Selasa, 24 Mei 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (6)


 6
Disandera

             Semua anak kost telah berangkat kuliah, Ibu kost sedang menyapu di halaman. Embun pagi masih menggantung di kelopak bunga melati, bunga itu di tanam di sudut teras. Sinar matahari masih lembut. Tetangga kiri kanan pun telah berangkat kerja ke lokasinya masing-masing. Kawasan itu tampak agak sepi.
            Sebuah mobil berhenti di depan. Ibu kost terbelalak, ia mengenal mobil tersebut, dua hari yang lalu menculik Nadia. Ibu kost bergegas masuk ke dalam. Ia segera memutar telepon, menelepon polisi.
            “Halo…Halo.”
            Tidak ada jawaban dari seberang sana.
            “Halo!” Ibu kost terus mencoba tapi telpon di seberang itu belum berangkat. Gemas bukan main perempuan tersebut. Keringat dingin menetes di sekujur Ibu kost. Ia tampak gugup ketakutan.
            Gugum masuk, ia menarik gagang telpon di tangan perempuan itu. “Nyonya ikut kami!” Laki-laki itu menarik lengan Ibu kost dengan paksa. Perempuan itu berteriak-teriak. Tapi teriakan itu percuma saja. Tidak seorang pun yang datang menolong.
            Mobil melaju kencang keluar kawasan tersebut.  Tidak cukup setengah jam, mobil tersebut telah tiba di jalan Ratulangi. Ibu kost didorong turun.
            Ibu kost berteriak keras. Ia berteriak di depan Logos. “Apa salah saya!”
            “Nyonya ingin tahu salah nyonya?”
            “Ya!”
            “Nyonya bersalah karena telah menampung Puti Rinjani. Dia menyamar dengan nama Nadia. Gadis itu menyimpan Selendang Pembunuh Anggang. Dan mestinya nyonya melaporkan gadis itu pada kami.”
            “Saya pemilik rumah itu dan seorang janda. Apa salah saya menyewakan rumah atau kamar-kamar bagi mahasiswi. Kalau soal melapor, saya sudah melaporkan anak-anakgadis itu sebagai anak kost.”
            “Ya tidak. Tapi Nadia mendatangkan sial bagi nyonya. Jika ia mau berbisnis dengan kami. Pastilah kami tidak akan melibatkan nyonya.” Logos tersenyum.
            Ibu kost menatap Logos. Perempuan itu menatap penuh kebencian. Walaupun laki-laki tersebut bicara dibarengi senyum. “Bisnis? Setahu saya, Nadia itu hanya seorang mahasiswi. Dia bukan pedagang. Apakah Nadia hendak menjual selendang pada tuan?” ujar Ibu kost.
            “Selendang Pembunuh Anggang itu pusaka leluhur kami. Tapi dia telah mencurinya. Namun kami tidak mempesoalkan itu. Selendang itu saya tawar 100 juta. Bahkan kalau ia mau lebih dari itu, saya beli juga. Tapi dia menolak dan melarikan diri.”
            Ibu kost menggeleng. “Saya tidak yakin ia mencuri milik orang lain. Nadia gadis yang baik,” membantah ucapan Logos. “Selendang Pembunuh Anggang, kenapa Nadia tidak menceritakan tentang benda antik tersebut,” batin perempuan itu kemudian.
            Dari mejanya Logos menggamit Gugum agar mendekat. Gugum mendekat ke samping meja. “Beri perempuan itu sedikit pelajaran,” bisik Logos. Gugum manggut-manggut.
            Ibu kost menangkap sesuatu di balik langkah Gugum yang berat itu ketika mendekatinya. Dugaannya tidak meleset. Laki-laki itu berkata lantang,”Suruh Nadia datang kemari. Telpon dia!” Gugum memberikan HP pada Ibu kost.
            “Saya tidak tahu nomor HPnya.”
            “Jangan bohong!”
            Bagai hendak pecah gendang telinga Ibu kost mendengar bentakan Gugum. Ia menengadahkan wajah menantang Gugum. Laki-laki itu tampak sangar.
Benar! Tangan Gugum menjambak rambut perempuan tersebut. “Cepat telpon!” Gemetar telunjuk Ibu kost memencet tuts HP. Bagi Ibu kost udara dalam ruangan itu terasa panas dan menyesakkan dada. Kendati pun ruangan itu berAC.
Nadia sedang duduk di kafe. Ia mendengar HPnya bermelodi. “Siapa ini?”
“Saya, Ibu kost.”
“Ibu di mana?”
Gugum menarik HP dari tangan Ibu kost. “Perempuan ini sekarang bersama kami. Jika dia ingin selamat, segeralah ke mari. Bawa Selendang Pembunuh Anggang!”
Nadia diam sejenak. Sarah yang duduk di samping Nadia bertanya,”Ada apa Nad?”
“Ibu kost disandera,” sahut Nadia. Gadis itu tampak gelisah. Kemudian bangkit. Ia melangkah ke luar kafe. Dan bergegas menyetop angkot yang lewat. Sarah mengejar tapi angkot telah melaju membawa Nadia.
