Selasa, 10 Januari 2012

KECAPI NAGA (8)

8

Arwah

Angin bertiup semilir. Kelembutan tiupan angin mampu juga merontokkan dedaunan tua. Berderai daun-daun  itu melayang ke tanah. Senja itu Olivia selesai mandi, ia mendapatkan Anurangga melonjorkan kaki di ranjang. Perempuan muda itu mengerling sejenak. Lalu duduk di depan kaca rias.
“Sudahkah dinda mendapat kabar dari kati Muno?”
“Belum,” sahut Olivia singkat. Tetapi setelah selesai berdandan. Ia duduk di sofa seraya menyilangkan kaki, menghadap ke arah suaminya itu. “Apakah bisnis kanda berjalan lancar?” Olivia balik bertanya.
Mengeluh Anurangga bagai orang merintih. “Mestinya bisnis itu berjalan mulus. Tapi kita telah dikhianati. Bahkan Nago Salapan pun ikut campur tangan.”
“Tuan Logos berkhianat?”
Anurangga bangkit, ia duduk di pinggir ranjang.. “Ya, dia telah menangkap kiriman kita di Teluk Bayur. Padahal denai telah mengalihkan situasi. Mengalihkan situasi dengan menantang Nago Salapan. Dalam peristiwa itu, denai hampir saja ditangkap.”
Olivia diam.
“Dan Janggo mereka tangkap,” tukas Anurangga lesu. Ia mencuri pandang ke arah Olivia. Ekspresi perempuan itu biasa-biasa saja. Sedikit pun tidak ada respon.
Perempuan itu menyelipkan sebatang rokok di bibir. Anurangga mendekat dan menyulut rokok di bibir Olivia. Asap tipis mengepul ke udara dari bibir Olivia. “Kalau begitu kita dalam bahaya,” tukas perempuan tersebut.
Lelaki itu menghamparkan lengannya ke sandaran kursi. “Begitulah. Tapi kita masih punya kartu truf. Kati Muno berada di pihak kita.”
“Tapi malam ini, Kati Muno belum juga muncul.”
Sebelum Anurangga menjawab, mereka mendengar langkah kaki di luar sana. Anurangga membuka pintu. Seorang serdadu hitam berdiri di depan pintu. “Tuanku, tuan Slang dan Guru menunggu di ruang tamu.”
“Oya. Kami akan ke sana,” sahut Anurangga. Ia menggamit Olivia. “Mereka telah datang.”
“Tuanku, dua mustika telah kami dapatkan,” lapor Slang pada Anurangga ketika raja muda itu dan Olivia muncul di ruang tamu tersebut. Riang wajah Anurangga seketika.
“Sebentar lagi cita-cita kita akan menjadi kenyataan,” tukas Kati Muno. Lelaki itu mengerling pada Slang. Kemudian merogoh kantong celananya, ia keluarkan dua benda dari sana. Ruangan itu bercahaya terang benderang. Cahaya itu berasal dari kedua mustika di tangan kati Muno. Cahaya merah dan hitam berkilauan.”
“Mustika Alam!”
Tanpa sadar Anurangga berseru. Betapa tidak, selama hidupnya baru kali ini dia melihat kedua benda tersebut. Ternyata mustika alam itu bukanlah dongeng atau isapan jempol belaka.
Kati Muno terkekeh. Rambutnya mencuat naik bagai bulu landak. Ia mempertemukan kedua benda tersebut, mustika api dan mustika tanah. Saling bergesekan benda itu. Tampak pijar api meletik-letik. Semula kedengaran suara mendesis halus, berikutnya kedengaran suara aneh. Suara raungan panjang. Membahana raungan itu dalam ruangan tersebut.
Ruangan itu bergetar hebat. Slang merasakan telinganya sakit bukan main. Seakan-akan gendang telinganya hendak meledak.
Sementara itu Olivia mendekap Anurangga. Wajah perempuan itu tampak ketakutan. Ia melihat bayangan dua ekor naga berputar-putar dalam ruangan tersebut. Demikian pula dengan Anurangga, ia pun menyaksikan apa yang dilihat istrinya itu. Naga merah dan naga hitam itu mengelilingi Kati Muno.
Di luar sana angin bertiup kencang. Daun-daun rontok dari tangkainya. Dan kedengaran anjing melolong pilu.
Tubuh Kati Muno bergetar hebat. Ia menyeringai, lidahnya yang bercabang menjulur. Naga merah dan naga hitam tersedot masuk ke dalam mulut lelaki tersebut.
Angin semakin kencang.
Anjing terus melolong pilu.
