Rabu, 25 Mei 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (9)


 9
Sekutu


Jakarta, di sebuah hotel.
           
Anurangga, Logos dan Slang bercakap-cakap di lobi hotel berbintang lima itu. “Kita menunggu Jahal al-Lahab. Dia seorang pangeran dari Timur Tengah. Bisnis ini adalah bisnis internasional. Jahal al-Lahab mempunyai jaringan luas di seluruh duania,” kata Anurangga.
            “Bisnis apa itu Tuanku?” Slang terlanjur bertanya, ia menepuk-nepuk bibirnya perlahan, seakan-akan menyesal pada ucapan yang dikeluarkannya.
            “Cerdas sekali pertanyaanmu kali ini,” tukas Anurangga seraya mengerling pada Slang. Lalu beralih pada Logos. “Orang lain boleh saja berpendapat macam-macam, bahwa apa yang denai lakukan ini hal yang maustahil. Mustahil karena cita-cita menggiring manusia ke arah kezaliman dan maksiat.”
            Slang manggut-manggut. Logos mengatur nafas dalam-dalam.
            “Kita harus bersekutu dengan siapa saja. Siapa saja yang berpihak kepada cita-cita itu. Salah seorang sekutu kita adalah Jahal al-Lahab.”
            Di luar sana dari mobil mewah turun tiga orang laki-laki berjubah. Dan dari mobil lainnya turun beberapa orang, yang kemudian mengikuti ketiga orang tersebut. 
Lelaki yang berjalan di depan, memakai jubah dengan sulaman kaliagrafi di dada. Sedangkan dua orang berjubah lainnya tampak berwajah kaku. Yang di depan itu adalah Jahal al-Lahab, yang dibicarakan Anurangga.Lima orang laki-laki di belakang mereka memakai jas. Wajah mereka tampak keras dan kaku
Anurangga berdiri, Logos dan Slang pun ikut berdiri. Mereka berpelukan , berbasa-basi sejenak.
“Perkenalkan teman-teman saya. Yang di kiri, tuan Harun bin Thoib, dan di kanan tuan Amrun bin Jabar,” kata Jahal al-Lahab. Kemudian ia menoleh ke belakang, kepada para pengawalnya. Ia menggamit salah seorang di antara mereka. Pegawal yang membawa sebilah pedang melengkung panjang mendekati Jahal al-Lahab, ia menyerahkan pedang tersebut.
“Mari kita ke ruang pertemuan,” ajak Anurangga.
“Sebaiknya begitu. Kita dapat bicara lebih santai,” sambut lelaki Timur Tengah itu. “Kalian berjaga-jaga di luar,” perintahnya pada kelima pengawal itu.
Didahului Anurangga, mereka masuk ke ruangan pertemuan itu. Posisi duduk dalam ruang tersebut tampaknya sudah diatur sedemikian rupa. Anurangga dan Logos serta Slang di bagian utara. Sedangkan Jahal al-Lahab dan kedua temannya di sebelah selatan. Jadi mereka saling berhadapan.
Cukup banyak perbincangan bisnis mereka. Jika dikuping maka kita akan merinding, dan mengira percakapan tersebut diucapkan oleh orang-orang sakit jiwa. Betapa tidak, kadangkala mereka terbahak-bahak. Kadang-kadang tangan mereka menggebrak meja. Bahkan bercarut bungkang!
Di akhir pembicaraan Jahal al-Lahab memperlihatkan pedang yang dibawanya ke ruangan tersebut. Semua mata mengarah pada pedang di tangan Jahal al-Lahab. Laki-laki itu mencabut pedang tersebut dari sarangnya. Cahaya hitam membersit dari pedang yang berbentuk melengkung itu. Kedengaran raungan halus memenuhi ruangan.Logos dan Slang batuk-batuk. Dada mereka terasa sesak. Akan tetapi Anurangga berwajah riang.
“Saya membeli pedang ini di Damaskus. Usia pedang ini sudah ratusan tahun. Kolektornya menyebut; pedang ini bernama “Pedang Jinawi”. Saya ingat tuan Anurangga memesannya tempo hari ketika kami bertemu di Abu Dhabi.”
“Oh. Kiranya tuan pangeran masih ingat.
Jahal al-Lahab menyerahkan pedang itu pada Anurangga. Hadirin yang ada di sana bertepuk tangan.
Setelah menyerahkan pedang Jinawi, pertemuan itu ditutup Anurangga dengan bahasa yang penuh pujian dan basa-basi. Lalu dilanjutkan dengan santap malam.
Di sela-sela santap malam, Jahal al-Lahab bertanya pada Anurangga,”Apakah hotel ini menyediakan juga ayam kampung?
Tertunda sejenak suap Anurangga. “Makanan di hotel ini hanya menyediakan ayam impor, dagingnya lebih empuk dan gurih.”
Slang cepat tanggap, ia berbisik pada Anurangga. Anurangga tersenyum dan manggut-manggut. “Oya.Sebagai tuan rumah di negeri ini, kami tentu ingin menyenangkan tamu-tamu. .Itu pasti…Kami telah siapkan ayam-ayam kampung. Tuan pangeran boleh mengunyah dengan tulang-tulangnya.” Anurangga ketawa lebar.
Dan Jahal al-Lahab pun ketawa. Semuanya ketawa.