Dalam perjalanan Nadia terus dihubungi Logos dan Gugum lewat HP. Mereka memandu Nadia agar datang ke sebuah gudang. Pun mereka perdengarkan suara Ibu kost yang merintih. “Jangan coba-coba kalian mencederai Ibu kost. Bila kalian nekad, saya akan membunuh kalian,” ancam Nadia.
Di seberang sana kedengaran suara ketawa Logos. Muak gadis itu mendengar ketawa tersebut. Dan angkot berhenti, Nadia melompat turun. Ia melihat Kompe dan beberapa lelaki kekar menunggu di depan gudang tua itu.
Dedaunan tua yang menguning berderai dihembus angin. Kompe dan kawan-kawannya menggiring Nadia masuk ke gudang. Gadis itu menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan gudang, ruangan yang kumuh. Kertas-kertas berserakan. Pun tercium bau pesing, bau kencing. Di sudut sana tampak seekor kucing betina sedang menyusukan bayi-bayinya..
Kompe dan lima orang kawannya menggiring Nadia menelusuri gudang yang lapang itu. Nadia belum melihat tanda-tanda di mana Ibu kost disekap. Gadis itu membalik,”Di mana Ibu kost?” Nadia bertanya.
Belum sempat Kompe menyahut, sekonyong-konyong muncul Logos bersama dua lelaki. Mereka muncul dari balik sebuah ruangan bersekat dinding tripleks. Dua lelaki yang bersama Logos, seorang lalik-laki kekar, ia adalah Moen. Dan laki-laki di sebelahnya memakai kemeja dengan motif kembang-kembang besar, wajahnya berpupur layaknya seorang perempuan, kita mengenalnya sebagai Silangkaneh atau Slang.
Seperti biasa, Logos selalu tersenyum. Demikian juga ketika menyambut Nadia. “Sungguh merasa terhormat saya menerima kedatangan Puti,” sapanya.
Sapaan bersahabat dari Logos tidak langsung dijawab gadis itu. Perhatiannya khusus tertumpu pada Moen dan Slang. Di masa lalu ia sangat mengenal kedua orang tersebut. Merekalah yang menghasut Anurangga  menjebloskan Datuk Sri Mulia ke dalam penjara batu, ayah dari Puti Rinjani.
“Di mana tuan berkenalan dengan kedua bunglon ini?”
Wajah Moen dan Slang merah dadu mendengar ucapan Nadia yang bersembilu. Sungguh menyayat hati mereka. Logos cepat tanggap, ia kembali memperlihatkan snyum khasnya. “Maksud Puti adalah kedua sahabat saya ini? Mereka adalah penesehat teknis di bidang benda benda kuno. Seperti benda antik milik Puti, Selendang Pembunuh Anggang itu.”
Menegun sejenak Nadia. “Saya kira mereka tidak punya keahlian tentang tenunan yang berusia 1000 tahun sebelum Masehi itu. Oya, anda telah mengalihkan pembicaraan kita yang sebenarnya. Di mana tuan kurung Ibu kost?”
“Jangan cemas Puti. Ibu kost itu aman berada dalam pengawasan kami. Tapi saya ingin lebih dulu melihat Selendang pembunuh Anggang. Laku kita lakukan saling tukar. Kamu serahkan Selendang Pembunuh Anggang, dan perempuan itu kami serahkan pula padamu.”
“Baik,” sahut Nadia. Ia mengerling pada Kompe dan kawan-kawannya. “Tuan Logos, saya gerah dikelilingi para kurcaci ini. Jauhkan mereka dari samping saya.” Kata nadia.
Logos memberi isyarat pada Kompe dan kawan kawannya agar berlalu dari samping gadis tersebut. Setelah mereka menjauh, Nadia menurunkan tas sandang dari bahunya. “Benda itu berada dalam tas ini. Tapi tuan harus menghadirkan Ibu kost di sini. Barulah kemudian saya memperlihatkan selendang tersebut.Tuan setuju?”
Logos mengangguk. Ia mengerling pada Moen dan Slang. Keduanya mengangguk. Logos segera memerintahkan Kompe untuk membawa Ibu kost.
Seekor kelelawar berputar terbang dalam gudang itu. Mengawang-awang beberapa jenak saat lalu masuk ke dalam sarangnya di lobang yang terletak di sudut loteng. Tidak lama kemudian Kompe menggiring Ibu kost. Wajah perempuan itu lesu. Ia letih sekali.
“Ibu!”
“Kamukah itu, Nadia?” Perempuan itu berusaha meyakinkan pandangannya dengan pertanyaan tersebut.
“Ya, saya datang untuk membebaskan Ibu,” sahut Nadia.
Sejenak Logos berbisik pada Moen dan Slang. Kelihatan Moen dan Slang manggut-manggut. “Puti. Sekarang saatnya pertukaran itu kita lakukan. Perlihatkan selendang tersebut. Lalu lemparkan kepada kami,” ujar Logos.
Nadia mengangguk. Ia membuka tas, mengeluarkan Selendang Pembunuh Anggang dan membentangkan di depan wajahnya, sebagian wajah gadis itu hampir tertutup selendang.
“Lemparkan ke mari!”
“Saya lemparkan selendang ini pada tuan. Bersamaan dengan itu Ibu kost mendekati saya. Oke?”
Mengangguk Logos. Suasana di gudang tersebut bagai kawasan pekuburan di malam hari. Sepi.
