Selasa, 24 Mei 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (7)

7
Kecapi Naga

            Nago mendapatkan Atos sedang mengetik tatkala ia pulang malam itu. Atos hanya mengerling sejenak, lalu hanyut kembali bersama mesin ketiknya. Saking asyiknya mengetik, anak muda itu lupa meletakkan rokok di bibir ke asbak, abu rokok menggantung di sana.
            Melangkah Nago ke dapur, ia hendak membuat secangkir kopi sebagai penghangat tubuh malam tersebut. Dari ruang tempat mengetik, Atos berkata,”Bang, tolong buatkan juga saya secangkir. Mau kan?”
            “Eh, saya sudah terlanjur membuat secangkir.”
            Atos menoleh, ia melihat nago telah duduk, di atas meja tampak dua cangkir kopi. Ketawa Atos seraya bangkit mendekat Nago, duduk berhadapan.
            “Kamu mengejar dead line lagi?”
            “Bukan, Bang. Tadi saya mendapat berita yang unik. Tatkala itu saya klenang klenong di jalanan dengan motor. Ya, mencari berita. Tahu-tahu di jalan Ratulangi, saya melihat kerumunan orang di depan rumah “Orang terpandang”. Naluri wartawan saya timbul seketika.”
            “Pasti kamu dapat ampau besar.”
            “Abang jangan memintas dulu,” sambut Atos.
            “Lanjutlah.”
            “Lantas saya menyeruak di antara kerumunan itu. Saya masuk ke halaman rumah tuan Logos, di sana berjejer serdadu bersiaga dengan senjata otomatis. Mereka seperti orang bengong. Saya pun bengong.”
            Nago meneguk kopi. Kemudian menukas ucapan Atos. “Apa yang mereka bengongkan. Dan kamu kok juga bengong?”
            Diam sejenak Atos. Ia sepertinya sedang mengumpulkan ingatannya agar bertutur dengan lancar. “Saya melihat ke atas. Di atas sana melayang seorang gadis, melayang dengan selendang. Memang samar-samar. Saya kira, saya sedang bermimpi. Tapi semua orang yang ada di sana juga melihat.”
            Nago mereguk kopi di cangkir. Dan Atos pun meneguk kopi, lalu membakar sebatang rokok di bibir. Asap menjulang ke udara. “Semula Gugum, asiten Logos berusaha berkilah tentang kejadian tersebut. Tapi dua hari yang lalu, ia menceritakan bahwa gadis yang melayang dengan selendang itu adalah manusia abadi.”
            “Manusia abadi? Menurut agama dan kepercayaan yang kita anut, tidak ada manusia abadi. Yang abadi itu Tuhan. Mungkin yang ia maksud adalah manusia reinkarnasi. Tapi saya tidak menganut paham semacam itu,” tukas Nago. Bibirnya berkata tapi hatinya membenarkan tentang manusia abadi tersebut.
            Pastlah gadis itu, Rinjani. Dia telah muncul, dan di mana ia sekarang? Nago bertanya dalam batin. Nago manggut-manggut mendengar penuturan Atos tapi pikrannya menerawang jauh. Rindunya kepada Puti Rinjani, rindu seorang kekasih yang bertahun-tahun berpisah. Bila mungkin, ia hendak menggulung bumi ini agar sempit sehingga Puti Rinjani ditemukan.
            “Abang kok melamun?”
            Nago tersentak. Ia mengusap wajahnya, ia menatap Atos karena merasa bersalah membiarkan anak muda itu bercerita tanpa perhatiannya.
            “Abang ingat seseorang?”
            Menggeleng Nago perlahan. Kembali mengusap wajah. “Saya tertarik dengan pada ceritamu. Siapa lelaki yang memberi informasi tentang gadis berselendang itu?”
            “Maksud Abang, Gugum itu.”
            “Boleh saya bertemu dengan dia?”
            “Kenapa tidak.”
            Lega Nago mendengar jawaban Atos. Ketika Atos kembali mengetik, Nago bersandar ke kursi. Malam terus merangkak menelusuri waktu. Laki-laki itu merasakan matanya berat, mengantuk. Ia memejamkan mata seraya bersandar kian lekat ke kursi. Nago tidak lagi mendengar suara mesin ketik Atos.