*

            Kesokon hari, Anurangga, Logos dan Slang kembali ke kota P. Pukul 12 siang mereka telah mendarat di Bandara Internasional Minangkabau. Tatkala mereka hendak naik mobil jemputan, dua orang lelaki menyapa Anurangga.
            “Tuanku!”
            Anurangga berpaling, ia melihat dua lelaki, wajah mereka bagai pinang dibelah dua. Dandanannya aneh, seorang berambut merah dan seorang lagi berambut merah. Wajah mereka mirip kucing
“Kalian siapa?”
”Tuanku lupa pada kami berdua?”
“Tidak semua orang harus denai ingat,” ujar Anurangga ketus.
Mereka ketawa lepas, sedikit pun tersinggung oleh ucapan Anurangga. “Apakah tuanku lupa pada Kucing Air Bersaudara,” kata mereka serentak. Lalu kedengaran bagai kucing mengeong.
Mendengar nama tersebut, Anurangga pun ketawa, ia menepuk-nepuk bahu kedua orang tersebut. “Dasar kucing air. Ayo ikut kami.” Lelaki itu lalu masuk ke dalam mobil. Dari mobil Anurangga menjulurkan kepala, berkata kepada Logos yang hendak menuju kendaraan di depan sana. “Tuan Logos, denai istirahat sejenak di hotel Bumi. Nanti denai hubungi tuan. Atau denai ke Ratulangi.
Logos mengangguk. Ia kemudian masuk ke mobil bewarna metalik.

*

Bersamaan dengan itu, Nago sedang rebah-rebahan di lantai beralaskan tikar pandan, di rumah kontakannya. Siang itu udara sangat panas menyengat. Ia membuka baju, kelihatan tato delapan naga di dadanya.
Penat rebahan, Nago mengambil kecapi di lemari. Jemarinya memetik dawai. Kedengaran bunyi, “Tiiiinggg!” Kemudian ia nyanyikan senandung rindu. Suaranya serakserak basah melantunkan syair lagu kerinduan itu.
Suara kecapi menjalar sayup-sayup dihembus angin semilir Jiwa Nago hanyut terbawa oleh suara kecapi yang dipetiknya. Di luar sana, di halaman tangkai-tangkai bunga meliuk bagai penari. Kupu-kupu yang terbang mengapung tersendat-sendat mendengar merdu suara kecapi.
Nyanyian Nago terhimpit oleh lengkingan kecapi yang kian lama kian tinggi nadanya. Semula ia memainkan senandung rindu tapi tiba-tiba berubah jadi keras, mirip genderang perang.
Orang ramai keluar rumah. Mereka berlarian tak tentu arah, bertetiak ketakutan.
“Gempa!”
“Jauhi tiang listrik!”
Simpang siur orang berlarian. Rumah mereka bergoyang. Tanah dan jalan rengkah dalam pandangan dan perasaan mereka. Lobang-lobang memancurkan air. Air mengalir deras melanda apa saja. Dunia seperti hendak kiamat!
“Tiiiiigggg!”
Nago berhenti memetik kecapi. Ia letakkan kecapi itu di lantai. Saat itulah Nago mendengar suara riuh rendah di luar sana. Setelah menaruh kecapi ke lemari, Nago kembali memakai baju. Ia melangkah keluar. Di halaman orang berkerumun.
Nanap orang ramai memandang Nago. Mereka melihat Nago seperti melihat makhluk aneh Dan saat itu pula muncul Atos mengendarai sepeda motor.Seraya masuk ke halaman, ia menyapa Nago,” Ada apa dengan orang-orang ini, Bang.”
“Saya juga heran. Kenapa mereka berkumpul di sini.”
Atos mendekati orang-orang yang sedang bengong itu. “Ada apa, Pak?” tanya Atos pada seorang laki-laki tua.
“Tadi kami melihat rumah ini roboh dan rata dengan tanah. Kami duga orang yang berada di dalam rumah itu tewas tertimbun reruntuhan.”
“Lalu?”
 Orang tua tersebut menyapukan pandangan pada kerumunan orang ramai. “Kami kemari hendak menolong dia atau siapa saja yang ada dalam rumah. Anehnya, dia muncul tiba-tiba saja. Dan rumah ini pun muncul seakan-akan timbul dari pusat bumi.”
“Dia ini, Bang Nago. Apa bapak tidak kenal dengan Bang Nago?”
“Ya. Kami tahu. Dia Nago!” Orang ramai berseru serentak. Kemudian satu persatu bubar, kembali ke rumah masing-masing. Setelah itu Nago dan Atos masuk ke dalam.
*

