Minggu, 29 Mei 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (12 & 13)

12

Pencuri Selendang Pembunuh Anggang

            Malam ini malam Jumat. Anak-anak di bawah umur biasanya cepat tidur pada malam tersebut. Konon dimalam Jumat itu, setan dan hantu bergentayangan mencari mangsa. Makhluk halus tersebut sangat suka bau anak-anak. Jika anak-anak nakal dan terlambat tidur maka setan dan hantu akan menampakan diri.
            Makhluk halus yang bernama setan dan hantu dapat menjelma jadi apa saja, manusia tanpa kepala, perempuan berambut panjang dengan punggung berlobang, atau kelelawar yang suka mengisap darah manusia.
            Justru karena itulah, anak-anak lebih suka tidur lebih awal pada malam Jumat. Hanya orang dewasalah yang dapat bergadang di malam yang sakral ini. Akan tetapi Sabar dan Rakena, tidak perlu cerita seperti itu untuk didongengkan pada anak-anak mereka. Anak-anak mereka sudah dewasa, semuanya telah berumah tangga. Dan tinggal di rumah istri mereka masing-masing. Sedangkan yang perempuan ikut suaminya karena mereka telah membangun rumah sendiri.
            Sabar dan Rakena tinggal di kamar belakang, rumah Bu Rahmi. Mereka hanya berdua saja. Apalagi sekrang Bu Rahmi ke Bukittinggi dan Nadia ke Malaysia. Biasanya memang sebelum tidur, mereka berkumpul di ruang tengah, bercakap-cakap, kadangkala bercanda juga.
            Malam Jumat itu hujan turun sejak senja. Dan di Sungailareh sedang giliran lampu mati. Menurut pihak PLN setiap kawasan diatur giliran padam sekali tiga jam. Namun seringkali aturan tersebut melenceng, senja padam, kemudian menjelang Subuh pun padam. Di negeri gemah ripah loh jinawi ini, konsumen bukanlah raja tapi lebih terkesan pesakitan!
            “Kecilkan saja, buat apa dinyalakan besar-besar. Nanti minyaknya cepat habis,” kata Sabar yang sedang bermalas-malas bergolek di ranjang.”
            “Kalau Uda mau tidur. Tidurlah, saya membereskan kain-kain ini.” Rakena duduk di dinding, ia melipat pakaian-pakaian yang sudah dicuci. Dan kemudian dimasukan ke lemari.
            Hujan semakin deras. Sabar miringkan tubuhnya ke dinding seraya memperbaiki sarungnya melorot. Kemudian lekai itu berputar menghadap istrinya yang masih melipat pakaian. Lantas Sabar telentang, ia menguap lebar-lebar. “Sudah pukul berapa Kena?”
            “Entahlah. Jam dinding kan di ruang tengah,” sahut Rakena.
            “Saya kira sudah lewat tengah malam,” Sabar memandang istrinya. Perempuan itu belum selesai melipat kain tersebut. Dalam terang cahaya lampu dinding, Sabar dapat melihat kecantikan Rakena. Perempuan itu berusia sekitar 45 tahun. Dada perempuan itu belum kendor benar. Dan pinggulnya meskipun melebar namun masih dapat dikatakan padat. Apalagi dibandingkan dengan perempuan lain yang seusia Rakena.
            Rakena bangkit dan kain-kain yang terlipat, ia membuka lemari dan menyusun kain tersebut di sana. Sabar menatap istrinya yang melenggang ke lemari itu. Lelaki itu memperbaiki sarungnya, ia menggulungnya sampai ke paha.
Dinginnya malam membuat Sabar semakin tidak sabar agar Rakena bergolek di sampingnya. “Peci, baju koko dan sarung sudah saya siapkan untuk Jumat besok,” kata Rakena. Kemudian ia kembali bersandar ke dinding.
            “Oya, besok hari Jumat?”
            “Apa Uda lupa.”
            “Sekarang hari Kamis. Kamis malam Jumat, ya?”
            “Tanpa terasa hampir seminggu Bu Rahmi di Bukittinggi. Di terminal ia bilang akan membawakan saya oleh-oleh. Tapi oleh-oleh apa. Ya, saya tidak tahu,” kata Rakena.
            “Sekarang, malam Jumat kan?” Sabar coba mengingatkan kembali istrinya itu.
            Rakena tidak menyahut, ia bangkit dan berkaca pada cermin yang tergantung pada dinding dekat lemari. “Uban saya telah tumbuh satu-satu. Benar, saya memang sudah tua,” kata Rakena pada dirinya sendiri, tapi ucapan itu didengar Sabar.
            “Ah, kamu jangan soal uban. Sekarang uban bisa dihitamkan. Uban tidak tergantung pada usia. Anak muda ada juga yang berambut putih. Dan banyak orang tua masih berambut hitam. Bahkan ada yang mencat rambutnya dengan warna merah. Lagi pula tidak ada hubungan antara selera dengan uban. Tua-tua begini selera saya masih kuat seperti dulu,” sambut Sabar memancing Rakena.
            “Tapi lelaki seumur Uda harus menjaga selera. Misalnya makan gulai kambing dan jangan sering minum teh telur. Apalagi telur itik. Tensi Uda bisa naik.”
            Ketawa lebar Sabar mendengar omongan istrinya itu. “Hebat kau Rakena. Apa pula hubungannya gulai kambing atau teh telur itik dengan tangsi.”
            Rakena ketawa pula, malah terpingkal-pingkal. “Bukan tangsi Uda. Tangsi itu penjara, tapi yang saya maksud  tensi. Tensi itu ukuran tingginya rendah darah. Begitu yang dijelaskan Nadia pada saya. Gadis itu sering mengajari hal-hal yang baru. Semua itu menambah ilmu pengetahuan saya,” ujar Rakena bangga.
            “Terserah kamulah,” tukas Sabar seraya beringsut ke pinggir ranjang. Lelaki itu semakin tidak sabar, ia dekati Rakena. Tangan Sabar nakal menelusuri tubuh istrinya. Lampu dinding telah redup kehabisan minyak. Saat itu mereka rebah di lantai.
            Hujan semakin lebat.
            Malam pekat sepekat belacu hitam. Hujan turun bagai bilah-bilah panjang dari langit. Dalam kepekatan malam itu tampak sosok bayangan memasuki halaman rumah Bu Rahmi. Bergegas sosok hitam itu naik ke teras. Kemudian sosok tersebut mengungkit kaca jendela dengan linggis. Setelah jendela terbuka, ia masuk ke dalam.
            Sosok hitam itu berjingkat-jingkat, ia berusaha melangkah tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Ia tertegun sejenak mendengar di belakang dinding kamar yang dimasukinya ini, lenguh nafas bagai orang berlari. Kadang ia mendengar nafas mendesah.
            Namun ia terus bekerja dalam gelap tersebut. Ia coba ungkit lemari itu dengan ujung pisau. Tersendat-sendat benda tersebut menyelinap masuk. Lalu ia menekan lebih keras, bersitumpu sekuat mungkin.
            Hujan terus turun. Air jatuh ke atap, kedengaran bagai nyanyian cinta. Dan air yang jatuh ke atap bergulir ke bawah menyetuh tanah. Tanah kian basah dan menggenang. Sabar dan Rakena bersama di dunia cinta yang lain.
            Lemari dalam kamar Bu Rahmi telah menganga. Sosok hitam tersebut mengaduk-aduk isi lemari. Kain-kain berserakan tapi ia terus mencari sesuatu dalam lemari. Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah selendang. Selendang itu bercahaya dalam gelap!
            Sabar berguling ke pinggir, ia tengadah memandang langit-langit. Seakan-akan seluruh tenaganya telah terkuras habis. Sementara itu Rakena membereskan selimut mereka berserakan di lantai.
            Sosok hitam melompat turun. Ia menerobos hujan deras seraya memanggul buntalan. Ayam berkokok bersahut-sahutan.
*

