Jumat, 20 Mei 2011

KATO

            KATO bagi orang Minangkabau bukan hanya sekadar kata seperti yang dimaksud dalam bahasa Indonesia. Kato berarti merupakan warisan yang mereka terima dari nenek moyangnya dan juga menjadi pedoman hidup, hukum, dan peraturan serta tata cara bermasyarakat di lingkungan Alam Minangkabau. Justru karena itu seringkali kita dengar dalam acara-acara yang mereka lakukan, didengar ungkapan petuah, pepatah petitih, asal-usulnya, hukum dan tata tertib.
            Orang Minangkabau memang piawai menggunakan kata, dan kata mereka umumnya menjadi pedoman hidup, senantiasa menjadi pegangan. Umpamanya, dalam mamangannya mereka berkata, siang dipatungkek-malam dipabanta (siang dipertongkat-malam diperbantal). Maksudnya kata tersebut terus mereka pakai dan pedomani, baik siang maupun malam. Dan pada mamangan yang lain dikatakan, jikok indak pandai bakato, bak alu pancukie duri-kalau pandai bakato-kato, ibarat santan jo tangguli (jika tidak pandai berkata, maka bagai alu pencungkil duri- kalau pandai berkata-kata seperti santan dengan tengguli). Banyak orang yang hanya sekadar berbicara, tidak tahu orang yang akan tersinggung, bicara seenaknya sehingga menyakiti dan melukai hati orang lain atau lawan bicaranya. Tapi sebaliknya bila pandai bertutur kata, maka orang itu dapat menarik simpati lawan bicaranya. Orang seperti ini disebut, muluik manieh kucindan murah-elok bahaso, parangai katuju (mulut manis kucindan murah, perangai disukai)
            Menurut ajaran filsafat mereka, kata mempunyai nilai, jenis, langgam tuah dan sebagainya. Kata dapat dibagi dan ditafsirkan dalam jumlah yang empat atau kelipatan empat. Keempat kata itu disebut Kato nan Ampek, yakni: Kato pusako, kato mupakaik, kato dahalu, kato kudian (Kata pusaka, kata mufakat, kato dahulu, kata kemudian)
         Uraian dari kato pusako tersebut yaitu “kata warisan” yang turun temurun sejak nenek moyang mereka, dan tidak dapat diubah-ubah yang menyangkut filsafat, hukum, peraturan, budi dan akal. Kata pusaka dan timbangan budi dan akal yang dipahami secara mendalam ini disampaikan dalam pengucapannya yang menunjukan cara berpikir mereka, Bajalan salangkah ma-adok suruik, bakato sapatah dipikiekan. Balayia manantang pulau, bakato manuju nan bana. Tataruang kaki inai padahannyo, tadorong kato ameh padahannyo (Berjalan selangkah melihat ke belakang, berkata sepatah dipikirkan. Berlayar menantang pulau, berkata menuju yang benar. Tertarung kaki inai obatnya, terdorong kata emas padahannya) Sebagai orang Minangkabau yang teguh akan ajaran nenek moyangnya, maka ketika mereka berkata dan mengeluarkan pendapat, tidak lumrah berkata terus terang, cukuplah dengan kiasan atau sindirin. Dan orang yang sedang berkata, bersahut jawab, kita yang awam tidak tahu siapa yang menang atau kalah. Keringat dingin menetes di sekujur tubuh, padahal mereka saling bertutur kata dengan manis.          
            Kato mupakaik atau kata mufakat yaitu rumusan-rumusan tentang sesuatu masalah yang dihasilkan berdasarkan permupakatan oleh orang yang berwenang, sehingga harus dilaksanakan bersama. Seperti dikemukakan sebelumnya, alam terkembang merupakan sumber filsafat Minangkabau, maka musyawarah yang dilakukan untuk mencapai mufakat – dalam pepatah, mamangan, gurindam, bidal – mereka gunakan mencari permupakatan yang bulat. Kata mufakat mereka ambil dari ketentuan alam seperti air; bulek aia ka pambuluah, bulek kato ka mupakaik, bulek baru digolekkan-pipieh baru dilayangkan- (bulat air ke pembuluh, bulat kata karena mufakat, bulek baru digolekkan- tipis baru dilayangkan).
Air sebagai benda alam yang mempunyai ketentuan yang khas, merupakan pilihan nenek moyang orang Minangkabau menjadi tolok ukur hukum bermusyawarah untuk mendapatkan kata sepakat yang sungguh-sungguh bulat. Berikutnya dalam pepatah tersebut dinyatakan untuk dapat melaksanakan suatu kata mufakat yang berdasarkan ketentuan benda alam yang bulat dan tipis. Dima disebutkan ketentuan bulat dan tipis itu, bulat baru dapat digolekkan-tipis baru dapat dilayangkan.
Mengapa air yang dijadikan kiasan dasar hukum bermufakat. Apakah tidak ada benda lain yang dapat dibulatkan ke pembuluh? Jawabnya, tentu ada. Tetapi air mempunyai sifat dan ketentuan dan nilai-nilai tersendiri. Air dapat menggelora ganas, memporak-porandakan apa saja yang menghalanginya, mengikis dan meluluh-lantakkan apa saja ketika banjir bandang. Disisi lain, air bermanfaat bai kehidupan manusia, tanpa air manusia di muka bumi ini sulit melaksanakan kegiatan, demikian juga dengan makhluk lain. Air memang kadang ganas dan liar tetapi dapat pula dijinakan, asalkan penjinakannya itu sesuai menurut salurannya. Saluran itu adalah ke pembuluh.