Selesai mandi sore itu, Nago menghampiri Atos yang duduk sambil menikmati secangkir kopi. Di meja ada martabak Bandung dalam kemasan kotak.
“Bang, saya dapat info lahi.”
“Tentang apa?”
“Tentang pembunuhan di Mall dua bulan yang lalu. Ini serius, Bang. Tiga orang preman yang terbunuh di pelataran parkir Mall tersebut, tertuduhnya adalah seorang tukang parkir.”
“Hebat juga tukang parkir itu,” ulas Nago/
“Aduh! Abang ini gimana sih. Suka memotong cerita orang.” Atos sejenak menghirup kopi, lalu berkata, “Setelah dikonfirmasikan ke pihak yang berwenang, ternyata tukang parkir itu hanyalah korban salah tangkap. Dan pembunuh sebenarnya sampai sekarang sukar dujangkau.”
Nago makan sepotong martabak. “Kenapa pembunuhnya sukar dijangkau?”
Atos menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. “Mereka itu sebut manusia abadi. Saya tahu semua itu dari Gugum. Dan kabarnya, malam ini mereka mengadakan pertemuan dengan tuan Logos di hotel berbintang empat.”
Nago menyandarkan punggungnya dalam-dalam ke kursi. Pikirannya jauh berkelana. Kadang pada Puti Rinjani, kadang pada Anurangga dan Silangkaneh. Wajah-wajah mereka bermain di pelupuk mata Nago. Pikiran Nago terus mengembara, mencari hakekat hidup. Apakah kegelisahan itu hakekat kehidupan. Gelisah mencari kebenaran. Apakah bedanya kebenaran yang diyakininya dengan kebenaran yang ada dalam pikiran Anurangga?
Atos mengibas-kibaskan telapak tangannya di depan wajah Nago. Nago menarik wajahnya ke belakang. “Oh, saya kira Abang seang fana. Ternyata masih stabil,” ujar Atos terkekeh.
“Kamu jangan meledek, Tos.”
Magrib telah tiba. Sayup-sayup kedengaran muazin azan di masjid sana. Nago bangkit, pergi berwudhuk. Selesai shalat ia kembali duduk di kursi. Atos masih di sana. “Jika kau mau, mari kita buktikan kebenaran informasi Gugum,” ujar Nago tiba-tiba.
“Nah, begitulah yang saya maksud.”
**
Motor itu menderu lagi. Di antara keramaian kendaraan lain, sepeda motor tersebut bergerak lincah. Hanya bebarapa menit, Atos dan Nago telah melewati Tugu Tinju di simpang Kandis. Mereka melaju di atas motor menuju jantung kota.
Pukul 19.00 wib, motor Atos tiba di depan hotel. Langsung saja masuk ke halaman hotel. Saat turun dari motor, Nago menaikkan retsleting jaketnya. Namun ketika Atos mengajak masuk ke hotel lewat teras, Nago meraba-raba kantong celana dan jaketnya. “Aduh, ada yang ketinggalan, Tos,” ujar Nago.
“Ada apa Bang?”
“Kamu tunggu saya di lobi hotel. Saya beli rokok dulu.”
Tumben, Abang merokok?”
“Tenang Tos. Cuma buat gaya doan,.” Sahut Nago seraya melangkah keluar. Ia menuju kios rokok di bawah pohon Ketaping itu. Dan Atos masuk ke hotel, duduk di lobi seraya menyelipkan sebatang rokok di bibir.
Telah habis rokok sebatang dihisap Atos. Akan tetapi Nago belum juga muncul. Gelisah anak muda tersebut Untuk menghilangkan gelisahnya, ia hendak membakar sebatang lagi tapi ia melihat Gugum melintas, tiga orang lelaki melangkah berada di depannya. Mereka masuk ke ruang pertemuan. Atos bangkit, ia mebuang rokok di bibir ke lantai, bergegas mengikuti mereka.
