaring beberapa jenak, penyakit itu mereda. Namun hal itu tidak terjadi kali ini. Dadaku terasa panas dan sempit. Keringat dingin menetes di dahi.
Istriku membungkuk di depan ranjang, ia mengusap keningku. “Panas Uda tinggi sekali. Kita harus ke Puskesmas,” ujarnya.
“Tidak usah. Sebentar juga sembuh,”kataku lambat. Tapi apa yang kuucapkan itu hanyalah untuk menghibur hatiku sendiri. Dan juga untuk menjelaskan pada Umi, istriku itu agar ia tidak perlu khawatir. Samar-samar aku mendengar langkah kakinya meninggalkanku, keluar kamar.
Aku kini tinggal sendirian.
Aku melihat bayangan putih duduk di pinggir ranjang. Makhluk itu menatapku, tatapan yang aneh, kadang lembut, kadang menyala-nyala. Sekonyong-konyong aku merasa bahwa makhluk yang duduk di pinggir ranjang itu seorang malaikat. Mungkin malaikat pencabut nyawa. Di sela-sela sempitnya nafasku yang semakin sempit, aku menduga sebentar lagi malaikat itu akan merenggut nyawaku.
“Tuan akan mencabut nyawaku?”
Malaikat itu mengangguk. “Apakah kamu sudah siap?”
“Siap? Apa yang harus kupersiapkan menjelang kematian ini?”
“Amalmu.”
“Amal? Bukankah yang menilai amal manusia itu adalah Tuhan.”
“Benar. Tapi kamu harus merasa yakin amalmu dapat membawamu ke sorga atau akan menjerumuskan engkau ke neraka.”
“Aku shalat, dan juga banyak bersedekah. Ya, sesuai dengan kemampuanku.”
“Aku malaikat pencabut nyawa. Yang akan menilai amalmu adalah Mungkar dan Nangkir di dalam kubur nanti.”
Aku mengerang ketika ia meraba keningku. Kemudian tangannya menelusuri sekujur tubuh, akhirnya sampai ke jempol kaki. “Kamu ingin dicabut dari ubun-ubun atau dari jempol kaki?”
“Aku ingin nyawaku melayang tanpa sakit.”
Aku mulai meraba-raba pinggiran kain sarung yang menyelimutiku. Dulu aku pernah menjenguk seorang sahabat saat-saat sakratul maut datang, ia menelisik kain alas kasur. Begitu pula ketika putri bungsunya yang meninggal dua tahun lalu, ia pun berbuat seperti itu. Tanda-tanda itu merupakan kebiasaan orang yang akan mati. Aku meraba-raba tepi kain sarungku adalah untuk menyakinkan bahwa rabaanku masih berfungsi. Banyak tanda-tanda yang pernah kudengar bagi orang yang hendak meninggal dunia. Ada yang ingat tingkah laku dan perbuatannya pada masa lampau. Kalau ia pemain domino, maka ia akan menghempas-hempaskan tangannya seperti menghempaskan batu-batu domino itu. Bila ia suka bercarut bungkang, ia pun akan bercarut bungkang. Jika dia seorang hidung belang, suka membawa perempuan yang bukan istrinya, maka ia menggigau memesan kamar.
Dulu aku pernah berdiskusi dengan seorang teman tentang kematian. “Orang yang mati itu, sebenarnya telah mati sebelum dia terbujur kaku,” kataku mengemukakan pendapat.
“Bagaimana mungkin. Orang yang mati itu nyawanya dicabut oleh malaikat maut. Jika ia hanya merasakan mati tapi tubuhnya tetap bergerak, berarti ia tetap hidup. Orang yang mati tersebut nyawanya dikumpulkan Tuhan,” sanggah temanku itu.
“Bukan begitu. Pernah kamu jatuh dari kendaraan?”
“Ya, pernah.”
“Engkau tidak sadar dan tidak tahu bagaimana engkau jatuh. Tiba-tiba saja telah terhenyak di tanah atau di jalan raya. Dan aku pernah dioperasi ringan, aku diinjeksi agar pingsan. Aku pingsan dan tidak merasakan apa-apa lagi. Andaikata saat itu aku dinyatakan mati dan dikubur, pastilah aku tidak tahu.”
“Pingsan dan mati tidak sama. Orang pingsan gerak jantungnya masih berfungsi, sedangkan orang mati segala aktivitas jantungnya diam. Orang pingsan hampir sama dengan bermimpi. Namun kalau orang menghadapi sakratul maut, ia ingat akan perangai masa lalunya. Bercarut, berjudi, main perempuan dan lain sebagainya akan ditampilkan dalam bayangannya,” tutur temanku itu.
Aku seorang penulis. Tidak, aku tidak pernah berbuat seperti itu. Aku hanya merasakan dadaku sempit. Sekarang ketika malaikat pencabut nyawa di sampingku, ia menanyakan – nyawaku dicabut lewat ubun-ubun atau lewat jempol kaki.
Aku mendengar bisikan di telinga. Bisikan siapa itu, aku tidak tahu. Tapi aku mendengar biskan itu. “La ilaha Illa Allah!” Kudengar bisikan itu berulang-ulang. Aku coba mengikuti.
Malaikat pencabut nyawa menekan ubun-ubunku. Dadaku semakin sempit. Keringat menetes di dahi. Tiba-tiba aku berkata,”Tuan jangan sembarangan. Jangan mentang-mentang kamu malaikat. Kamu tidak boleh mencabut nyawaku seenaknya. Kamu harus minta izin pada pemberi rohku ini!”
Tertegun malaikat pencabut nyawa. “Kamu bilang apa?”
“Kamu harus minta izin pada Tuhan.”
Sementara itu kaum kerabat telah hadir. Mereka duduk bersimpuh di bawah ranjang. Khawatir menyaksikan aku di pembaringan. Mungkin menurut mereka, sulit sekali rohku keluar dari tubuhku. Kepalaku tengadah ke atas karena malaikat pencabut nyawa bertengger di atas kepala. Bibirku mendesah dan mengerang. Aku sedang berdialog dengan malaikat pencabut nyawa.
