Selasa, 10 Januari 2012

KECAPI NAGA (9)

9

Mustika Ungu

Malam itu Kati Muno masuk ke sebuah toko barang antik. Ia disambut oleh seorang gadis, pelayan toko tersebut. “Apa yang bisa saya bantu?” sapanya ramah.
“Denai ingin lihat-lihat dulu,” ujar Kati Muno seraya melangkah mengitari ruangan pajangan toko antik yang luas itu. Di sana memang banyak terpajang barang-barang antik dari dalam maupun luar negeri maupun mancanegara.
Toko itu milik Bob Saputra, dia seorang kolektor benda seni dan antik. Langganannya bukan saja datang dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri, yang sengaja berburu barang antik.
“Tuan sudah menemukan barang yang dicari?”
Kati Muno menoleh pada gadis pelayan toko itu. “Belum. Tapi saya ingin bertemu dengan Bos kamu,” tukas lelaki tersebut.
“Maksud tuan ingin bertemu dengan tuan Bob?”
“Ya, denai ingin menanyakan langsung benda yang denai cari.”
“Saya bisa mencarikannya. Benda apa itu?”
Kati Muno diam.
Tiba-tiba muncul seorang manusia kate dari sudut sana. Makhluk kate tersebut berwajah aneh. Wajahnya mirip babi tetapi tubuhnya manusia. “Tuan mencari mustika?” Ia bertanya ketus, kurang bersahabat.
Namun Kati Muno tidak tersinggung oleh ucapan tersebut. Ia mendekati si kate dan berkata, ”Denai Kati Muno. Ingin membeli mustika angin atau mustika ungu milik induk semang kalian.”
Manusia kate tidak menyahut. Ia menari-nari mengitari Kati Muno. Sekejap kemudian dari sudut yang sama, muncul manusia kate lainnya. Manusia kate yang baru muncul itu mirip boneka. Hidungnya panjang kayak Pinokio. Ia pun menari-nari sambil menabuh gendang kecil.
Tidak lama kemudian muncul seorang lelaki. Wajahnya kaku tapi bernampilan perlente. Kendati pun ia tersenyum tapi senyum itu hambar. “Tuan mencari saya?”
“Ya.”
Bob Saputra mengerling pada ke dua manusia kate tersebut. “Diam kalian!” Lelaki itu menghardik. Kedua manusia kate itu berhenti menari dan menabuh gendang. Lalu menatap Kati muno. Ia menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan curiga. “Kamu mencari mustika ungu?”
Kati Muno mengangguk. “Bukankah tuan memilikinya? Denai ingin membeli benda tersebut.”
Tersungging senyum di bibir Bob Saputra. Sekali lagi ia mengamati Kati Muno lebih cermat. Pandangannya remeh dan leceh. Manggut-manggut Bob sejenak. “Ya, saya memang memiliki benda tersebut. Tapi mampukah tuan membayar harga yang saya tawarkan?”
“Berapa anda tuan jual?”
Kati Muno tersenyum.
“Jangan tuan jual mustika itu padanya,” bisik si kate berwajah babi.
“Dia bukan manusia. Tapi iblis,” sela si kate hidung Pinokio.
“Diam kalian!” Bob Saputra menghardik mereka. Lalu menatap Kati Muno. “Mustika angin itu saya jual 200 ribu dolar.”
Terdiam Kati Muno sesaat mendengar angka yang ditawarkan Bob.
“Tuan sanggup? Ya, kalau tidak saya silahkan tuan cari benda yang lebih mudah,” ujar Bob Saputra. Lelaki tersebut semakin remeh melayani Kati Muno.
“200 ribu dolar. Denai kira tawaran itu pantas. Bahkan bila nyawa tuan pun dijual, denai pun akan membelinya.”
Kedua manusia kate merinding.
“Dia memang iblis,” bisik si wajah babi.
“Tuan Bob dalam bahaya,” si hidung Pinokio balas berbisik.
Bob Saputra tersenyum. “Rasa humor tuan tinggi juga. Hmmm, baiklah kalau tuan memang ingin membeli mustika ungu itu. Saya tidak mau dengan cek atau credit card. Saya mau uang tunai.”
“Oke. Tapi denai tidak mau membeli kucing dalam karung. Perlihatkanlah benda itu. Denai akan membayar dengan tunai,” kata Kati Muno  Ia merogoh uang yang tersimpan di balik jasnya. Lalu meletakkan seikat uang dolar di meja Bob. “Uang ini 300 ribu dolar. Cukup untuk membeli nyawa tuan sekalian.” Dan setelah itu dia masukan uang tersebut ke balik jasnya.
Kedua manusia kate semakin bergidik.
Bob Saputra menanggapi ucapan Kati Muno hanya sebagai sebuah lelocon. “Baik, anda tunggu sebentat,” ujar Bob. Ia melangkah ke ruang kerjanya. Beberapa jenak kemudian ia kembali membawa kotak kecil. “Dalam kotak ini tersimpan mustika angin.”
“Oya. Tapi denai harus yakin bahwa mustika tersebut palsu.”
Bob Saputra mendecih. Ia menimang-nimang kotak tersebut. Lalu membukanya, seketika tampak cahaya ungu membersit dari dalam kotak.  
Sekonyong-konyong Kati Muno merebut kotak di tangan Bob Saputra. Bob Saputra tidak bisa berbuat apa-apa. Gerakan Kati Muno sangat cepat. Dan Bob surut selangkah. Ia melihat Kati Muno memperhatikan mustika angin dengan seksama. Kati Muno menggeleng halus, dan matanya menyala menatap Bob. Cahaya yang keluar dari mustika tersebut hanyalah cahaya biasa, tidak memiliki star .“Kamu menipu denai!” Benda itu dilemparkannya ke lantai.
Saat itu pula Bob Saputra menghilang.
Kedua manusia kate tertawa terbahak-bahak. Si hidung Pinokio menabuh gendang. Dan si wajah babi menari-nari mengitari Kati Muno seraya meleletkan lidah.
“Bangsat!”
Kati Muno memaki seraya berkelabat kencang ke arah dua manusia kate. Si wajah babi segera berkelit, kalau tidak ia tentu hancur berantak diterkam lelaki tersebut. Kati Muno menerjang guci keramik di sudut sana. Hancur guci porselin tersebut berkeping-keping.
Si hidung Pinokio melompat, hinggap di tengkuk Kati Muno. Bersamaan dengan itu si wajah babi menerkam betis lelaki iblis tersebut. Dan menggigit betis itu.
Kati Muno meraung keras. Ia menarik si hidung Pinokio yang lengket bagai lintah di tengkuknya. Taring si hidung Pinokio menancap erat di kuduk lelaki itu. Sementara itu bergayut di betis.
“Grrhhh!”
            Kedengaran suara melengking dan gaduh. Gadis pelayan toko menyuruk ke bawah meja, ketakutan. Dari sana ia samar-samar melihat si hidung Pinokio melayang bagai kertas ditiup angin. Tubuh kate tersebut menabrak benda-benda yang ada dalam toko. Sedangkan si wajah babi terlempar ke atas, kepalanya membentur plafon. Kedua manusia kate itu merangkak di lantai.
            Kati Muno menyeringai. Matanya mencorong tajam dan lidah yang bercabang dua menjulur. Ia mendekati kedua makhluk kate tersebut. Lalu menjinjing sepasang manusia kate itu.
            “Grrrrhhh!”
            “Wouu!”
            “Aduh!”
            Mendengus Kati Muno. Sepasang matanya kian menyala-nyala. Ia menjulurkan lidahnya, dan menggigit leher kedua manusia itu bergantian. Kati Muno menghirup darah segar keduanya.
            Si hidung Pinokio memekik histeris.
            Si wajah babi meronta-ronta.
            Kedua manusia kate tersebut dihempaskan ke lantai. Mereka terkulai lemas dengan leher hampir putus. Wajah mereka pucat.
            Sementara itu Bob Saputra masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar khusus yang dipersiapkan untuk keadaan gawat. Dan tidak mudah masuk ke sana. Lelaki itu lega, ia merasa aman dari kejaran Kati Muno. 
            Kemarahan Kati Muno semakin memuncak. Ia memperok-porandakan isi toko. Menyuntih sekat-sekat kamar yang ada di dalam sana. Cuping hidungnya kembang-kempis mencari bau Bob Saputra. Semuanya telah centang-perenang. Akan tetapi Kati Muno belum menemukan persembunyian lelaki tersebut.
            Kati Muno tertegun di depan runtuhan, ia mengendus-endus bagai seekor anjing pelacak. Ia menyeringai, tampak taring menyembul. “Kamu tidak mungkin menghilang begitu saja. Ke mana pun engkau denai cari. Ke neraka sekali pun!”
            Ruangan itu bergetar hebat. Dengan beringas Kati Muno mengungkit runtuhan kayu yang berserakan di sana. Sementara itu dalam kamar rahasia berkeringatan. Sedikit pun ia tidak menyangka akan berhadapan dengan manusia iblis. Bob mendengar suara gaduh dan hingar-bingar di luar kamar rahasianya. Dan mendengar suara raungan makhluk tersebut. Ia merinding ketakutan.
            Lengan Kati Muno menguak serpihan reruntuhan. Ia menyentuh pintu kamar rahasia. Terperanjat Kati Muno, jemarinya bergetar hebat, ia menyentuh aliran listrik. Meraung makhluk tersebut, jari jemarinya melepuh. Namun Kati Muno bukan manusia biasa. Ia jelmaan iblis! Dengan sebuah entakan keras, pintu kamar tersebut runtuh.
            Bob Saputra waspada akan bahaya. Ia menyelinap dan merayap ke ruang yang lebih kecil. Pintu kamar mini itu menutup dengan otomatis. Hilanglahlah Bob tanpa bekas.
            Kian naik pitam Kati Muno ketika ia tidak menemukan mangsanya. “Di mana kau!” Kati Muno berseru mengguntur. Plafon di atas sana berderai. Gemetar sekujur tubuh Kati Muno, ia mencakar ke sana-sini. Ia obrak-abrik ruangan tersebut.
            Bob Saputra terperanjat. Ruangan persembunyian terakhir tersebut telah bobol. Cemas lelaki itu bersandar ke dinding. Keringat dingin menetes di keningnya.
            “Grrrrh!”
            “Jangan bunuh saya…”
            “Berikan mustika itu,” ujar Kati Muno seraya menjulurkan tangan.
            Wajah Bob kecut. Pucat bagai kertas tisu kena air.
            Kati Muno menyeringai.
            “Jangan bunuh saya,” Bob memohon.
            Sekonyong-konyong Kati Muno mencekal leher Bob, tubuh lelaki tersebut terangkat naik. Kemudian iblis itu membanting Bob Saputra ke lantai. Iblis tersebut membungkuk di hadapan korbannya, dan menggigit leher serta menghirup darahnya.Korban itu berkelenjotan meregang nyawa di sana.
            Setelah mengambil mustika ungu dalam kantong korbannya itu, Kati Muno segera melangkah keluar. Jalan raya sedang padat malam itu. Di antara kepadatan kendaraan yang lalu lalang tersebut, Kati Muno berkelabat menyeberang. Sebuah kendaraan berhenti mendadak agar tidak menabrak penyeberang itu.
            “Mau mampus kau!”
            Kati Muno tidak peduli akan makian sopir kendaraan itu. Dia telah sampai ke seberang. Kemudian menyetop taksi, dan naik. Sementara itu gadis pelayan toko yang selamat dari kebiadaban manusia iblis tersebut, menelpon polisi. Ketika polisi datang, mereka mendapatkan toko barang antik itu porak-poranda, dan menemukan Bob Saputra telah jadi mayat.

*

            Bersamaan dengan peristiwa itu, Nadia terbangun. Hampir tengah malam ketika itu. Ia duduk bersandar pada dinding ranjang. Gadis itu dalam mimpinya melihat Kati Muno menyeringai memperlihatkan taringnya. Dan ia juga melihat Anurangga tersenyum padanya.
            “Puti…”
            Puti Rinjani mendengar sapaan halus. Tapi ia tidak melihat siapa-siapa dalam kamar itu. Justru karena itu gadis tersebut tetap bersandar pada dinding ranjang. Tiba-tiba ia mendengar langkah ringan. Dan tampak kabut tipis melayang-layang di hadapannya. Kabut itu membentuk sosok ramping. Sosok perempuan anggun muncul di sana. Perempuan itu adalah Puti Campa.
            “Ibusuri…” Nadia menyapa.
            “Ya,” sahut Puti Campa seraya duduk di pinggir ranjang. Ia tersenyum dan menatap lembut pada gadis itu. “Tahukah kamu kenapa denai datang?”
            Nadia menggeleng halus.
            “Kati Muno telah mendapatkan tiga mustika alam. Tinggal dua mustika lagi, maka penjelmaannya di muka bumi ini akan sempurna.”
            Di luar turun gerimis tiba-tiba.
            Puti Campa menatap lontin di leher Nadia. “Salah satu dari mustika itu ada padamu. Lontin yang enkau pakai adalah mustika air. Cepat atau lambat, ia pasti akan mencarimu. Dan merebutnya.”
            Nadia meraba lontin itu. Selama ini dia tidak menyadari bahwa lontinnya yang bewarna jernih itu adalah mustika air. Pantaslah ketika Puti Bagalang Banyak datang bertamu, perempuan itu terus menatap lontin di lehernya itu.
            “Pertahankan lontin mustika air itu. Walaupun nyawa tantangannya,” pesan Puti Campa. “Dan pertarungan antara kamu dan Kati Muno tak mungkin terelakan lagi!”
            Nadia menengadah ke loteng. Tatapan kosong itu hinggap di sana. Ia bimbang. Apakah ia mampu menghadapi manusia iblis seperti Kati Muno tersebut?
            “Kamu tidak perlu takut. Selama Selandang Pembunuh Anggang berada di tanganmu, Kati Muon tidak akan mampu mempecundangimu. Apalagi jika engkau menghadapinya bersama Nago Salapan. Selendang Pembunuh Anggang dan Kecapi Naga adalah sepasang senjata tak ada tandingannya.”
            “Tapi di samping Kati Muno, masih ada Anurangga. Kesaktian Anurangga dengan Kati Muno tidak jauh berbeda,” tukas Puti Rinjani.
            “Denai tahu semua itu. Oleh karena itu, temuilah Nago Salapan. Bukankah kalian saling menyinta?”
            Tunduk Nadia menatap lantai. Ya, dia masih menyintai lelaki itu. Tapi dalam perjalanan hidup, percintaan mereka kadang terganggu. Ia pernah mendengar kabar Nago Salapan pernah “tidur” bersama Puti Galang Banyak. Dan kadangkala dia sendiri pun kadangkala merasakan hubungan mereka renggang. Mori telah masuk ke dalam kehidupannya. Waktu di Brunai, Mori menciumnya. Walaupun ciuman itu hanya di kening namun Nadia merasa risih juga.
            “Denai mengerti. Kalian berdua memang sedang diamuk cemburu. Cemburu adalah tanda cinta. Pupuklah cemburu yang ikhlas. Dan buanglah jauh-jauh prasangka buruk antara kalian.”
            Nadia tercenung.
            Gerimis masih belum reda.
            “Selamat tinggal,” tiba-tiba Puti Campa memecahkan kegalauan pikiran Nadia. Saat Nadia menggangkat wajah, Puti Campa berubah jadi gumpalan kabut. Lalu lenyap tanpa bekas.
           