            Bu Rahmi telah kembali dari Bukittinggi. Nadia pun telah pulang dari Malaysia. Suasana di rumah itu mendung. Padahal cuaca kota P cerah tak berawan.
            “Maafkan kami,” ujar Sabar.
            “Tidak biasa saya lelap seperti itu,” tukas Rakena memandang sendu pada Bu Rahmi dan Nadia.
            Nadia menarik nafas dalam-dalam. Ia berbagi pandang dengan Bu Rahmi. Perempuan tua itu tampak kuyu, berkali-kali ia menarik nafas panjang. Tampaknya ia sangat menyesalkan akan peristiwa yang menimpa tersebut.
            “Mestinya saya tidak pergi,” kata Bu Rahmi.
            “Sudahlah, Bu. Tak ada yang perlu disesalkan. Barangkali Selendang Pembunuh Anggang itu telah diicar orang sejak lama,” tukas Nadia membujuk dan menenggang rasa bersalah Sabar dan istrinya. “Saya yakin selendang itu akan kembali. Kembali pada saya.”
*

            Siang itu seorang lelaki berusia 40-an masuk ke halaman rumah Tuan Logos di jalan Ratulangi. Di luar tampak Gugum berdiri. Lelaki itu berdiri pada Gugum. “Saya ingin bertemu dengan Tuan Logos,” katanya seraya mengalihkan tas yang disandangnya ke depan.
            “Siapa nama anda?” Gugum bertanya.
            “Toj.” Laki-laki itu menyebutkan namanya dengan yakin.
            Gugum menggiring Toj masuk ke dalam. Di ruang tamu Gugum menyuruh Toj duiduk. “Saya akan laporkan kedatanganmu pada bapak. “Tunggu sebentar, “ katanya seraya masuk ke ruang kerja Tuan Logos.
            Selang beberapa saat Gugum kembali, ia memberi isyarat agar masuk, Toj berdiri melangkah mengikuti Gugum. Dari ruang tamu mereka melewati ruang tengah yang beralaskan tikar permadani merah. Kemudian tiba di ruang kerja Tuan Logos. Gugum mengetok pintu.
            “Silahkan masuk!”
            Gugum membuka pintu. Lalu memberi isyarat pada Toj agar masuk. Setelah memberi hormat Gugum meninggalkan Toj di ruang tersebut. Agak gugup Toj berdiri di ruang kerja Tuan Logos. Tuan Logos menatap lelaki kurus tersebut, ia tersenyum, senyum bersahabat.
            “Kamu membawa barang itu?”
            Masih berdiri Toj ketika Tuan Logos mempersilahkannya duduk di sofa. Ia merasa kecil di ruang tersebut. Seakan-akan ada saja yang salah dalam penampilannya. Oya, kancing bajunya bagian atas tidak terkancingkan, Toj segera memasang kembali.
            “Ya, saya membawanya, Tuan,” sahut Toj seraya menghenyakkan pantatnya di sofa. Ia membuka tas, mengeluarkan selendang. Selendang Pembunuh Anggang itu diletakkannya di atas meja. Cahaya kuning emas membias dalam ruangan tersebut.
            Tuan Logos mengamati selendang tersebut. Ia merasakan ada hawa gaib membersit dari benda itu. Namun sebagai seorang kolektor benda kuno yang berpengalaman, ia tetap punya kecurigaan.
            Dalamruang kerja tersebut ada tungku perapian. Tuan Logos menghidupkan tungku perapian, api menyala. “Saya akan menguji selendang ini,” ujarnya. Ia melemparkan selendang ke tungku perapian.
            “Tuan…” Terperanjat Toj melihat selendang tersebut dilemparkan ke dalam tungku yang menyala. Sebenarnya Toj tak perlu terperanjat dan cemas akan nasib benda tersebut. Selendang Pembunuh Anggang tidak terbakar dimakan api.
            Manggut-manggut Tuan Logos. Kini Selendang Pembunuh Anggang itu dihamparkannya di atas meja. Wajahnya riang. “Kamu merokok?” katanya seraya menawarkan cerutu pada Toj.
            Lagi-lagi Toj gugup. Ia gugup dan terperanjat ketika melihat Selendang tidak terbakar dimakan api. Menurut pengetahuannya selendang tersebut terbuat dari kain, apa pun jenisnya kain akan terbakar hangus oleh api. Sebenarnya laki-laki itu tidak tahu bahwa selendang yang dicuri itu adalah selendang keramat. Kemudian kegugupan yang kedua adalah saat ditawarkan rokok besar yang disebut cerutu. Ia memang pernah  mendengar tentang cerutu tapi baru kali ini melihat dengan mata kepala sendiri.