Sementara itu aku mendengar seorang pelayat berbicara dengan anakku.
“Bapak punya ilmu?”
“Ilmu apa?”
“Ilmu hitam, misalnya,” kata mereka yang datang melayat.
“Aku rasa tidak.”
“Tapi pembawaannya sehari-hari keras,” tukas pelayat yang lain.
“Bisa juga. Bapakku itu suka berkelahi di masa mudanya.”
“Sudah dibisikan kalimah tauhid ke telinga beliau.”
“Sudah.”
Malaikat pencabut nyawa menghilang sejenak di hadapanku.
Aku mendengar para pelayat membaca ayat-ayat suci. Bau kemenyan menebar di ruangan itu. Di luar sana, aku mendengar orang bercakap-cakap. Tapi apa yang mereka percakapkan tidak bisa kutangkap dengan baik. Pendengaranku lebih dapat menyerap suara ayat-ayat yang dibaca para pelayat. Ayat-ayat Tuhan itu menjelaskan bahwa setiap makhluk pasti mati, tidaklah kekal. Yang kekal itu adalah Wajah Allah.
Malaikat pencabut nyawa datang.
“Tuan sudah minta izin pada-Nya.”
“Aku akan mencabut nyamumu atas nama Allah,”sahut Malaikat pencabut nyawa.
Aku menggigit bibir menahan sakit. Menurut para guru atau orang Alim, sakitnya nyawa keluar dari badan, ibarat kambing dikelupaskan kulitnya hidup-hidup. Siapa pun dia akan mengalami kesakitan seperti itu, termasuk Malaikat pencabut nyawa itu sendiri bila nyawanya dicabut. Kedengaran bunyi berderak lembut. Lalu rohku melayang lewat ubun-ubun. Bersamaan dengan itu mataku terbelalak, dan ada cairan keluar di dubur.
Kini aku melayang. Tapi masih berada di kamar itu. Aku melihat seseorang mengusap wajahku. Mulutku mengatup seperti sediakala. Lalu kedengaran suara isak tangis istriku, dan Hidayat, anak lelakiku. Dua cucuku perempuanku yang masih bocah, merapat ke pangkuan ibunya.
“Aku harus ke mana, tuan?” Aku bertanya pada Malaikat pencabut nyawa. Makhluk itu masih belum pergi.
“Nanti kamu akan dikubur.”
“Ya, aku tahu itu. Maksudku apa aku boleh di sini dulu.”
“Terserah kamu.”
*
“Hati-hati,” ujar mereka ketika jenazahku dimasukkan ke dalam kubur. Mereka memapah jasadku ke liang kubur itu. Memiringkan wajahku menghadap kiblat, setelah membuka kain kafan yang menutup wajah.
Lalu menyumpal punggungku dengan beberapa kepal tanah agar mayatku tidak bergulir ke arah lain. Kemudian mereka menutup celah-celah papan penopang dengan tanah dan dedauanan. Setelah mereka yang ada di kubur naik. Mereka yang berada di pinggir kubur menguruk tanah ke dalam. Tidak cukup sebatang rokok, kuburanku telah menjadi gundukan.
Aku masih berdiri di luar kubur ketika ustad membaca doa. Semuanya menadahkan tangan dan mengucapkan “Amin” saat ustad meninggikan suaranya. Selesai berdoa, beberapa orang memberi tanda pada kuburan, dua buah batu – di kepala dan kaki- Dan menanamkan pohon bunga puding dan kamboja.
Para pelayat yang lalu lalang kadang melewati aku, kadang membelah diriku, kadang menginjakku, namun aku tidak merasakan apa-apa. Aku memandang mereka yang mulai berangsur-angsur meninggalkan kubur. Mereka menggulung, lalu membawa kasur alas mayatku. Begitulah akhir hidup, benda-benda yang mengiringi kita ke kubur dibawa kembali pulang ke rumah.
Tidak ada keinginanku untuk masuk kubur, sebab menurut kepercayaaan – setelah para pelayat beranjak tujuh langkah dari kubur, maka mayat dalam kubur akan ditanya malaikat – Aku enggan untuk ditanya malaikat. Kenapa? Ya, enggan saja!
Malaikat pencabut nyawa muncul. Ia menyapaku.
“Kamu belum masuk kubur?”
“Apa aku harus masuk kubur. Tadi tuan bilang, terserah aku.”
“Kamu jangan keras kepala,” Malaikat pencabut nyawa menekan bahuku. Bahuku seperti ditindih benda ribuan kilogram. Tubuhku meluncur ke bawah, masuk ke dalam kubur. Aneh, semestinya aku akan jatuh ke dasar kubur hanya dalam beberapa saat. Tapi aku melayang-layang di alam terbuka. Alam yang belum pernah kusaksikan selama hidup. Ketika aku menjejakkan kaki ke tanah, aku tidak cedera sedikitpun.
Untuk menyakinkan bahwa aku tidak menderita cedera, kuraba sekujur tubuh ini. Eh, kenapa aku lupa lagi. Aku tidak punya jasad, aku adalah Roh. Dan sekarang di hadapanku terhampar alam luas. Aku tidak melihat matahari tapi ada cahaya di ujung sana. Lalu melangkah ke arah cahaya itu. Tentu saja aku berharap di sana kehidupan. Sayup-sayup aku mendengar suara azan. Bergegas aku ke sana.
Di sana tampak kerumunan manusia bersiap melaksanakan shalat berjamaah. Jumlah jemaah itu tidak mungkin dihitung, mungkin sebanyak pasir di pantai. Dan pakaiannya beragam, ada yang memakai pakaian putih seperti aku, ada yang bewarna hitam dan ada pula bewarna hijau. Aku segera saja bergabung dengan mereka untuk shalat. Selesai shalat, mereka zikir dan berdoa. Mereka kemudian bersalaman.
