Rabu, 18 Mei 2011

Syekh Burhanuddin

Syekh Burhanuddin diperkirakan lahir awal abad ke 17 Masehi. Ia hidup antara 1056-1056 H/1646-1692 M. Ada beberapa nama yang diberikan pada tokoh saat ia masih kecil, pertama beliau disebut Buyung Panuah, yang berarti anak lelaki yang bisa dipercaya. Dan nama kedua, adalah Buyuang Pono, yang berasal kata “Samparono”. Dengan demikian sebutan dari kedua nama itu mempunyai arti yang hampir bersamaan. Panuah dalam bahasa Minang, artinya cukup, tak berguncang, dan bisa juga ditamsilkan sebagai sempurna. Sedangkan “Samparono”, memanglah dia sempurna, tanpa cela. Kemudian beliau sehari-harinya di masa kanak dipanggil Pono. Tapi ada juga yang menyebut nama kecil ketiga, yaitu si Kanun (Imam Maulana dalam bukunya, Mubaligul Islam, menyebutnya si Qanun).
Nenek moyangnya berasal dari negeri asal orang Minangkabau, Guguk Sikaladi Pariangan Padangpanjang. Neneknya bernama Puti Aka Lundang, seorang keturunan berbangsa, dan kakeknya dikenal dengan nama Tantejo Guruhano. Dan dari kedua orang tersebut lahirlah, ayahnya yang bernama Pampak Sati Karimun merah, seorang yang dikenal luas dalam masyarakat sebagai Datu (seorang dukun). Sedangkan ibunya, seorang Putri, yang bernama Puteri Cukup Bilang Pandai. Berdasarkan garis keturunan menurut ibunya (matrilinial), Burhanuddin bersuku Guci.
Masa kanak-kanaknya, dihabiskan di daerah kelahirannya dibawah asuhan orang tuanya. Ada suatu peristiwa yang menarik ketika ia masih berusia sembilan. Suatu hari ia bermain-main bersama teman-temannya, di sebuah dataran tinggi, yang disebut Kuwaik Galundi nan Baselo. Pono dan teman-teman sebayanya, asyik bermain. Mereka tidak sadar ada seekor harimau yang mengintai. Sekonyong-konyong harimau itu menghambur ke arah Pono. Akan tetapi dengan sigap, Pono mengadakan perlawanan, akhirnya harimau itu kalah dan melarikan diri masuk hutan belantara. Sementara itu Pono menderita luka pada paha kiri. Ternyata pada luka tersebut, urat kakinya putus. Walaupun ia dapat sembuh tapi Pono menjadi pincang. Karena beliau pincang, teman-teman sebayanya memanggilnya “Pincang”
Kedua orang tua Pono, sejak kanak-kanak telah mendidik anak mereka itu dengan akhlak dan budi pekerti yang baik, sesuai dengan perkembangan dan kehidupan masyarakat Minangkabau. Pono oleh orang tuanya diserahkan pada seorangsaudagar Gujarat, yang oleh masyarakat disebut Illapai. Orang Gujarat tersebut mengajarkan Pono ilmu agama, yaitu ilmu agama Islam.
Kemudian mereka pindah ke Sintuk. Perpindahan tersebut adalah karena kehidupan mereka kurang baik secara ekonomi, dan di samping itu karena masyarakat setempat masih beragama Budha, maka Pono dan keluarga dikucilkan, bahkan hendak dibunuh. Pun karena mendengar kabar tentang seorang ulama besar yang mengajar di Tapakis.
Menurut catatan, perjalanan yang dilakukan oleh Pono bersama kedua orang tuanya, dari kampung halamannya Pariangan Padangpanjang merancah hutan melewati Malalo lalu turun gunung sampai ke Nagari Asam Pulau. Dari Asam Pulau mereka terus mengikuti aliran anak sungai Batang Anai. Akhirnya mereka sampai di Sintuk dekat Lubuk Alung. Di Sintuk mereka menetap, dan masyarakat di sana cukup ramah menerima Pono dan orang tuanya.
Di Sintuk Pono bekerja sebagai pengembala kerbau. Setiap hari dia mengembalakan kerbau, mengasingkan diri dari masyarakat. Mungkin karena ia orang asing, dan juga takut diperolok-olok orang karena kakinya pincang. Kian lama kian jauh daerah pengembalaan Pono, bukan saja di Sintuk, Tapakis dan Ulakan.
Dalam pengembalaan kerbau di Tapakis, ia bertemu dengan Idris, seorang yang berasal dari Ulakan. Mereka menjadi teman setia (Kelak Idris diberi gelar Khatib Majojelelo oleh Syekh Burhanuddin sekembali dari Aceh). Di sinilah Pono mendapat keterangan tentang Syekh Abdullah Arif yang bergelar Tuanku Madinah di Tapakis. Maka semenjak itu, sambil mengembala kerbau, Pono belajar pada Tuanku Madinah. Konon di masa itu masyarakat di sana kebanyakan masih menganut kepercayaan animisme.