Menurut filsafat yang mereka anut, diingatkan dalam mendapatkan kata sepakat dengan kesatuan pendapat itu dapat mewujudkankan satu kata dengan perbuatan, mereka berkata:
Datar berlantai papan
Licin berlantai kulit
 Maksudnya, tidaklah mungkin suatu benda yang bundar bisa bergolek dengan mulus, lancar, kalau sekiranya tempat bergoleknya tidak sempurna datar. Agar setiap yang akan dimufakati, senantisa diperkirakan sebab dan akibat, serta tidak terlepas dari ingatan kemampuan yang dimiliki masyarakat bersangkutan.
Perbedaan pendapat dalam mencapai kata sepakat bagi orang Minangkabau adalah hal yang wajar karena berbeda pendapat dapat saja terjadi, disebabkan oleh latar-belakang pengetahuan manusia itu sendiri, yang memang kadangkala berbeda.
            Kato Dahulu, yaitu kesepakatan atau perjanjian yang pernah dilakukan, yang harus ditaati. Senantiasa dalam pengucapannya diiringi oleh kalimat lain sehingga menjadi; Kato dahulu kato ditapati (Kata dahulu kata ditepati)
            Berdasarkan prinsip alam terkembang jadi guru, mereka berpetuah:
            Kayu batakuak barabahkan, luak taganang nan basauk
            suri tagantuang ditenuni, janji babuek batapati
            kok titiek dapek ditampuang, malaleh dapek dipaliek
            Satitiek namuah jadi lawiek, sakapa namuah jadi gunuang
            Iyo dek kamanakan, sarato urang banyak di nagari
(Kayu bertekuk direbahkan, luhak terkenang sama ditimba, suri tergantung yang ditenuni, janji yang ditepati. Setitik bisa dilautkan, sekepal bisa digunungkan. Oleh anak kemanakan serta anak negari)
            Dari petuah yang mereka sampaikan itu, tidaklah benar pandangan hidup orang Minangkabau membenarkan mungkir janji, bila tidak disebabkan oleh sesuatu hal yang penting dan mendadak. Begitu pula bagi pembuat aturan dan undang-undang dalam masyarakat, hendaklah dipatuhi pula oleh pembuat aturan dan undang-undang tersebut. Inilah yang dimaksud dengan “kata dahulu, kata ditepati” Adat Minangkabau dalam ketentuannya menjadikan janji atau kata dahulu itu pondasi dalam pandangan hidup orang Minangkabau. Sementara itu pengertian pemeo : janji biaso mungkie, titian biaso lapuak (janji biasa mungkir, titian lapuk), kadangkala dianggap untuk pembenaran pemungkiran sebagaian orang. Padahal pameo tersebut memberi peringatan bahwa janji itu biasa mungkir, justru karenanya mereka yang membuat janji tersebut harus hati-hati dalam mengucapkan dan menetapinya. Tentang janji menurut ajaran pandangan hidup orang Minangkabau kalau dikaitkan dengan sabda Nabi Muhammad Saw”Hendaklah kamu kalau berjanji dengan suatu perjanjian, kamu ucapkanlah Insya Allah” Karena memang tidak seorang manusia pun yang dapat memastikan janji yang dibuatnya, kecuali atas izin Allah jua.
            Kato kudian dalam ketentuan adat Minangkabau disebut juga kato bacari, yaitu suatu yang dimufakati untuk mendapatkan kata kebulatan, tetapi karena sesuatu hal yang menghalangi seperti kematian, musibah dan lain sebagainya, sedang waktu itu hampir diperoleh kata sepakat, maka rapat yang sedang berlangsung diundur, sampai waktu yang ditentukan. Setelah tiba waktu yang ditentukan ada suatu pendapat dan pemikiran baru yang diajukan, yang diperkirakan hasil dan nilainya lebih menguntungkan dari sebelumnya, serta menguntungkan semua pihak. Maka dicari kata yang baru, itulah yang disebut Kato kudian-kato bacari. Tetapi yang tidak dibolehkan menurut pandangan hidup mereka adalah:
            Kato kudian-kato bacari-cari
Hal tersebut mereka sampaikan dalam fatwa pepatahnya :
            Karano datang baruik jo minyak, duduak bakisa tagak bapaliang
            mancaliak jo suduik mato, bajalan di rusuak labuah
            jikok tapakai nan bak kian, warieh siapo nan dijawek
            pusako siapo nan ditolong
            Warieh nan bajawek- pusako nan batolong, bajalan di nan pasa
 (Karena datang sesuatu dari belakang, duduk berpaling tegak berubah, melihat dengan sudut mata, berjalan di pinggir jalan- jika dipakai yang demikian, waris siapa yang diterima, siapa pusaka yang ditolong. Berjalanlah tetap pada semestinya, berkata tetap menuju yang benar)
Kejadian seperti ini sangat dilarang oleh filsafat hidup mereka, maksudnya kebatilan seperti itu harus dihancurkan karena datangnya haq (kebenaran) Justru karena itu mereka meletakan bait terakhir sebagai tempat kembali sikap mereka, yaitu berjalan tetap pada yang pasar (semestinya), berkata tetap pada yang benar. Sesuatu kesepakatan itu tetap pada prinsip semula yang bulat. Namun yang dirobah cara mencapai tujuan, yang sifatnya lebih baik dari semula. Dalam mamangannya, mereka berkata;
Duduak bakisa tagak bapaliang di lapiek nan sahalai
Bakisa di tanah nan sabingkah- nan bana dianjak tidak
(Duduk berkisar tegak berpaling di tikar yang sehelai. Berkisar di tanah sebingkah, namun kebenaran tak akan ditobah)