Aku duduk pada sebuah hamparan batu. Mereka yang lain pun demikian, memang di sana terdapat batu-batu yang dapat digunakan untuk tempat duduk. Tapi nun di sana, ada serombongan manusia yang duduk di tanah, tanpa alas. Rombongan itu memang sejak semula memisahkan diri. Dari jauh aku dapat melihat wajah mereka tampak kusam dan penuh kegelisahan.
“Kita di mana sekarang?” Aku bertanya pada lelaki di sebelahku.
“Ini Alam Kubur. Apa kamu baru datang?”
“Ya, aku baru saja mati.”
“Kamu sudah ditanya?”
“Belum.”
“Nanti kamu akan dipanggil.”
Aku melayangkan pandangan jauh, serombongan orang berpakaian hijau bergerak memisahkan diri. Wajah mereka tampak bercahaya. Mereka bergerak menuju ke arah padang luas yang subur. Di sana tumbuh pohon-pohon pelindung. Dan pohon yang berbuah lebat bewarna-warni. Kadangkala di antara mereka ada yang memetik buah itu, dan memakannya. Di samping pohon-pohon itu, ada pula tanaman bunga-bungaan. Bunga-bunga yang indah, jarang kulihat bunga seindah itu ketika masih hidup. Sungguh istimewa sekali jemaah itu.
“Kenapa jamaah berpakaian hijau itu istimewa sekali,” tanyaku.
“Maksudmu mereka yang tinggal di Bukit Cahaya itu?”
“Ya.”
“Mereka itu para Syuhada dan Shadiqin.”
“Mereka itu, orang-orang yang pantas masuk sorga. Benarkah?”
Orang itu membenarkan dengan anggukan.
“Dan golongan mana pula yang duduk di tanah itu. Kelihatannya, mereka tidak ikut shalat berjamaah bersama kita,” ujarku.
“Yang kamu maksud, rombongan yang berwajah kusam dan kumuh itu?”
“Ya.”
“Mereka adalah kaum Kafir. Bagi mereka telah disediakan neraka dengan api yang bewarna biru menyala-nyala.”
“Lalu bagaimana dengan kita?”
Sebelum orang itu menjawab, namaku dipanggil. Tapi aku tidak melihat siapa orang yang memanggil itu. Aku memandang ke sekeliling padang itu. Di atas sana, pada tempat ketinggian tampak dua orang lelaki bertubuh kekar tinggi menggamit ke arahku. Gamitannya itu membuat aku seperti tersedot magnit. Melayang rohku ke sana. Kini aku melihat jelas kedua orang tersebut. Wajah makhluk pertama, hitam legam bagai batu bara. Sepasang taring menyembul di rahangnya. Matanya menyala-nyala. Sedangkan yang berada di sampingnya, berwajah berseri-seri, ia selalu tersenyum.
“Kamu baru datang siang tadi,” kata Mungkar, si wajah hitam legam.
“Ya, aku masuk kubur siang ini.”
“Aku Nangkir,”ujar si wajah berseri-seri.
“Oh, jadi kalian dua malaikat penjaga kubur itu.”
“Benar.”
“Sekarang kamu harus menjawab pertanyaan kami,” kata Mungkar.
Aku mengangguk. Dalam pikiranku, pertama kali yang hendak ditanyakan oleh Mungkar tentang siapa Tuhan, siapa Rasul dan apa Kitabku. Aku sudah menghafalnya sudah sejak lama. Semua itu aku dengar dari para guru agama atau ustad atau orang Alim. Menurut mereka yang akan menjawab bukan aku tapi anggota tubuh dan amalku sendiri. Namun sejauh ini aku belum melihat sosok amal itu. Jangan-jangan para guru itu hanya menduga-duga saja.
“Apakah kamu mau masuk sorga atau neraka!” Suara Mungkar menggelegar. Gendang telingaku seakan-akan pecah. Eh, kenapa Mungkar bertanya masalah sorga dan neraka. Bukankah soal masuk sorga atau neraka, tergantung pada jawaban mengenai Tuhan, Rasul dan Kitab suciku. Dan amal-amal yang kuperbuat selama hayat dikandung badan? Baik, aku akan menjawab dengan jujur.
“Jelaslah aku ingin masuk sorga.”
Mungkar terbahak-bahak.
“Kenapa tuan Mungkar ketawa. Aku sudah menjawab apa adanya.”
Wajah Mungkar yang menyala-nyala itu tampak semakin garang. Ia melempar buku hitam ke hadapanku. Buku hitam itu jatuh ke pangkuanku. “Itulah pekerjaanmu di dunia. Apakah kamu pantas masuk sorga!”
Sejenak jantungku berdebar kencang. Aku membuka buku hitam itu, dan membalik lembar demi lembar. Tulisan buku itu bewarna merah. Artinya, raporku merah! Dan aku membaca lembaran buku tersebut, meletakkannya ke samping kiri.
“Wahai tuan Mungkar. Aku tahu catatan ini memuat tentang keburukanku. Tidak ada yang baik dalam buku hitam yang anda berikan kepadaku. Tapi aku manusia, pastilah di dunia kita akan bertemu masalah baik dan buruk. Manusia sering bersifat khilaf. Namun Tuhan membuka pintu tobat bagi manusia. Aku selalu berdoa dan mohon ampun bila aku bersalah.”
“Ya, aku tahu itu. Namun kamu selalu membuat kesalahan berulang-ulang dalam hal yang sama!”
“Apa itu?”
“Kamu sering meninggalkan shalat Subuh, dan beberapa shalat lainnya.”
Memang benar apa yang dikatakan oleh malaikat Mungkar, acapkali aku meninggalkan shalat Subuh. Aku terbangun ketika azan Subuh berkumandang. Bahkan istriku telah membangunkanku. Tapi udara dingin terus memelukku. Lagi pula kalau aku shalat Subuh, tentulah aku harus mandi. Malamnya kami bersetubuh. Ya, aku mendengkur lagi.
“Nah, engkau telah mengakui tidak shalat Subuh. Alasannya karena dingin mandi ketika itu.” Mungkar dapat membaca perasaan hatiku.