Sebenarnya kehadiran Tuanku Madinah di Tapakis kurang dapat sambutan dari masyarakat di sana, terutama oleh kaum adat yang teguh memegang tradisi mereka. Tapi ada juga beberapa orang yang menerimanya. Sehingga banyak pula orang yang belajar ilmu agama Islam pada Syekh Abdullah Arif atau Tuanku Madinah. Pono dengan tekun belajar pada gurunya itu. Karena kecerdasan dan akhlaknya yang terpuji, Tuanku Madinah menyayangi Pono. Akan tetapi, malang tak dapat ditolak-mujur tak dapat diraih, baru tiga tahun Pono belajar pada Tuanku Madinah, sang guru itu meninggal dunia. Syekh Abdullah Arif atau Tuanku Madinah wafat 1039 H/1619 di Tapakis.
Sirnalah harapan Pono belajar agama Islam lebih mendalam. Sejak kematian gurunya, Pono menyendiri, mengasingkan diri dari khalayak ramai. Tapi akhirnya ia sadar, gurunya yang telah tiada tidak mungkin kembali lagi. Namun ia sebagai murid harus segera melaksanakan amanat gurunya, agar menyampaikan dakwah kepada umat. Semula ia sampaikan dakwah di lingkungan kerabatnya, kemudian kepada masyarakat Sintuk dan sekitarnya. Maka perlahan-lahan masyarakat Sintuk menerima Islam di sana. Namun keberhasilan Pono tersebut, tampaknya kurang disenangi oleh sebagian orang-orang di Sintuk. Malah kaum adat mengancam Pono, hendak dibunuh. Bahkan orang tuanya telah disiksa oleh mereka.
Dengan berbagai cobaan tersebut, Pono semakin kokoh pribadinya. Di saat itulah dia ingat pesan gurunya, Tuanku Madinah, bahwa bila keadaan sudah memungkin ia segera melanjutkan ilmunya kepada Syekh Abdurrauf as-Singkel di Aceh, seorang ulama besar yang terkenal di zaman itu.  Ketika Tuanku Madinah masih hidup, beliau pernah menuturkan kepada Pono; Syekh Abdurrauf Singkel tersebut adalah saudara seperguruannya. Mereka pernah sama-sama menimba ilmu pada Syekh Ahmad Qusyaisi di Madinah.
Perjalanan Pono ke Aceh digambarkan oleh ulama-ulama dan pencatat riwayat hidupnya, tampak beragam. Kadangkala perjalanan tersebut dilukiskan bercampur antara kenyataan dan  dongeng. Hal seperti itu memang sudah biasa dilakukan oleh “pencerita”, karena mereka menghormati beliau, dan memandang Syekh Burhanuddin seorang keramat. Memang pada masa itu untuk menempuh suatu daerah, menuju Aceh bukanlah jalan yang mudah. Konon diceritakan Pono harus melewati hutan belantara, mendaki bukit, menuruni jurang dalam, bahkan menyusuri dan menyeberangi sungai. Suatu ketika Pono bertemu dengan empat orang pemuda. Setelah mereka berbincang-bincang, bertukar pengalaman, ternyata keempat pemuda tersebut mempunyai maksud yang sama dengan Pono, yaitu belajar ilmu agama ke Aceh.
Beberapa penulis berbeda pendapat tentang keempat pemuda yang bertemu dengan Pono di hutan belantara itu. Imam Maulana menyebutkan dalam bukunya yang sama, bahwa keempat pemuda tersebut adalah: pertama, Datuk Maruhum Panjang dari Padang Ganting Batusangkar, yang kedua bernama si Tarapang berasal dari Kubung XIII Solok, ketiga Muhammad Nasir dari Kototangah, dan keempat Buyung Mudo dari Pulut-pulut Bandar X Pesisir Selatan. (*24)
Pono dan keempat pemuda itu melanjutkan perjalanan sampai ke Aceh. Ketika mereka diterima dan belajar pada Syekh Abdurrauf as-Singkel, keempat pemuda tersebut ditempatkan sama dengan pelajar-pelajar lainnya. Akan tetapi Pono diberikan tempat yang khusus. Ia disuruh oleh gurunya mengembalakan ternak, melayani guru dan mengantar ke surau tempat pengajian. Konon perlakuan khusus tersebut diberikan kepada Pono, karena Syekh Abdurrauf as-Singkel melihat mata batinnya bahwa Pono mempunyai keisitimewaan tersendiri, dibanding dengan murid-murid lainnya.