            Tuan Logos membakar cerutu di bibir Toj. Lalu membakar pula cerutu di bibirnya. Asap tipis menjulang dalam kamar kerja itu. Tuan Logos membuka jendela, asap rokok merayap lewat jendela.
            Toj batuk-batuk. Bibir dan lidahnya terasa kebal, tidak ada rasa nikmat mengisap rokok cerutu itu. Tapi karena segan pada Tuan Logos, ia terpaksa merokok juga.
            Tuan Logos tersenyum. “Nanti kamu akan terbiasa,” ujarnya.
            “Saya sudah biasa merokok putih keluaran Medan,” sahut Toj malu-malu.
            Tuan Logos manggut-manggut. Lalu ia menyimpan Selendang Pembunuh Anggang ke dalam brankas. Setelah itu ia berkata,”Berapa kamu jual selendang itu?”
            “Kalau di kampung saya, selendang ini namanya selendang balapak. Mahal selendang itu, Tuan. Bila selendang ini baru harganya sampai 500 ribu. Bahkan turis bule berani membayar sejuta. Jadi selendang ini, Tuan bayar saja 800 ribu.” Setelah berkata demikian, Toj menjatuhkan pandangannya ke lantai. Ia bimbang, jangan-jangan Tuan Logos marah. Karena menurut dia, harga itu cukup tinggi.
            Ketawa lepas Tuan Logos mendengar tawaran Toj. Saking kerasnya ketawa Tuan Logos, air matanya keluar. Puas ketawa, lelaki tersebut memndang Toj.
            Toj walau pun menunduk ke lantai, ia tetap saja mengetahui Tuan Logos memandangnya. Hanya saja ia tidak bisa menafsirkan pandangan itu. Sepasang lututnya goyang karena menggigil.
            “Kamu punya anak berapa?”
            “Dua belas, Tuan. Tapi yang hidup hanya sebelas, Seorang meninggal ketika masih bayi,” sahut Toj gugup dan cemas.
            “Kalau begitu kamu butuh biaya besar untuk mendanai keluargamu.”
            “Dua orang sudah bersuami. Yang tua dibawa suaminya ke Jawakarta. Dan yang nomor dua, suaminya menolong saya di sawah dan ladang. Selebihannya anak saya laki-laki. Lelaki yang tua jadi tukang ojek. Tapi kendaraannya punya orang pula. Ya, susahlah punya anak banyak.”
            Terenyuh Tuan Logos mendengar cerita Toj. Muncul rasa kasihan dari lelaki terpandang itu. Ia mengambil buku cek, sebelum menuliskan angka-angka, ia berkata,”Saya buka cek 25 juta untukmu. Cukupkan?”
            Dua puluh lima juta? Toj terhenyak di sofa. Apakah saya tidak salah dengar? Lelaki itu berkata dalam hatinya. “Bukankah saya tadi hanya menawarkan 800 ribu rupah,” sambungnya membatin.
            “Apakah angka-angka itu belum cukup?”
            “Saya harus bilang apa, Tuan. Saya bingung. Lagi pula saya tidak tahu cara menguangkan cek. Saya orang bodoh, Tuan. Kalau Tuan ingin bersedekah atau berzakat kepada saya. Berikanlah uang tunai saja.”
            Kembali Tuan Logos tersenyum karena kepolosan Toj. “Sejujurnya kamu telah berjasa mendapatkan selendang itu. Selendang Pembunuh Anggang adalah benda kuno yang tak ternilai harganya. Dan saya sangat tergugah mendengar ceritamu,” Tuan Logos berkata tulus. Ia bangkit melangkah ke brankas, dari sana ia keluarkan lima ikat uang. “Saya tidak tega membayar sesuai tawaran yang kamu ajukan, 800 ribu rupiah. Merasa berdosa saya jika membayar sebanyak itu.” Lelaki tersebut menumpuk uang tersebut di atas meja. “Ambillah.”
            Menggigil tangan Toj meraih uang tersebut. Seumur hidup belum pernah melihat uang sebanyak itu. Lima ikat uang pecahan seratus ribu rupiah. Satu ikat entah berapa jumlahnya, ia kurang tahu. Dan ia tidak hendak bertanya pada Tuan Logos. “Terima kasih, Tuan,” hanya itu yang bisa diucapkan. Lalu menyimpan uang tersebut ke dalam tas.
            “Hati-hati. Nanti kamu dirampok orang,” nasehat Tuan Logos. Kemudian mengantar ke ruang tamu. Di sana ada Gugum. “Antarkan Pak Toj ke rumahnya,” kata Tuan Logos.
*