Di depan ruangan tersebut, Atos terhenyak karena di kaca terdapat tulisan “Ada Rapat. Dilarang masuk!”
Gerah seketika anak muda itu, langkahnya loyo. Lalu ia henyakkan pantatnya di kursi tamu di lobi tersebut. Pakau Atos menerima kenyataan ini. Dan untuk menghilangkan stres, ia merokok lagi.
Sementara itu di dalam, rapat tengah berlangsung. Rapat dipimpin oeh Anurangga yang didampingi Logos.  Ikut hadir dalam rapat tersebut; Slang, Kucing Air Bersaudara. Gugum dan Kompe megawal di pintu yang terkunci.
“Persekutuan kita ini dalam tiga tahun perjalanannya, telah membuahkan hasil yang menggembirakan. Denai dan tuan Logos menamakan sindikat ini “Sindikat Tanpa Bentuk” Artinya, organisasi yang sukar dilacak keberadaannya,” ujar Anurangra.
Kucing Air Kuning mengacungkan telunjuk, tanda hendak bertanya.
“Kamu mau bertanya apa?”
“Tuanku, kami berdua baru saja bergabung. Oleh karena itu, kami belum tahu tugas kami. Biasanya kami beroperasi di sungai dan laut. Di masa lalu kami adalah bajak sungai dan perompak laut. Apakah tugas kami sesuai dengan keahlian yang kami miliki.”
Anurangga tersenyum. Ia mengerling pada Logos, “Sebaiknya tuan Logos menjawab,” katanya.
“Kami sangat senang karena kedua anda bergabung dengan Sindikat ini. Tentang tugas yang hendak diberikan kepada anda berdua, tentulah sesuai dengan keahlian yang anda miliki. Tapi bidang air dan laut tersebut sedang kami rancang operasionalnya. Jadi untuk saat sekarang, kita laksanakan yang sesuai dengan kebutuhan.”
“Kalau begitu, kami hanya sebagai penonton?”
“Hai Kucing Kuning, denai tidak suka pada orang yang pembantah,” tukas Anurangga menukas. Suaranya meninggi.
Kucing Kuning dan Merah menunduk. Mereka merasa menyesal menyanggah ucapan tuan Logos, sehingga membuat Anurangga marah. “Kami akan menerima petunjuk tuanku,” sahut Kucing Kuning.
“Tuanku…” Slang mengacungkan tangan.
Anurangga mengangguk.
“Tuanku dan tuan Logos. Saya telah mencium bau yang kurang enak. Maksudnya, lawan-lawan kita pun telah menggalang kekuatan. Katib Agam di Kotopanjang telah berhasil menakut-nakuti orang-orang kita. Baru-baru ini aliran yang kita restui telah diobrak-abrik Katib Agam. Dan dia telah selamat dari serangan kami.”
Anurangga dan Logos berbagi pandang.
“Saya usulkan dalam sidang ini agar Ktib Agam kita bereskan. Kalau tidak, ia akan jadi duri dalam daging bagi Sindikat ini,” kata Slang menghasut.
Logos menyusun jemarinya di bibir. Dan Anurangga setelah mendengar penuturan Slang, segera mengambil keputusan. “Dalam waktu dekat ini, kita serang pasentren Katib Agam!”
Gugum yang berdiri di pintu mengerling pada Kompe. Kompe tidak bereaksi, ia tetap berpangku tangan. Ketika Anurangga menoleh pada Logos, lelaki itu menggangguk tanda setuju dengan keputusan mitranya itu. Dalam pada itu bergegas ke WC yang terletak di samping kanan. Di sana ia mencuci muka. Lalu ia membuka ventilasi yang terdapat di bawahnya. Segera Gugum meloloskan tubuhnya. Ternyata ruang itu tembus keluar. Walaupun untuk dapat lolos dari lobang tersebut ia harus “membulatkan” tubuh.
