Selasa, 24 Mei 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (8)

8
Mencari Jejak Nadia

            Atos mengantar Nago ke sebuah warung, Di sana Atos memperkenalkan lelaki itu dengan Gugum. Mereka memilih tempat yang agak ke sudut agar perbincangan tidak tergangu oleh suara tamu lain.
            “Abang ini tertarik pada tulisan saya mengenai gadis yang mengirap bersama selendangnya,” Atos membuka percakapan. “Kata saya, informasi itu terima dari anda,” lanjutnya.
            Gugum menelusuri Nago, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kebiasaan seperti itu memang sering dilakukannya, karena latar belakang pendidikannya sebagai intel di militer. Setelah yakin bahwa lelaki yang diperkenalkan Atos bukan “orang berbahaya”, Gugum berbicara,”Boleh saya mengenal anda lebih dekat.”
            “Bang Nago adalah seorang budayawan. Sering diminta memberikan ceramah budaya di seminar-seminar, baik dalam maupun luar negeri,” tukas Atos mendahului jawaban Nago.
            Nago tersenyum. “Atos memang agak berlebihan. Saya hanya seorang yang berminat di bidang kebudayaan. Kadangkala juga mengamati peristiwa di luar jangkauan dunia fana,” sahut Nago menjelaskan.
            “Lalu kenapa anda tertarik pada gadis itu?”
            “Saya suka akan kemisteriusan gadis itu. Misteri adalah bagian lain dari kebudayaan.”
            Gugum menyapukan pandangan ke seputar warung. Ia seakan-akan was-was terhadap orang lain yang hendak menguping keterangannya. “Semula hal ini adalah berhubungan dengan bisnis benda antik. Maksud saya, atasan ingin membeli selembar selendang antik milik gadis tersebut. Kami coba memaksanya agar mau menjual Selendang Pembunuh Anggang itu.”
            “Oya.”
            “Sungguh saya tidak percaya. Ia menolak tawaran tuan Logos agar menjual selendang itu dengan harga 100 juta. Bahkan beliau bersedia meningkatkan harga dua kali lipat. Ia masih menolak. Akhirnya kami menempuh jalan kekerasan.” Sejenak Gugum, pandangannya kembali mengitari warung. “Di luar dugaan kami, gadis itu meloloskan diri. Dia meloloskan diri dengan cara membungkus tubuhnya dengan selendang tersebut. Gadis tersebut lenyap tanpa bekas.”
            Atos membakar sebatang rokok di bibir. Ia mengerling pada Nago. “Abang percaya sekarang?”
            “Bukankah gadis itu manusia biasa. Dia bukan siluman.”
            “Ya, dia seorang mahasiswi. Dan tinggal bersama temannya di rumah kost.”
            Berdetak jantung Nago mendengar keterangan Gugum. Ia hampir menemukan jawaban yang dicarinya. “Bolehkah saya mengetahui di mana Nadia kuliah dan tempat kostnya?”
            Jatuh pandangan Gugum ke lantai. Ada kegamangan dalam hatinya. Tapi akhirnya dia memberikan nomor rumah tempat kost Nadia.

*

            Kecewa Nago ketika mendapat kenyataan, Nadia tidak lagi tinggal di rumah kost itu. Penghuni yang baru menjelaskan bahwa Ibu kost atau nyonya Rahmi telah menjual rumah tersebut, sebulan yang lalu.
            “Ke mana nyonya Rahmi pindah?”
            Nyonya dan tuan rumah saling bertukar pandang. “Kabarnya Bu Rahmi pindah ke kampungnya.”
            “Di mana kampungnya itu?”
            Berpikir sejenak nyonya rumah, “Oya, Bu Rahmi itu kan orang Sungailareh. Pastilah ia menetap di sana.”
            Nago lalu mengucapkan terima kasih pada mereka. Lalu mengajak Atos keluar. Tapi tiba-tiba lelaki itu kembali lagi dan bertanya,”Tahukah nyonya dengan gadis yang bernama Nadia?”
            Menegun nyonya itu. Ia melirik suaminya. Lelaki itu menggeleng. “Maaf dik, kami tidak mengenal gadis itu.”
            Mengawang-awang langkah Nago di halaman rumah itu. Mungkinkah Nadia ikut bersama Ibu kost? Atau pindah ke rumah kost lain bersama teman-temannya.
            Motor Atos menderu. Saat itu telah sore. Awan hitam mengambang di langit. Memasuki kawasan Tabing, gerimis turun tipis. Orang-orang yang sedang dijalanan berlari-lari kecil mencari tempat berteduh. Tetapi Atos terus melaju di atas motornya membonceng Nago.
            Gerimis seketika semakin menebal. Hujan turun bagai dicurahkan dari langit. Keduanya basah kuyup. “Kita berteduh dulu Bang,” seru Atos.
            “Kita berhenti di Kotopanjang. Singgah di surau Katib Agam,” sahut Nago.
            “Oke Bos!” Atos menancap gas. Kendaraan roda dua itu melaju di antara genangan air di jalan. Beberapa saat kemudian motor itu masuk ke jalan gang. Jalan gang yang belum diaspal hanya dikerikil.