UJIAN DARI SYEKH ABDURRAUF AS-SINGKEL

Pono memang dibedakan dari murid-murid lainnya, termasuk keempat pemuda yang sama-sama dari ranah Minangkabau. Dalam kisah diceritakan, Syekh Abdurrauf tidak mempunyai anak lelaki, ia hanya memiliki seorang putri yang sebaya dengan Pono. Dan Syekh Abdurrauf bukan saja mengangkat Pono sebagai muridnya, ia pun diangkat sebagai anak ( anak angkat).
Hikayat tentang kepatuhan Pono sering diulang-ulang dan diulas-ulas dengan beragam cara, melegenda di tengah-tengah pengikut dan ulama Syatariah, saat mereka belajar. Suatu hari, Pono dan teman-temannya disuruh oleh gurunya masuk ke kolam yang penuh cirit (tinja manusia), untuk mengambil sebuah bejana berharga yang jatuh ke sana. Tentu saja tidak ada yang mau karena jijik karena kolam tersebut berbau sangat busuk. Akan tetapi Pono tanpa berpikir panjang segera saja melompat ke dalam kolam tersebut. Ia menyelam dan mendapatkan bejana itu, dan mempersembahkan kepada gurunya, Syekh Abdurrauf itu.
Kisah ini yang selalu diulang-ulang adalah untuk memperlihatkan bahwa seorang murid harus patuh kepada gurunya, agar patuh tanpa reserve, yang memang dalam pengajian tarekat kepada guru adalah sebagai salah satu syarat mutlak (*25).
Suatu malam, Syekh Abdurrauf duduk di mihrab surau, ia memanggil Pono. Waktu itu murid-murid lain telah tidur di asrama. “Pono, rasanya ilmu yang kuberikan kepadamu sudah cukup. Engkau telah mempelajari Nahu dan Syaraf, Tauhid dan Fiqih serta Tarekat Syatariah. Tampaknya tidak ada yang engkau pelajari di sini. Jadi sudah saatnya engkau kembali ke Minangkabau ” ujar Syekh Abdurrauf.
Namun ucapan yang disampaikan oleh gurunya itu, tidak ditelan mentah-mentah oleh Pono. Beberapa jenak ia diam, kemudian menyampaikan keberatannya untuk kembali ke kampung halamannya. Karena ia masih ingin menetap di sini, terus menimba ilmu agama, yang dirasakan belumlah cukup.
Akhirnya, Syekh Abdurrauf menerima permintaan Pono. Suatu hari ia disuruh oleh gurunya mengambil jubah ke Masjid. “Dalam perjalanan dari sini ke Masjid, berhentilah sejenak dan menengadahlah ke langit lalu menunduk ke bumi. Dan kemudian ceritakanlah padaku apa yang engkau alami,” kata Syekh Abdurrauf.
Apa yang disuruh oleh gurunya itu, segera dilakukan Pono. Ia berangkat ke Masjid untuk mengambil jubah. Di tengah perjalanan, Pono menadahkan tangan sambil berdoa. Selang beberapa saat ia melihat sebuah “Tupah” seperti sebuah al-Quran terbentang yang terkembang di balik langit tujuh lapis. Lalu ketika ia menundukan kepala ke bumi, tampaklah tujuh lapis pitalo bumi. Di sanalah timbul kesadaranya, bahwa dibandingkan dengan kekuasaan Allah, dia hanyalah sebutir pasir yang tidak arti.
 Kisah lainnya diceritakan, suatu ketika ada keluarga yang hendak melepaskan nazar karena mereka terhindar dari malapetaka besar. Acara pesta nazar tersebut diadakan pada sebuah pulau yang jauh dari pantai Sigli. Syekh Abdurrauf diundang ke pesta besar itu. Kepada keempat muridnya-teman Pono dari Minangkabau- Syekh Abduraruf berpesan, jika Pono terbangun dari tidur, segeralah ia menyusul ke tempat pesta tersebut.
  Tengah malam, Pono tersentak dari tidurnya. Dan teman-temannya menyampaikan pesan Syekh Abdurrauf agar menyusul tempat pesta tersebut. Begitu menerima pesan itu, Pono lalu berangkat. Sampai di pantai tidak menemukan sebuah perahu pun untuk berangkat ke sana. Ia merenung sejenak di pinggir pantai. Dengan apa ia harus pergi. Sebagai murid, Pono harus menjalankan perintah gurunya. Oleh karena itu dia harus berusaha sedaya mungkin. Lalu ia berdoa meminta petunjuk kepada Allah. Kemudian melangkah ke pantai, Pono bermaksud hendak berenang saja.
Pono menginjakkan kakinya ke laut. Tiba-tiba terhampar sebuah tikar pandak (penulis: tikar anyaman dari mensiang) di permukaan laut. Tanpa berpikir panjang Pono segera menjejakkan kakinya ke atas tikar tersebut. Bergerak seketika tikar tersebut bagai sebuah perahu bermesin. Akhirnya sampai ia ke tempat pesta, dan bertemu dengan gurunya.
Selanjutnya, ada kisah yang tak kalah pentingnya dalam pengujian akhlak dan keimanan Pono, yaitu ketika Syekh Abdurrauf bersama istrinya diundang oleh Sultan Aceh ke kotaraja. Pono disuruh tidur di rumah, di samping menjaga rumah, sekaligus menjaga putrinya.
Betapa beratnya bagi seorang lelaki muda harus menjaga seorang gadis cantik jelita, yang kebetulan putri gurunya sendiri. Menurut pesan sang guru, Pono harus tidur sekamar dengan putrinya itu. Ia tidur di bawah, sedangkan sang putri Abdurrauf tidur di atas ranjang.
Di suatu malam yang dingin. Pono tersentak. Angin semilir masuk lewat celah dinding. Rambut putri Abdurrauf yang panjang berkibar-kibar menjela ke bawah, di mana di sana tidur Pono. Semerbak harum rambut gadis itu tercium oleh Pono. Semula Pono berusaha menahan diri, menutup sekujur tubuhnya dengan kain selimut. Namun semerbak harum rambut gadis itu, terus menjalar. Harum yang membangkitkan libodo kelelakian Pono. Di samping itu, setan mulai menernawakan kebodohan Pono. “Pono, kamu sungguh lelaki yang bodoh. Kesempatan ini memang sudah direncanakan oleh gurumu. Ia sengaja meninggalkan anak gadismu, agar engkau mau menggauli putrinya itu.”
            Pono memang bukan lelaki sembarangan. Ia telah ditempa oleh Syekh Abdurrauf dengan matang. Ia segera keluar rumah, dan berdoa kepada Allah untuk mengusir nafsu setan yang kini tumbuh dalam hatinya. Akhirnya Pono mengambil keputusan, ia mengambil sebuah batu dan memukul alat kelaminnya. Seketika Pono roboh ke tanah, jatuh pingsan.
            Keesokan hari Syekh Abdurrauf dan istrinya kembali dari kotaraja. Guru itu terperanjat melihat Pono terkapar di halaman. Segera Pono diangkat ke atas rumah. Setelah siuman, Pono lalu bercerita tentang peristiwa yang dialaminya. “Syukur Alhamdullah, aku masih dilindungi Allah dari godaan setan, “ ujar Pono kepada gurunya.(*26)
            Sejak itulah, Syekh Abdurrauf as-Singkel berpendapat bahwa muridnya itu, Pono sudah saatnya kembali pulang ke Minangkabau. Konon kepada Pono diberikan jubah dari Syekh Ahmad Qusyausi tanda tamat belajar dan berhak mengembang tarekat Syarariah. Menurut hikayat, Syekh Abdurrauf dipesan oleh Syekh Ahmad Qusyaisi agar memberikan jubah tersebut pada seorang yang bernama Pono dari Minangkabau. Ia pun diberi gelar Syekh Burhanuddin.Maka tidaklah heran kepulangan Syekh Burhanuddin ke Ulakan dipersiapkan oleh pihak Aceh dengan fasilitas yang boleh dikatakan berlebihan (*27).

