Rabu, 25 Mei 2011

PADERI

HAJI MISKIN

Haji Miskin dilahirkan tahun 1778 (1189 H) di Pandaisikek, Luhak Agam. Ia berasal dari keluarga petani sederhana yang taat beragama. Sayangnya, riwayat keluarganya secara lengkap tidak tercatat. Malah siapa nama sebenarnya dari Haji Miskin kurang terang informasinya. Nama Miskin diduga orang karena ia hidup dalam keluarga yang sederhana. Sebagai anak dari keluarga yang taat beragama, sejak kecil ia telah belajar mengaji, baik diajarkan keluarganya maupun di surau yang ada di desanya. Kemudian ia melanjutkan pelajaran agamanya pada Tuanku Mansiangan di Koto Laweh, beberapa lama. Sekitar usia dua puluh tahun, ia berangkat ke Mekah dan memperdalam ilmu agamanya di sana. Di Mekah ia berjumpa dan bersahabat akrab dengan Haji Abdur Rahman dari Piobang (Luhak 50 Kota), dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik (Tanah Datar).
         Saat belajar di Mekah, Haji Miskin dan kedua sahabatnya, sangat tertarik kepada fenomena gerakan pembaharuan Islam yang didukung oleh pemerintah – gerakan Wahabi- Sebagaimana diketahui, gerakan tersebut adalah berupaya memberantas fenomena tradisionalisme keagamaan yang bersifat animistik (bid’ah, khurafat dan lain-lain), yang cukup kuat berkembang di masyarakat Arab, saat itu. Dengan semangat kemurnian tauhid, gerakan Wahabi berusaha membersihkan segala bentuk praktek keyakinan keagamaan yang akan membawa kepada gejala kemusyrikan- yang mengancam kemurnian tauhid-
         Hal tersebut menjadi insprasi bagi Haji Miskin dan kedua sahabatnya itu, gejala seperti itupun terjadi di kampung halamannya- di Minangkabau- Sekitar tahun 1803, Haji Miskin, Haji Piobang, Haji Sumanik kembali ke ranah Minangkabau. Maka apa yang telah mereka pikirkan dan rencana selama di Mekah, yaitu menentang dan memberantas tradisionalisme akidah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.
        Sudah menjadi hal yang biasa, apabila suatu gerakan paham baru berhadapan dengan kekuatan sistem tradisional yang telah ada, baik yang bersifat budaya (Adat) bersifat sosial keagamaan, maka akan terjadi gejolak.
       Namun dalam perkembangan selanjutnya, gerakan Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Piobang mendapat sambutan dan dukungan dari tujuh tokoh sekitar Agam, yaitu Tuanku nan Renceh di Kamang, Tuangku di Kubu Sanag, Tuanku di Ladang Laweh, Tuanku di Galuang, Tuanku di Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aua. Ketujuh ulama ini bergabung dengan Haji Miskin, yang kemudian dikenal dengan nama Harimau nan Salapan. Kemudian dalam sejarah pergerakan Nasional, gerakan ini dikenal dengan nama Paderi, suatu istilah yang disamakan oleh kolonial Belanda dengan gerakan pembaharuan kaum gereja di Eropa. Perang yang dicampuri oleh Belanda ini berlangsung selama 16 tahun (1821-1837).

 IMAM BONJOL
          Ia dilahirkan tahun 1772 di Alahan Panjang, Sumatra Barat. Nama kecilnya Muhammad Suhab, putra dari Tuanku Raja Nuruddin. Usia 7 tahun, ia sebagaimana layaknya keluarga yang taat beragama, ia belajar al-Quran kepada ayahnya. Menjelang dewasa, usia 20 tahun, ia belajar pengetahuan Islam kepada Tuanku Koto Tuo selama delapan tahun. Setelah itu ia debiri gelar Peto Syarif. Kemudian selama dua tahun ia belajar ke Aceh. Kembali ke kampung halamannya, dan karena pengetahuannya yang luas terhadap agama Islam maka ia pun memperoleh gelar “Malim Basa” (Mualim Besar). Setahun kemudian, 1803 ia belajar pada Tuanku nan Renceh –pencetus dan pemimpin gerakan kaum Paderi. Kepada Tuanku nan Renceh, di sampng belajar pengetahuan agama, ia juga mempelajari strategi perang.
         Beberapa tahun kemudian Imam Bonjol terlibat dalam kegiatan gerakan kaum Paderi. Tahun 1807, ia mendirikan benteng pertahanan di kaki Bukit Tajadi, di kawasan Bonjol Benteng itu kemudian menjadi basis kekuatan pertahanan kaum Paderi. 1808,  karena ia berhasil menyusun strategi pertahanan, ia diangkat jadi Tuanku Imam Bonjol oleh pemimpin kaum Paderi. Setelah Tuanku nan Renceh meninggal tahun 1820, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai penggantinya. Dua tahun kemudian perang Paderi meletus.

PERANG PADERI
         Sejak bangsa Belanda menginjak kaki di Minangkabau, banyak sekali perang kecil maupun besar, yang timbul antara mereka dan penduduk setempat. Biasanya semua pertempuran itu bersifat lokal saja. Pertentangan-pertentangan  antara satu pihak yang haknya sekonyong-konyong direbut atau dibatasi oleh pihak lainnya. Atau karena kepentingan pribadi para pemimpin, baik untuk mencapai keuntungan ataupun terhadap saingan-saingan yang dianggap mengancam lancarnya pemasukan yang diharapkan.
         Acapkali pula terjadi pertempuran-pertempuran yang didalangi Belanda untuk memecah-belah sesama suku dan sebagainya. Demikian pula dengan pertempuran-pertempuran yang dilatar-belakangi global, apalagi nasional.
         Maka barulah dalam perang Paderi ini, timbul suatu ide menyeluruh di Sumatra Barat yang dianut oleh para pengikutnya, pada awalnya menantang sebagian rakyat yang tidak sepaham. Kemudian bergerak melawan Belanda yang ikut campur tangan. Berhadapan dengan Belanda, gerakan kaum Paderi yang semula didorong oleh pemikiran agama, kemudian berubah menjadi suatu peperangan sengit didorong oleh cita-cita mengusir penjajah.