Tuah Kato
            Tuah kato atau tuah kata, bisa berarti hikmah dari sifat kata yang diucapkan oleh status orang yang mengucapkannya. Tuah kata itu terdiri dari dua belas pasal (12 pasal) :
(1)    Kato rajo, kato malimpahkan (Kata raja, kata melimpahkan). Maksudnya, bahwa perintah atau sabda raja adalah berisifat melimpahkan apa yang dimilikinya kepada siapa yang memerlukannya, seperti kekayaan, kesenangan dan kekuasaan.
(2)    Kato Pangulu, kato balipek (Kata penghulu, kata berlipat) Maksudnya, apa yang diucapkan penghulu senantiasa dengan makna berlapis-lapis. Sebab apa yang diucapkan penghulu, lebih cenderung bersifat undang-undang dan hukum, yang kalimatnya berbentuk pribahasa, pepatah-petitih, mamangan dan sebagainya.
(3)    Kato Alim, kato hakikaik (Kata Alim, kata berhakekat) Artinya, apa yang diucapkan orang alim ialah merupakan fatwa dari ajaran agama yang hahiki. Ucapan alim ulama senantisa membedakan halal dan haram, menentkan sunat, fardu, menjelaskan sah dan batal, menerangkan pahala dan seterusnya.
(4)    Kato basa, kato mardeso (Kata orang besar, kata mardesa) Maksudnya, apa yang diucapkan orang besar merupakan prikata yang membuat orang senang dan bahagia.
(5)    Kato Rang Tuo, kato manyalasaikan (Kata orang tua, kata yang menyelesaikan). Artinya, ucapan orang tua atau orang yang dituakan bersifat memberi penjelasan atau keputusan persoalan, sehingga tidak menimbulkan persoalan lain lagi.
(6)    Kato Rang bijak, kato mangalah (Kata orang bijak, kata mengalah). Ucapan orang bijaksana tidak bersifat menantang atau melakukan tantangan-tantangan hingga menimbulkan gejolak. Orang bijak kalau berbicara, ucapannya menyejukan hati.
(7)    Kato Rang pandai, kato makna (Kata orang cendikiawan, kata bermakna) Apa yang diucapkan orang cendikiawan mengandung maksud yang dalam karena ia mempunyai ilmu.
(8)    Kato Rang mudo, kato basimanih (Kata orang muda, kata yang manis) Ucapan orang muda hendaklah manis bahasanya agar tidak menimbulkan kericuhan, sebab usia yang muda sangat sulit mengendalikan diri. Karena itu diperlukan bahasa yang manis, bahasa manis-kucindan murah.
(9)    Kato punggawa, kato penghubuang (Kata punggawa, kato penghubung) Sifat kata atau ucapan punggawa (pegawai) hendaklah bersifat penghubung atau informatif
(10)Kato Dubalang, kato mandareh (Kata hulubalang, kata menderas) Gaya ucapan hulubalang  tidak berbelit-belit, dan tegas- sesuai dengan fungsinya sebagai militer.
(11) Kato parampuan, kato marandah (Kata perempuan, kata merendah) Gaya bahasa perempuan, jangan bersifat angkuh dan congkak, karena hal itu akan menjauhkan hati orang darinya.
(12) Kato Rang banyak, kato bagalau (Kata orang banyak, kata bergalau) Apa yang diucapkan orang ramai, sifatnya simpang siur. Oleh karena itu perlu diteliti kebenarannya.