KEMBALI KE ULAKAN

Kepulangan Syekh Burhanuddin ke Ulakan, konon dipersiapkan sedemkian rupa oleh mereka yang berada di Aceh.  Khatib Munaf Imam Maulana menulis sebagai berikut: Syekh Burhanuddin pulang ke Minangkabau tahun 1020 H/1611 M dilengkapi dengan 70 orang pasukan yang berani, kebal terhadap sihir dan senjata tajam, di bawah pimpinan seorang panglima perang yang bernama Khatib Sangko. Khatib Sangko tersebut adalah putra Minangkabau, berasal dari nagari Gunung Tigo Tandikek kecamatan VII Koto Sungaisarik, Padang Pariaman- yang dulu beragama Hindu, kemudian di Aceh dia di-Islamkan-
Dalam pelayaran kembali ke Ulakan, rombongan Syekh Burhanuddin singgah di Gunung Sitoli, karena mereka kehabisan persediaan air bersih. Kapal tersebut merapat di pulau itu, dan turun ke daratan mencari air. Mereka menggali sebuah sumur, sumur itu kelak dinamakan niyah. Dan sejak itu pulau disebut pulau Nias, yang berasal dari kata niyah atau air bersih. Lalu rombongan itu melanjutkan pelayaran lagi. Ketika mereka sampai di pulau Angso, kapal Syekh Burhanuddin bersauh di sana, untuk beristrahat barang sejenak. Rencananya, esok hari baru turun ke darat menuju Ulakan Pariaman.
Konon disaat itu msayarakat Pariaman mempunyai ganjalan dengan Aceh. Mereka melihat sebuah kapal berlabuh di pulau Angso, dan mengira yang datang itu adalah kapal Aceh dengan balatentaranya. Maka bersiagalah rakyat Pariaman.
Rakyat Pariaman dipimpin oleh “Pemuka nan Barampek” di VII Koto Sungai Sarik, mereka adalah Kalik-Kalik Jantan, Gaga Tangah Padang, Si Hujan Paneh, dan Si Wama. Keempat orang tersebut adalah panglima dan orang Bagak di sekitar Pariaman, pun juga dikenal memiliki ilmu sihir. Mereka menolak kedatangan rombongan Aceh, karena mereka menganggap akan merusak kewibawaan dan agama yang mereka.
Khatib Sangko tidak peduli, ia tetap bersikukuh untuk mendarat walaupun akan ditolak oleh mereka yang ada di pantai Pariaman. Maka pertempuran antara kedua belah pihak tidak dapat dihindari. Kedua pihak saling menyerang. Konon dalam catatan disebutkan bahwa di pihak Khatib Sangko tewas semuanya, kecuali Kahtib Sangko sendiri. Sedangkan di pihak Pariaman, tiga orang pimpinan mereka tewas, kecuali si Kalik-Kalik Jantan yang hidup. Mengalami peristiwa yang menyedihkan tersebut, Khatib Sanggo kembali ke kapal, dan melapor kepada Burhanuddin di pulau Angso.
Mendengar laporan itu, Syekh Burhanuddin segera menyuruh Khatib Sangko kembali ke Aceh, memberikan peristiwa ini pada Sultan Aceh melalui mufti Syekh Abdurrauf. Aceh kemudian mengirim pasukan ke Pariaman; 150 orang membantu penyebaran Islam di Minangkabau. Kedatangan ini pun disambut kembali oleh pihak Pariaman dengan perang. Terjadilah perang besar-besaran. Kalik-Kalik Jantan tewas.
Setelah perang usai, Syekh Burhanuddin dijemput oleh temannya, Idris Khatib Mojolelo. Kedatangan Idris Khatib Mojolelo dan rombongan masyarakat Ulakan disambut baik oleh Syekh Burhanuddin. Seperti diketahui bahwa kedua orang tersebut memang sudah sejak lama berteman. Mereka dulu sama-sama belajar pada Syekh Abdullah Arif atau Tuanku Madinah di Tapakis, sebelum Syekh Burhanuudin pergi ke Aceh. Sementara itu Khatib Sangko mengajar dan menyebarkan Islam di kampung halamannya, Gunung Tigo Tandikek.
Setelah Syekh Burhanuddin menetap di Tanjung Medan Ulakan, lalu dibangunlah surau oleh Khatib Majolelo di tanah ulayatnya. Surau tersebut merupakan surau yang pertama, dan merupakan percontohan bagi tempat pendidikan agama, yang dibangun dan disebar-luaskan kemudian oleh pengikut dan murid-murid Syekh Burhanuddin sampai ke Jawa. Di sekitar surau Tanjung Medan dibangun pula surau-surau kecil yang menjadi tempat tinggal para murid, yang berdatangan dari berbagai daerah, seperti Riau dan Jambi.