        Sama halnya dengan gerakan-gerakan baru dalam sejarah, kaum Paderi ini dikembangkan oleh orang-orang penuh cita-cita, bersedia berkorban, penuh dinamisme. Sayang, kemudian acapkali dipaksakan secara over dosis (berlebih-lebihan), yang kadangkala tidak ada hubungannya dengan agama., yang hendak mereka “murnikan” Bahkan mereka merebak menentang adat istiadat yang bertentangan dengan agama. Sekaligus menentang kebiasaan rakyat yang buruk seperti berjudi dan menyabung ayam, mengisap candu dan sebagainya. Seperti diketahui agama Islam, sebenarnya sudah sejak lama dianut oleh suku bangsa Minangkabau (lihat Islam di Minangkabau).
        Segera saja penolakan terhadap gerakan Paderi itu pun merebak di kalangan masyarakat Minangkabau, terutama kaum Adat. Di mana kebiasaan-kebiasaan seperti berjudi, minum tuak, mengisap candu dan menyabung ayam sudah “mendarah daging” Di samping itu pemaksaan terhadap ajaran pemurnian tauhid dianggap oleh sebagian rakyat dianggap memasung kebebasan mereka. Konon kabarnya, Tuanku nan Renceh pernah menghukum saudara ibunya sendiri, yang tidak menutup aurat, serta masih makan sirih.
        Peristiwa tragis Koto Tangah yang terjadi permulaan awal ke-19, merupakan benih permusuhan yang tidak dapat didamaikan lagi antara kelompok Paderi dan kelompok Adat. Kemudian kaum bangsawan minta bantuan pada pihak asing, yaitu Inggiris, tapi tak berhasil. Tatkala kekuasaan Belanda dipulihkan di Padang, lalu kaum Adat membuat perjanjian dengan Belanda untuk memerangi Paderi.
        Tersebut dalam catatan sejarah, suatu waktu menerima utusan Paderi untuk berunding. Kaum Paderi mengajak agar kaum Adat ikut membantu menyebarkan atau mengembangkan ajaran Paderi di Tanah Datar. Pada keluaga raja itu dijanjikan mendapat kedudukan penting, bila usaha pengembangan tersebut berhasil. Rapat itu dilaksanakan di Koto Tangah (10 Agustus 1827).


         Maka berangkatlah raja, keluarga raja(termasuk anak-anak, pembesar-pembesar serta beberapa penghulu. Setelah makan bersama, mereka mulai berunding, tetapi sekonyong-konyong Tuanku Lintau berang dan melontarkan tuduhan-tuduhan bernada keras. Seperti dikomando oleh suara tuduhan Tuanku Lintau tersebut, kaum Paderi mulai menyerang . Di sana banyak keluarga raja yang terbunuh. Beberapa orang yang selamat, termasuk raja Alam menyingkir ke Lubuk Jambi, daerah Kuantan.
          Konon dalam perundingan tersebut, Tuanku Pasaman meminta kaum Adat menjatuhkan hukuman mati terhadap Yang Dipertuan Rajo Naro, Yang Dpertuan Rajo Talang dan putra Raja Minangkabau, Raja Muning- karena semua mereka itu menentang agama. Maka pecahlah perang antara Paderi dengan raja-raja Tanah Datar. Saat itu Tanah Datar dikuasai Paderi, tiap kampung dipimpin oleh seorang ulama
         Gerakan Paderi ini pada mulanya tidak bersinggungan dengan orang Belanda. Pemuka Paderi tidak memiliki niat untuk mengajarkan paham mereka kepada bangsa asing. Orang-orang Inggris pun tidak mempunyai hubungan dengan mereka. Raffles yang coba berusaha mencari hubungan demi kepentingan tertentu, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Ketika Inggiris membangun sebuah pos di daerah pegunungan di Simawang, pos atau benteng tersebut tidak pernah diserang Paderi.
        Alasan yang dipakai Belanda ikut campur tangan, dengan berbagai ragam. Tapi alasan yang paling klise adalah “melindungi” rakyat. Maka pihak Belanda segera membuat skenerio akan kekejaman kaum Paderi, dengan meracuni pikiran rakyat bahwa gerakan Paderi tersebut sangat bertentangan dengan adat istiadat Minangkabau. Sehingga tak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian rakyat Minangkabau untuk memerangi kaum Paderi.
        Konsep Belanda tentang perang Paderi adalah merupakan penaklukan seluruh Indonesia. Di Minangkabau, sebenarnya telah mereka mulai sejak abad ke XVII ketika mereka telah mulai melakukan kontak dagang, yang berlanjut dengan taktik adu domba kekuasaan setempat. Dengan organisasi yang rapi serta menggunakan taktik tertentu, secara perlahan tapi pasti bisa mencengkeramkan kukunya ke bumi Minangkabau, setapak demi setapak. Dalam catatan sejarah, dua kali mereka harus meninggalkan Minangkabau karena kalah menghadapi Inggris, yakni tahun 1781 dan tahun 1795 sampai tahun 1819.
          Selama Belanda meninggalkan Minangkabau untuk kedua kalinya, kaum Paderi praktis menguasai negeri ini. Kecuali Padang yang saat itu diduduki Inggiris.. Di Padang, sebagian besar penduduknya memusuhi Paderi, seperti para penghulu dan kerabat raja Pagaruyung. Tatkala Padang kembali dikembalikan oleh Inggiris kepada Belanda, maka para penghulu dan kerabat kerajaan Pagaruyung yang melarikan diri ke Padang, segera berbondong-bondong meminta perlindungan dan bantuan kepada Belanda agar memerangi kaum Paderi, di masing-masing Nagarinya.
         Tentu saja Belanda memanfaatkan kesempatan ini untuk dapat menguasai Minangkabau secara utuh. Demi kepentingan untuk pemulihan kekuasaan para penghulu dan kerabat Pagaruyung, maka Belanda mengadakan perundingan dengan pihak kaum Adat tersebut (Penghulu dan Pagaryung) bersepakat  menyerahkan seluruh Alam Minangkabau kepada Belanda, dan Belanda membantu mereka mengusir dan memerangi kaum Paderi. Demikian isi perjanjian tersebut ditanda-tangani tahun 1821.
         Setelah penanda-tanganan perjanjian tersebut, maka diedarkan di daerah Pagaruyung, Suruaso dan Sungai Tarab, yang menganjurkan agar rakyat menentang Paderi. Dan Belanda akan membantu. Kemudian Belanda segera menduduki benteng Simawang, dengan meletakkan beberapa meriam di sana. Kemudian menyerang desa Sulit Air karena rakyat di sana memihak Paderi. Akan tetapi penduduk desa tersebut meakukan perlawanan sengit. Namun dalam laporannya, Belanda menyatakan serangan mendapat keuntungan besar, mereka dapat merebut tiga buah meriam kecil, dan menghancurkan tiga desa di sekitarnya
         Tanggal 8 Desember 1821, letnan kolonel Raff tiba di Padang, bersama 200 orang tentara, sehingga kekuatan Belanda saat itu semakin kuat di Minangkabau. Dengan rinciannya ; 200 lebih orang Eropa, 50 orang Benggali, dan 140 orang pribumi, dan diperkuat pula dengan lima pucuk meriam dari Padang.
         Kolonel Raff kemudian memfungsikan seorang Arab ahli agama Islam (Syekh Ahmad), ia disuruh mengunjungi dan mempengaruhi para pemimpin Paderi. Maksudnya adalah serangan ke pusat pertahanan Paderi, dan sebelumnya dia harus menduduki daerah antara gunung Singgalang dan Merapi (daerah VI Koto). Bahkan Tuanku Pasaman pun dikirim surat untuk berunding di suatu tempat tertentu. Sekaligus disebarkan surat edaran agar rakyat VI Koto melepaskan diri dari pengaruh Paderi. Menurut sumber Belanda, ada sekitar 900 orang menyerahkan diri, berikut persenjataan yang ada pada mereka.
         Pertengahan Maret, kolonel Raaff dari Suruaso bergerak menyerang Tanjung Barulak. Dua pemimpin Paderi secara sukarela menyerahkan diri, mereka adalah Tuanku Dilako dari Sulit Air dan Tuanku Imam Haji dari Tanjungbalik. Dalam pada itu penghulu-penghulu yang dulu melarikan diri ke Padang, kini kembali ke nagari mereka memegang pimpinan di masing-masing Nagarinya.
         Tanggal 27 Juni, Raaff menyerang Tanjung Alam, Barulak dan Tungkar, daerah tersebut dipertahankan oleh pasukan Paderi dari kesatuan-kesatuan Lima Puluh Kota, dan juga dari Bonjol. Beberapa hari kemudian gelombang serangan besar-besaran dari kaum Paderi, terdiri dari 13.000 orang. Tapi serangan itu dapat diatasi oleh Belanda, mereka berhasil menduduki VI Koto, maka dengan demikian Belanda sekaligus menguasai hubungan antara Padang-Pariaman dengan Tanah Datar dan Agam.
          Masih ada beberapa daerah yang harus ditaklukan Raaff, sebelum ia merancah Lintau, dia perlu menerjang daerah Tilatang, dengan pertahanan di Kapau dan sebagian di Padangtarok. Dalam penyerangan daerah-daerah tersebut Raaff mendapat perlawanan sengit dari Paderi, namun kemenangan berada dipihak Belanda. 15 Agustus dimulai serangan besar-besaran terhadap Kapau dari dua sisi. Namun perbentengan Kapau yang dilengkapi dengan parit-parit banyak menimbulkan korban bagi pihak Belanda. Mereka selalu gagal dalam beberapa kali penyerangan.
Melihat keadaan seperti itu, Raaff menarik pasukannya ke Baso dan Guguk Sikandang. Pukulan tersebut dirasakannya sangat hebat bagi Belanda. Kapten Goffinet luka parah, dan kemudian tewas. Dan tak tahan agaknya Raaff menyaksikan kenyataan tersebut, ia segera melaporkan ke Jakarta, bahwa perlawanan yang dihadapinya sangat hebat di Kapau. Maka ia minta tambahan pasukan.
Orang-orang Paderi dari Bonjol dan Rao-Rao berhasil mengusir Belanda dari VI Koto. Lagi-lagi Raaff dan pasukannya kehilangan daerah strategis di daerah lereng gunung Merapi dan Singgalang yang menguasai jalan pesisir.
Belanda diselamatkan oleh nasehat Tuanku Tuo yang mempunyai pengaruh besar di Agam, ia berhasil mengajak pemuka dari Candung, Padangtarok, Rao dan lain-lainnya suapa jangan ikut membantu Paderi. Dalam pada itu bantuan dari Padang segera berdatangan dari Padang, dan Raaff menunggu saatnya serangan balik dilakukan.
Awal tahun 1824 Belanda membuat perjanjian dengan kamu Paderi di Alahan Panjang di perbatasan dekat Agam dengan Pasaman. Setelah itu berhasil menaklukkan Pandai Sikek, maka untuk sementara itu Belanda menghentikan penyerangan-pennyerangan, Belanda lebih menjuruskan perhatiannya untuk mengalahkan perlawanan Diponegoro. Setelah Diponegoro dapat ditawan tahun 1830, maka kembali Belanda agresif lagi melaksanakan penaklukan Minangkabau secara intensif. Mereka melakukan perundingan-perindingan pada setiap Nagari yang dilewatinya, dengan maksud memperlemah posisi Paderi. Buah dari strategi dan taktis yang dilakukan Belanda, satu demi satu kubu pertahanan kubu pertahanan Paderi dapat direbut. Katiagan, Marapalam, berturut-turut jatuh pada akhir 1831. Saat Tuanku Lintau meninggal karena usia tua, Lintau pun ditaklukan.