Kurenah Kato
Kurenah kata dalam bahasa Minangkabau, adalah semacam tingkah laku kata-kata, yang fungsinya cenderung sebagai bahan penilaian dalam memperbincangkan suatu kejadian, yang tengah dipersoalkan pada suatu kerapatan atau persidangan. Apabila tuah kato lebih bersifat norma etik bagi fungsionaris, maka kurenah kato cenderung kepada etika pskologis. Kurenah kato itu sebagai berikut :
(1)     Kato iyo, kato baturuik (Kata iya, kata dituruti). Artinya suatu ucapan atau kesepakatan yang telah disetujui, agar dituruti atau ditepati untuk dilaksanakan.
(2)     Kato tido, kato mati (Kata tidak, kata mati). Maksudnya adalah suatu ucapan yang telah ditidakkan atau dalam permusyawaratan yang telah ditentang dalam pengambilan keputusan, masalahnya tidak dapat diteruskan lagi.
(3)     Kato antah, kato dipakatokan (Kata entah, kata diperkatakan atau diperbincangkan) Maksudnya suatu ucapan yang tidak jelas, samar atau diragukan. Oleh sebab itu harus dibincang agar tidak mengacaukan penafsiran sebagai sesuatu yang tidak jelas, samar atau meragukan.
(4)     Kato duo, kato maragu (Kata dua, kata meragu) Suatu ucapan atau keputusan yang mekna ganda, akan menimbulkan keragu-raguan.
(5)     Kato takuik, kato tak lalu (Kata takut, kata tak lalu) Ucapan atau keputusan yang lahir karena ketakutan, karena ditekankan – merupakan ucapan atau keputusan yang disepakatt tapi tidak dapat dilaksanakan-
(6)     Kato bangih, kato talampau (Kato berang atau marah, kata terlampau) Maksudnya, ucapan yang diambil saat dalam suasana sedang marah, bersifat keterlaluan melampaui batas norma yang ada.