Lelaki itu menyeka debu yang melekat di pakaiannya. Saat itu ia ditarik seseorang, tarikan yang kuat. Ia baru sadar bahwa yang menariknya adalah Nago.
“Bisakah anda menuturkan hasil rapat mereka?”
“Saya hanya punya waktu sangat terbatas,” bisik Gugum.
“Baiklah. Anda ringkaskan saja.”
Terburu-buru Gugum menuturkan keputusan rapat tersebut.. Setiap ia berkata laki-laki itu lalu melihat ke arloji. Kemudian tanpa menoleh kepada Nago, Gugum segera masuk kembali. Beberapa kemudian ia telah berada di samping Kompe.
Kini mereka bubar dan keluar. Atos tersentak dari tidurnya ketika mendengar suara langkah sepatu di lantai. “Sialan. Mereka telah selesai,” gerutunya. Ia lalu mengejar Gugum tapi terhalang oleh seorang gadis, karyawan hotel.
Sumpah serapah Atos lahir dalam gumaman. “Gara-gara Bang Nago, saya kehilangan berita!” Sepanjang jalan di atas motornya, Atos terus mengomel. Angin malam menerpa tubuh anak muda itu. Ia merasakan sesuatu melingari pinggangnya. Tapi karena sedang kesal, Atos tak peduli.
Memasuki simpang tinju motor yang dikendarai Atos mengap-mengap. “Setan belang! Pasti bensinnya habis,” ia menyumpah serapah. Anehnya, motor itu tetap saja bergerak sampai ke kios bensin ketengan di pinggir jalan.
“Isi pulteng,” kedengaran suara dari belakang.
Atos menoleh ke belakang. Ia terperanjat. “Abang kok ada di sini?”
“Saya kan boncengan sama kamu.” Nago tersenyum.
“Abang jangan bercanda. Saya begitu lama menunggu di hotel. Abang tidak muncul-muncul ?”
“Kamu saya lihat ketiduran di kursi. Lantas saya cari angin keluar.”
“Oya, apa Abang dapat informasi baru?”
“Sebaiknya kita isi perut dulu. Di sana ada jagung bakar. Sambil makan jagung bakar, kita ngobrol,” usul Nago. Tentu saja Atos setuju karena aroma jagung bakar itu mengundang seleranya.
Di lapau jagung bakar itu, Nago menuturkan pertemuannya dengan Gugum. “Dinihari mereka akan menyerang suarau dan pasentren Katib Agam,” tutur Nago seraya melihat arloji di pergelangan tangannya. “Sekarang baru pukul 24.00 wib. Sekitar dua jam lagi, kita harus tiba di sana.”
Sejenak Atos menggigit jagung, ia kunyah kiri kanan. Ia lalu menjentikan jari dan jempolnya. “Ini berita besar,” tukasnya.
Malam beranjak semakin tua. Pedagang jagung bakar berkemas-kemas hendak menutup lapaunya. Nago meneguk kopinya yang terdedak di gelas  Kemudian membayar makan minuman mereka.
Atos menghidupkan mesin motor. Nago melompat di belakang. Lalu kendaraan itu menderu kencang. Pasar Siteba tampak sepi. Mereka terus melaju ke rah timur menuju jalan by pass.
Angin malam semakin dingin. Lewat terminal Bengkuang, motor Atos semakin kencang. Di lampu merah, kendaraan tersebut menikung ke kiri.** (Bersambung...10)

Dari Meja Kerja, Amran SN 
Padangsarai - Sumatera Barat, Mei 2011

0 komentar:

Posting Komentar