Selanjutnya Kamang pun jatuh ke tangan Belanda, lalu Matur dan Sungai Pua dalam suatu pertempuran sengit. Maka dengan jatuhnya nagari-nagari tersebut, kedudukan Bonjol semakin terancam. Karena merasa telah berada di atas angin, Belanda mengirim ultimatum agar Bonjol menyerah. Pimpinan Paderi terpecah dua dalam menanggapi ancaman Belanda itu. Akhirnya Bonjol pun jatuh!
Dengan jatuh Bonjol, Belanda lebih lekuasa bergerak, Lima Puluh Koto dirampas pada tahun 1832. Maka Minangkabau secara kemiliteran keseluruhan dikuasai Belanda, kecuali Kubung XIII. Namun kemudian pemimpin Minangkabau tersentak kembali semangatnyasehingga terjadi konsolidasi kekuatan untuk memerangi Belanda, karena dalam prakteknya pendudukan Belanda melakukan kesewang-wenangan, seperti menjadikan masjid sebagai asrama, memperkosa wanita. Secara sembunyi-sembunyi mereka pertemuan rahasia di lereng kaki Tandikat, agar segera melaksanakan serangan serentak di seluruh Minangkabau.
Tanggal 11 Januari 1883 maka dilancarkan serangan ke pos dan asrama Belanda di Bonjol, di Simawang Gadang, Tarantang Gadang, Lubuk Ambalau dan pada pos di wilayah Pasaman. Dalam serangan tersebut hampir 150 orang tentara Belanda terbunuh. Selanjutnya pasukan Belanda yang sedang berada di Sipisang yang terletak antara Bonjol dan Palembayan pun kocar-kocir diserbu, sehingga mereka harus masuk hutan dan keluar ke Bukittinggi. Dalam pelarian pasukan tersebut terbunuh 71 orang Sayangnya, aksi serentak yang hendak dilakukan di Luhak Agam dan Tanah Datar gagal dilaksanakan karena rahasianya bocor. Sementara itu Sentot Alibasya mantan panglima perang Diponegoro segera dikirim ke Minangkabau untuk menumpas kaum Paderi. Konon ia terlibat dalam suatu kesepakatan dengan pihak Paderi di Tandikat, ia dianggap pengkhianat oleh Belanda dan ditarik kembali ke Batavia. Lalu Sutan Bagagarsyah yang jadi regent di Tanah Datar ditangkap pula, dibuang juga ke Batavia. Beberapa orang yang selama ini membantu Belanda pun tak luput dari penangkapan. Bahkan ada diantaranya dipenggal kepalanya.
Pada pertengahan tahun itu juga, Guguk Sigandang, Buo, Timbalun di Luhak Tanah Datar bangkit melakukan serangan terhadap Belanda. Kebangkitan itu merembes pula ke Luhak Agam, pos Belanda di Kamang dan asrama di Bukittinggi diserbu serentak. Atas peristiwa tersebut maka Belanda menggantung 15 orang penghulu dan pemimpin Paderi yang telah mereka tawan. Elout menjatuhkan hukuman mati tersebut di Tambangan dan Guguk Sigandang pada tanggal 28 dan 29 Juli 1833 ; (1) Datuk Bandaro dari Gunung. (2) Pakih Sulaiman (anak Tuanku Damasiang). (3) Pakih Makala (anak angkat Damasiang). (4) Tuanku Damasiang dari Koto Laweh. (5) Datuk Bandaro nan Gapuak. (6) Datuk nan Galeh dari Koto Laweh. (7) Datuk Bandaro Putih dari Koto Laweh. (8) Datuk Pamuncak dari Koto Laweh. (9) Datuk Sati dari Pandai Sikek. (10) Datuk Bandaro dari Koto Baru. (11) Datuk Sinaro Panjang dari Aia Angek. (12) Orang Kayo Batuah dari Singgalang. (13) Datuk Putih dari Singgalang. (14) Datuk Putih dari Pandai Sikek. (15) Hubalang Bagindo Diacak.
Akibat serangan tersebut maka Belanda mulai merubah siasat perangnya, yaitu membiarkan Alahan Panjang, yang merupakan wilayah yang mempunyai medan sulit, segera mereka biarkan untuk sementara. Dan membuat maklumat Plakat Panjang, yang isinya antara lain : Belanda tidak akan mencampuri urusan penduduk, kepada penghulu yang membantu Belanda akan diberi gaji, dan seterusnya. Siasat tersebut tampak membuahkan hasil, terutama di tiga Luhak yang mereka kuasai, sehingga Belanda dapat mengkonsolidasi kekuatannya secara bertahap untuk mengempur Bonjol di Alahan Panjang. Dalam pada itu, Paderi pun memperkokoh kekauatan dan bentengnya di Alalah Panjang.
Pertengahan tahun 1834, tampaknya Belanda merasa cukup siap dan kuat, mereka segera menyerang Pantar dan Matur, dengan suatu serangan tiba-tiba pada waktu tengah malam. Gebrakan tersebut terus melebar ke arah barat dengan menduduki Andalas, berikutnya Sungai Pua, lalu Sipisang. Namun di Sipisang pasukan Belanda berhasil diusir kaum Paderi. Terhalang di Sipisang, Belanda merubah arah serangan ke Bonjol dengan melalui Matur di sektor barat, dan timur lewat Lima Puluh Koto, dari utara yaitu Tapanuli. Tahun 1835 dimulai serangan ke arah Bonjol. Dalam dua bulan berturut-turut melakukan gempuran Belanda semakin mendekati Bonjol. Walaupun gerakan berikutnya semakin lamban pula karena perlawanan sengit dari kubu Paderi.
         Namun pasukan Paderi bukan saja sekadar bertahan, mereka juga melancarkan serangan pada kedudukan Belanda di Alahan Panjang. Pertempuran sengit terjadi selama lima hari lima malam, di sana tewas 100 orang tentara Belanda. Sehingga Belanda terperangah, mereka segera menangguhkan serangan berikutnya. Mereka kemudian menghimpun bantuan sangat besar, yaitu 14.000 personil tentara.