Ragam Kata
            Bagi orang Minangkabau, bila berkata harus sesuai dengan kedudukkannya, ia tidak sembarangan berkata, ia harus tahu kepada siapa berkata dan peranan apa yang dipegang dalam berkata. Justru karena itu, ia harus pandai menempatkan diri dalam berkata. Ada empat jenis kata, yaitu:
(1)    Kato mandaki (Kata mendaki) adalah kata yang diucapkan oleh seseorang ketika berhadapan dengan orang yang statusnya lebih tinggi. Misalnya, anak muda atau seorang anak kepada orang tuanya, pegawai kepada atasan, murid kepada guru dan seterusnya. Mereka meletakkan di bawah yang menjadi lawan bicaranya, karena memang etikanya demikian. Dia tidak dibenarkan menyebut dirinya “Aden tapi menggunakan kata.”Ambo atau awak”. Tutur bahasanya terjaga agar ia dianggap tidak sopan dan tidak beradat.
(2)    Kato manurun (Kata menurun) ialah kata yang diucapkan oleh orang tua kepada anaknya, mamak kepada kemenakan, guru kepada murid, atasan kepada bawahan. Orang yang menggunakan kata menurun dapat menyebut dirinya “Den atau Awakden” . Sedangkan orang yang dibawahnya, ia menggunakan kata ganti orang kedua dengan “waang” (kamu) bagi lelaki, sedangkan untuk perempuan “wak kau” (kamu). Kemudian bila menunjuk atau membicarakan orang ketiga maka ia ia menggunakan kata “Inyo” (Dia). Tata bahasanya rapi, cenderung terkesan pendek-pendek, agar dapat dicerna dan dimengerti lawan bicaranya. Terkesan agar berwibawa.
(3)    Kato malereang (Kata melereng). Maksudnya, bahasa yang digunakan oleh orang posisi atau statusnya sama, yang saling segan menyegani, seperti orang yang mempunyai hubungan kerabat karena perkawinan – bisan, ipar, mertua, menantu, antara mereka yang mempunyai jabatannya yang dihormati – penghulu, ulama, guru dan sebagainya – Pemakaian tata bahasanya rapi, lebih cenderung menggunakan pribahasa, kiasan, sindiran. Kata ganti orang pertama, kedua, ketiga bersifat khusus. Awak ambo atau Awak mbo, untuk orang pertama. Gelar panggilan kekerabatan diberkan oleh keluarga untuk orang kedua – beliau untuk orang ketiga –
(4)    Kato mandata (Kata mendatar), yaitu bahasa yang digunakan oleh berstatus sama dan hubungannya akrab. Pemakaian tata bahasanya bersifat bahasa pasar yang lazim  memakai suku kata berakhir atau kata-kata yang tidak lengkap, dan kalimatnya pendek-pendek. Kata ganti orang pertama, orang kedua, ketiga bersifat khusus. Aden atau Den untuk orang pertama. Orang kedua, Waang atau Aang untu lelaki – Kau untu perempuan. Sedangkan untuk orang ketiga – Inyo atau Nyo.