            Toj minta turun sebelum sampai di jalan gang masuk rumahnya. “Saya di sini saja, tuan. Tuan sudah bersusah payah mengantarkan saya.” Namun Toj lupa mengajak Gugum singgah ke rumahnya.
            Sepanjang jalan menuju ke rumahnya, Toj mulai mengkhayal seraya mengempit tasnya erat-erat. Pertama, ia suruh istrinya ke Pasar Raya. “Kamu beli ikan tongkol yang besar. Daging sekilo. Oya, jangan lupa membawa martabak Bandung. Ya, macam-macamlah. Terserah kamu. Beli makan yang enak-enak agar selera kita bersepuh.”
            Lelaki itu terus melangkah menuju rumah. Tentu Dasril, menantunya itu sedang mencangkul di sawah, keringat menetes di sekujur tubuhnya sebesar biji jagung. “Berhentilah dulu, Das. Kamu cobalah merokok cerutu. Pastilah kamu terkelap-kelap,” Toj mengambil sebatang cerutu dari dalam tas, ia menyodorkan pada menantunya itu.
            Hampir saja Toj kelampauan dari rumahnya karena khayalan itu.
“Abak!” Kedengaran anak lelaki tanggung, berusia 10 tahun memanggil. Toj menunda langkah. Itulah anak bungsunya. Menggeleng kepala laki-laki itu, lalu surut ke belakang masuk ke halaman rumahnya.
**

           
13

Selingkuhan

Tersentak Slang mendengar ponselnya berdering di bawah bantal. Agak malas ia meraih ponsel seraya menyalakan lampu dekat meja ranjang. “Oh, Tuanku. Tumben nelpon malam begitu.”
            “Denai sudah di Jakarta sekarang. Bagaimana dengan pengkhianat itu. Apa sudah kena jerat?”
            “Oya, sekarang dalam proses.”
            “Maksudmu dia sudah ditangkap?”
            “Bukan begitu, Tuanku. Dia mulai memakan umpan yang kita sediakan. Sekarang Gugum tergila-gila pada Olivia. Gadis itu top model yang kebetulan datang ke ranah Minang. Saya yakin di apasti terjerat. Rumah tangganya mulai gocang. Dan Tuan Logos mulai mengurangi kegiatan yang sering ditangani Gugum.”
            “Hmmm. Lalu bagaimana dengan bisnis kita di sana?”
            “Semua oke.”
            “Oya. Kamu dapat berita tentang Puti Rinjani?”
            Slang duduk di ranjang. “Saya dengar dia tinggal di Sungailareh dengan perempuan itu. Dan ada kabar yang menggembirakan.”
            “Apa itu?”
            “Tuan Logos telah mendapatkan Selendang Pembunuh Anggang. Jadi Tuanku tidak perlu bimbang menghadapi gadis tersebut.”
            “Siapa bilang denai bimbang menghadapi Puti Rinjani. Denai sangat rindu padanya. Tapi sekarang denai sedang sibuk. Baiklah, kalau tidak ada perubahan, denai akan ke P.”
            Telepon di seberang sana putus. Slang mematikan  di samping ranjangnya. Ia kembali tidur. Dan di luar rembulan tumbuh bersinar cemerlang. Saat yang sama Gugum berada dalam kamarnya. Sumiati terhampar di ranjang, perempuan itu gelisah, berulang kali mendesah. Sesekali mengerling pada suaminya itu. Lelaki itu menengadah ke langit-langit.
            “Saya lelah,” bisik Gugum. Dia membelakangi Sumiati.
            Sumiati turun dari ranjang. Ia nyalakan lampu kamar seraya duduk di depan kaca. Perempuan itu becermin. “Saya masih cantik,” berbisik ia sendiri. Kenapa suaminya akhir-akhir ini, nyaris tak menyentuhnya.
            Dulu, betapa pun sibuknya Gugum, ia masih sempat menyebadaninya. Kendati pun sekali seminggu. Namun ketika mereka bercinta, Gugum sangat jantan, sejantan tindakannya dalam tugas lapangan.
            Sumiati mengerling ke ranjang. Gugum tidur pulas dengan menutup wajahnya dengan selimut. Perempuan itu mengeluh,”Perkawinan ini kian rapuh. Aagaknya ada perempuan lain, selain saya,” perempuan itu membatin.
            Gugum sebenarnya belum tidur, di balik selimut pikirannya menerawang pada Olivia. Gadis itu amat sempurna dalam pikirannya. Oly jauh lebih muda dari Sumiati. Gadis itu selalu tersenyum dengan bibirnya basah. Suaranya mendesah bila berbicara, tubuhnya harum, kulitnya cemerlang berkilau bagai pualam Cina.
            Sayangnya, Oly adalah gadis yang jinak-jinak merpati. Dalam beberapa pertemuan dengan Oly, Gugum hanya bisa mencium sekali. Lembut dan syahdu. Besok adalah hari terakhir, dia dan Oly bertemu. Gadis itu akan show di Singapura.