         Merasa kekuatannya cukup besar, tahun 1836 Belanda menerjang lagi benteng Paderi, menghujani dengan peluru meriam tanpa henti-hentinya. Dini hari tanggal 3 Desember, sepasukan Belanda bergerak menyelusup ke dalam benteng Paderi dengan maksud untuk menghabisi Tuanku Imam Bonjol. Mereka segera menyelusup ke rumah Tuanku Imam Bonjol. Akan tetapi Tuanku Imam Bonjol tidak ada di rumah itu, Belanda hanya menemukan perempuan-perempuan. Walaupun demikian mereka membunuh seorang anak bungsu lelaki, Tuanku Imam. Saat itu Tuanku Imam tidur di rumah sebelah, orang tua itu segera membela keluarganya. Terjadi pertarungan, pasukan Belanda yang menghadang Tuanku Imam tidak mampu melawan, akhirnya melarikan diri. Sedangkan Tuanku Imam mendapat luka-luka sebanyak 17 liang.
         Mendapat kenyataan tersebut, maka pasukan Belanda bergerak secara besar-besaran. Pasukan mereka lantas dihadang oleh kaum Paderi, sehingga serbuan itu tertunda. Sementara itu pasukan Belanda yang berada di barisan belakang menembak dengan meriam tapi mereka salah tembak yang mengakibatkan korban berjatuhan di pihak Belanda sendiri. Inilah yang membuat Belanda frustrasi, bahkan menimbulkan kehawatiran di kalangan pemerintah Belanda sendiri. Bila peperangan tersebut semakin berlarut-larut maka akan berdampak goncangnya pandangan rakyat Minangkabau pada Belanda. Maka panglima tentara Hindia Belanda segera datang ke Batavia, meninjau situasi dengan matanya sendiri. (tahun 1837)
          Setelah itu pada 16 Agustus 1837, Belanda menghujani benteng Paderi di bukit Tajadi selama tiga bulan berturut-turut. Akhirnya Belanda dapat memasuki dan merebut benteng itu.  Namun sekali lagi Belanda gagal menangkap Tuanku Imam Bonjol, kendatipun ia telah terluka dalam pertarungan sebelumnya. Sayangnya, Tuanku Imam Bonjol dapat dibujuk dengan perundingan, ia segera ditawan pada tanggal 28 Oktober 1837. Lalu diasingkan ke Cianjur, berikutnya dipindahkan ke Ambon. Dan terakhir dibawa ke Manado, dan meninggal di sana 6 November 1884.           
Setelah benteng Bonjol jatuh, dan setelah pimpinan tertinggi Paderi ditawan, masih ada lagi seorang lagi yang belum mau tunduk dan tidak pernah tunduk pada kekuasaan, yaitu Muhammad Saleh, atau lebih dikenal dengan nama Tuanku Tambusai. Maka untuk lebih jelasnya perjuangan dan perlawanan tokoh ini, kita coba menelusuri detik-detik sebelum Bonjol jatuh. Jika dilihat secara umum, benteng Bonjol hanya sebuah kubu kecil. Akan tetapi kenapa Belanda demikian lama berhasil memasukinya? Padahal mereka mempunyai pasukan dengan peralatan lengkap atau boleh dapat dikatakan modern jika diukur zaman itu. Jawabannya, adalah karena pasukan Paderi yang berada di di utara dipimpin oleh seorang ahli strategi, yaitu Tuanku Tambusai. Pasukan Belanda yang masuk dari utara dipukul oleh pasukan Tuanku Tambusai.
Dikisahkan bahwa seorang kapten Belanda terjebak, tidak dapat bergerak sama sekali di Duriantinggi. Beberapa kali kapten tersebut coba menembus pertahanan Bonjol di sebelah utara tersebut, tapi selalu kandas. Bahkan didatangkan pula bantuan dari Batavia, namun tetap gagal dibikin babak belur oleh pasukan Tuanku Tambusai. Januari 1835 Belanda mencoba lagi menyerang Jambak, juga hancur berantakan. Kemudian didatangkan lagi bantuan yang diperkirakan 900 orang tentara yang dilengkapi dengan meriam dan mortir. Demikian pula pada 8 Maret, Belanda menyerang Tanjung Waringin. Tetap saja pasukan Belanda yang dipimpin oleh seorang kapten itu mengalami nasib sial. Sungguh banyak korban bergelimpangan di pihak penyerang. Tiba-tiba bulan Maret 1838, Yang Dipertuan dari Rao menyerah kepada Belanda, berikut pengikutnya lebih kurang 600 orang. Dengan menyerahnya Yang Dipertuan Rao membawa dampak mujur dari kapten Belanda yang selalu sial tersebut. Dia bisa memanfaatkan bantuan makanan, alat-alat perlengkapan, mata-mata dan lain-lainnya.
Ketika merasa mendapat angin mereka mulai menyerang lagi (Oktober 1836). Namun lagi ini juga gagal, bahkan sejumlah besar uang dari Belanda dapat dirampas pasukan Paderi, pimpinan Tuanku Tambusai itu. Sungguh sukar sekali menembus pertahanan Tuanku Tambusai, yang memang ahli strategi tersebut.
Setelah Bonjol benar-benar dibereskan Belanda. Maka mereka segera memfokuskan perhatiannya mengejar Tuanku Tambusai dan pengikutnya, yaitu di Portibi. Daerah yang paling dekat dengan Portibi, ialah Rao. Akan tetapi Belanda sengaja mengalihkan lewat jalan lain, yaitu ke Pacarkoling, dekat Padang Sidempuan Taktik penyerangan ini dapat disebut seperti serangan jepitan kalajengking. Karena pasukan dari utara itu bertemu dengan mereka yang datang dari selatan, di Rajamundang Bersamaan dengan itu datang pula bantuan dari Bonjol, lalu berkelabat ke arah timur menuju Dalu-Dalu. Selama dalam perjalanan gerakan Belanda dihadang oleh taktik bumi hangus yang dilakukan oleh pasukan Paderi. Sesudah empat belas bulan menyerang benteng Paderi di Dalu-Dalu, barulah berhasil. Keberhasilan mengambil alih benteng Dalu-Dalu harus dibayar mahal, ratusan orang tentara tewas, tiga orang mayor menjadi korban.