Martabat Kata
            Martabat kata terbagi dalam kategori, yang mempunyai nilai sendiri-sendiri :
(1)    Kato nan sabana kato (Kata yang sebenarnya kata), kata-kata yang mempunyai perbendaharaan kebudayaan dan sebagai warisan nenek moyang. Kata-kata itu bukan saja sebagai pandangan filsafat dan undang-undang hukum, tapi juga petuah yang penuh hikmah yang dapat dipakai sebagai pegangan hidup, seperti kiasan, perumpamaan, bidal, dan sebagainya.
(2)    Kato nan dipakatokan (Kata yang diperkatakan), ialah berupa wasiat atau ajaran-ajaran dari seseorang kepada orang lain, yang dipegang teguh, walaupun sifatnya menyimpang dari yang lazim.
(3)    Kato nan bakato-kato (Kata yang berkata-kata), yakni ucapan yang mengandung pengertian ganda, sehingga memerlukan penafsiran dan mungkin berlainan persepsi bagi yang mendengar atau yang menerimanya. Dan akan menimbulkan perbincangan yang berlarut-larut tentang penafsirannya.
(4)    Kato nan takatai-katai (Kata yang terkatai-katai), yakni ucapan yang tak terkendali, liar atau tidak punya arti – apalagi makna – Kata terkatai-katai timbul karena gurauan, marah, sedih atau dalam kondisi tidak normal.

Kato Sifat
            Sifat kata merupakan watak kata atau ucapan yang bila diucapkan akan menmbulkan reaksi bagi pendengarnya. Yang terdiri dari empat kategori :
(1)   Kato mancari kawan (Kata mencari kawan), yakni kata-kata yang menimbulkan rasa simpati atau rasa senang bagi orang yang mendengarnya.
(2)   Kato mancari lawan (Kata mencari lawan), yaitu kata-kata yang diucapkan bersifat menantang, tajam, kotor sehingga membangkitkan amarah bagi pendengarnya.
(3)   Kato indak mancari kawan (Kata tidak mencari kawan), yakni kata atau ucapan yang besifat fitnah, gunjingan, bohong.
(4)   Kato indak balawan (Kata tidak berlawan), yakni kata-kata atau ucapan yang bersifat perintah, baik salah atau benar harus dijalankan.

Memahami Kato dalam Makna dan Pesan
            Bagi orang Minangkabau kato adalah suatu kata yang lebih jauh maknanya – dalam bahasa Indonesia kata hanyalah sebuah kata yang tak lebih dari ucapan yang  keluar dari bibir seseorang. Kato dimaksudkan dalam bahasa Minangkabau, bukan sekadar komunikatif yang juga terdapat pada binatang. Binatang mengfungsikan bahasa ekspresif dan signatif, sedangkan manusia menmbah dua fungsi lagi, yaitu deskriptif dan argumentatif.  Dengan bahasa dimungkinkan adanya konsep benar dan salah. Atau dengan kata lain, memungkinkan berkembangnya akal budi. Justru karena itu bahasa membuat atau membentuk manusia semakin manusia. Dalam pepatahnya diungkapkan :
            Bajalan paliharokan kaki, bakato paliharokan lidah
(Berjalan peliharalah kaki, berkata pelihara lidah)

            Manusia memiliki sepasang kaki dan dengan kaki itu pula ia berjalan melaksanakan sebagian kegiatannya. Kendatipun kaki tersebut adalah miliknya, namun ia harus hati-hati melangkah, jika kurang waspada maka secara pisik ia bisa tersandung, dan ia akan merasakan sakit atau terluka. Dan ia memiliki lidah untuk bicara – berkata dan berkomunikasi dengan orang lain- Oleh karenanya, ia harus hati-hati ketika berkomunikatif dengan orang lain. Kalau tidak, ia akan bisa menyakiti hati orang lain dan ujung akan mengimbas kepada dirinya sendiri. Jadi orang Minangkabau dituntut untuk berbiacara sesuai dengan situasi dan kondisi.
            Menelusuri kato bagi orang yang berada diluar lingkungan alam pikiran Minangkabau tentulah terasa agak sulit, karena mereka belum mengenal budaya Minangkabau tersebut. Di alam Minangkabau memang seakan-akan tidak bahasa halus dan kasar, semua orang dapat mengunakan dialek bahasa asalkan komunikatif. Hanya saja bahasa yang diucapkan tergantung dengan siapa ia berbicara. Bila ia berbiacara dengan teman sebaya – tidak mungkin sama dengan orang tua atau orang yang dituakan – Dan bila sedang membicarakan tentang peraturan atau hukum, dia tentu harus memahami hukum dan tata tertib dari hukum tersebut, atau sekurang-kurangnya mengerti.
            Memang tepatlah pemikiran mereka tentang kato. Ada kato pusako, dan ada kato mupakaik, kato dahulu, kata kudian. Pemilihan bahasa tersebut karena pengertiannya berbeda dan fungsinya pun berbeda, namun saling kait berkait.
            Kato pusako, yaitu menyangkut warisan petuah, wejangan, sejarah atau tambo dan termasuk nilai-nilai serta alam pikiran alam Minangkabau itu sendiri. Dari pengamatan yang saya lakukan bertahun-tahun – kebenaran adalah bagian terpenting dari kato pusako, sebab dalam kebenaran itu muncul Adat (Adat tang sebenarnya adat) – Kebenaran yang mereka maksud adalah kebenaran mutlak dari Tuhan – kebenaran yang berdiri sendirinya. Sebagai referensi pembaca, saya ungkapkan sebuah pepatah :

            Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu
            Pangalu barajo ka mupakaik, mupakaik barajo ka alua jo patuik
            Alua jo patuik barajo ka nan bana.
            Nan Bana badiri sandiriNyo.

            (Kemanakan beraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu
            Panghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja ke alur dengan patut
            Alur dengan patut beraja ke yang Benar
            Yang Benar berdiri sendiri-Nya)

            Dari pepatah tersebut jelaslah semuanya bermuara pada kebenaran – kebenaran hakiki- Sementara itu manusia adalah makhluk yang gelisah, kadangkala ia pun tidak percaya pada apa yang dikatakannya. Karena itu, ia selalu mencari dan mencari kebenaran.
            Dalam alam pikiran mereka, konsep kato disebut kato nan ampek, yang kemudian berlanjut ke cabang-cabang yang lain. Cabang-cabang itu menguatkan konsep awal yang merupakan pemikiran, tingkah laku, sikap perbuatan seseorang menyampaikan ucapan dan bahasanya. Kata menurut alam pikiran mereka, bukan sekadar bahasa tapi membawa pesan-pesan dan simbol-simbol.
            Sebagai kata penutup pada bab ini, saya akhiri dengan :

            Pikie palito hati, nanang hulu bicaro, haniang saribu aka
            Dek saba bana mandatang, batolan mangko bajalan
            Baiyo mangko bakato, ingek dirunciang ka mancucuak,
 ingkek didahan nan ka maimpok, alun rabah lah ka ujuang,
alun pai lah babaliak, alun babali alah tajua,
balun dimakan lah diraso, bakato siang caliak-caliak,
barundiang malam agak-agak.

(Pikir pelita hati, diam sejenak hulu bicara, hening seribu akal. Karena kesabaran kebenaran datang, permisi maka berjalan, beriya baru berkata, ingat diruncing yang akan menusuk, ingat pada dahan yang akan menimpa, belum rebah sudah ke ujung, belum pergi sudah pulang, belum dibeli sudah terjual, belum dimakan sudah dirasa, berkata siang lihat-lihat, berunding malam hati-hati)
Dengan merasakan sesuatu ke dalam diri, seseorang akan senantiasa berhati-hati dan cermat dalam berbuat sehingga tidak merusak hati orang lain, dan senatiasa memiliki ketenangan dalam berpikir – dengan mengingat yang baik maupun buruk akibat suatu tindakan.) ***
Dari Meja Kerja, Amran SN 
 Padangsarai - Sumatera Barat, Mei 2011


2 komentar:

Sutan Jakarta mengatakan...

Wah...blog ini menarik, terutama materinya membahas hal2 tentang budaya dan filsafat minangkabau..yang bermanfaat, khususnya bagi generasi muda minangkabau yang besar di rantau...saya akan berkunjung lagi ke blog ini, tentu berharap dapat menemukan hal-hal baru yang bermanfaat...

sukses slalu
http://moneykita3m.cjb.net

Anonim mengatakan...

rancak bana mak...singkat dan tepat!

Posting Komentar