*
           
Keesokan malam Gugum hadir lebih cepat dari biasanya di Diskotik & Pub. Oly merapatkan bahunya ke tubuh lelaki itu. Gugum seperti di awang-awang. Aroma bau tubuh Oly membuat laki-laki tersebut mabuk kepayang.
            “Saya tidak ingin berpisah denganmu.”
            “Saya juga.”
            “Tapi kamu akan pergi,” ujar Gugum dengan nada khawatir. “Saya ingin malam terakhir ini, kita mempunyai kesan tak akan terlupakan,” sambungnya. Ia meremas jemari Oly lembut.
            Dalam keremangan cahaya lampu diskotik, Oly menatap Gugum. Tatapan itu menggoda Gugum. Tiba-tiba ia mencuri sebuah ciuman di bibir itu. Lama mereka saling menyatu. Nafas Gugum tersengal-sengal. “Malam ini adalah malam spesial kita,” desah Gugum. Oly mengangguk.
            Pertemuan kedua anak manusia ini memang telah dilewatkan dengan istimewa. Mereka telah jadi sepasang kuda binal, berlari kencang di padang rumput cinta. Kuda jantan mendengus-dengus. Dan kuda betina meringkik ketika kuda jantan meracak dari belakang.
*

            Cuaca kota P sering tak menentu tahun ini. Kadang panas menyengat, dan mendadak turin hujan lebat. Senja itu Nadia berjalan ke terminal Angkot di Pasaraya. Gerimis ketika itu.
            Saat Nadia hendak naik Angkot, tiba-tiba ia diserang oleh dua orang lelaki tak dikenal. Mereka menyumpal mulut Nadia. Gadis itu hendak berontak tapi Nadia mencium bau tak sedap. Bau yang membuat ia pusing dan lemas seketika. Setelah itu Nadia tidak mengetahui apa yang terjadi.
            Ketika Nadia siuman, ia mendapatkan dirinya tergolek di ranjang. Nadia bangkit dan duduk di pinggir ranjang. Di manakah saya? Ia menggumam.
            Tiba-tiba pintu terbuka. Di pintu berdiri seorang lelaki. Lelaki itu tersenyum pada Nadia saat menutup pintu. “Sudah lama kita tak jumpa, wahai manis,” sapa Anurangga mendekat.
            Terperanjat Nadia, ia tak menyangka akan bertemu dengan raja muda itu kembali. Entah berapa kali ia bertemu dengan Anurangga, pada setiap zaman yang berbeda. Akan tetapi masih tetap sama yaitu maksud Anurangga untuk mempersunting dirinya. Menikahi dia, Puti Rinjani.
            Anurangga duduk di sofa yang ada dalam kamar. Dia menghamparkan lengannya di sandaran sofa. “Ke marilah Rinjani. Denai telah lama merindukan pertemuan ini,” lelaki itu menepuk jok sofa. “Duduklah di sini, sayang. Marilah kita bicara baik-baik.”
            Mual perut Nadia mendengar rayuan Anurangga. Gadis itu tak beranjak dari pinggir ranjang. Kepalanya masih terasa pusing karena bius yang disumpalkan dua lelaki tak dikenal di terminal Angkot tersebut. Nadia mengatur nafas, ia menghirup udara sedalam-dalammya. Lalu menghimpun hawa murni dalam dada, kemudian menurunkan ke perut. Perlahan-lahan ia hembuskan. Kini Nadia merasa kondisinya lebih baik.
            Tak sabar agaknya Anurangga menunggu kedatang Puti Rinjani. Ia melangkah mendekati dan berdiri di hadapan Nadia yang masih duduk di pinggir ranjang.
            Nadia memalingkan wajah ke samping ketika Anurangga membelai rambutnya. “Jangan sentuh saya. Tinggalkan saya sendirian.” Gadis itu menjauh beberapa jengkal dari lelaki tersebut.
            Anurangga menggeleng halus. Ia tatap gadis tersebut lekat-lekat seakan-akan hendak melahapnya bulat-bulat. Memang! Sekinyong-konyong ia merangkul Nadia.
            Nadia menjerit. Gadis itu berontak, ia menyikut Anurangga. Anurangga terbungkuk, meringis. Gadis itu melompat ke depan. Matanya mencorong tajam penuh kemarahan.
            Lelaki itu ketawa terbahak-bahak. “Kamu tidak bisa lolos dari kamar ini,” ujar Anurangga. “Marilah kita bersenang-senang. Dan malam ini kamu resmi menjadi permaisuri denai,” sambung Anurangga.
            “Lebih baik saya mati dari pada menuruti kehendakmu!”
            “Ooo, begitukah?” Anurangga tersenyum. Ia mementangkan lengannya. Tiba-tiba menubruk Nadia yang berdiri mepet ke dinding.
            Nadia berputar, ia melepaskan tendangan ke selangkang Anurangga. Lelaki itu berkelit seraya menangkap kaki Nadia. Gadis itu hilang keseimbangan karena Anurangga begitu cepat menjatuhkannya. Ketika Nadia telentang di lantai, Anurangga menindihnya dan menjepit dengan sepasang lutut yang ditekuk.
            Anurangga tersenyum riang. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Nadia, ia mencium bibir gadis tersebut. Nadia berontak. Tetapi lutut Anurangga telah mengunci pinggang Nadia. Lelaki itu dengan beringas mencium wajah Nadia.
            Gadis itu tidak putus asa, ia berusaha membuka kuncian lutut Anurangga. Ia beringsut di lantai bagai seekor ular yang hendak melepaskan kulit atau bersilih kulit. Jurus tersebut tampaknya menggoyahkan jepitan Anurangga. Nadia lepas dari kungkungan laki-laki tersebut. Ia bangkit dan mundur beberapa langkah.
            “Saya suka permainan ini. Makin binal engkau semakin bangit birahi denai. Ha…ha…ha!”
            Nadia tetap waspada. Ia bersiap menunggu serangan Anurangga selanjutnya.
            Menapak maju Anurangga. Matanya mencorong tajam. Tubuhnya tiba-tiba bergetar. Lelaki itu merapalkan ilmu “Serat Akar Lunang” Rambut di kepalanya mencuat naik. Dan sekonyong-konyong sepasang lengannya berubah jadi akar hidup.
            Nadia balas menatap tajam ke arah lawannya. Agaknya kali ini Anurangga tidak main-main. Lelaki itu benar-benar ingin menangkap dirinya. Justru karena itu, Nadia pun bersiap dengan jurus Selendang Dunia. Zaman dahulu jurus Selendang Dunia pernah mengguncang dunia persilatan. Jurus tersebut mengutamakan kelincahan dan kelenturan tubuh.
            Kedengaran suara mendesis, sepasang lengan Anurangga bergerak menyerang Nadia. Sementara itu, gadis tersebut melangkah lincah bagai seorang penari. Serangan-serangan lengan akar hidup hanya menyentuh angin kosong.
            Kian beringas Anurangga, sepasang lengannya menyambar ke sana sini. Kadang menghantam lemari yang ada dalam kamar. Lemari itu porak-poranda. Benda-benda yang ada di kamar tersebut centang perenang. Namun sampai saat itu, belum satu pun serangan Anurangga mampu menyentuh ujung pakaian Nadia atau Puti Rinjani.
            Tiba-tiba pintu kamar diketok dari luar. Anurangga tertegun. Ia mengatur nafas sejenak. Sepasang lengannya kembali seperti sediakala. “Baik. Kita hentikan permainan ini sejenak,” kata Anurangga kesal. Ia lalu menoleh ke pintu. “Siapa itu!”
            “Saya Slang, Tuanku,” sahut suara dari luar.
            “Mau apa kamu!”
            “Tuan Logos mau bicara dengan Tuanku.”
            “Oya. Tunggu denai di lobi,” ujar Anurangga berusaha setenang mungkin. Kemudian ia menatap Nadia yang masih berdiri memasang kuda-kuda. “Tenanglah Rinjani. Denai akan kembali. Dan permaian ini akan kita lanjutkan lagi.” Sejenak Anurangka membereskan pakaiannya yang kusut karena pertarungan tadi. Ia melangkah ke pintu. Sebelum keluar ia berkata,”Denai ingatkan, kamu jangan coba-coba melarikan diri. Kamar dabn hotel ini telah dikawal ketat!”
            Nadia mendengus cemooh mendengar ancaman Anurangga.
            “Nanti karyawan hotel akan membereskan  kamar kita.” Anurangga seraya membuka pintu. Lalu mengunci pintu dari luar.