SYEKH BURHANUDDIN DI ULAKAN

Nama nagari Ulakan dikenal setelah Syekh Burhanuddin mengembangkan dan menyiarkan Islam di sana, serta mendiri suraukan sebagai pusat pendidikan agama Islam di Minangkabau. Dia dibantu oleh empat orang temannya sama-sama belajar di Aceh dulu, mereka adalah: Datuk Maruhum Panjang dari Padang Gunung, Si Tarapang dari Kubung XIII Solok, Muhammad Nasir dari Kototangah Surau Batu, dan Syekh Buyung Mudo dari Bayang Pulut-pulut Pesisir Selatan.
Keempat orang saudara seperguruannya itu disuruh kembali belajar oleh Syekh Abdurrauf as Singkel kepada Syekh Burhanuddin yang mengajar di surau Tanjung Medan Ulakan. Tentunya kedatangan mereka disambut baik oleh Syekh Burhanuddin, mereka pun dibangunkan surau yang tidak berapa jauh dari surau Tanjung Medan. Tanjun Medan lebih dekat ke pantai, masyarakat di sana menyebutnya Padang Lagundi. Memang di kawasan ini banyak bertumbuhan pohon Lagundi (sejenis pohon yang mempunyai akar tunggang namun tidak berbuah). Sekarang oleh mereka yang sempat berkunjung ke kuburan Syekh Burhanuddin, akan terlihat pohon tersebut.
Secara kesusasteraan dan bahasa Minangkabau, “ulakan” itu berarti penolakan. Artinya keempat mereka yang belum selesai (belum tamat) berguru Syekh Abdurrauf maka ia tolakan pada Syekh Burhanuddin. Demikian masyarakat Ulakan yang tua-tua mencerttakan kisah penamaan nagari Ulakan tersebut. (*28)
Sebagai daerah Rantau maka Ulakan jelas berbeda dengan Luhak nan Tigo(Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, Luhak Lima Puluh Kota, seperti tersebut dalam mamangannya, “Luhak nan bapangulu, Rantau barajo”  Jadi nagari Ulakan yang merupakan wilayah Rantau, mempunyai raja-raja. Ada sebelas raja yang memiliki otoritas (penguasa tanah ulayat). Kesebelas raja tersebut yang berhak menentukan keadaan Nagari, memiliki kewenangan luas sepanjang adat dan kehidupan sosial budaya anak Nagari Ulakan.
Catatan sejarah menuliskan bahwa daerah pesisir merupakan pintu gerbang bagi pusat wilayah Minangkabau ke dunia luar. Pada abad ke 15 sampai 17, di masa itu Ulakan di bawah pengaruh besar dari kerajaan Aceh. Ramainya perdagangan lewat pantai pesisir barat Sumatra adalah karena jutuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 M. Yang akhirnya menumbuhkan jalur perdagangan yang berdatangan dari Arab, Persia, Tiongkok dan Aceh. Tentunya fenomena tersebut mengimbas pada Pariaman, sekaligus Ulakan.
Keterimbasan Pariaman dan Ulakan terhadap Aceh, bukan saja terlihat pada agama Islam, dan tata sosial masyarakat tapi juga terhadap seni tradisi. Kesenian anak Nagari Ulakan dan daerah Pariaman memiliki kesenian Indang, yaitu sejenis permainan dengan mengunakan gendang kecil, yang lebih dikenal dengan nama Rapa’i, yang dilakukan oleh anak-anak muda sebanyak sepuluh orang. Gerak dan lagu yang ditingkahi bunyi gendang mirip dengan tari Seudati di Aceh. Berikutnya ada sebuah bentuk permaianan yang dilakukan dilaga-laga, disebut Ulu Ambek. Di mana dua orang pesilat saling berhadapan untuk bertarung. Aba-aba pertarungan tersebut datang dari dua orang tukang dampeang. Akan tetapi pertarungan ini tidak bersinggungan pisik, serangan dan kelitannya hanya merupakan bayangan. Kalau ditilik dari segi dendang “dampeang” seakan-akan mirip dendang Aceh. Apakah ini juga merupakan imbasan dari pengaruh kesenian Aceh atau hanya merupakan sempalan belaka.
Yang tidak kalah menarik adalah acara Tabut yang dilaksanakan oleh masyarakat Pariaman. Kesenian tabut rersebut dibawa oleh orang Illapai, untuk memperingati kematian dua orang cucu Rasulullah, Hasan dan Husain. Tabut itu dibuat menyerupai burak, kemudian diusung beramai-ramai seraya melantun syair yang berkisah tentang kematian Hasan Husain. Di samping itu ada pula yang mendadani diri mereka sebagai Cimuntu, mahkluk yang berwajah buruk.  Dan saking meriahnya acara arakan Tabut ini, konon dulu sering terjadi perkelahian antar mereka. Tapi tidak membawa perpecahan di antara masyarakat.
Sebagai murid terbaik dari Syekh Abdurrauf, maka tidaklah heran jika dalam memahami Islam, Syekh Burhanuddin dalam mengembang Islam di Minangkabau, yang ia pusatkan di Ulakan Pariaman, menggunakan metode-metode yang pernah dipelajarinya di Aceh, terutama dalam pengajaran tarekat Syatariah. Catatan menyebutkan bahwa tarekat ini didirikan dan bangun oleh Syekh Abdullah as-Syattar. Tarekat ini kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya setelah ia wafat tahun 1429 (833 H) di Maltan sebelah timur Gujarat.
Dari Gujarat tarekat Syatariah itu dibawa pengikutnya ke tanah Suci. Dua orang syekhnya, yaitu Syekh Ahmad Qusyaisi (w.1661/1082 H) dan wakilnya Syekh Ibrahim Kurani (w.1689/1101 H) menngajarkan tarekat tersebut di Madinah. Di antara para murid kedua syekh tersebut adalah Syekh Aburrauf as-Singkel, stelah mendapat ijazah Syekh Abdurrauf pulang ke Aceh sekitar 1662 (1083 H) dan selanjutnya aktif mengajar di Aceh. Syekh Abdurrauf as-Singkel pernah menjadi mufti di kerajaan Aceh Darussalam pada pemerintahan Safiyyatuddin (memerintah pada tahun 1641-1675/1051-1086 H). Melalui Syekh Aburrauf as-Singkel dan para muridnya atau pengikutnya, seperti Syekh Burhanuddin di Minangkabau, Syekh Haji Abdul Muhyi di Jawa Barat dan lain-lainnya, tarekat Syatariah memperoleh pengaruh besar di Nusantara.
Tarekat Syatariah dipandang oleh para ulamanya sebagai tarekat yang berdiri sendiri, bukan cabang atau turunan dari tarekat lainnya. Dan tarekat ini menganut paham wahdatul wujud, dan karena menganut paham tersebut, tarekat ini pernah diserang oleh dan dinilai menyimpang oleh kalangan ulama tertentu di Gujarat (India).