Tuanku Tambusai bertahan di Dalu-Dalu sampai akhir 1838. Kemudian menurut catatan sejarah ia menyingkir ke Sumatra Timur, saat benteng Dalu-Dalu jatuh. Lalu dikabarkan menyeberang ke Malaysia. Namun Belanda mengabarkan bahwa Tuanku Tambusai menghilang ketika benteng itu jatuh, dan diperkirakan tewas ketika terjadi pertempuran di sungai. Menurut Hamka, Tuanku Tambusai bukan mati di sungai, tapi ia telah menyeberang ke Malaka, dan meninggal di Negeri Sembilan. Tapi yang pasti, Tuanku Tambusai tidak pernah jatuh ke tangan Belanda.  
Setelah itu perlawanan suku bangsa Minangkabau terhadap Belanda tidak pernah pupus, mereka terus menyalakan api pemberontakan. Tahun 1841, Tuan Gadang di Batipuh melakukan penentangan terhadap Belanda. Ia adalah seorang Regen yang diangkat oleh Belanda di Batipuh. Benteng Belanda di Padangpanjang diserang, sehingga beberapa orang tentaranya tewas. Benteng Belanda di Batusangkar, Fort vander Capellen pun diserbu, sehingga beberapa orang tentara terpaksa menyingkir. Bahkan benteng Fort de Cock di Bukittinggi juga diserang, sehingga rumah-rumah Belanda di rusak, termasuk rumah Asisten Residen. Pula di Solok orang-orang Belanda terpaksa mengungsi ke benteng Muaro Panas. Pergolakan tersebut hanya sebulan lebih, Tuan Gadang Batipuh ditawan, kemudian dibuang ke Cianjur, meninggal di sana 12 Oktober 1842.
Tahun 1843 pecah lagi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Buo, yaitu kemenakan raja Pagaruyung. Bersamaan dengan itu muncul pula pergolakan yang dipimpin oleh Raja Hitam di Sijunjung. Berikutnya, pada akhir tahun 1844 Pauh pun bergejolak lagi pemberontakan. Diiringi oleh serbuan rakyat di hulu sungai Batanghari, dan Alahan Panjang di selatan Solok. Lalu rakyat Koto Anau dan Sungai Pagu pun mengangkat senjata.
Ketika Belanda menerapkan cultuur stelseel atau kerja paksa tanaman kopi di Minangkabau, maka rakyat Minangkabau segera melakukan perlawanan sejak tahun 1841 sampai dengan tahun 1845. Dan setengah abad kemudian muncul lagi perlawanan rakyat pada tahun 1908, mereka melakukan perlawanan terhadap penentangan rodi atau pembayaran pajak yang diganti dengan kerja paksa pembuatan jalan. Pemberontakan tersebut berlangsung di Manggapoh, Kamang, Pauh, Ulakan, VII Koto dan Lubuk Alung. Kendati pun setiap pemberontakan itu dipadamkan. Namun perlawanan rakyat Minangkabau tidak pernah dapat dipadamkan. Lantas ketika Komunis menghasut rakyat maka muncul lagi perlawanan di Silungkang sekitar tahun 1926.
**

MEREKA YANG DITIKAM DARI BELAKANG

Belanda agaknya sudah kehabisan akal untuk menaklukkan kaum Paderi Minangkabau. Perlawanan kaum Paderi bagi Belanda membawa kerugian yang sangat besar. Segala taktik dan tipu-daya, termasuk berusaha “meracuni” pikiran rakyat Minangkabau agar ikut memerangi kaum Paderi, tidaklah mangkus. Setelah perang Diponegoro dapat diselesaikan oleh Belanda di tanah Jawa, di mana salah seorang panglima Diponegoro yang membelot kepada Belanda, diminta bantuannya untuk menyelesaikan perlawanan rakyat Minangkabau, tokoh itu adalah Sentot Alibasya.
            Pada 20 Februari 1833, beberapa buah kapal dari Batavia. Dari kapal-kapal tersebut diturunkan ke darat 250 orang, mereka memang sangat dibutuhkan oleh komandan militer yang sekaligus Residen Sumatra Barat, Elout. Yang sebelum itu telah terjadi serangan serentak perlawanan rakyat di daerah yang diduduki Belanda.
            Gubernur Jendral Van den Bosch, sejal awalnya telah mempercayai Sentot Alibsaya sebagai seorang pemuda yang gagah berani. Malah Van den Bosch menjadikan Sentot Alibsaya sebagai anak angkatnya. Walau pun demikian ia tetap berhati-hati, kepercayaannya terhadap mantan panglima Diponegoro, ia lapisi dengan mengirim kapten De Leau. Di samping itu Van den Bosch berpesan kepada Elout bahwa Sentot Alibasya harus diperlakukan istimewa, karena ia seseorang yang gila hormat. Bahkan bila “anak emas” tersebut punya keinginan untuk menetap di Minangkabau bersama pasukannya, berikanlah tempat.   
            Belum sempat dimulai rencana Van den Bosch, tiba-tiba tanggal 11 Januari 1833 telah terjadi pemborantakan serentak dari rakyat Minangkabau. Maka mau tidak mau pasukan Sentot digunakan sebaik-baiknya untuk menghadang gerakan Paderi. Sementara itu Elout sebelumnya telah melaporkan bahwa telah terjadi kemajuan-kemajuan besar dalam menghadapi kaum Paderi. Lalu muncul pemikiran baru dari Elout untuk mencari kambing hitam dari kekecewaannya menghadapi kenyataan tersebut. Dan dimunculkanlah tentang pengkhianatan dari orang-orang yang setia dan selalu membantu Belanda oleh Elout. Tuduhan-tuduhan tersebut diarahkan pada Tuanku nan Cadiak, Sutan Alam Bagagarsyah, Sentot, Tuanku Alam, Tuanku nan Gapuak dan lain-lainnya.
             Bagaimana asal muasalnya anak emas Van den Bosch ini menjadi sasaran “tembak” Elout? Berbeda dengan Sutan Alam Bagagarsyah, yang tidak mempunyai pasukan dan pengaruh di Minangkabau, saat itu. Sentot Alibasya mempunyai tentara dan pengikut yang cukup besar, ia dihormati bagai seorang raja kecil. Ia tampak angkuh dan sombong karena ia diberi hak istimewa oleh Belanda. Konon sikap seperti itu membuat pemimpin pribumi di Minangkabau merasa direndahkan. Padahal mereka sebenarnya harus diakui pula mempunyai pengaruh dan pantas dihargai.
           Elout memberikan bukti-bukti pengkhianatan Sentot. Sebagai penganut Islam, Sentot ingin merayakan berakhirnya bulan puasa Ramadhan dan Lebaran. Residen tidak keberatan, asal jangan diadakan di Pagaruyung, karena dia tidak menyenangi Yang Dipertuan. Kemudian setelah memberi izin ia segera kembali ke Padang. Namun Sentot melanggar hal tersebut, ia melaksanakan perayaan itu di Pagaruyung. Hal itu langsung diterima oleh Elout dari Vermaulen Kriger yang melaporkan bahwa Sentot mendadakan pesta di Pagaruyung. Dan Sentot pun terkejut, ia merasa telah mendapat izin dari Residen. Memang Sentot mengundang beberapa orang pemuka dan pembesar pribumi, yang akan berkumpul lima hari kemudian. Tapi yang sangat mencurigakan Elout adalah karena pertemuan tersebut dimanfaatkan Sentot untuk melaksanakan sumpah setia kepadanya. Lagi pula ketika itu Sentot mennginap di rumah Sutan Bagagarsyah.
           Perayaan tersebut memang telah terlanjur untuk dilaksanakan. Maka Elout harus segera melakukan pengamanan, ia perintahkan kepada Vermeulen Krieger untuk berjaga-jaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Lalu ditempatkan beberapa pucuk meriam pada tempat-tempat strategis. Namun apa yang dikhawatir oleh Elout, tidaklah pernah terjadi. Karena Sentot memang tidak merasa bersalah atas tindakan yang dilakukannya, ketika ia diajak oleh De Leau ke Padang menemui Elout. Dan dari sana ia segera dikirim ke Batavia. Terakhir Sentot dikirim ke Bengkulu.                         
           Demikian pula yang lain-lainnya, yaitu Tuanku nan Cadiak dari Naras, Sutan Alam Bagagarsyah, Tuan Gadang Batipuh, seperti diketahui mereka telah banyak mendukung Belanda selama pergolakan Paderi, namun akhirnya mereka ditikam dari belakang oleh Belanda. Mereka dinyatakan sebagai pengkhianat. Tentulah bagi kita sekarang merupakan pertanyaan besar. Apakah memang mereka berkhianat pada Belanda atau berkhianat pada Minangkabau. Atau memang ada suatu skenario dari Belanda, dalam keadaan terdesak mereka melakukan kompromi dengan beberapa orang tokoh yang mampu mempengaruhi bangsanya sendiri. Lalu mereka-mereka itu diberi imbalan, baik jabatan maupun kebutuhan finansial. Dan konsep berikutnya adalah menggiring mereka yang “berjasa” itu  agar membangkang terhadap Belanda sendiri. Sehingga dengan mudah Belanda memberi hukuman kepada mereka.
          Disamping Sentot Alibasya, ada beberapa “sahabat” Belanda yang mengalami nasib yang sama, Sutan Alam Bagagarsyah. Dengan pandangan dan kacamata yang sama Van den Bosch, bahwa pemimpin Minangkabau tidaklah berbeda dengan mereka yang ada di Jawa. Oleh karena itu harus ada seorang raja yang mampu menjalankan cita-cita penaklukan Minangkabau. Pilihan dari Van den Bosch jatuh pada Sutan Bagagarsyah. Namun Elout dan de Stuers berbeda pandangan sang bos yang berada di Batavia tersebut. Kedua orang ini berpandangan bahwa Sutan Alam Bagagarsyah sejak lama telah “patuh” dibawah Belanda. Bahkan dia (Sutan Alam Bagagarsyah) demikian teganya “menggadaikan” Minangkabau kepada Belanda demi kepentingan pribadi. De Stuers menginginkan orang yang menjadi raja Minangkabau itu, orang mempunyai pengaruh yang lebih luas, disamping mempunyai pengetahuan, ia juga demokratis. Akan tetapi setia dan menjadi kaki tangan Belanda. Pilihan De Stuers jatuh pada Raja Buo, yang saudara dari Sutan Alam Bagagarsyah. Sayangnya, Raja Buo lebih suka menantang dari pada takluk pada Belanda, ia berpihak pada Paderi.
          Ketika terjadi pergolakan serentak di ranah Minangkabau Januari 1883, Elout merasa terpukul, karena sebelumnya ia telah melaporkan pada Van den Bosch bahwa keadaan di Minangkabau telah aman dan terkendali. Elout dengan emosi segera menangkap orang-orang yang dianggap telah mencoreng kening. Lantas ia menangkap Sentot dan Sutan Alam Bagagarsyah, dan lain-lainnya. Tentunya semua dilakukan Elout untuk mencuci piring yang terkotori oleh pergolakan serentak pada bulan Januari tersebut.                         
