Selasa, 17 Mei 2011

Takuruang di Lua, Tahimpiek di Ateh: Konsep Hukum dan Pemerintahan


Ungkapan takuruang di lua, tahimpik di ateh seringkali kita dengar dalam percakapan sehari hari, yang bermaksud untuk menyatakan kegaliran dan keculasan orang Minangkabau. Bahkan untuk mempertajam ungkapan tersebut adakalanya ditambah dengan kata ndak. Pengertian kata ndak itu adalah “hendak” , maka jika dilaihkan kebahasa Indonesia, kalimatnya jadi,”Terkurung hendak di luar, terhimpit hendak di atas.” Padahal kata “hendak” maka pengertian yang akan dicapai oleh ungkapan itu jauh dari makna yang dimaksud.
            Suku bangsa Minangkabau acapkali untuk menyampaikan isi alam pikirannya dengan kiasan atau perumpamaan. Jarang mereka langsung menyatakan pendapatnya, apalagi pendapat tersebut adalah pengetahuan yang kelak jadi pegangan hidup bagi mereka.
            Orang Minang percaya bahwa filsafat alam yang mereka anut besaral dari pikiran atau jaran dua ninik mamak, yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang. Kedua orang itu  merupakan cikal bakal yang meletakkan pola dasar sistem pemerintahan dan hukum di ranah Minangkabau.
            Ungkapan takuruang di lua, tahimpik di ateh bukanlah menyatakan kegaliran  keculasan masyarakat Minang. Tidaklah mungkin  suatu masyarakat membuat ungkapan untuk menjelek-jelekkan pribadi mereka. Orang Minang bahkan berusaha menyrukan apa yang kurang dari mereka, tak akan mungkin memperhujankan garamnya, kalau menyruk mereka akan hilang-hilang.
            Betapa pun rapuhnya keadaan mereka, mereka jarang memperlihatkan kepada orang lain, terutama kepada orang yang tidak mereka kenal. Orang Miang tidak akan pernah mengatakan ia belum makan atau minum. Bahkan bila ia belum makan atau minum, dia mencukil gigi dan membasahi bibirnya dengan ludah agar terlihat telah makan sesuatu. Dan apabila dia berbuat sesuatu di luar jalur, ia benar-benar menutup aibnya dengan hati-hati Bagi mereka menyembunyikan kelemahan adalah bagian dari harga diri.Dan jika orang Minang yang bangga akan ungkapan takuruang di lua, tahimpiek di ateh, sesungguhnya belum mengenal maksud ungkapan tersebut..
*

            Raja bagi suku bangsa Miangkabau bukanlah segala-galanya. Bagi mereka raja  hanyalah lambang dan daulat yang sebenarnya terletak pada kebenaran, seperti dipesankan dalam mamangan ini :

            Kamanakan barajo ka mamak
            Mamak barajo ka panghulu
            Panghulu barajo ka mufakat
            Mufakat sarato alur jo patuik
Alur jo patuik barajo ka nan bana
Nan bana badiri sandirinyo

            Dari mamangan tersebut dapat diambil benang merah bahwa tidak ada yang dominan   Kemenakan tidak dapat berbuat sekehendaknya, biarpun dia telah dewasa atau telah jadi sumado di rumah orang lain. Dia haruslah beriya berbukan dengan mamak dalam mengambil keputusan, teruatama pada kaum kerabat sukunya. Sedangkan Mamak kendatipun dia tungganai di Rumah Gadang kaumnya, ia pun tidak bisa sewenang-wenang begitu saja. Segala keputusannya perlu dimusyawarahkan dengan kaum kerbatnya.
            Sementara itu Penghulu, orang yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, katanya didengar petuahnya dituruti, akan tetapi segala sikap dan perbuatannya harus menurut alur dan patut. Patut bukan sekadar ucapan lepas begitu saja. Alur secara harfiah dapat diartikan adalah saluran. Walaupun telah dianggap patut akan tetapi salah saluran maka kepatutan itu tak dapat dikatakan sebgai suatu keputusan yang benar.
            Kebenaran semu bisa saja terjadi yaitu seperti kepatutan yang tidak menurut allur. Misalnya kepatutan itu hanya berdasarkan pikiran sekelompok orang tapi tidak melalui musyawarah yang menghasilkan mufakat bulat.Akhirnyamuncul suara-suara sumbang atau tidak patuh pada keputusan tersebut, rumah sudah tokok babunyi!
            Mamak, Penghulu, Raja memang ditinggikan secara status. Mereka dihormati, didengarkan, dipatuhi karena menjadi pucuk pimpinan, baik lokal maupun di wilayah negeri yang diperintahnya.  Atau dengan kata lain, mereka berada di atas. Kebiasaan orang yang berada di atas akan memandang orang di bawahnya tentulah rendah (terhimpit). Perasaan itulah yang membuat mereka yang tergelincir sehingga berbuat sewenang-wenang, atau Zalim
            Rakyat yang selalu dizalimi oleh raja tak mungkin diam begitu saja. Ada hukum tekanan namanya, bila sebuah bola dimasukkan ke dalam ember bersi air kemudian ditekan dengan tangan sekuat tenaga, akan terjadi sekuat tekanan sekuat itu pula desakan ke atas.
            Oleh karena itu di Minangkabau ada pameo yang berbunyi : “Raja alim, raja disembah, raja lalim raja disanggah!” Memahami kejadian seperti itu, Datuk Perpatih nan Sebatang dan Datuk Ketumanggungan membuat konsep tentang tata cara orang memerintah. Orang yang berkuasa memang berada di atas, sedangkan orang yang diperintah berada di bawah. Kekuasaan di atas tidak dibenarkan digunakan sekehendak hatinya. Dia di atas tapi sesungguhnya berada di bawah kontrol rakyat.
            Bahasa lainnya, adalah kekuasaan itu ibarat pedang bermata dua. Jika penguasa kurang waspada maka sisi mata pedang yang lain akan melukai dirinya sendiri. Dia yang tadinya berada di atas akan dihimpit oleh rakyat..  “Agak-agak nan di ateh, nan di bawah ka maimpok” (Hati-hati yang di atas, yang di bawah akan menghimpit)  Kalimat seperti ini kalau diterjemahkan secara hitam putih saja, tentulah suatu kalimat yang mustahil. Bagaimana mungkin sesuatu yang berada di bawah akan menghimpok atau menghimpit yang berada di atas. Akan tetapi hal itu merupakan kiasan dari filosofi Minangkabau.
            Penguasa berada di atas karena hukumnya demikian. Bukankah kekuasaan diberikan oleh rakyat sehingga mereka jadi mulia. Dan tentu saja mereka menjalankan kekuasaannya berdasarkan hukum-hukum yang dibuat bersama. Jika dia menghindar dari ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama maka rakyat akan menghimpok.
  