Paham wahdatul wujud yang diajarkan oleh para ulama Syatariah di Madinah, di Aceh, dan di daerah Indonesia, yaitu paham wahdatul wujud dalam bentuk paham martabat tujuh. Menurut tarekat ini, wujud itu hanya satu; kata wajud dalam ungkapan bahwa wujud hanya satu dipakai dalam arti sempit, yaitu mengacu pada wujud hakiki atau wujud yang berdiri sendiri, yang keberadaannya tidak bergantung pada yang lain. Wujud hakiki yang satu ini adalah Allah.
Sementara itu alam sebagai ciptaan Allah, tidaklah berdiri sendiri atau dia bergantung kepada yang lain -bukanlah wujud yang sebenarnya, dalam pengertian sempit dia merupakan wujud bayangan- Kesimpulannya alam adalah wujud bayangan dari Allah. Wujud yang satu itu memiliki tujuh martabat; maratabat Ahadiyah, martabat Wahdah, martabat Wahidiyah, martabat Alam Arwah, martabat Alam Misal, martabat Alam Ajzam, dan martabat Manusia. Tiga pertama adalah martabat ketuhanan, yang mengacu pada satu wujud hakiki, yang dapat dipandang dari tiga macam pandangan. Empat berikutnya adalah martabat alam atau wujud bayangan, yang dapat dibagi ke dalam kelas wujud yang berbeda pula.
Tarekat Syatariah, sebagai jalan atau upaya untuk mendekatkan manusia dengan Tuhan, mengajarkan beberapa bentuk pengamalan zikir. Tahap awal mereka mengajarkan membaca kalimat tauhid La illaha illa Allahu sebanyak mungkin. Berikutnya pada tahap yang lebih tinggi, yaitu illa Allahu. Lalu pada tahap lanjut, yaitu membaca Allah…Allah. Akhirnya diajarkan melafaskan Hu…Hu…Hu. Menurut para ulama tarekat Syatariah, bila kesadaran atau kesucian rohaniah meningkat, semakin singkat lafaz zikir diucapkan. Malah suatu saat lafaz tersebut tidak diperlukan lagi karena pengertian lafaz itu sudah memenuhi hati.
Dan kesadaran tentang dirinya dan tentang alam ini menjadi lenyap (fana) dan yang tinggal hanyalah kesadaran tentang Allah belaka. Itulah yang disebut ittihad (bersatu) dengan Tuhan, yang bisa berlangsung beberapa saat. Inilah kedekatan dengan Tuhan yang selalu menjadi impian mereka, penganut tarekat tersebut. 
Setelah sepuluh tahun Syekh Burhanuddin berada di Ulakan, dia kemudian mengkaji ulang perkembangan perguruan dan penyebaran umat Islam di Minangkabau, sekaligus menilai sikap kaum adat dalam menerima ajaran Islam. Maka diadakan pertemuan oleh Syekh Burhanuddin dengan keempat orang sahabatnya di surau Tanjung Medan (1659/bulan Syafar 1079 H). Mereka membicarakan tentang Syarak dan Adat. Agar gagasan tersebut menjadi kenyataan. Maka Syekh Burhanuddin dengan empat orang sahabatnya segera meminta kepada seluruh komponen masyarakat Minangkabau, baik yang berada di Rantau maupun yang berada di pusat wilayah Minangkabau, untuk benar-benar mendukung terciptanya persenyawaan antara Adat dan Syarak.
Selama ini mereka merasakan betapa lambat pengembangan Islam di Luhak nan Tigo (wilayah pusat Minangkabau), dikarenakan banyaknya hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pengembang Islam, hambatan tersebut datang dari para penghulu. Pengaruh kepercayaan lama, agama Budha dan tradisi yang sangat kokoh pada masyarakat pedalaman masih tersisa. Ninik mamak (penghulu) masih terjerat oleh kebiasaan jahiliyah; menyabung ayam, dadu, dan kemaksiatan masih terlihat di mana-mana. Dalam pada itu  di Luhak Lima Puluh Kota, sedang terjadi pertentangan antara paham Sunni dan Syiah.
Namun karena kegigihan Syekh Burhanuddin dan keempat temannya, serta murid-muridnya yang telah menyebar ke seluruh pelosok, baik ke daerah Rantau maupun ke wilayah pusat Minangkabau, maka secara bertahap mulai memberi pengaruh ke tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Seperti terlihat dalam sistem pemerintahan Nagari. Belumlah dapat disebut Nagari kalau tidak mempunyai: Masjid dan Balairung, bersawah berladang, bertepian tempat mandi, berpasar bergelanggang. Dan Nagari pun dilengkapi pula oleh Orang Ampek Jinih (Orang Empat Jenis) yaitu, Penghulu, Alim Ulama, Manti dan Dubalang.
Keberhasilan upaya Syekh Burhanuddin terlihat juga terjalin kesepakatan antara kaum adat dan kaum agama, dengan lahirnya ungkapan Adat basandi Syarak, Syarak basandi Adat. Kemudian kesepakatan ini dilanjutkan lagi pada musyawarah Bukit Marapalam, di zaman Paderi. Yang kemudian kita kenal dengan ungkapan “Adat basandi Syarak- Syarak basandi Kitabullah”  
  Pada hari kesepuluh bulan Syafar tahun 1111 H (1691 M) Syekh Burhanuddin wafat di Ulakan. Jenazahnya dibaringkan di surau Tanjung Medan Dan kuburannya digali dekat surau tersebut. Konon saat itu terjadi suatu peristiwa aneh, karena jenazah Syekh Burhanuddin yang hendak dimasukan ke kubur menghilang. Semua murid-muridnya, dan pengikutnya cemas bukan main. Sekonyong-konyong kedengaran suara gaib dari langit arah selatan, yang diiringi oleh shalawat Nabi. Masyarakat dalam keheranan mengikuti suara shalawat Nabi tersebut. Akhirnya suara gaib itu berhenti pada sebuah pusara, berada di pinggir pantai di Padang Lagundi (versi lain menyebutkan  di bawah pohon Pinango Biru). Kemudian Idris Datuk Majolelo bahwa Syekh Burhanuddin pernah berpesan, jika ia wafat maka kuburkanlah di Padang Lagundi.  Jadi, oleh para murid dan pengikutnya, kuburan Syekh Burhanuddin di Padang Lagundi itulah tempat peristirahatan terakhir beliau. Sedangkan yang di Tanjung Medan disebut dengan kubur “si Bohong”