Aku memang tidak bisa mengelak. Namun aku tidak boleh menyerah begitu saja. “Aku manusia. Manusia diciptakan Tuhan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukan seperti kalian para malaikat. Malaikat itu ditakdir untuk selalu bertasbih kepada Tuhan sepanjang saat. Dan kalian tidak dibebani oleh urusan-urusan dunia, yang lebih rinci.
Aku mengaku banyak berbuat salah. Tuan malaikat pasti telah tahu bahwa aku suka bersedekah, bersedekah kepada mereka yang disebut fakir miskin. Tapi apakah para malaikat tahu juga, ada pula orang yang pura-pura miskin. Pura-pura buta, pura-pura pincang. Lalu minta sedekah. Aku memang tidak mau memberi mereka sedekah.”
Wajah Mungkar menyala-nyala mendengar ucapanku. “Wahai manusia, kamu memang suka mencari-cari alasan. Dan suka berbantah-bantahan!”
“Itu kodrat manusia. Manusia itu diciptakan Tuhan dengan sebaik-baik kejadiannya. Kami diberi akal, pengetahuan, nafsu. Dan manusia itu adalah khalifah di muka bumi.”
“Kami tahu semua itu. Jangan kamu ajari!”
Malaikat Nangkir maju ke depan. Wajahnya tampak bersahabat. Ia menyodorkan kitab putih padaku. Aku membaca kitab tersebut. Lembaran-lembaran kitab putih tampak memuat beberapa catatan amalku. “Malaikat Karimin dan Katibin mencatat segala perbuatanmu. Tidak ada yang luput, walaupun sebesar biji zarah,” ujar Nangkir.
Terperangah juga aku, betapa kalau dibandingkan dengan buku hitam, jelaslah amal baik dan perbuatan buruk yang kulakukan tidak seimbang.
“Masihkah kamu ingin masuk sorga?”
Aku mengangguk.
Malaikat Nangkir menggeleng. Ia tetap tersenyum.
“Mengapa tuan Nangkir tersenyum?”
“Aku tersenyum karena kamu tidak berhitung. Betapa dengan catatan buku putih yang ada di tanganmu. Kamu jelas telah merugi. Justru karena tempatmu adalah…”
“Tempatmu di neraka!” Mungkar menukas.
Aku terpaku. Berpikir sejenak. Di ruang mataku telah tergambar gejolak api neraka. Api neraka menurut ajaran yang kuterima, beribu-ribu lebih panas dari api yang ada di dunia. Hawanya saja membuat tubuh manusia hangus seketika. Lalu ia utuh kembali, dan dibakar lagi!. Sungguh menakutkan. Tiba-tiba terlompat dari mulutku,” Aku ingin kembali ke dunia.”
“Kembali ke dunia?”
“Ya.”
“Buat apa kamu ke sana. Apakah kamu ingin menambah dosa lagi?”
Aku menggeleng halus. “Aku ingin menambah catatan amal baik yang ada dalam buku putih,”ujarku kemudian. Aku menengadah menatap Mungkar dan Nangkir silih berganti. Ada semacam harapan di wajahku.
“Kamu ingin jadi apa sampai di dunia. Jadi harimau atau atau jadi ular?”
Lagi-lagi aku menggeleng. “Aku ingin diberi hikmah untuk jadi apa saja. Kecuali jadi binatang.”
Mungkar dan Nangkir saling berpandangan. Keduanya lalu berbincang-bincang.
“Menurut aku, orang ini pantas dijebloskan ke neraka.”
“Tapi ia juga bisa masuk sorga. Namun sesuai dengan janji Tuhan, umat manusia akan diperhitungkan setelah sampai hari kebangkitan, yaitu di akhirat. Sekarang dia baru di alam kubur. Di alam kubur dia hanya diberi azab sementara.”
“Maksudmu, kalau ia tidak sanggup menerima azab kubur, maka ia dilemparkan ke dunia.”
“Mestinya begitu.”Mungkar menatap aku. Aku tidak mendengar dan tidak mengetahui apa yang mereka perbincangkan. Tapi dari wajah Nangkir yang tampak lebih lembut, aku menangkap sesuatu harapan. Sementara itu malaikat Mungkar menguntai cambuk api di tangannya.
Semua orang berada di padang itu terpana. Tiba-tiba Mungkar melecutkan cambuknya ke tanah. Muncrat tanah setinggi pohon kelapa. Dan aku terbungkus dalam serpihan tanah itu. Tubuhku terlempar jauh. Jauh melayang menembus langit. Dan menghempas lagi ke bumi. Aku memekik!
*
Aku jatuh di depan rumah sendiri. Malam ketika itu.
Di teras rumah tampak beberapa orang duduk, aku mengenal mereka – mereka kerabat dan tetangga serta beberapa orang sahabatku- Di dalam kedengaran suara orang membaca ayat-ayat suci al-Quran. Sepasang mataku dapat menangkap ramainya orang duduk dan mengaji di ruang tengah. Juga aku melihat Umi, istriku duduk di sudut membaca ayat-ayat Allah itu. Wajahnya agak pucat, mungkin kurang tidur. Lalu di sana tampak Hidayat duduk memangku putri sulungnya. Sedangkan menantuku – istri Hidayat- merebahkan tubuhnya di kamar sambil menetek bayinya yang baru berusia enam bulan.
Aku berharap mereka menegur. Tapi tidak seorang pun yang melihat aku berdiri di halaman. Geli sendiri aku. Kenapa aku begitu pelupa. Bukankah aku sudah mati. Kini aku adalah Roh.
“Dua hari sebelum beliau meninggal kami masih bercakap-cakap. Aku sungguh tidak percaya ketika ada yang mengabarkan dia meninggal.”
“Dia memang tampak sehat-sehat saja. Jarang mengeluh. Setahuku, ia tidak pernah sakit terbaring.”
“Aku masih melihat beliau mengetik di depan komputer, sehari sebelum meninggal. Tidak ada tanda-tanda, ia akan pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya.”
Aku melintas di antara mereka yang duduk di teras. Lalu masuk ke dalam rumah, dan duduk di samping Umi. Dari dekat aku memandang wajah istriku. Matanya agak sembab tapi ia tampak cantik. Memang usia kami terpaut agak jauh, ia enam belas tahun ketika kami menikah. Sedangkan aku baru dua puluh dua tahun. Kini aku sudah 60-an.
Cukup banyak yang kami alami bersama. Tamat SMA, aku belum bekerja. Karena aku tinggal di kawasan pelabuhan, aku jadi kuli pelabuhan. Teman-teman sebayaku juga jadi kuli, mereka pun ada juga yang tamat SMA. Justru karena itu kami tidak pernah kekurangan uang. Bisa beli pakaian sendiri, dan tidak tergantung pada orang tua. Pokoknya, anak-anak pelabuhan lebih mewah dari anak-anak lain sebayanya.
Jatuh bangun bersama Umi, perempuan yang setia mendampingi cukup membuat aku tegar. Ketika anak masih usia balita, kami telah punya rumah sendiri. Dan aku telah bekerja di kantor yang mengelola buruh pelabuhan. Hidup kami semakin mapan. Di sela-sela itu aku sempat kuliah.
Aku ingin memeluk Umi. Tapi aku membatalkan niat itu. Tidak mungkin Umi mengetahui, aku berada di sampingnya. Namun aku melepaskan kerinduanku lewat tatapan saja.
Malam mulai larut. Para pelayat telah pulang. Kini tinggal Hidayat, istri dan anaknya serta Umi. Umi masuk ke kamar, ia merebah tubuhnya di ranjang. Tampak letih perempuan itu. Aku duduk di pinggir ranjang, mengamati perempuan itu. Ia memejamkan mata. Lengan kanannya melingkar jatuh ke dahi. Aku tahu ia tidak bisa tidur. Kadang berguling menghadap ke dinding, beberapa jenak kemudian telentang.
Biasanya aku merayu dia. Mencium pipi Umi, kemudian menyusupkan tangan ke dadanya. Sekarang tidak mungkin lagi. Aku hanya Roh. Di luar telah sunyi. Aku menatap Umi, perempuan itu mulai lelap.
Tiba-tiba aku ingat, Roh bisa masuk ke dalam mimpi manusia. Aku lalu berkelabat masuk ke dunia mimpi. Umi melangkah menyusuri padang rumput ilalang. Beberapa puluh meter dari padang rumput tersebut kedengaran desau air mengalir. Perempuan itu melangkah ke sana. Ia duduk di pinggir sungai berarus deras. Lama Umi menatap ke sungai yang mengalir. Pada sungai berarus deras itu, tampak batu-batu yang menonjol.
Umi menjuntaikan sepasang kakinya ke air. Sejuk agaknya, ia tampak menikmati kesejukan itu dengan mengatupkan matanya. Aku duduk di sampingnya, dan membelai rambutnya. Umi mengira rambutnya dihembus angin.
“Umi, ini aku.”
“Oh.” Perempuan itu kaget. Kaget melihat kehadiranku.
“Aku rindu padamu.”
“Bukankah Uda telah…”
“Aku hanya berpindah tempat. Cintamu kepadaku, membawa aku kembali ke dunia ini.” Aku meraih tangan perempuan itu, dan meletakkan di dada. “Dengarlah degup jantungku. Tanda aku masih hidup.”
“Degup jantung Uda aneh.”
“Itulah degup jantung kerinduan.” Aku peluk perempuan itu. Kulepaskan kerinduanku sebagai seorang lelaki. Ia pun membalas pelukan itu. Desau air menyanyikan pertautan dua insan itu.
*
Sebelum Subuh tiba, perempuan itu telah selesai berkeramas. Ia menyiram sekujur tubuhnya, sekian lama. Tapi ia tidak merasa dingin. Umi merasakan desau air yang lain di kamar mandi itu.
Selesai shalat Umi berdoa. Ia mendoakan suaminya yang ada di alam kubur sana. Aku mendengar doa itu. “Amin.” Perempuan itu tidak mendengar suaraku. Hanya saja, ia merasa plong!
Mendadak aku ingat akan tugasku. Aku hadir kembali ke dunia adalah untuk melengkapi catatan buku putih yang diisii oleh malaikat Nangkir. “Aku harus berjuang memperbaiki catatan itu.” gumamku. “Tapi aku harus mulai dari mana?” Aku bingung juga.
Rohku melayang-layang di antara kendaraan yang berpacu. Aku lebih cepat dari kendaraan yang sedang melaju. Dalam perjalanan itu, aku tidak ingin menitis pada binatang. Aku lebih suka masuk ke dalam tubuh bayi dari masuk ke dalam seekor ular, harimau atau beruk. Namun aku bimbang. Bimbang kalau aku reinkarnasi pada seorang bocah. Pastilah membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menambah pahalaku di buku putih.
Aku melangkah di pelataran Mall, pukul sebelas siang. Di jenjang Mall beberapa gadis baru gede tampak mejeng. Mereka bercanda sesamanya, barangkali untuk menarik lawan jenisnya. Atau mungkin juga menarik perhatian Om-Om yang lewat. Akh, kukira hal tersebut tidak perlu diceritakan pada anda. Seraya melangkah naik tangga Mall, aku berpikir mencari kiat bagaimana membuat kebaikan di dunia fana ini.
Saat aku telah sampai di lantai pertama, sekonyong-konyong aku ingat pada sebuah tulisan tentang bagaimana seorang Roh dapat berhubungan dengan manusia yang masih hidup. Penulis itu membuat teori bahwa Roh harus memasuki pikiran orang yang hendak diajaknya berdialog. Aku tersenyum karena hal tersebut telah kulakukan, yaitu ketika bertemu dengan Umi, istriku. Walaupun pertemuanku dengan Umi dalam dunia mimpi, tapi prosesnya hampir sama – memasuki pikiran orang yang masih hidup-
Ya, kini aku harus mencoba teori itu.
Cukup ramai orang berlalu lalang di lantai pertama Mall itu. Seorang ibu muda membimbing anak, dugaanku anak itu berusia sekitar delapan tahun. Naluriku mengatakan, anak tersebut akan menjadi kelinci percobaanku. Tampaknya kesempatan itu terbuka. Anak itu duduk pada undakan, ia tidak mau masuk ke toko kue di sudut sana.
“Aku menunggu di sini saja.”
“Katanya kamu mau es krim,” Ibu muda itu.
“Ya, tapi aku suka di sini. Mama saja yang ambilkan.”
“Oke, tapi jangan ke mana-mana. Tunggu mama,” ujar perempuan muda itu.
Boyke mengangguk.
Aku baru tahu kalau anak itu enggan masuk ke dalam toko kue, ia sedang memperhatikan dua bocah lelaki sebaya dia, bercanda di koridor depan. Ketawa riang, seakan-akan dunia milik mereka. Ketika kedua bocah tersebut beranjak, Boyke masih melepaskan pandangannya ke arah mereka. Lalu kedua bocah itu menghilang di balik tiang beton sana.
“Hai,” aku menyapa. Dan duduk di samping Boyke.
Anak itu mengejap-ngejapkan mata. Mungkin ia ingin memperjelaskan pandangannya untuk melihat sosokku. “Kamu siapa?”
“Aku, Nihil,” kataku seraya menyalaminya.
Ia menjabat tanganku. Ketika aku menarik tanganku, Boyke terus menggenggam tanganku. “Namamu kok Nihil. Nihil itu artinya tidak ada. Tapi baiklah. Aku akan panggil Pak Nihil,” katanya.
Aku ketawa. Ketawa karena ternyata anak itu cukup cerdas. Dan mudah bersahabat. Lalu aku mengusap daguku, aku berpikir apa yang hendak dibicarakan dengan anak seusia ini.
“Bapak hanya sendirian ke sini?”
“Ya. Aku hanya jalan-jalan.”
“Bapak tidak punya keluarga?”
“Punya. Tapi bapak saat ini ingin sendiri. Oya, bukankah kamu ke sini bersama ibumu?”
“Ya, Mama sedang belanja di sana. Tapi aku lebih suka duduk di sini. Dalam toko itu sumpek. Di sini pemandangan lepas. Apakah bapak tadi melihat dua bocah seusiaku. Mereka bercanda. Senang aku melihat mereka”
“Kamu suka bercanda?”
“Suka. Tapi itu dulu. Aku dan Don sering bercanda di halaman rumah. Kami dua bersaudara. Aku lebih tua satu tahun dari Don.”
Aku mengerling memperhatikan wajah Boyke. Tampak semacam kerinduan pada anak itu. Lalu aku terlanjur bertanya,” Di mana Don sekarang?”
Ia diam. Anak itu bertopang dagu. Matanya menatap kosong ke depan. Lalu menoleh padaku. “Dia telah pergi untuk selama-lamanya. Ia diserang demam berdarah, setahun yang lalu.”
Aku melihat ada air mata menggenang di pelupuk matanya. Boyke coba menoleh ke arah lain, menghindarkan tatapanku. “Maafkan bapak.Bapak telah membuat kamu sedih.”
“Aku cengeng ya?”
Aku menggeleng.
“Betapa sepi Don dalam kubur. Lagi pula gelap.”
“Don sekarang sudah di sorga,” kataku membujuk.
“Apakah anak kecil seperti Don, juga dikenakan azab kubur?”
“Bapak kira tidak. Anak sebaya Don belum dikotori dosa. Jadi ia itu langsung berada di sorga.”
“Benarkah?” Wajah Boyke tampak tenang.
Aku mengangguk.
“Kalau bapak mati, masuk sorga atau neraka?”
Bimbang aku menjawab pertanyaan itu.
Tiba-tiba kedengaran panggilan. Itulah panggilan ibu Boyke. Anak itu berlari-lari kecil mendekati ibunya. Agaknya ia melupakanku. Tapi aku tidak tersinggung. Yang jelas aku telah mampu berhubungan dengan seseorang.
“Kamu kok betah duduk sendirian di luar.” Aku mendengar suara ibu Boyke.
“Bukan sendirian. Boyke punya teman. Namanya, Pak Nihil. Nah itu dia. Dia berdiri di sana,” kata Boyke seraya menunjuk ke arahku.
Perempuan muda itu melihat ke arahku. Ia tidak melihat apa-apa. “Kamu memang suka ngomong melantur.”
“Mama ini gimana. Aku bukan melantur. Sumpah berat, aku tadi bicara dengan seseorang. Dia bilang, anak sebaya Don itu langsung masuk sorga. Mama percaya, apa tidak. Ya, terserah,” bantah pada ibunya itu.
Nela, ibu muda itu menatap Boyke gemas. Akhir-akhir ini, sejak kematian Don, Boyke selalu bertingkah aneh-aneh. Bocah itu sering melamun, kadang ceria dan kadang bercerita tentang alam lain. Perempuan itu membawa Boyke ke pskiater, dan menceritakan tingkah laku anaknya itu.
“Anak ibu mengalami halusinasi. Rantauan pikirannya jauh ke alam lain. Semua itu terpicu karena ia merasa terpukul akan kematian saudaranya,” ujar dokter.
“Dan apa yang harus kuperbuat,” tukas Nela.
“Jaga perasaannya agar jangan tersinggung.” Kemudian dokter itu memberikan resep obat buat Boyke.
Merasa tidak puas dengan keterangan psikiater tersebut, Nela membawa Boyke pada Orang Pintar. Dari Orang Pintar, Nela mendapat keterangan bahwa Boyke sering didatangi saudaranya. “Jangan biarkan dia sendirian. Ibu harus memberi perhatian lebih padanya.”
“Tapi aku sibuk. Aku harus bekerja. Dan pulang sore. Ia tinggal sendirian di rumah,” kata Nela.