            Atos memarkir sepeda motornya di emperan samping surau. Lalu keduanya mengucapkan salam. Dan dari dalam surau kedengaran salam sahutan. Dan langkah kaki mendekati pintu.
            “Eh, Nago. Ayo mari masuk,” ajak Katib Agam.
            Mereka masuk setelah membuka sepatu. Katib Agam memberi handuk untuk mengeringkan badan mereka. Pun meminjamkan dua stel pakaian sebagai pengganti pakaian mereka yang basah kuyup.
            Sambil menunggu hujan reda, mereka berbincang-bincang. Katib Agam menyinggung tentang maraknya pengajian sesat di Sungaibangek. Seseorang mengaku ulama yang mempunyai kekuatan gaib, dapat menghubungkan orang lain dengan kerabatnya yang telah meninggal dunia. “Ironisnya masyarakat mudah percaya akan hal tersebut. Bahkan mereka merubah tata cara shalat dan puasa,” tutur orang tua itu.
            “Mungkin hal tersebut disebabkan oleh kesulitan hidup. Selanjutnya dasar pemahaman agama mereka dangkal. Sehingga iman mereka mudah goyah,” tukas Nago.
            Hujan semakin lebat. Percakapan mereka terus berlanjut.
Seorang murid Katib Agam meletakkan kopi panas. “Buat menghangatkan tubuh,” ujar Katib Agam seraya mempersilahkan tamunya mencicipi. “Saya telah mencoba menyadarkan mereka bersama tokoh-tokoh di nagari ini. Mereka berhenti sesaat. Pengajian sesat itu mereka alihkan ke tempat lain.”
            “Memang mengajak orang ke jalan yang benar sungguh sulit. Tapi membawa ke arah maksiat dan hura-hura lebih mudah.”
            Di luar hujan semakin lebat. Air di selokan merambat naik ke badan jalan. Nago dalam kesempatan tersebut memberitahukan bahwa Moen telah tewas di tangan Puti Rinjani.
            “Puti Rinjani telah muncul?”
            “Ya, di zaman ini dia hidup sebagai seorang gadis dengan nama Nadia. Saya sedang mencarinya. Ada informasi menyebutkan Nadia tinggal di kawasan kampus. Ketika saya telusuri bersama Atos, Nadia telah pindah. Kabarnya ia bersama Ibu kost pindah ke Sungailareh.” Nago menoleh ke samping pada Atos tapi anak muda itu telah mendengkur di lantai yang beralaskan tikar plastik.
            “Tampaknya ia lelah sekali,” kata Katib Agam. “Oya. Apakah kamu mendengar tentang Anurangga?”
            “Saya duga Anurangga pun telah muncul. Tapi saya belum pernah bertemu.”
            “Dunia semakin ramai oleh orang-orang seperti Anurangga dan pengikutnya Roh jahat mereka akan merasuk ke dalam pikiran manusia itu. Justru karena itu, kita tidak boleh lengah.”
            Hujan belum juga reda. Malam semakin larut. Nago memutuskan untuk menginap di surau Katib Agam.

*

            Esok hari, langit cerah. Nago dan Atos pagi itu berangkat ke Sungailareh mencari Nadia. Motor Atos menderu. Di simpang tiga mereka mengambil jalan lurus. Memasuki kampung itu, mereka bertanya pada pejalan kaki, pada orang yang duduk di lapau.
            “Uda mencari Bu Rahmi?” Seorang anak lelaki tanggung bertanya.
            “Ya, apakah kamu tahu?”
            Son, anak tanggung itu mengantar Nago dan Atos. Rumah Bu Rahmi terletak di pinggir jalan. Sebuah rumah kayu dengan atap genteng. Halamannya luas ditumbuhi tanaman hias dan pohon berbuah. Pintu depannya tampak tertutup.
            “Biasanya Bu Rahmi dan Uni Nad di halaman belakang,” ujar Son. Di halaman belakang tampak seorang perempuan separuh baya sedang mencabut rumput. Dan seorang laki-laki berusia 50-an. Laki-laki itu sedang menancapkan ranting-ranting. Ranting-ranting itu digunakan untuk junjungan merambatnya kacang panjang yang mulai naik.
            “Assalam mulaikum.”
            “Mualaikum salam,” sahut laki-laki itu. Dia menunda pekerjaannya ketika melihat ada tamu. “Kamu Son. Apa kabar?”
            Anak tanggung itu memperkenalkan Nago dan Atos pada laki-laki itu. “Uda ini hendak bertemu dengan Bu Rahmi,” sahut Son.
            Laki-laki itu mengajak Atos dan Nago naik ke serambi belakang. Ia menyorak istrinya,”Kena! Ada tamu mencari Bu Rahmi.”
           
Rakena menggelar tikar di lantai. Lalu masuk kembali, beberapa jenak ia kembali muncul sambil menating minuman kopi panas.
            “Jadi kalian berdua mencari Bu Rahmi?”
            “Ya,” sahut Nago.
            “Sayang langkah kalian, langkah kida. Siang kemaren Bu Rahmi dan Nadia berangkat ke Bengkulu,” kata Rakena.
            Terhenyak Nago mendengar ucapan Rakena. Lama ia tercenung. Bhakan ketika Rakena mempersilahkan minum kopi, Nago sedang mengawang jauh. “Minumlah Bang. Kopinya enak,” kata Atos menyentakkan pikiran Nago yang menjauh itu.
            “Apa mereka pindah ke Bengkulu?”
            “Tidak. Bu Rahmi hanya jalan-jalan ke sana. Dia ke Bengkulu menjenguk adiknya. Sudah lebih sepuluh tahun mereka tak bertemu. Paling lama sebulanlah di sana. Begitu pesan mereka,” tutur perempuan itu.** (Bersambung...9)

Dari Meja Kerja, Amran SN 
Padangsarai - Sumatera Barat, Mei 2011
             

0 komentar:

Posting Komentar