            Di lobi menunggu Logos dan Kompe. Di sana juga menunggu Slang dan Kucing Air Kuning. Wajah Logos tampak kelabu, sesekali ia melihat foto-foto yang tergenggam di tangannya. Gerahamnya gemeretak.
            “Malam,” Anurangga menyapa Logos.
            “Malam juga.”
            “Oya. Kenapa tuan begitu mendadak menemui denai?” Anurangga mengerling ke foto-foto yang ada di tangan Logos.
            Tuan Logos menggelar foto-foto tersebut ke atas meja. Foto-foto itu menampilkan potret Gugum dan Olivia beradegan suami istri. “Potret ini saya terima dari Slang. Tapi saya tidak tahu siapa gadis ini,” kata Tuan Logos seraya menatap tajam pada Slang.
            Anurangga mendoyongkan tubuhnya ke sandaran sofa di lobi. “Ini namanya pornografi. Dan adegan ini tidak pantas dilihat oleh orang terpandang seperti kita,” tukas Anurangga. Lelaki itu mengambil sebuah foto, ia mengamati dengan cermat. Manggut-mangut ia. Lalu menatapfoto itu kembali, berulang-ulang. Tersirap darah Anurangga. Tapi ia bimbang lagi, Anurangga berusaha mengusir dugaannnya. Ia biarkan foto tersebut menggeletak di atas meja. “Siapa nama gadis ini, Silangkaneh?”
            Ditanya mendadak seperti itu, Slang gugup. Ia berpikir sejenak. “Informasi yang saya terima, namanya Olivia.” Gelisah Slang di tempat duduknya. “Ia keponakan Wacong,” sambung lelaki banci tersebut.
            Anurangga termanggu, ia menopang dagunya dengan tangan. “Sungguh denai tidak percaya,” bisiknya dalam hati.
            “Panggil Wacong!” Tuan Logos memberi perintah pada Kompe. Kompe mengangguk. Segera lelaki tesebut berangkat menuju Diskotik & Pub.
            Sejenak suasana seperti malaikat lewat. Semuanya diam. Mereka saling bertukar pandang. “Kucing Air Kuning, kamu jaga kamar denai. Jangan biarkan gadis itu lolos,” perintah Anurangga pada manusia kucing tersebut. Kemudian ia beralih pada Slang, “Kamu bilang pada petugas hotel agar menyediakan ruangan khusus untuk kita.”
“Saya tidak menduga Gugum berbuat sebodoh ini, “ kata Logos ketika berada di ruangan khusus. Wajahnya kaku memandang Slang. Juga ketika menatap Anurangga.
“Denai juga heran. Kenapa staf tuan begitu gegabah. Namun semuanya telah terjadi,” balas Anurangga datar. Tatkala itu Kompe datang bersama Wacong. Tampak kekhawatiran di wajah Wacong.
“Tuan memanggil saya?” Wacong berkata terbata-bata.
“Ya, saya ingin tahu. Apakah gadis selingkuh itu keponakanmu?”
Hangat terasa sofa yang diduduki Wacong. Ia gemetar akan pertanyaan tersebut. Lalu mengerling pada Slang. Sementara itu Slang acuh tidak acuh. Dalam pada itu Wacong menjawab,”Ya, tuan.”
“Di mana dia sekarang?”
Semakin gemetar Wacong mendengar pertanyaan Tuan Logos tersebut. Ketika ia mengangkat wajahnya, ia bertemu pandang dengan Tuan Logos, mata lelaki tersebut memandang garang. Lalu Wacong beralih pandang pada Slang dan Anurangga. Ia semakin serba salah!
“Saya duga Gugum diperangkap. Tapi dia memang bodoh. Tuan Anurangga, saya kurang suka akan permainan ini. Kesatuan kami telah tercemar!”
Kerasnya pernyataan Logos, tidak membuat Anurangga tersinggung. Dia malah tersenyum. Laki-laki itu menggamit Slang agar mendekat. Slang datang menghampiri, mereka berbisik sejenak. Kelihatan Anurangga manggut-manggut.
“Tuan Logos…Hubungan kita tidak mungkin putus oleh hal sepele seperti ini. Tujuan kita adalah membersihkan “Sindikat Tanpa Bentuk” ini dari pengkhianat. Imbas dari sebuah pengkhianatan adalah robohnya organisasi. Dan denai khawatir pribadi anda pun ikut tercoreng.”
Ucapan Anurangga datar tanpa tekanan. Namun di telinga pendengarnya merupakan ancaman. Logos tahu bahwa pengaruh Anurangga sangat besar dan kuat di organisasi. Bahkan Logos mengetahui jaringan koneksi Anurangga sampai ke lembaga kepresidenan.
“Gugum segera saya pecat,” sahut Logos kemudian. “Namun keberadaan gadis yang bernama Olivia tersebut akan terus kami lacak. Bila perlu sampai ke Singapura!”
“Denai hormati keputusan tuan. Oya Slang, apakah engkau telah masukkan dana organisasi yang menjadi bagian Tuan Logos ke rekeningnya?”
“Sudah, Tuanku.”
Di luar gerimis telah reda. Logos dan Kompe berangkat. Lelaki itu tampak lelah. Wacong berlari-lari kecail mendekati Logos yang telah naik ke mobil, “Saya besok ke rumah bapak,” ujarnya.
Tuan Logos hanya mendegus.