*

            Penyebaran Islam ke Minangkabau diawali dengan tumbuhnya tradisi surau. Asal kata surau dari sarwa, yang artinya asrama. Di zaman dahulu surau merupakan asrama bagi anak-anak muda, dan lelaki yang menduda. Adityawarman konon diawal pemerintahannya mendirikan surau di Bukit Gombak. Di sana mereka sebelum tidur berbincang-bincang. Kadangkala bercerita menjelang tidur. Di samping sebagai asrama, surau juga tempat melaksanakan rapat kaum. Sedangkan di halaman digunakan juga berlatih pencak silat. Surau sebenarnya adalah milik kaum tapi bisa saja digunakan oleh masyarakat kampung.  Setelah Islam masuk, terutama ketika Syekh Burhanuddin mengembangkan Islam di Ulakan Pariaman, yang pertama sekali didirikannya adalah surau sebagai pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam.
            Kenyataan ini sangat mungkin diyakini dan sulit dipungkiri, karena masing-masing suku (clan) dari masing-masing daerah memiliki surau. Bahkan malu kiranya bila suatu kampung dan suku tidak memiliki surau. Di surau-surau ini para murid menimba ilmu dari guru mereka. Pun juga sebagai transmisi ajaran Islam ke berbagai daerah, baik yang berada di wilayah Minangkabau maupun di luarnya.