Orang Pintar memberi sebuah jimat pada Boyke. Jimat itu diikatkan pada pinggang Boyke. Tapi suatu ketika, Boyke melaporkan jimat tersebut telah hilang. Nela diam. Tiba-tiba ia ingat Johan, suaminya. Lelaki itu pergi dengan seorang perempuan selingkuhannya. Mereka pergi saat Nela sedang mengandung Don. Dan sekarang lelaki itu, tidak pernah terdengar kabarnya. Andaikata Johan masih ada, tentu dia akan dapat membagi masalah ini, gumam Nela.
Boyke bercerita kepadaku, ketika kami bertemu untuk kedua kalinya. Bertemu di teras rumahnya, suatu sore. Ia juga menuturkan tentang khawatiran Don, bahwa ibu mereka, main belakang dengan seorang lelaki. Lelaki juga punya istri.
“Mama pulang malam, bukan karena sibuk di kantor. Tapi dia sibuk bersama lelaki itu,” tutur Don.
Aku tidak menukas, hanya menatap.
“Aku harus bilang apa pada Mama.” Boyke sepertinya minta saran padaku.
Lalu aku harus bilang apa? Lagi pula dugaan perselingkuhan Nela dengan lelaki itu, adalah menurut Don. Don bukanlah manusia, ia juga roh seperti aku. Namun aku harus menolong bocah itu.
Dugaan Boyke memang benar. Senja itu aku melihat Nela bergandengan tangan memasuki sebuah kafe. Mereka tampak mesra sekali. Mereka memesan minuman, dan dua potong hamberger.
“Aku bahagia berdekatan denganmu,” ujar Polan, lelaki itu.
Pikiran Nela ketika itu menerawang pada Boyke. Perempuan itu membayangkan, bocah itu duduk di depan teve. Setelah bosan, Boyke duduk di teras sendirian. Inilah yang membuat Nela khawatir, jangan-jangan bocah itu melantur, berbicara sendirian. Dan aku membaca pikiran Nela.
“Kamu tidak suka suasana ini?” Polan memecahkan perantauan pikiran Nela.
“Oh, aku suka.” Nela tersenyum.
Aduh, kenapa aku pikun begini. Polan ini telah lama kukenal. Ia seorang aktivis partai, dan sekarang jadi anggota legisltatif – salah seorang pimpinan DPRD- Usianya, baru 40-an. Masih pantas berpacaran dengan Nela, janda muda beranak dua itu. Dulu ketika belum masuk ke dalam sistem, ia sering mengeritik para pejabat. Pejabat yang lupa pada nasib rakyat, lebih suka berhura-hura dari pada mengurus rakyat.
Lewat senja kedua sejoli itu menuju sebuah hotel yang terletak di batas kota. Tidak sulit bagiku sebagai Roh untuk membonceng dalam kendaraan mereka. Dalam perjalanan itu, aku menggambarkan sosok Boyke ke pikiran Nela. Boyke berbaring di kursi, ia menonton teve. Berkali-kali Boyke mengganti canel. Anak itu menggerutu. Kesal pada acara teve itu. Boyke membuka pintu depan lebar-lebar. Ia bertopang dagu di lantai teras.
“Aku turun di sini,” ujar Nela tiba-tiba.
Mendadak Polan menginjak rem. “Kamu kenapa? Kita hampir tiba.”
“Aku ingin pulang. Ada sesuatu yang tidak beres di rumah.” Nela membuka pintu mobil. Ia turun dari mobil. Angin malam menyapu rambut perempuan itu.
Polan pun turun, ia mendekati Nela. “Kita cuma sebentar di sana. Sebelum tengah malam, kita pulang.” Lelaki itu membujuk seraya melingkarkan lengannya ke pinggang Nela.
Dengan halus gerakan halus, Nela melepaskan lingkaran lengan Polan. “Maaf, kali ini aku ingin pulang,” kata perempuan itu. Sebuah taksi menepi ketika Nela melambaikan tangan.
Sepasang kaki Polan seakan-akan terbenam di tanah. Nela kembali ke P. Dan lelaki itu terantuk-antuk membuka pintu mobilnya. Di atas mobil ia termanggu. Batin lelaki itu berkata,”Perempuan itu tidak mungkin kulepaskan. Aku harus mencoba lagi. Mencoba mendekatinya.”
*
Sebuah truk memasuki halaman gedung Dewan, kemudian berlompatan puluhan anggota Brimob ke bawah, lalu mengatur posisi. Ada yang berjaga-jaga di depan tangga, dan sebagian menebar ke dalam gedung.
Beberapa wartawan dari berbagai mass media bersiap-siap meliputi peristiwa di gedung yang populer disebut gedung Yes itu!. Menjelang siang ketika itu. Matahari sempurna memuntahkan panasnya.
Di jalan raya tampak barisan mahasiswa berjalan kaki menuju gedung Dewan. Mereka meneriakkan yel-yel dan bernyanyi halo halo Bandung dan Padamu Negeri. Di belakang barisan mahasiswa tersebut tampak kendaraan polisi – menjaga segala kemungkinan, termasuk tindakan anarkis yang kadangkala sering dilakukan demonstran-
Mereka mengibarkan bendera merah putih, membentangkan spanduk-spanduk. Spanduk-spanduk tersebut berisi tuntutan agar menunda kenaikan harga BBM-Stabilkan harga- Berantas Korupsi – Dewan jangan bengong-
Memasuki halaman gedung Dewan, yel-yel semakin keras dipekikkan. Sementara itu pasukan Brimob bersiaga. Sekitar seratus mahasiswa berjejer di halaman gedung, mendekati tangga.
Beberapa orang staf sekretaris dewan tampak sibuk, tergopoh-gopoh, mondar-mandir ke sana ke mari. Bagian humas menjepret rombongan demonstaran, demikian juga wartawan. Mereka mewawancarai pemimpin demonstran.Wartawan teve mulai mengambil gambar.