**

Sepeninggal Logos Anurangga melangkah kembali ke kamarnya. Slang mengekor dari belakang. Lelaki banci tersebut agak sungkan mendekati Anurangga, ia takut akan diomeli lelaki itu.
Kucing Air Kuning berdiri di depan kamar. Ketika Anurangga muncul, manusia kucing tersebut memberikan kunci kamar pada Anurangga. “Aman, Tuanku. Dia telah tidur pulas,” manusia kucing melapor.
Saat hendak membuka pintu, Anurangga tercenung. Ia menunda niatnya untuk masuk ke kamar. Lalu mengajak Kucing Air Kuning dan Slang duduk di sofa yang tergeletak di ceruk kamar. “Ada sesuatu  yang ingin denai bicarakan.”
“Ada Tuanku?”
“Ya, Tuanku,” sahut Slang. Tetapi sebenarnya hati Slang mendua. Mendua karena ia takut didamprat habis-habisan. Menunduk Slang ke lantai, menyembunyikan wajahnya dari tatapan Anurangga.
“Di mana gadis selingkuhan Gugum itu kalian ambil?”
“Saya tidak mencarinya. Tuanku kan tahu, saya lebih suka memperkosa perempuan dari bermanis-manis pada mereka. Oleh karena itu, tugas mencari perempuan saya serahkan pada Slang,” ujar Kucing Air Kuning menuding Slang.
“Kamu menemukan gadis itu di mana?” Anurangga kini bertanya pada Slang.
Kelat kerongkongan Slang seketika. Seorang pelayan hotel melintas. Slang menggamit dan memesan minuman. “Saya minta es krim,” sela Kucing Air Kuning. Dan Anurangga pun memesan dua botol bir hitam. Lalu membuka matanya lebar-lebar menatap Slang.
“Saya memesan gadis itu pada Wacong,” Slang menjelaskan tentang gadis yang ditanyakan Anurangga.
“Apakah dia memang keponakan Wacong?”
“Wacong yang bilang begitu.”
Anurangga terdiam. Namun detak hatinya jadi lain. Anurangga curiga bahwa gadis itu bukan keponakan Wacong. Laki-laki tersebut sangat mengenal gadis tersebut. Gadis itu pernah masuk dalam kehidupannya. Sejenak Anurangga melupakan Puti Rinjani yang disekapnya dalam kamar. Pikiran Anurangga tertuju pada Oly gadis selingkuhan Gugum. Ada kekhawatiran dalam benak lelaki itu. Berkelabat kembali dalam ingatannya wajah Oly.
Malam terus merangkak. Di luar udara dingin. Ketiga orang tersebut mereguk bergelas-gelas bir hitam. Tersusun tujuh botol kosong dan tiga botol bir yang belum dituangkan ke gelas. Tentu saja Anurangga yang paling banyak minum. Ucapannya mulai melantur.
“Kapan ia bertemu dengan denai. Terus terang denai tidak pernah mengkhianati denai. Peristiwa itu adalah kecelakaan,” semakin menceracau tak menentu Anurangga. Mabuk!
“Puti Rinjani telah tidur pulas, Tuanku,” tukas Kucing Air Kuning.
“Biar. Biarkan dia tidur. Oya mana Silangkaneh!” Tiba-tiba Anurangga membentak. Pandangannya kabur. Di depannya hanya kelihatan kabut asap.
“Saya di sini, Tuanku.”
“Bagus. Kamu masih setia. Tapi kamu tidak mampu menghadirkan gadis itu pada denai. Kamu goblok!”
Pantat Slang seperti terbakar di atas sofa. Ia gugup mendapat bentakan Anurangga. “Gadis mana yang Tuanku maksud?”
Melotot mata Anurangga. Tapi cahaya mata itu redup. Kemudian melotot pada Kucing Air Kuning. Dada laki-laki tersebut turun naik bagai orang habis berlari jauh. Kadang ia meringis, kadang tersenyum. “Gadis itu bukan Oly. Gadis itu adalah….” Anurangga mengatupkan mata.
“Dia bukan Oly?”
“Siapa dia?”
Slang meneguk minumannya. Demikian juga Kucing Air Kuning. Mereka pun mulai mabuk. Saat itulah pintu kamar terbuka. Kucing Air Kuning dan Slang terperanjat. Mereka tahu, kunci kamar tersebut masih ada pada Anurangga.
Sementara itu Anurangga bermimpi di sofa. Ia naik kereta kuda bersama Puti Galang Banyak. Mereka menikmati pemandangan indah di pegunungan. Kereta kuda itu melaju kencang menyusuri jalan berkerikil. Kian lama kian jauh mereka meninggalkan Kotaraja.
“Ke mana kita kanda?” tanya Puti Bagalang Banyak.
“Hari ini kita menikmati udara segar. Denai sangat bahagia dapat bersama adinda,” Anurangga melingkarkan lengannya ke pinggang Puti Bagalang Banyak.