Tiba-tiba Nadia berseru keras, ia melontarkan selendang di tangannya. Selendang itu melesat dan berkibar-kibar di udara. Bersamaan itu Ibu kost didorong ke depan oleh Kompe ke arah gadis itu.
Terbelalak Moen dan Slang melihat selendang yang “terbang” di udara. Selendang tersebut memancarkan cahaya keemasan. Ruangan dalam gudang tersebut menguning!
Ibu kost hanya beberapa langkah lagi dari Nadia. Selendang Pembunuh Anggang masih mengawang-awang di udara. Logos meraih ujung selendang. Lalu menarik sekuat tenaga ke dadanya. Sementara itu Nadia mendekap Ibu kost tapi ia masih masih belum melepaskan ujung selendang dalam genggamannya.
Riang bukan main Logos memegang Selendang pembunuh Anggang, wajah Logos disiram cahaya keemasan selendang tersebut.
Imbas cahaya keemasan yang membersit dari selendang tersebut pun melekat pada Moen dan Slang. Sekilas mereka memperhatikan sulaman dan lukisan pada selendang. Lukisan itu menggambarkan perjalanan dan pelayaran Maharaja Diraja hingga sampai ke kaki gunung Merapi. Mereka pun melihat gambaran kisah Maharaja Diraja melawan naga berkepala tujuh dalam samudera.
Tidak tahan keinginan Slang untuk meraba benda itu. Jemarinya merasakan betapa halusnya bahan kain selendang itu. Ia menduga bahan selendang tersebut dari serat kayu langka dan dicampur dengan serat bulu binatang purba. Sedangkan manik-manik yang menghiasi pinggiran selendang tersebut terbuat dari batu pualam negeri Cina. Hanya beberapa kejap ia mampu memegang Selendang Pembunuh Anggang, jemarinya terasa panas seakan-akan hendak terbakar. Segera ia lepaskan selendang itu.
“Lepaskan selendang ini,” ujar Logos.  Laki-laki itu menarik ujung selendang yang ada di tangannya. Namun Logos seperti tidak mempunyai tenaga, padahal ia telah mengerahkan tenaganya sekuat mungkin untuk merebut selendang tersebut.
Nadia tidak peduli pada ucapan Logos. Ia bukan melepaskan selendang itu tapi menariknya, Nadia menerik selendang bagai menggulung benang layang-layang.
Di ujung sana Logos tampak berkeringat dingin. Bukan saja keringatnya yang dingin tapi ada hawa dingin luar biasa menjalar ke jantung Logos. Ia menggigil bagai disrang malaria.
“Lepas!”
Semua yang ada dalam ruangan gudang itu terpengaruh oleh seruan Nadia. Logos terbelalak, ujung selendang pada genggamannya lepas!
“Perempuan keparat!” Moen menyumpah serapah. Ia berkelabat menerjang Nadia, melepaskan tendangan ke lambung lawannya itu. Sementara ujung selendang yang lepas dari tangan Logos berkibar-kibar di udara.
Lalu dengan langkah yang manis, Nadia meliukkan pinggang dan tendangan Moen menerjang angin. Ia terhuyung ke depan sejenak. Dalam keadaan yang hampir bersamaan, Nadia berkelabat ke udara. Dari udara itu ia mengibaskan Selendang pembunuh Anggang.
Moen terkesiap. Laki-laki itu terlambat bereaksi, ujung selendang menyapu kening Moen. Kedengaran suara berderak dan Moen meraung. Ia tewas ke lantai dengan kening rengkah.
Kompe dan lima orang temannya ternganga. Sepasang mata Logos terbuka lebar. Slang berdiri gemetar, sepasang lututnya seakan-akan copot.
Tanpa menunggu lagi, Nadia menarik lengan Ibu kost. “Mari kita pergi,”ujarnya.
Senja turun menggantikan sore. Saat itu Logos sadar, ia segera memberi perintah pada Kompe dan anak buahnya. “Tembak!”
Kedengaran bunyi tembakan beruntun. Hingar bingar dalam ruang itu. Peluru-peluru yang dimuntah Kompe dan kawan kawannya melesat bagai kilat menyambar.
Selendang Pembunuh Anggang mengembang, membungkus Nadia dan Ibu kost. Seketika awan putih mengambang dan menyungkupi kedua orang tersebut. Mereka mengirap tanpa bekas.
Tuan Logos terperangah. Kompe dan kelima serdadu lainnya menunduk kecewa. Slang menggelengkan kepala. Mereka benar-benar tidak percaya kepada apa yang dilaminya. Tapi itulah kenyataan. Gadis itu bersama Ibu kost telah lolos.
Belum selesai keajaiban yang mereka saksikan, sekonyong konyong kedengaran desisan halus. Desisan itu datang dari mayat Moen. Mayat Moen bergerak-gerak turun naik. Kemudian tenang setenang tenangnya.
Tiba-tiba kedengaran letusan hebat! Mengepul asap hitam memenuhi ruangan. Hanya sekejap kemudian, asap hitam hilang, dan tampak tumpukan abu di dalam ruangan itu, di depan Slang. Slang meraung sambil berlutut di hadapan abu mayat Moen. “Engkau tidak mungkin kembali Muncak. Huk…huk.”