Wajah Kati Muno berubah-ubah. Kadang merah menyala, kadang hitam legam. Ia bersimpuh di lantai. Rambutnya tegak kaku bagai bulu landak.
Tiba-tiba suasana hening.
Slang terhenyak di sofa. Mulutnya menganga lebar.
Anurangga dan Olivia membisu. Mereka bungkam saling berangkulan.
Kati Muno menyapu wajahnya. Ia kini pulih kembali. Sekarang dalam tubuh Kati Muno ada sepasang mustika alam. Mustika api dan mustika tanah.
“Guru…Guru tidak apa-apa?”
Kati Muno tersenyum. “Kedua mustika itu telah masuk ke dalam tubuh denai. Kesaktian denai kian berlipat ganda,” ujarnya. Lelaki tersebut mengepalkan tangan. “Dunia kini dalam genggaman denai!”
Petir menggelegar menyambut suara Kati Muno.
*
Nago Salapan terbangun malam itu. Lelaki itu bangkit dan duduk di pinggir ranjang. Dan di ranjang sana Atos mendengkur, lelap tidurnya. Kemudian Nago melangkah keluar kamar. Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari.
Dalam tidurnya, ia melihat sosok Kati Muno. Di masa lalu ia belum pernah bertemu dengan tokoh jahat itu. Ia hanya mendengar nama Kati Muno dari penuturan orang yang lebih tua. Mereka mengisahkan akan kekejaman Kati Muno, di mana tokoh tersebut membunuh lawan-lawannya bagai membunuh nyamuk layaknya.
Sekarang, dalam mimpi itu; Nago melihat Kati Muno menggenggam dua mustika alam, mustika api dan mustika tanah. Tercenung Nago duduk sendirian di ruang tamu itu. Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki, sangat halus langkah kaki tersebut.
Seberkas cahaya tampak nyata di hadapan Nago. “Siapa?” Nago menyapa.
“Saya Ki Samudro.”
“Ki Samudro? Saya belum mengenal tuan.”
Ki Samudro duduk di kursi, berhadapan dengan nago Salapan. Tatapan Ki Samudro tampak bersahabat. Usia lelaki tersebut sekitar 50-an. “Ya, anda memang belum mengenal saya. Lagi pula dalam kehidupan yang lalu, saya berada di tanah Jawa. Sedangkan tuan berada di ranah Minangkabau. Tapi saya mendengar kebesaran nama anda.”
“Anda terlalu memuji saya,” sahut Nago tersenyum. “Oya, angin apa gerangan yang membawa anda ke mari?”
Anjing melolong di kejauhnan.
“Saya mencari Kati Muno. Dia mencuri pusaka leluhur kami. Mustika merah delima atau mustika api. Pusaka tersebut diwariskan turun temurun. Generasi terakhir adalah Bejo. Beberapa waktu yang lalu, Kati Muno telah mengambil mustika tersebut dari tangan Bejo. Dia bukan saja mengambil mustika api tapi juga membunuhnya.”
Diam sesaat Nago. Dalam mimpinya itu, ia melihat Kati Muno merampas pusaka tersebut dari Bejo. Namun ia tidak mengetahui di mana Kati Muno berada. “Anda menduga Kati Muno akan kembali ke Minangkabau?” Nago bertanya.
“Ya.”
“Mengapa anda menduga begitu?”
Menegun sejenak Ki Samudro. “Menurut primbon kami, Kati Muno akan kempung halamannya. Di ranah Minangkabau juga terdapat mustika lain. Mustika yang merupakan bagian mustika alam. Dengan mengumpulkan kelima mustika tersebut maka ia akan menjadi orang tak terkalahkan.”
“Ternyata Kati Muno juga memburu mustika alam sampai ke ranah Minangkabau. Tapi siapakah yang memiliki mustika lainnya di negeri ini?” Nago Salapan menggumam.
“Bukan saja mustika yang diburu Kati Muno. Dia juga akan membunuh kalian berdua. Anda dan Puti Rinjani.”
Nago Salapan menarik nafas dalam-dalam.
“Tapi tuan tak perlu khawatir. Saya berada di pihak tuan. Saya akan mencari dan menantang Kati Muno. Utang nyawa harus dibayar nyawa.” Dalam keremangan cahaya terlihat wajah Ki Samudro penuh dendam.
Ayam berkokok.
“Tibalah saatnya saya kembali ke alam sana. Saya mohon pamit,” ujar lelaki tersebut. Ia bangkit, kedengaran angin sepoi-sepoi bertiup. Sosok Ki Samudro bersatu dengan tiupan angin. Lalu lenyap.