            Kemungkinan berdasarkan hal tersebut dan dengan ketajaman visinya, Syekh Burhanuddin memulai langkah penyebaran Islam di Minangkabau lewat surau. Konon pasentren yang ada di Jawa sekarang, merupakan pengembangan dari surau yang telah dirintis oleh Syekh Burhanuddin. Guna menghormati Syekh Burhanuddin, masing-masing muridnya beserta jamaah membangun surau-surau kecil di sekitar makam. Surau-surau tersebut dimanfaatkan untuk melakukan ziarah ke makam Syekh Burhanuddin, yang kemudian dengan Basyafa. Sebab secara umum ziarah ke makam tersebut dilaksanakan pada bulan Syafar.
            Istilah Basyafa itu diambil dari nama bulan kedua hijriyah, yakni bulan Syafar. Basyafa memang kental bermuatan religius, dan pengambilan namanya berhubungan dengan wafatnya Syekh Burhanuddin pada bulan tersebut. Kapan dimulainya tradisi bersyafa itu, masing-masing ulama dan pengikutnya belum dapat memastikannya. Sebab begitu banyak versi yang menjelaskan tentang awal mulanya. Ada yang mengatakan ketika saat Syekh Burhanuddin dan empat orang temannya melakukan pertemuan dalam rangka mengkaji ulang sampai sejauh mana usaha mereka dalam menyebarkan Islam di ranah Minangkabau. Setelah penyebaran dari Ulakan tersebut berlangsung selama sepuluh tahun. Namun ada juga yang menjelaskan bahwa basyafa itu dimulai setelah beberapa saat Syekh Burhanuddin wafat. Para muridnya, baik secara perorangan maupun berkelompok datang berziarah ke makam tersebut. Sedangkan menurut pemuka adat di Ulakan, acara basyafa itu baru dimulai awal abad 20.
            Walaupun banyak pendapat berbeda mengenai kapan kegiatan basyafa itu dimulai, tapi yang jelas bagi kita, bahwa di ranah Minangkabau ini telah muncul seorang ulama besar sebagai penyebar Islam yang terkemuka di Nusantara ini. 

Catatan kaki:

(*24) Riwayat Muhammad Nasir yang berasal dari Airdingin Kototangah (Padang), salah seorang dari teman perjalanan dan kemudian menjadi saudara seperguruan Syekh Burhanuddin. Dia kemudian dikenal sebagai Syekh Surau Batu. Dan di surau Muhammad Nasir tersebut dikunjungi oleh pengikut Syatariah pada bulan Syafar setelah acara bersyafar di Ulakan, pada hari Minggu. (Duski Samad- Syekh Burhanuddin dan Islamnisasi Minangkabau- 2002)

(*25) Kepatuhan murid terhadap guru dalam tarekat diungkapkan “ Bahwa murid dihadapan guru laksana mayat di tangan orang yang memandikannya” (Duski Samad- opcit)

(*26) Batu bekas pemukul alat kelamin Syekh Burhanuddin, ditunjukkan oleh penjaga makam kepada mereka yang sempat datang ke Ulakan. Batu tersebut cenderung dikeramatkan.

(27*) Konon Syekh Burhanuddin kembali ke Ulakan bukan dengan kapal tapi ia menggunakan lapiak pandak melintasi laut. Hikayat ini juga berkembang di tengah-tengah masyarakat. Barangkali kisah ini untuk mengkeramatkan beliau.

(*28) Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan orang Ulakan pada umumnya berasal dari Daerak (pusat wilayah Minangkabau)  Orang yang tidak bisa menunjukan daerah asalnya di mana dareknya, maka ia belum dapat dikatakan orang Ulakan. Bahkan raja dan penghulu yang ada sekarang harus bisa memastikan , dari mana sumber dareknya. Suku pertama yang meneruko, membuka lahan, menebang pohon sekaligus membuka Nagari sekitar abad ke XII Masehi adalah suku Panjalai (Caniago) dan suku Koto. (Duski Samad- Opcit)

Dari Meja Kerja, Amran SN 
Padangsarai-Sumatera Barat, Mei 2011



5 komentar:

Khalil Reget mengatakan...

..terima kasih..
nan alah mengingek-an ambo pado sejarah inyiak Syehk Burhanuddin ko, semoga bermanfaat.

TAMBO DUNIA mengatakan...

Ok... sanang rasonyo ado nan paduli kapado tulisan ko....terima kasih

Bagindo Sj mengatakan...

Assalamu'alaikum Sobaik ambo !
Ambo tamasuak sanang mambaco sejarah sarupo ko, itu lo sabanyo ambo tapasek ka postingan sobat ko, dan ambo sadang baraja mambuek blog, tapi ndak sa hebat blog sobaik kobana doh karano ilmu ambo ndak macukuik i untuak iko, jadi pa isi waktu sajo. Blog ambo tu alun salasai lai (ambo buek webmasternyo : JEMBATAN; namo blog : piliang5.blogspot.com) sampai kini masih manyusun-nyusun tata letak jo baru. Nantik kalo lah salasai ambo link ka blog sobaik, lai buliah tu? Ambo piliah namo webmaster bantuak tu, karano ilmu ndak ambo cukuik, jadi kadi hubung2an sajo ka blog nan labiah sempurna.
Kalo dapek postingan/tulisan bantuak iko bisa masuak ka sekolah nan bernafaskan agama (islam) bara lah karancak e ndak sobaik, sabab ambo bapikie informasi sarupoko sangaek paralu dikambangan.
Sobaik ! ambo baco tulisan ko, agak batikai saketek, cubo liek baliak yaitu: angko tahun wafat Syekh Madinah jo angko kelahiran Syekh Burhanuddin ( tahun bara baraja ka gurunyo ) itu sajo nyo sobaik, maaf yo !

Rudyan57 mengatakan...

sejarah Islam di Minangkabau

Unknown mengatakan...

saya asal medan.saya heran mengapa d bilang sumatra utara islam pertama masuk indonesia.padahal kerajaan islam pertama di indonesia pertama di aceh yaitu perlak/kabupaten aceh timur.kerajaan islam ke dua juga di aceh yaitu samudra pasai/aceh utara

Posting Komentar