Salah seorang dari demonstran maju ke depan memegang mikropon, ia berorasi,” Pemerintah tidak berpihak pada rakyat kecil! Mereka didikte oleh bangsa asing. Lebih suka mencari jalan pintas dan selamat. Mengapa harga BBM dinaikan ketika rakyat masih dalam keadaan sulit? Anggota dewan melempem. Mereka cuma bisa makan duit rakyat tapi tidak becus mengurus rakyat!”
“Gusur anggota dewan itu!”
“Jangan pilih lagi!”
“Hai anggota dewan. Di mana kalian!”
“Turunkan politisi busuk!”
Suasana mulai panas, sepanas matahari yang memuntahkan cahayanya ke bumi.
Anto, staf humas dewan menghubungi kepala bagian humas lewat HP. Kepala bagian humas itu, Sarpin menyahut,”Ada apa? Aku sedang dalam perjalanan. Coba kamu hubungi Pak Polan.”
Mendapat petunjuk dari Sarpin, Anto bergegas ke ruangan atas, ia langsung mengetok dan membuka pintu kamar kerja Polan.
Nela kaget. Dan Polan lebih kaget lagi. Kedua insan itu merenggang seketika. Sekilas Anto melihat Nela kalang-kabut membetulkan kancing bajunya yang terbuka. Anto menjatuhkan pandangan ke lantai, surut selangkah. Nela keluar tergopoh-gopoh.
“Ada apa. Kenapa kamu nyelonong kayak babi luka!” Polan menghardik.
“Demonstran minta agar bapak menyambut mereka.”
“Kenapa harus aku. Apa tidak ada pimpinan lain.”
“Bapak-bapak itu sedang keluar.”
“Hmm. Sekretaris dewan mana?”
“Bapak ke kantor gubernur.”
Polan menegun sejenak. “Ya, sudahlah. Kamu keluar duluan. Nanti aku menyusul,” kata lelaki itu. Setelah Anto menutup pintu, Polan sadar retsleting celananya melorot.
Para demonstran kecewa, pimpinan dan anggota dewan tidak berhasil mereka temui. Sementara itu Polan menyusup keluar lewat pintu belakang. Ia menyetop taksi di simpang jalan sana.
*
Dari kantor, Nela langsung menuju rumahnya. Boyke sedang asyik dengan video game. Bocah itu hanya mengerling sejenak, lalu larut lagi dengan permainan itu.
Nela merebahkan tubuhnya di ranjang, berusaha sesantai mungkin dengan melonjorkan kakinya lurus-lurus. Akan tetapi bayangan memalukan di kamar kerja Polan itu terus mengusik hatinya. Sungguh ia tidak mengerti, kenapa ia masuk perangkap perselingkuhan tersebut. Padahal ia sudah berupaya sedaya mungkin melepaskan diri dari Polan.
Perempuan itu ingat, pagi itu Polan memanggilnya. Nela berdiri di samping meja Polan yang sedang memeriksa surat-surat di mejanya. Lelaki itu menatap Nela, ia tersenyum. “Kamu masih gelisah?”
“Maksud abang?” Nela balik bertanya.
“Aku heran, kenapa tiba-tiba kamu pulang begitu saja.” Polan menyuruh perempuan itu duduk. Setelah Nela duduk di hadapannya, Polan berkata,”Malam itu aku ingin membuat kejutan.”
Nela diam. Di hadapan lelaki itu ia tiba-tiba merasa bersalah. Bersalah karena meninggalkan Polan, dan naik taksi. Dan sampai sekarang, ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba bisa menolak ajakan kencan lelaki itu.
Polan membuka laci meja, ia mengeluarkan seuntai kalung. “Malam itu aku ingin menghadiahkan kalung ini untukmu.” Lelaki itu mendekati Nela, tanpa menunggu lebih lama, ia mengalungkan kalung tersebut ke leher Nela.
Jengah Nela menerima hadiah tersebut. Ia tahu kalung tersebut sangat mahal.
Polan menatap Nela dengan tatapan lindap. Saat itulah dia merangkul pinggang Nela. Perempuan itu surut, ia jatuh pada sofa di ruang kerja itu.
“Aku cinta kamu.”
Bibir Nela terbuka.
Tangan Polan menjalar liar.
Tiba-tiba pintu diketok. Mereka terperanjat.
Anto terpana. Ia tidak menyangka akan melihat adegan tersebut.
Tertangkap basahnya kencan itu membuat Nela sangat malu. Ia coba memejamkan mata, mengusir kenangan buruk itu. Kepalanya berdenyut-denyut. Dengan langkah sempoyong, Nela masuk ke kamar mandi. Ia menguyur kepalanya basah-basah. Kesejukan merasuk dalam benaknya.
Saat itu Nela melihat Don.
“Mengapa mama begini?”
“Mama sedang kacau.”
“Don kecewa akan mama. Mestinya mama lebih menaruh perhatian pada Boyke setelah Don pergi.”
“Mama kacau karena perangai Boyke.”
Don menghampiri Nela. Bocah itu mengusap rambut perempuan itu. “Mama salah paham. Boyke khawatir akan tingkah laku mama. Tinggalkanlah lelaki itu. Perselingkuhan mama dengan Polan adalah perbuatan maksiat!”
Suara Don menggema di kamar mandi itu.
Nela tidak tahan. Ia keluar.
*
Menggigil tangan Polan ketika membaca surat dari dewan pimpinan pusat, ia dipecat dari jabatannya. Alasan pemecatan dirinya adalah karena dia telah melanggar ketentuan partai.
Mass media pun memuat berita perselingkuhannya dengan Nela.
Bersamaan dengan itu Nela sujud di sajadah. Dalam sujudnya perempuan itu berdoa,”Ya Allah, terimalah tobatku.”
Aku mengelus rambut Boyke. Bocah itu memandangku sendu. Dan aku jelaskan pada bocah tersebut bahwa aku akan pergi.
“Bapak mau ke mana?”
“Pergi ke dunia lain.”
“Di mana itu?”
Aku tidak menyahut. Kakiku melangkah keluar pekarangan rumah Nela. Lalu menghilang kembali alam roh.
***
BERSAMBUNG
0 komentar:
Posting Komentar