Berbunga-bunga hati perempuan itu. Tersenyum ceria Puti Bagalang Banyak menyambut pelukan lelaki tersebut. Selama ini raja muda itu sibuk mengatur pemerintahan bersama Maharaja Di Raja. Kadangkala muncul juga perasaan curiga di hari perempuan tersebut. Anurangga memang bukan tipe lelaki “rumahan”. Dia selalu tidak tenang bila berada di istana, berada di sisi istrinya, Puti Bagalang Banyak.
Puti Bagalang Banyak memang perempuan muda yang pandai dan cerdas. Tentu  ia tidak percaya begitu saja pada alasan sibuk yang dikatakan suaminya. Ia punya orang-orang untuk menyelidiki tingkah laku Anurangga. Bahkan ia pernah memergoki Anurangga melompat turun dari jendela seorang janda muda.
Sejak itu Puti Bagalang Banyak lebih suka berdiam diri. Ia lebih suka bertenun di anjungan perangin. Tapi hari ini Anurangga mendatanginya. Raja muda itu minta maaf seraya menunduk di kaki Puti Bagalang Banyak. Bahkan rasa bersalah bersebut dilahirkan Anurangga dengan mengajak istrinya menikmati keindahan alam Minangkabau.
Kereta kuda yang mereka kendarai terus melaju. Dalam perjalanan Anurangga terus memperlihatkan sikap mesra pada istrinya. Mereka makin jauh meninggalkan Kotaraja. Suatu saat mereka melintasi hutan yang di kanannya menganga jurang. Jurang tersebut dikenal nama “Jurang Satungka Banang”. Jika melihat ke bawah akan terlihat kabut asap mengambang.
Perempuan itu merapatkan tubuhnya ke dalam pelukan Anurangga. Semakin berbunga-bunga hatinya ketika Anurangga mencium keningnya.
Semakin jauh dan semakin jauh kereta kuda mereka bergerak. Matahari bersinar menembus dedaunan, jatuh ke kereta kuda yang sedang berpacu kencang itu. Cemeti di tangan Anurangga berulang-ulang memecut punggung kuda.
Roda-roda mengelinding melintasi tanah basah bewarna merah. Sekonyong-konyong kuda itu meringkik. Sebuah pohon tumbang, Anurangga menarik kekang kuda. Roda kereta tergelincir. Anurangga melompat turun ketika kereta kuda tersebut meluncur deras ke Jurang Satungka Banang.
Kedengaran pekik pilu Puti Bagalang Banyak.
Sekonyong-konyong kedengaran bunyi gemerincing gelang. “Apakah kanda menunggu hamba?” Suara merdu menyapa Anurangga yang sedang tidur pulas di sofa. Lelaki itu tersentak. Dan terbelalak seperti melihat hantu.
Mulut Slang terbuka. Melongo dengan wajah bengong. Sementara itu Kucing Air Kuning gelisah di tempat duduknya. Tak beranjak mata mereka memandang perempuan muda tersebut. Perempuan muda dengan perhiasaan emas berbentuk gelang. Saat dia bergerak kedengaran gemerincing gelang yang demikian banyak itu. Di masa lalu mereke mengenal seorang perempuan yang berdandan seperti itu adalah Puti Bagalang Banyak.
“Puti…”
“Bukankah Puti telah….”
Puti Bagalang Banyak mendengus. Ia ketawa lepas. Lalu menyapukan pandangannya berganti-ganti. Pada Anurangga. Pada Slang. Pada Kucing Air Kuning. “Kalian boleh saja berencana membunuh saya. Tapi Tuhan belum mengizinkan saya mati. Dan sekarang kita berjumpa lagi dalam zaman lain,” ujar perempuan itu bersembilu.
“Saya hanya menerima perintah, Puti.”
“Saya juga.”
Mencibir Puti Galang Banyak mendengar ucapan Silangkaneh dan Manusia Kucing itu. Ia tatap leceh kedua orang tersebut. Lalu tersenyum sinis pada Anurangga. “Puti Rinjani telah saya lepaskan. Dan sekarang kita, kanda dan saya akan selalu bersama.” Perempuan itu melangkah mendekati Anurangga yang semakin bingung.
Terlambung Anurangga dari tempat duduknya. “Rinjani telah lolos. Di mana dia sekarang?”
Puti Galang Banyak ketawa lepas. Gemerincing di lengannya semakin ramai. Anurangga tidak mampu bergerak ketika perempuan itu duduk di sampingnya. Keringat dingi menetes di dahinya.
Slang dan Kucing Air Kuning mendadak jatuh pingsan!** (Bersambung...14)




0 komentar:

Posting Komentar