*

            Nago berdiri di bawah kaki gunung Merapi. Kabut tipis menyelimuti puncak gunung tersebut. Lelaki itu naik ke puncak saat masih pagi. Semula mendaki gunung itu ia tidak banyak menggunakan tenaga. Kian lama kian menanjak dan jalannya semakin sulit. Nago memasuki belantara hutan. Sinar matahari menembuskan cahayanya melalui dedaunan.
            Di samping jalan menanjak tegak dan sempit, kadangkala ia harus melewati jurang di kiri kanan. Jurang yang dalam lagi berkabut yang sering disebut sebagai “jurang setungkal benang”. Tanah gunung basah dan menguning, serta licin dipijak. Nago Salapan terus merambat naik, ia kini menggunakan ilmu “siringan-ringan”. Tubuhnya melayang bagai capung mengudara. Menjelang matahari sepenggalahan Nago Salapan sampai di pinggang gunung.
            Lelaki itu istirahat sejenak, ia memandang ke bawah, tampak hamparan sawah, pohon nyiur yang melambai lamban dihembus angin semilir. Rumah-rumah di bawah sana seperti kotak korek api. Nago duduk pada akar pohon yang menonjol. Ia sandarkan tubuhnya ke pohon yang berdaun rindang itu.
            Perut Nago terasa kosong, kedengaran berkeruyukan halus. Ia ingat akan nasi yang ada dalam buntalannya. Ia lepaskan buntalan itu dari bahunya. Kemudian mengambil sebungkus nasi di sana. Aroma daun pembungkus membuat ia semakin lapar. Nago makan dengan lahap.
            Sepasang kera memperhatikan Nago pohon yang lain. Mereka memandang ke bawah, saling menyeringai. Kera jantan turun ke bawah, merangkak kencang ke arah nago yang sedang menyuap nasi. Secepat kilat kera itu menjangkau nasi.
            Akan tetapi Nago lebih cepat dari kera tersebut. Ia menangkap lengan kanan kera yang menjulur. Kera itu menyeringai memperlihatkan taring, ia lantas menggunakan tangan kri meraih nasi. Nago pun menangkap tangan kiri kera itu. Kera jantan meronta, berusaha melepaskan sepasang tangannya dari tangkapan Nago Salapan. “Kamu lapar, kawan?”
            Kera jantan memekik lengking. Ia melompat dengan ayunan sepasang kaki ke kepala Nago. Namun lelaki itu lebih waspada, ia lepmparkan kera yang menyerangnya. Berguling kera jantan tersebut tapi tak lama ia berdiri menantang sambil memukul dadanya.
            Kera betina di atas pohon mengguncang-guncang dahan, ia memekik nyaring. Seketika hutan itu riuh rendah oleh lengkingan kera-kera. Di dahan pohon bergelantungan  puluhan ekor kera, mereka menyeringai memperlihatkan taring.
            Kemudian bagai air bah melanda, kera-kera tersebut menghambur ke bawah. Kedengaran suara pekik nyaring dan mereka mengeroyok Nago. Bagai sekumpulan lalat merubungi bangkai yang membusuk, kera-kera itu “jatuh” di atas tubuh Nago. Tidak ada ruang gerak bagi Nago Salapan untuk meloloskan diri.
            Sekonyong-konyong kedengaran seruan mengguntur. “Hoaaaa!” Puluhan kera yang merubungi Nago Salapan itu berhumbalangan, terlempar ke sana sini seperti daun kering ditiup angin.
            “Kalian memang pantas mendapatkannya,” ujar Nago seraya bangkit, pakaiannya kini compang-camping karena cakaran dan suntihan taring kera-kera itu.
            Sejenak puluhan kera itu terpana. Mereka heran melihat mangsanya itu tak terluka sedikit pun. Lalu saling bertukar pandang, mata mereka berkejap-kejap. Tiba-tiba sepasang telinga mereka bergerak-gerak, ada suara aneh terdengar dalam hutan tersebut.
            Pun Nago Salapan mendengar suara itu. Awalnya kedengaran suara seruling. Lalu suara talempong. Kemudian suara gendang bertalu-lalu mirip genderang perang.
            Kera-kera memanddang serentak ke arah puncak gunung. Samar-samar tampak sosok bayangan bergerak kencang. Beberapa kejap kemudian jelaslah sosok itu, seekor besar. Langkah kera besar itu ringan bagai mengapung. Kian dekat kian jelas sosok sesungguhnya. Makhluk itu bukan kera besar tapi manusia berpostur aneh.
            Bersujud kera-kera itu di hadapan makhluk aneh itu. Diam tak bergeming mereka.

Nago Salapan terpana melihat sosok makhluk tersebut; wajahnya mirip kera tapi tubuhnya tubuh manusia. Sorot matanya tajam seakan-akan membakar sampai ke jantung. Nago Salapan menunduk, tidak mampu menantang ketajaman sorot mata makhluk itu.
“Denai yakin engkau pasti datang ke mari,” ujar makhluk itu.
Nago Salapan masih bengong. Ia bimbang, harus menjawab bagaimana? Oleh karena itu ia berkata,”Siapakah tuan?”
Makhluk misterius itu tidak menyahut, ia menatap buntalan di samping Nago, di sana tersembul gagang Kecapi Naga. Sungguh luar biasa, tatapan makhluk tersebut mengerakkan Kecapi Naga, terbang melayang ke arahnya. Dia menjulurkan tangannya menangkap benda tersebut. Sejenak ia mengamati Kecapi Naga, “Denailah yang merakit Kecapi Naga ini. Dan diwariskan kepadamu,” katanya.
“Jadi tuan adalah…”
“Benar dugaanmu. Denai adalah Tuan Janaka Mantrolot,” ia memotong ucapan Nago Salapan.
Nago Salapan menjatuhkan diri dan bersimpuh di hadapan Tuan Janaka Mantrolot, ia bertanya,”Kenapa wajah tuanku seperti ini?”
“Wajah denai? Kamu risau dengan penampilan wajah denai seperti ini. Agaknya engkau telah terpengaruh oleh pemahaman dunia fana. Dalam dunia fana, terutama di zaman sekarang, orang lebih peduli terhadap “kulit luar” dari pada kesahajaan.”
Nago Salapan bingung dan belum memahami ucapan Tuan Janaka Mantrolot. Setahu dia, “orang besar” tersebut memiliki wajah ganteng bertubuh tinggi besar dan tegap. Tapi yang hadir di hadapannya adalah manusia kera.
Dalam kebingungan itu, Tuan Janaka Mantrolot memetik Kecapi Naga, kedengaran suara berdenting. “Tampaknya kecapi ini telah lama tidak engkau mainkan. Dawai-dawainya sudah mengendor. Baiklah, denai akan memperbaikinya,” ujar Tuan Janaka Mantrolot. “Nago Salapan. Tegakkan wajahmu!”
Nago Salapan mengangkat wajah. Mereka bertemu pandang. Seperti tadi, Nago Salapan tidak mampu menantang sorot mata lelaki di depannya itu. Sementara itu kera-kera masih bersujud tak bergeming.
“Mari kita naik ke puncak!”
Tuan Janaka Mantrolot melangkah. Langkahnya ringan menuju puncak gunung Merapi yang berkabut. Sekejap ia telah menghilang dari pandangan mata. Dan kera-kera pun bergerak mengikuti lelaki sakti tersebut ke puncak gunung.
Matahari menggelincir ke barat. Nago menapak menelusuri pinggang gunung. Semak belukar ia seruak. Langkahnya menyapu alang-alang yang tumbuh subur.
Suatu ketika ia berhenti mengatur nafas. Tatkala itu sore datang menjelang. Desau air kedengaran di sana. Ia menangkap suara desau air itu bagai nyanyian roh yang bersemayam di puncak gunung. Lalu melangkah lebih dekat dan menemukan sebuah pincuran yang memancurkan air. Air yang demikian jernih. Ia membungkuk membasuh wajahnya. Ada kabut tipis menerawang. Dalam kesamaran pandang, Nago Salapan melihat kawah. Kawah gunung Merapi.
Di pinggir kawah, Tuan Janaka Mantrolot memandang gelora api yang naik dari kepundan gunung tersebut. Lelaki itu memetik kecapi, kedengaran suara merdu. Tanpa menoleh, ia berkata,”Kemarilah engkau, Nago.”
Melangkah Nago Salapan mendekati Tuan Janaka, ia duduk di samping lelaki itu, memandang gelora api. Sesekali ia mendengar letupan halus. Hawa panas menerpa tubuh Nago. Keringat membasahi sekujur tubuh Nago. Ia mengerling pada Tuan Janaka tapi lelaki itu tampaknya tak terpengaruh oleh hawa panas kawah.
“Dunia fana harus tetap terpelihara menjelang Maha Pencipta menggulung-Nya kembali. Sebagian besar di antara manusia telah lupa tugasnya yaitu memelihara alam ini. Mereka menjadi sombong dan serakah. Pengetahuan yang diberikan secuil oleh-Nya kepada manusia, membuat manusia jadi sombong. Dan pengetahuan itu mereka gunakan untuk menguras dan merusak alam ini. Antara manusia tertanam permusuhan, dengki, dendam dan saling berusaha memusnahkan.”
Nago mendengarkan petuah lelaki itu seraya memandang ke kawah. Kian lama kian dapat Nago Salapan menyesuaikan diri dengan gelora api kawah. Dan ia pun mulai memahami apa yang diucapkan oleh Tuan Janaka.
“Alam makin centang perenang oleh munculnya manusia abadi golongan hitam. Mereka memasuki pikiran manusia tak beriman yang mudah terpedaya. Apakah kamu tidak mengetahui hal itu.”
Anak muda itu mengangguk. “Saya sudah mendengar kemunculan Anurangga dan pengikutnya.”
“Ya, Anurangga telah muncul. Tapi ada yang lebih dahsyat dari itu. Kalian dari manusia abadi dari golongan putih akan menemui kesulitan menghadapinya.”
“Siapakah tokoh hitam itu?”
“Dia, Kati Muno. Lelaki itu musuh lama denai.”
Terperanjat Nago Salapan mendengar nama tersebut. Di zamannya, ia tidak menemukan tokoh hitam tersebut. Kati Muno itu didengarnya sebagai mitos dan lambang kejahatan. Dan sekarang dia muncul. Di sela percikan api semburan kawah, Nago Salapan melihat ribuan bayangan gaib menyeringai.
“Kamu takut?”
Nago diam. Kemudian menggeleng penuh keyakinan.
Tuan Janaka Mantrolot menyerahkan kembali Kecapi Naga pada anak muda itu. “Denai telah memperbaiki dawai-dawai kecapi itu. Kecapi ini akan mampu memusnahkan Kati Muno.”
Nago Salapan memeriksa dawai kecapi yang diserahkan Tuan Janaka. Ketika ia hendak mengucapkan terima kasih, Tuan Janaka Mantrolot melayang ke kawah, bersatu dengan gelora api. Samar-samar Nago Salapan melihat lelaki tersebut melambai dan tersenyum.
Fajar menyingsing.
Nago tersentak, ia mendapatkan dirinya tergolek di kursi. Termenung ia sejenak. “Saya bermimpi?” Ia menggumam.
Anehnya Kecapi Naga ada dalam pangkuannya. Selama ini kecapi tersebut di simpan di lemari. Nyaris terlupakan. Anak muda itu memetik dawai kecapi. Kedengaran suara melengking. “Ya, dia telah memperbaiki kecapi ini,” kata Nago dalam batin. Sementara itu Atos menggeliat di ranjang tapi ia tetap mendengkur pulas.
Nago menyimpan Kecapi Naga kembali ke dalam lemari. Kemudian melangkah ke kamar mandi. Ia guyur kepalanya basah-basah. Sejuk terasa.** (Bersambung...8)

Dari Meja Kerja, Amran SN 
Padangsarai - Sumatera Barat, Mei 2011

0 komentar:

Posting Komentar