**

            Hamparan sawah tampak menguning. Kicauan burung kedengaran dari kejauhan. Bukit Barisan memanjang seperti seekor yang sedang tidur lelap.  Matahari pagi memancarkan cahayannya lembut menyiram bumi.
            Rumah itu menghadap ke barat. Matahari lebih cepat menyinari rumah tersebut. Rumah yang terbuat dari kayu dan beratap genteng berkesan sejuk. Di halaman depan di tanam cemara kipas, dan di belakang tumbuh pepohonan buah, seperti mangga, cubadak, jambak dan jeruk Bali.
            Ibu kost tidak lagi tinggal di kawasan kampus. Ia memutuskan menjual rumah itu. Kendati pun hidup sebagai seorang janda, ia memerlukan uang untuk membiayai hidupnya tapi ia memilih kenyamaan dan kedamaian. Justru karena itu ia kembali ke kampungnya, menetap di Sungailareh, sebuah kampung yang terletak di pinggiran kota.
            Bersama perempuan itu tinggal Nadia. Nadia menganggap Ibu kost, ibunya sendiri. Demikian juga sebaliknya. Semula Nadia merasa canggung tinggal di pinggiran kota. Hubungan ke pusat kota menyita waktu, di samping itu transport pergi pulang kadangkala sulit. Adakalanya ia terpaksa naik ojek ke Sungailareh sebab angkot tidak ada. Apalagi lepas senja.
Semula Nadia agak canggung dengan situasi seperti itu. Namun kesulitan seperti itu pun dialami masyarakat di sana, terutama mereka yang tidak punya kendaraan pribadi. Akan tetapi ada nilai tambah yang dirasakan gadis itu tinggal di pinggiran kota sana.
Masyarakat di sana lebih peduli pada lingkungannya. Bila salah seorang di antara warga dapat musibah, mereka segera berdatangan. Tandang bertandang bagi mereka suatu hal yang membang waktu sia-sia. Malah dianggap makin mempererat silahturahmi.
            Yang lebih menggembirakan Nadia, Ibu kost merasa nyaman dan damai di sana. Ia selalu tampak ceria tinggal di rumah warisan orang tuanya itu. Dulu ketika tinggal di kawasan kota yang berpenduduk padat, dekat kampus, ke mana-mana dekat, Ibu kost tidak seriang ini. Lagi pulanya kesehatannya terasa stabil. Jarang mengeluh tentang penyakit encok yang dideritanya, penyakit tersebut jarang kambuh lagi. Dan suatu hal yang mendasar, mereka tidak lagi diganggu oleh Logos dan anak buahnya.** (Bersambung...7)

Dari Meja Kerja, Amran SN
Padangsarai - Sumatera Barat, Mei 2011

0 komentar:

Posting Komentar