          Kita ketengahkan sejenak kilas balik, sebelum penangkapan Sutan Alam Bagagarsyah tersebut, sewaktu sedang terjadinya pertarungan di Luhak Tanah Datar antara yang berpihak dan yang memihak Paderi, Yang Dipertuan Hitam Alam, atau Sutan Alam Bagagarsyah, masih muda belia. Beberapa orang keluarga kerajaan terbunuh dalam perseteruan itu, dan yang selamat menyingkir ke Padang. Saat itu Padang dikuasai oleh Inggris, keluarga kerajaan minta bantuan pada Inggiris. Namun Inggris kurang serius menanggapi. Dan ketika Belanda kembali ke Minangkabau, maka keluarga kerajaan dan beberapa orang penghulu membuat perjanjian penyerahan seutuhnya kepada Belanda, nagari-nagari Pagaruyung, Sungai Tarab dan Suruaso, termasuk nagari-nagari lainnya yang berada dibawah kepunyaaan Minangkabau. (10 Februari 1820). Mereka berjanji akan setia pada Belanda, dan akan membantu Belanda memerangi Paderi.
        Maka dengan pernyataan tersebut, Belanda memberi imbalan kepada mereka. Residen Sumatra Barat Du Puy dan komandan militer Raaf mengusulkan dengan surat tertanggal 1 September 1823, untuk memberi kedudukan tinggi dan terhormat. Usulan tersebut disetujui oleh Batavia. Tanggal 4 November 1823 diterbitkan peraturan sementara, Sumatra Barat dibagi atas dua hoofdeling, yakni Minangkabau dan Padang. Sutan Alam Bagagarsyah mengepalai Minangkabau, dan Sutan Raja Mansur untuk Padang. Namun sebelum ketetapan tersebut disahkan oleh Batavia, letnan kolonel De Stuer diangkat menjadi residen sekaligus komandan militer Sumatra Barat. Pandangan De Steur seperti kita ketengahkan pada awal, memang kurang bersimpati terhadap Sutan Alam Bagagarsyah, mencela perbuatan mereka yang telah melarikan diri dan menyerahkan wilayah Minangkabau secara bulat-bulat kepada Hindia Belanda. Pun ia melihat bahwa perjuangan Paderi dapat dipahami, dan Belanda dalam hal ini janganlah asal main serang saja, sehingga menimbulkan bencana lebih besar.
          Pandangan Stuer tersebut untuk sementara waktu dibenarkan oleh Batavia, karena pemerintah Hindia Belanda sedang kesulitan menghadapi pemberontakan  Diponegoro di pulau Jawa. Berikutnya, atas usul Stuer maka Batavia mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal, yang membagi Sumatra Barat atas afdeling – Padang dan Padangche Bovenlanden, dan tiap afdeling dibagi atas distrik, dengan regen sebagai kepala distrik (20 Desember 1825).
        Dengan keluarnya keputusan tersebut, maka terdepaklah Sutan Alam Bagagarsyah kedudukannya sebagai raja Alam Minangkabau, ia hanya menjadi regen Tanah Datar saja. Sedangkan kedudukan hoofregent Padang, hanya berlaku hingga hingga meninggalnya Sutan Raja Mansur, kemudian dihapus. Inilah yang menyakitkan hati dan perasaan Sutan Alam Bagagarsyah.
         Elout pun punya peranan besar dalam memicu kekecewaan Sutan Alam Bagagarsyah. Padahal Van den Bosch telah mengusulkan berulang-ulang agar dia diangkat sebagai raja Alam Minangkabau. Dalam suratnya tanggal 18 Juni 1832, Elout menyampaikan keberatannya kalau Sutan Alam Bagagarsyah diangkat menjadi raja di Minangkabau. “Izinkanlah saya mengajukan sebab-sebab mengapa saya keberatan atas usul tuan. Raja itu (Sutan Alam Bagagarsyah) sudah bertahun-tahun tidak mempunyai kedudukan berarti. Justru karena kedudukan itu tidak berarti itu, tidak ada harapan bahwa rencana tuan dapat dijalankan. Dia tidak berhasil mendapat kepercayaan rakyatnya, karena dia tidak mempunyai pengaruh sama sekali atas rakyat.”
        Surat Elout yang cukup panjang tersebut, mengemukakan tentang kemungkinan yang akan terjadi bila Belanda mengangkat Sutan Alam Bagagarsyah menjadi raja. Dijelaskan bahwa yang akan mengangkat martabat dan wibawa Sutan Alam Bagagarsyah adalah Belanda. Hal ini akan menimbulkan kecurigaan dari rakyat yang kita taklukan, tulis Elout. Dan seakan-akan kita tidak punya rasa percaya pada kekuatan sendiri. Apalagi kalau kita bangun sebuah istana untuk sang raja tersebut. Padahal dalam penelitian para ahli, kita tidak pernah bekas bangunan istana di masa lampau itu.
       Musuh besar kita adalah Paderi, hanya yang ditakuti oleh orang Melayu (maksudnya keluarga Pagaruyung dan pengkikutnya). Mesti pandangan tinggi pada kaum Paderi haruslah dialihkan kepada kita. Jika tidak maka kemenangan atas Lintau, XIII Koto dan Lima Puluh Koto hanyalah bersifat sementara. Orang yang telah kita angkat menjadi regen Tanah Datar, lebih baik kita biarkan begitu saja. Mereka sudah cukup puas dengan apa yang sudah dicapainya, gaji 100 gulden dan ditambah dengan pungutan uang pasar. Itulah sebab musabab kemarahan Sutan Bagagarsyah kepada Belanda. Ia segera berniat untuk mengusir Belanda dari Minangkabau. Ironisnya, ia tidak mempunyai banyak pengikut. Namun pemberontakan pun terjadi, yang membuat Elout seperti kebakaran jenggot, saat terjadi serangan serentak pada Januari 1833 itu.
          Sutan Bagagarsyah ditangkap, ia dituduh oleh Elout sebagai pengkhianat, dibuang ke Batavia bulan Mei 1833. Meninggal pada tahun 1849 dan dikuburkan di Mangga Dua, lalu atas izin Pemerintah Republik Indonesia dipindahkan ke Makam Pahlawan Kalibata tahun 1972. Justru inilah yang membuat beberapa orang merasa perlu untuk menjadikannya sebagai Pahlawan Nasional, dan menimbulkan polemik. ***

Dari Meja Kerja, Amran SN 
Padangsarai - Sumatera Barat, Mei 2011


0 komentar:

Posting Komentar