**

            Esok siang, Nadia bertemu dengan Atos di Taman Budaya. Gadis tersebut berkesempatan bertanya tentang Nago Salapan.
            “Pukul sepuluh tadi, Bang Nago duduk di lapau Manon. Ia bercakap-cakap dengan kami di sana. Uni kan tahu, kalau Bang Nago bicara amat serius. Terlebih kalau ngomong tentang alam gaib dan tasauf.”
            “Lalu di mana dia?”
            “Uni rindu pada Bang Nago?”
            Nadia tersipu, wajahnya bersemu merah mendengar pertanyaan Atos. Gadis itu agak cemberut memandang Atos.
            “Saya Cuma bercanda kok,” Atos ketawa. “Oya, ketika kami sedang asyik-asyiknya, tiba-tiba Mas Gugum datang menjemput,” sambung anak muda itu kemudian.
            Seketika tersirap darah Nadia mendengar nama Gugum. Ia mengenal Gugum sebagai orang dekat Tuan Logos. Dan Logos adalah sekutu dekat Anurangga. Ada apa sebenarnya sehingga Gugum datang menjemput Nago Salapan? Menurut kabar angin, Gugum pernah pacaran dengan Olivia alias Puti Galang Banyak. Pikiran Nadia semakin menerawang.
            “Dunia telah banyak berubah. Kawan bisa jadi lawan. Dan lawan bisa berbalik jadi kawan. Sang komandan itu mengajak Bang Nago bergabung. Bergabung melawan Anurangga. Kekuatan Anurangga semakin kokoh dengan munculnya Kati Muno,” ulas Atos.
            “Bernas juga analisamu,” tukas Nadia.
            “Saya wartawan. Apa yang saya sampaikan itu bukan analisa tapi berita.” Atos melipat lututnya di laga-laga tersebut.  “Dugaan saya, Mas Gugum menjemput Bang Nago ada hubungannya dengan kedatangan kembali Anurangga bersama sekutunya ke kota ini.”
            “Ada Anurangga, pasti ada Puti Bagalang Banyak.”
            “Begitukah?”
            “Naluri saya mengatakan begitu.”
            Saat itu muncul Mori. Atos mengerling pada Nadia. “Oya, selain mencari Bang Nago. Agaknya Uni menunggu seseorang?”
            Mori menyapa Nadia. Ia lantas duduk di samping Nadia, dan tersenyum pada Atos. Agaknya Atos tahu diri, ia segera menyandang tasnya. Dan minta permisi.
            Sebelum Atos menghidupkan mesin motor, Nadia berkata,”Saya ingin mendapat informasi lebih lanjut tentang kedatangan Anurangga. Kamu bisa kan?”
            “Oke Bos,” sahut Atos dengan nada bercanda. Kemudian ia meluncur dengan kendaraan “kuda kepang” itu keluar Taman Budaya. (Bersambung.....10)

0 komentar:

Posting Komentar