*

Dan Gugum tersentak di jalan Ratulangi. Lelaki itu sejak diaktifkan kembali, lebih sering menginap di sana. Tuan Logos menyiapkan sebuah kamar, maksudnya Gugum lebih mudah dihubungi.
Subuh telah berlalu. Di luar sana kehidupan kota mulai menggeliat. Satu dua kendaraan mulai tampak berlalu lalang. Gugum segera mencuci muka. Entah kenapa kali ini ia ingin keluar, ke halaman. Dia melentur-lentur tubuh di halaman seraya menghirup udara segar. Dan menikmati sisa cahaya fajar yang masih membias di ufuk timur.
Sekonyong-konyong masuk ke halaman sosok bayangan. Bayangan itu mengapung dan berdiri di depan Gugum. Gugum terkesiap. Bagaimana sosok itu bisa masuk ke halaman, melewati pengawal di gardu jaga. Lelaki itu menudungi keningnya dengan tangan agar dapat melihat dengan jelas ke arah gardu.
Di gardu jaga Gugum masih melihat seorang prajurit berdiri. Berarti serdadu itu masih belum tidur, tetap siapa di sana. Kenapa sosok ini dapat masuk dengan leluasa?
“Bukankah kamu Gugum?” Orang itu bertanya dengan Jawa medok.
“Ya, saya sersan Gugum. Anda siapa?”
Orang itu memandang Gugum lekat-lekat. Tatapan orang tersebut sangat tajam sehingga Gugum menunduk.
“Siapa anda?”
“Panggil saya Ki Samudro. Saya moyang buyutmu.”
Mencuat alis Gugum mendengar pengakuan orang itu. Lelaki tua itu mengaku sebagai moyang buyutnya. Artinya orang yang berada di hadapannya itu lebih tua dari ayahnya. Kalau diukur usia, ayahnya  lebih tua usianya.
Ki Samudro membaca kebimbangan Gugum. “Baiklah. Bukankah orang tuamu berasal dari Purwokerto. Ia tinggal di suatu desa. Orang tuamu itu bernama Karjo, ia anak kedua dari tiga orang bersaudara. Yang sulung bernama Bejo dan yang bungsu bernama Tuminem,” tutur lelaki tersebut.
Makin heran Gugum mendengar penuturan Ki Samudro. Betapa orang asing tersebut dapat mengenal silsilah keluarganya. Namun Gugum tetap saja belum percaya, jangan-jangan orang tersebut hanya menduga-duga. Lagi pula dilihat dari penampilannya tampak lebih muda dari ayah, Pak De dan Bu Liknya, yaitu Bejo dan Tuminem. Karena itu Gugum mengajukan pertanyaan. “Di mana Bu Lik itu sekarang?”
Ki Samudra ketawa. “Anak muda. Agaknya kamu belum percaya pada penjelasan saya. Baiklah…Tuminem telah meninggal dua yang lalu. Dan Bejo tinggal di kaki Gunung Tangkuban Perahu. Dia dibunuh oleh seseorang bernama Kati Muno.”
“Tapi kenapa wajahmu kelihatan lebih muda. Padahal kamu mengaku kakek buyut kami. Jika anda adalah kakek buyut kami maka usiamu sudah ratusan tahun.”
“Usia saya memang sudah ratussan tahun. Dan lihat baik-baik,” ujar Ki Samudro seraya mengusap wajahnya. Tiba-tiba wajah itu berubah jadi tua, berkeriput. Dan tubuhnya jadi bongkok, rambutnya memutih dan janggutnya panjang menjuntai.
Surut Gugum, ia sadar kini berhadapan bukan manusia biasa. Mungkin ia sedang berhadapan dengan jin atau setan maupun hantu gentayangan.
Lantas Ki Samudro mengusap wajahnya kembali. Ia lalu berubah seperti sediakala. “Cucuku Gugum. Saya sekarang sedang menghadapi seorang manusia iblis. Manusia iblis itu bernama Kati muno. Setelah ia membunuh Bejo, dia mengambil pusaka leluhur kita, yaitu mustika api.”
“Apakah hubungannya dengan saya?”
“Karena kamu keturunan keluarga Samudro, maka kamu bertanggung jawab mengambil kembali benda tersebut. Saya akan masuk ke dalam tubuhmu agar bisa menantang Kati Muno yang tetkenal jahat dan sakti itu.”
“Bagaimana mungkin arwahmu akan masuk ke dalam tubuh saya?”
Ki Samudro tidak menyahut. Orang tua itu menyorot tajam pada Gugum dengan pandangannya. Seketika Gugum lemas tak sadarkan diri. Lalu langit di atas kawasan Ratulangi tersebut berkuak. Angin bertiup. Dan bersamaan dengan hembusan angin Ki Samudro berubah jadi asap. Arwah Ki Samudro masuk ke dalam tubuh Gugum.
Sunyi sejenak. 
Matahari pagi mulai menyinari bumi, cahayanya lembut jatuh menyentuh pepohonan. Embun masih melekat di ujung daun, tampak seperti untaian mutiara.
Perlahan-lahan Gugum bangkit. Agak sempoyongan ia berdiri. Semula ia merasakan tubuhnya sangat berat, kemudian berubah ringan, seperti mengapung. Gugum coba kembali mengingat-ingat peristiwa yang baru dialaminya. Bukankah ia tadi bicara dengan seseorang yang mengaku Ki Samudro. Mungkinkah arwah Ki Samudro itu telah masuk ke dalam tubuhnya sehingga terjadi perubahan dalam dirinya?
Lelaki tersebut menyapukan pandangan ke sekeliling halaman. Di sana tidak ada siapa-siapa. Yang ada hanya seorang prajurit jaga berdiri siaga. Dalam kebimbangan itu, lelaki tersebut kembali ke dalam. Ia guyur kepalanya basah-basah di kamar mandi. Hawa dingin merasuk lewat pembuluh-pembuluh kulitnya. Beberapa jenak kemudian kepalanya terasa ringan. (Bersambung...9)

0 komentar:

Posting Komentar