Takurung di luar

            Orang membayangkan tidak mungkin terkurung berada di luar. Semua kita akan berpikir demikian. Oleh karena itu penulis yakin bahwa ungkapan terkurung di luar adalah konsep/gagasan tata cara pemerintahan dan hukum (peraturan-peraturan berlaku). Bukanlah tanda kegaliran orang Minangkabau.
            Tanpa suatu peraturan masyarakat tidak mungkin hidup berkelompok dengan rukun dan damai. Siapa yang kuat pastilah menguasai yang lemah dan berbuat sekehendaknya. Semula manusia hidup dalam kelompok kecil, dalam sebuah keluarga hanya memiliki aturan rumah tangga tak tertulis. Ayah atau bapak merupakan lambang hukum, dari dialah berasal aturan-aturan yang kemudian diikuti oleh keluarga tersebut. Namun ketika membaur dengan kelompok lain, peraturan rumah tangga A dan B akan berbeda. Dalam masyarakat yang lebih luas akan ada terjadi perkembangan aturan-aturan baru yang harus ditaati, demikian seterusnya.
            Dalam suatu hikayat dikisahkan Datuk Ketumanggungan membuat aturan bagi mereka yang berbuat kesalahan dan tindakan kriminal akan dijatuhi hukuman seperti apa yang dilakukannya. Misalnya, kalau si Polan mencuri kambing maka sitertuduh akan mengganti dengan seekor kambing pula kepada si Anu, yang ternaknya dicuri itu. Kemudian apabila ia membunuh maka dia pun harus dibunuh tanpa dihitung apakah dia mungkin membela diri sehingga ia membunuh lawannya tersebut.


            Sepintas aturan hukum yang dikeluarkan oleh Datuk Ketumanggungan masuk akal dan adil. Hanya saja karena aturan tersebut tidak dibawa kekerapatan hukum (Adat) untuk menentukan berat ringannya kesalahan si tersangka maka sebagian masyarakat menolak hukum yang diberlakukan oleh Ketumanggungan itu.
            Seorang pemelihara anjing melepaskan anjingnya ketika Datuk Ketumanggungan sedang berjalan di sebuah kampung. Anjing itu menggigit Ketumanggungan, Ketumanggungan kaget dan marah bukan main, ia lantas menyuruh hulubalang membunuh anjing tersebut. Akan tetapi pemilik anjing protes. “Bukankah menurut aturan yang tuanku buat bahwa tersangka harus menerima hukuman sesuai dengan perbuatannya,” ujar orang itu.
            Tentulah Datuk Ketumanggungan tidak mungkin menggigit anjing yang menggigitnya. Maka jika dia memerintahkan hulubalang membunuh anjing tersebut, artinya dia telah melanggar aturan hukum yang dikeluarkannya. Dari hikayat tersebut dapat diambil makna bahwa suatu peraturan atau hukum itu yang dikeluarkan oleh penguasa, bukan saja menghukum rakyat tapi juga dapat diberlakukan pada si pembuat hukum tersebut. Itulah yang dimaksud dengan terkurung du luar, terhimpit di atas. Penguasa terkurung dan terhimpit oleh hukum yang dibuatnya sendiri, walaupun ketika ia mengeluarkan peraturan yang berlaku tersebut berada di atas! Dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 27 ayat 1 disebutkan “segala warganegara bersamaan kedudukkannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”

Dari Meja Kerja Amran SN 
Padang, Padangsarai 2004

2 komentar:

krist4ever mengatakan...

Tambah wawasan

Hendri STM mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar