Selasa, 17 Mei 2011

Alam dan Manusia Minangkabau

ALAM memang misteri tak bertara yang selalu menggelitik manusia untuk menyelidikinya. Sejak mereka mengetahui tentang keadaan alam sekitarnya, manusia terus berusaha melakukan pencarian-pencarian tentang makna dan hakekat alam yang mereka diami. Hubungan manusia dengan alam membuat keinginan mereka untuk mengkaji alam yang penuh misteri ini. Tanah dan air penuh dengan makhluk, kecuali manusia – mereka jarang mengalami perubahan dan jika terjadi perubahan maka perubahan itu memakan waktu dan proses yang lama-  Ikan berenang tetap dengan cara yang sama, semut-semut sejak dulu selalu berkumpul mencari dan mengumpulkan makanan, cara-cara hidup mereka tetap tidak berubah. Namun manusia dalam sejarahnya yang singkat telah mengubah dunia dan dirinya sendiri. Sebabnya karena ia menggunakan perubahan yang terarah dengan pikirannya. Manusia adalah homo sapiens – manusia sipemikir-
            Manusia itu, dipandang dari sudut ilmu hayat, banyak sekali persamaannya dengan binatang. Bahkan dengan ilmu itu, manusia dimasukkan juga dalam golongan binatang, ialah golongan mamalia atau binatang menyusui. Dari mamalia itu ada golongan tingkat-tingkatnya, menurut kecerdasan otaknya, lebih tinggi dari yang lainnya. Golongan ini dinamakan primat. Primat ini pun bertingkat-tingkat, dan ada yang menduduki tertinggi adalah: jenis-jenis kera, anthroipodia atau kera manusia dan manusia.
            Kera itu belum seberapa jauh bedanya dari mamalia biasa, ia masih berkaki empat atau merangkak. Anthropedia, yang terdiri atas jenis-jenis orang utan, gorila, dan simpanse- sudah mendekat manusia- ia hampir berkaki tangan, sudah banyak berdiri atas kedua kakinya, namun masih menggunakan tangan untuk menunjang badan. Berbeda sekali dengan manusia, yang betul-betul berkaki dua dan karena disebut berkaki dan bertangan.
            Kecuali itu masih banyak lagi perbedaan-perbedaan lain, yang justru berkenaan dengan hal-hal pokok. Karena perbedaan-perbedaan itulah manusia lalu memperoleh kedudukan yang lebih lebih khusus dalam alam sekitarnya. Adapun perbedaan yang utama dan yang pokok ialah bahwa manusia itu karunia Tuhan dengan kecerdasan atau otak atau akal. Dan akal itulah yang sesungguhnya secara mutlak membedakannya dengan binatang, dan yang memberikan kemungkinan kepadanya untuk tempat tertinggi di antara makhluk (menjadi summa primat atau primat tertinggi).
            Binatang itu bekerja dan berbuat menurut nalurinya saja; jika lapar ia makan; kalau sudah kenyang makan itu ditinggalkan saja walaupun berlebih. Maka binatang itu tidak berpikir. Namun tidak demikian dengan manusia. Dengan akalnya ia dapat memikirkan dan menguapas soal-soal yang dihadapinya dalam mempertahankan hidup. Pemecahan soal-soal itu adalah hasil kecerdasan otaknya, hasil daya kerja akalnya.
            Air mengalir dari tempat ketinggian mencari dataran rendah, kemudian terus ke muara. Matahari terbit di timur, cahayanya menyinari bumi. Malam hari, bintang gemerlapan menghiasi langit, bulan menerangi bumi. Tanah menjadi tumbuhnya tumbuh-tumbuhan. Semua dapat dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan perannya masing-masing.
            Keingin-tahuan manusia disebabkan ia sebagai pemikir, bahwa manusia berpikir setiap saat, berpikir adalah gambaran sehari-hari yang teramat biasa, namun sejarah kemanusiaan akan lebih mudah dipahami, bila ditinjau dari proses belajar, kenyataan ini merupakan konsep yang cenderung terabaikan. Hakekatnya karena faktor belajarlah mamusia seperti sekarang. Otak manusia menakjubkan, yang terbentuk sel demi sel dan refleks demi refleks, diperkuat oleh dua  kekuatan yang tak kurang menakjubkan, yaitu kemampuan berbicara dengan tangan mereka yang kuat perkasa. Walaupun perkembangan itu berjalan dengan sanat lamban namun mengesankan.
            Justru karena itu suku bangsa Minangkabau sangat sadar bahwa mereka adalah makhluk berpikir, dan memandang serta menyikapi alam sebagai makna yang tak bertara, tanah air mereka sebut Alam, sekaligus menjadi pandangan hidup mereka. Hal tersebut tersimpul dalam filsafatnya “Alam Takambang Jadi Guru”
            Orang Minangkabau sering menggunakan kata kias, mamangan dengan kata air. Semua itu karena kesuburan tanah kelahiran mereka, maka etnis ini memiliki hubungan erat dengan air, banyak sekali kata kias dan ungkapan yang mengunakan kata dengan usur air, seperti bulek aia ka pambuluah, bulek kato ka mufakat. Sakali air gadang-sakali tapian baraliah (bulat air ke pembuluh, bulat kata kepada mufakat. Sekali air besar-sekali tepian beralih). Kiasan, ungkapan, mamangan dan pepatah merupakan manifestasi dari pemikiran filsafat Alam yang mereka anut dan dijadikan pandangan hidupnya. Bulat air ke pembuluh, bulat kata karena mufakat, adalah makna dan pesan yang tersirat bahwa betapa pun air yang menggelora menghanyutkan apa yang menghalanginya, dapat dikendalikan bila disalurkan lewat saluran semestinya. Sehingga dapat dijinakan kemudian akan bermanfaat bagi kehidupan manusia, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan. Andaikata air karena sifatnya, sekali saat menggelora, sehingga meluluh-lantakan atau memporak-porandakan apa yang menghalanginya, akhirnya membuat sebagian alam berubah. Bagi orang Minangkabau dipahami dan dihikmati sebagai perubahan yang memang harus terjadi, karena terjadi karena sebab yang menimbulkan (basabab bakarano)
            Karena alam dengan segala unsurnya, dikiaskan kepada kehidupan manusia, yang dikemukakan dengan mengiaskan tanah air Minangkabau. Maka pemahaman unsur alam bermakna sebagai individu dalam masyarakat mereka. Masing-masing lembaga ( individu dan masyarakat) mempunyai perbedaan dalam kadar dan peranannya. Justru karena itu mereka, satu dengan yang lain, pun tetap sama dengan yang lain. Maka dalam dinamika dan harmonininya dalam masing-masingnya jadi “satu” untuk bersama, dan amsing-masingnya jadi sama untuk bersendiri-sendiri.
            Pandangan orang Minangkabau terhadap perubahan yang mereka pahami sebagai basabab bakarano, membuat sikap dan tingkah laku mereka menjadi waspada, tidak cepat terombang-ambing oleh perubahan itu sendiri – tidak tergesa-gesa mengambil keputusan- Dalam ungkapannya mereka mengakatakan “pikir itu pelita hati” sehingga mereka jarang terbawa oleh arus.
Perubahan politik, intervensi budaya dan sosial, penggantian pimpinan dan seterusnya mereka renungkan lebih mendalam –apakah mereka menerima atau menolak- Kok manih jaan capek dilulua, jikok paik ijan capek diluahkan” (Kalau manis jangan cepat ditelan, kalau pahit jangan cepat dimuntahkan). Banyak orang yang salah menilai akan sikap orang Minangkabau, di mana mereka lamban dalam menyikapi perubahan.
Orang Minangkabau tidak pernah krasak-krusuk, mengikuti sesuatu tanpa memahami apa yang akan mereka ikuti. Dalam pameonya mereka mengatakan “londong aia-londong dadak, awak tasorong-urang galak” (londong air-londong dedak, kita tersorong-orang ketawa). Maksudnya bila kita asal ikut-ikut saja, tidak mengetahui masalah maka kita akan dapat bencana sendiri. Pengalaman sejarah telah membuat orang Minangkabau waspada, negeri mereka dijajah silih berganti di jajah oleh kerajaan atau bangsa asing, tapi bangsa maupun kerajaan asing tidak mampu merubah filsafat dan Adat mereka.   
            Tanah bagi mereka bukan hanya sebagai lahan, yang di atasnya tumbuh tanaman, pohon dan semak maupun belukar tapi merupakan awal asal muasal manusia, kemudian dalam perkembangannya – Rumah Gadang yang mereka diami pun dapat dikatakan tanah, sebab Rumah Gadang adalah bagian dari Alam.

            Orang Minangkabau seperti kebiasaannya merantau, mereka berkelana sampai jauh dengan perahu-perahu sedehana, oleh sebab itu itu pengetahuan mereka tentang alam bukan sekadar ruang alam yang ada di sekitarnya – mereka mengenal ilmu perbintangan, pasang surut dan naik, arus gelombang dan lain-lainnya – Akan tetap pengetahuan mereka hanya disampaikan lewat lisan, jarang tercatat, jika ada perubahan adalah perubahan sesuai dengan kepentingan tertentu.
            Filsafat Alam yang mereka anut, mereka susun dalam kalimat-kalimat lisan. Umumnya filsafat alam yang mereka rumuskan adalah berhubungan dengan tata cara bermasyarakat, hubungan kekerabatan, tingkah laku, kepemimpinan dan budi.
            Dalam catatan sejarah mengenai agama yang mereka anut, semulanya adalah animisme, kemudian Hindu dan Budha. Kapan mereka menganut agama Islam, terdapat perbedaan pendapat dari para ahli, ada yang menyebutkan dimulai pada abad 14, tapi ada juga yang menyebutkan lebih awal dari itu. Tapi yang jelas suku bangsa Minangkabau, rakyatnya lebih dulu menganut Islam dari raja mereka. Semangat arus bawah memeluk agama Islam kian lama kian besar, sehingga penyebaran agama tersebut semakin luas. Akan tetapi mereka belum mengenal filsafat Islam, umat Islam di Minangkabau lebih mengenal tarekat atau metode jalan mencari Tuhan.

 MANUSIA MINANGKABAU

            Manusia Minangkabau awal mulanya membentuk diri di atas Rumah Gadang – di sana berhimpun kaum kerabat mereka- Sejak dini mereka telah menyerap nilai-nilai yang berkembang di atas Rumah Gadang tersebut. Mereka berkenalan dengan ibu dan bapaknya, Nenek, Gaek, Etek, Mak Tuo, saudara lelaki ibunya yang disebut mamak. Dan di Rumah Gadang itu, dia pun mengenal suami dari Etek, Mak Tuo yang statusnya adalah urang sumando.  Kemudian ia juga mengenal Bako, yaitu saudara dari bapaknya atau kaum kerabat bapaknya.
            Setelah cukup umur, biasanya anak lelaki taidak lagi tinggal atau tidur di rumah gadang. Anak lelaki yang sudah akil balikh pergi ke surau, dan tidur di sana. Ada dua hal yang membuat anak lelaki Minangkabau tidak tidur di rumah orang tuanya, pertama, di rumah gadang tidak dibenarkan lelaki dewasa tidur, rumah tersebut hanya diperuntukan bagi saudara perempuan dan suaminya (urang sumado). Kedua, anak lelaki ke surau untuk belajar mengaji atau ilmu agama, dan adat budaya serta ilmu bela diri, di halaman surau menjelang tidur.
            Menjelang dewasa ia terus menimba ilmu di lingkungannya. Banyak hak dapat diserapnya kendati pun dalam lingkungan kampung. Alam memang dapat memberi pelajaran bagi mereka, petuah-petuah yang mereka dengar dapat membangun pribadinya – upacara pernikahan, upacara helat kampung dan nagari serta pidato-pidato adat membuat anak muda itu kian hari kian memiliki untuk hidupnya kelak. Pengetahuan manusia Minangkabau yang dimulai dari Rumah Gadang dan surau, lalu beranjak ke lingkungan lainnya seperti duduk di lapau, membentuk pribadi dan rasa percaya diri semakin kuat. Apalagi saat beranjak dewasa, ia telah mengikuti onjak urang*
            Selaras dengan filsafat Alam yang merupakan pandangan hidup mereka, maka setiap individu dapat hidup sendiri-sendiri tapi sendiri-sendiri itu tetaplah dalam dalam kebersamaan. Artinya, pribadi adalah miliknya sendiri, yaitu dia dapat melakukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Kebersamaannya dalam masyarakat atau etnisnya tidaklah mengurangi eksistensinya sebagai individu atau melenyapkan hak individunya. Sebab antara individu dan masyarakat saling kait berkait. Tanpa masyarakat atau tentulah ia tidak akan berarti sama sekali.

AKAL

            Kemampuan otak manusia untuk membentuk gagasan-gagasan dari konsep dalam akalnya, menyebabkan bahwa manusia dapat membayangkan dirinya sendiri, sebagai suatu entitas tersendiri, lepas dari lingkungan dan alam sekelilingnya. Kemampuan ini merupakan dasar dari kesadaran identitas diri dan kesadaran kepribadian diri sendiri. Tentu banyak pula jenis makhluk juga memiliki identitas diri, namun kesadaran itu tidak setajam manusia, karena manusia juga mempunyai kemampuan membayangkan dengan akalnya, peristiwa-peristiwa yang mungkin dapat terjadi terhadapnya, baik yang bahagia, dan menyenangkan, maupun yang sengsara dan menakutkan. Rasa takut yang terbesar adalah rasa takut terhadap peristiwa yang ia sadari pasti akan terjadi padanya, ialah tibanya maut. Kesadarannya akan tiba maut itu, yang membuat salah satunya timbul nya suatu unsur yang penting dalam kehidupan manusia, yaitu religi (agama).
            Walaupun organisme manusia memang kalah kemampuan dari banyak jenis binatang berkelompok lainnya, namun kemampuan otaknya, yang kita sebut akal budi, ialah yang menyebabkan berkembangnya sistem-sistem yang dapat membantu dan menyambung keterbatasan organismenya.
            Dalam sebuah mamangan, orang Minangkabau menyebutkan,”Hiduik baraka, mati bariman.” Artinya, karena orang Minangkabau itu sadar akan kemampuan otak dengan akalnya. Sebagai manusia ia mempunyai tugas untuk menjalani hidup, mempunyai cita-cita, bermasyarakat, berkerabat-berkaum, berkampung dan bernagari. Karenanya, diperlukan akal untuk mengatasi berbagai masalah dan fenomena kehidupan, yang mereka sebut dengan hiduik baraka ( hidup berakal).
            Akal dalam bahasa Minangkabau disebut aka. Mengandung pengertian  semua yang dilakukan manusia bersumber dari akalnya. Sehingga logika, kreativitas, muslihat, pemikiran dan lain-lainnya disebut dalam satu term, yakni aka. Dalam mamangannya dilukiskan pula hiduik baraka, mati bakiro (hidup berakal, mati berkira), yang memberikan pengertian betapa luasnya makna akal dimaksud. Orang hidup harus mempunyai dan menggunakan akalnya bagaimanapun caranya, baik positif maupun negatif. Maka jika ia menghadapi kematian, maka orang harus sudah memperkirakannya dan menyelesaikan masalah yang bakal ditinggalkan.
            Dilukiskan dalam sepasang petuah betapa pentingnya hidup berakal bagi mereka, yakni ketiadaan ameh buliah dicari, ketiadaan aka putuih tali (ketiadaan emas boleh dicari, ketiadaan akal putus bicara). Maksudnya adalah tiada mempunyai harta dapat dicari, akan tetapi bila kehabisan akal – maka habislah kemampuan untuk menyatakan pendapat- Pasangannya adalah indak baameh putuih tali, indak baraka taban bumi (tidak ada harta putus tali, tak berakal terban bumi). Kalau melarat atau jatuh melarat habislah hubungan dengan siapa saja, tapi kalau tidak berakal dunia orang tidak dapat diimbangi.
            Menurut bahasa akal disebut aka, “aka” mengandung dua pengertian, yakni aka(l) dan aka(r). Pengertian akal manusia yang disamakan dengan akar kayu, bahwa akal manusia itu menjalar bagai akar kayu. Justru karena itu, akal manusia itu merupakan sumber dari kreativitas, logika, muslihat, pemikiran atau pengetahuan, di mana orang hidup menggunakan akal dengan segala upaya, berbuat baik maupun buruk.
           
(1)   Orang bijaksana disebut sebagai orang yang mempunyai aka panjang (akal panjang), yang dapat menjangkau permasalahan yang jauh ke depan dan jauh ke belakang. Ada beberapa mamangan dan petuah mengenai orang berakal panjang ini; maminteh sabalun hanyuik, bakameh sabalun kanai (memintas sebelum hanyut, berkemas sebelum datang masalah). Artinya, orang itu waspada terhadap kejadian yang akan mungkin terjadi kelak. Kemudian cara dia berpikir, yang lebih luas melihat masalah,  yaitu takilek ikan dalam aia, lah jaleh jantan batinonyo (terbayang ikan dalam air, maka ia sudah tahu jantan betinanya) Artinya, dia sangat arif melihat dan maksud tujuan dari seseorang atau kelompok yang datang mengadu permasalan padanya.
(2)   Orang pandai, disebut sebagai orang yang mempunyai aka banyak (akal banyak), yaitu orang yang senantiasa dapat memecahkan masalah yang dihadapi dengan hasil yang baik. Naluri aka banyak dalam menyelesaikan masalah disimpulkan dalam mamangan maelo rambuik dalam tapuang, tapuang indak taserak, rambuik indak putuih (menarik rambut dalam tepung, tepung tidak terserak, rambut tidak putus). Namun akan berbeda pengertiannya, bila orang disebut banyak aka. Pameo ini cenderung kepada hal yang negatif, suka membuat orang lain pusing, tertipu atau membuat masalah.   
(3)   Orang licik, disebut juga sebagai orang yang mempunyai aka babaliek atau akal yang berbelit. Ia menggunakan akalnya untuk menipu, mempecundangi orang lain. Dalam mamangannya disebutkan panuhuak kawan sairing, mangunting dalam lipatan (penohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan). Pada kehidupan sehari-hari, orang ini berlagak bagai seorang pahlawan, seakan-akan ingin menolong orang, padahal perbuatannya itu hanya pura-pura belaka. Ia disebut juga berladang tebu di bibir. Dan orang ini pun dapat dikategorikan sebagai orang “banyak akal” untuk menyembunyikan kelicikan.
(4)   Orang bodoh, disebut sebagai orang yang mempunyai aka pendek. Akalnya pendek, tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapi.

Membicarakan masalah akal yang menjurus pada ajaran etika yang kreatif bagi kepentingan lingkungan dan kepentingan pribadi, baik dalam pertimbangan atau dalam menggunakan akal secara baik menurut filsafat mereka. Kemampuan manusia dalam menggunakan akalnya tidak sama, maka akal dibagi menurut ukuran dalam empat bagian:

(1)    Aka sajangka (akal sejengkal), yakni tentang ukuran dari orang yang senantiasa merasa dirinya lebih pandai dari orang lain.
(2)    Aka dua jangka (aka dua jangka), yaitu tentang ukuran akal  dari orang yang senatiasa merasa dirinya sama pandai dengan orang lain.
(3)    Aka tigo jangka (akal tiga jangka), yakni tentang ukuran akal dari orang yang senantiasa merasa dirinya kurang pandai dari orang lain.
(4)    Aka bajangka-jangka (akal berjangka-jangka), yaitu ukuran akal dari orang yang senantiasa merasa perlu belajar pada semua orang, baik kepada yang lebih pandai maupun yang kurang pandai.

Bagaimanakah tanda-tanda dari orang yang mempunyai akal? Filsafat mereka menyebutkan sebagai berikut: Pertama, terlihat pada lahirnya – ia pendiam, penyabar, rendah hati dan suka berbuat kebajikan. Kedua, terlihat pada batinnya – mau belajar, suka memberi, rajin beribadat dan berani mengatakan kebenaran.
Pada ketentuan lain, digambarkan sebab-sebab orang kehilangan akal. Orang kehilangan akal dibagi dalam empat hal, yakni:

(1)   Karena takut menghadapi kenyataan dan tantangan.
(2)   Karena malu melihat kelemahan diri sendiri.
(3)   Karena jahat sehingga ia melihat segala sesuatu dari sudut yang buruk
(4)   Karena bebal, sehingga tidak mampu mengunakan pikiran.

Menurut ajaran mereka, guna akal ada empat hal, yakni:

(1)   untuk memelihara budi, agar senantiasa luhur.
(2)   untuk memelihara diri, agar senantiasa selamat.
(3)   untuk memelihara kaum, agar senantiasa sejahtera
(4)   untuk memelihara harta, agar senantiasa memberi rahmat.  

Hikmah akal menyangkut pertimbangan bagi enam kebajikan:

(1)   untuk menimbang berat dan ringan, agar selalu adil.
(2)   untuk menimbang tinggi dan rendah, agar selalu santun.
(3)   untuk menimbang rugi dan laba, agar selalu beruntung.
(4)   untuk menimbang tingkah laku, agar selalu disenangi.
(5)   untuk menimbang hina dan mulai, agar selalu jujur.
(6)   untung menimbang jerih payah, agar selalu berkebajikan.  

HARGA DIRI

            Setiap manusia mempunyai ego atau kehendak agar dapat sama dengan orang lain. Tentunya ego tersebut didukung oleh motivasi atau dorongan, dorongan itu mereka lahirkan dalam ungkapan “malawan dunie urang” (melawan dunia orang). Harga diri orang Minangkabau sebenarnya bukan hanya berdasarkan yang datang dari luar dirinya belaka. Ia adalah merupakan keharusan bagi mereka sebagai manusia. Tema atau ungkapan melawan dunia orang lain mengandung amanat selalu hidup bersaing terus menerus dalapam pencapaian – kemulian, derajat, kepintaran dan kekayaan seperti yang telah diraih orang lain.
            Persaingan memang diperlukan dalam perjuangan hidup, artikata ia harus mempunyai patron yang jelas, tidak asal seruduk begitu saja. Bila hendak menjadi orang pandai, ia harus rajin berguru atau belajar menuntut ilmu. Kalau memang ingin menang dia harus menegakkan kemenangan itu tanpa kebimbangan, bila ingin kaya dia harus bekerja keras, gigih dan tidak mudah putus asa.        
            Namun dalam sisi yang lain, mereka harus menjaga keseimbangan dalam meraih harga diri tersebut. Pepatah mereka sering mengingatkan, “mangurangi sio-sio, malabaiehi ancak-ancak”  (mengurangi sia-sia, melebihi adalah kegilaan). Suatu kesia-sia jika mereka kurang dari orang lain, sifat seperti itu membuat seseorang selalu rendah diri dan kurang percaya pada diri sendiri. Sebaliknya, apabila seseorang selalu merasa berlebih atau merasa lebih pintar dari orang lain, adalah suatu kegilaan – membuat orang sombong, angkuh dan bersikap tidak terpuji. Kemampuan manusia terbatas menurut kodratnya, justru itu dalam petuahnya mereka mengakatakan, “manjangkau sarantang tangan, mamikua kasuek bahu, malompek saayun langkah, bakato sapanjang aka” (menjangkau serentang tangan, memikul sekuat bahu, melompat seayun langkah, berkata sepanjang akal). Maksudnya, hidup bersaing melawan orang lain harus memiliki pengetahuan dan kemampuan dirinya, seperti dikemukakan petuah di atas. Lazimnya disebut tahu diri.
            Pemahaman tahu diri atau mawas diri berlaku untuk semua orang, baik mereka dalam posisi lemah maupun yang berposisi kuat. Bagi mereka yang lemah, mereka disuruh menyesuaikan dengan kemampuan yang ada padanya, tidaklah melebihi karena melebihi itu merupakan suatu “kegilaan” Sementara itu bagi mereka yang berada pada posisi kuat dan berkuasa, ia juga harus tahu diri. Dia harus hati-hati, dalam mamangannya disebutkan, “:Kok kuek jaan malendo, kok tinggi jaan maimpok” ( Jika kuat jangan melanda, bila tinggi jangan menghimpit). Maksud dari mamangan itu adalah bila mana ia berada pada posisi kuat dan berkuasa – ia harus tahu diri, tidak sewenang-wenang kepada mereka yang berada di bawahnya atau mereka yang dalam posisi lemah- Orang kuat dan berkuasa dalam pandangan orang lemah dan rendah, ibarat pohon beringin, “daunnyo tampek balindung, batangnyo tampek basanda, dahannyo tampek bagantuang, ureknyo tampek baselo”  (daunnya tempat berlindung, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, akarnya tempat bersila atau duduk)
Petuah tersebut bermaksud memperingatkan kepada orang berada dalam posisi kuat dan berkuasa, haruslah menggunakan kekuasaannya sesuai dengan aturan. Dalam masyarakat Minangkabau yang komunal tidak ada istilah “aji mumpung” atau mentang-mentang sedang berkuasa, selagi kaya. Karena selalu diingatkan dengan petuah, “Kok kayo- urang indak kamamintak, kok cadiak-urang indak kabatanyo, kok kuaik-urang indak kabalinduang, kok bagak-urang indak kabaparang”  (Jika kaya- orang tidak akan meminta, bila cerdik- orang tidak akan bertanya, kalau kuat-orang tidak akan berlindung, jika berani-orang tidak akan berperang). Maksudnya, betapapun kaya, kuat dan berkuasa, serta pandai tapi bila ia tidak tahu diri, maka mereka yang berada di bawahnya, tidak akan peduli pada mereka – orang yang berada dalam posisi lemah dan rendah, tidak akan merendahkan dirinya di hadapan mereka itu-
Terhadap tindakan orang kuat dan berkuasa itu yang mempunyai sikap sok berkuasa, sok pintar, maka ada peringatan dalam pameonya, “Elok-elok nan di ateh- nan di bawah kamaimpok.” (Ingat-ingat yang di atas- yang di bawah akan menghimpit). Pameo ini merupakan peringatan dan perlawanan yang dibuat oleh mereka yang berada di bawah atau dalam posisi lemah. Mereka yang berada di bawah akan melakukan perlawanan terhadap kesewenangannya itu. Akan terjadi perubahan, perubahan karena ada sebab, apabila alam telah rusak, yang mereka sebut dengan basabab bakarano!.
Dari penjelasan tersebut, maka filsafat Alam Minangkabau memberikan patron tentang alam itu sebagai berikut ; matahari dengan panasnya, air dengan sejuknya, angin dengan hembusan, tanah dengan kesuburannya- tidak saling menguasai, melenyapkan atau mengecilkan peranan yang lain. Ada keharmonisan, atau dengan kata lain, ada keselarasan, keseimbangan, kesetaraan yang akhirnya terpulang pada hukum Alam.
Merasa diri tak berharga bukanlah sikap orang Minangkabau karena hal itu merupakan kesia-siaan. Sementara itu merasa diri lebih tinggi, lebih segala-galanya dari orang lain adalah kegilaan – sesuatu yang tidak pantas, tidak sesuai dengan ajaran pandangan hidup atau filsafat yang mereka anut.
Pemberontakan atau pergolakan yang terjadi di Minangkabau karena etnis ini merasa harga diri mereka terlanggar, dinodai oleh suku atau bangsa lain. Adat, pandangan hidupnya berusaha ditukar oleh kerajaan maupun bangsa yang datang dan digantikan cara kekerasan. Oleh karena itu mereka rela berkorban, baik nyawa maupun harta melawan kezaliman bagsa penjajah itu. Bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun, malah berabad, mereka berjuang mengangkat diri mereka. Belanda hampir putus asa menghadapi perlawanan rakyat Minangkabau. De Rooy, salah seorang ahli Adat Minangkabau berpendapat tentang sikap suku bangsa Minangkabau menghadapi penjajah tersebut :
“Marilah kita bandingkan rakyat Minangkabau dengan rakyat timur yang beragama Islam lainnya, yaitu bangsa Jawa, bangsa yang telah mendapat pengaruh bangsa Eropa, yang perasaan individualitasnya juga lebih kuat  dan di mana tidak berlaku hukum warisan perkawinan seperti di Minangkabau. Apakah ini berarti di Jawa lebih, lebih kaya, lebih banyak kehendak untuk bermusyawarah dan lebih kuat sifat enterprenuernya? Mungkin seluruh Hindia Belanda ini tidak ada daerah yang mendapatkan kemakmuran secara umum, malah disebut kekayaan alam dan dalam waktu itu kurang dari 50 tahun mencapai kemajuan begitu cepat seperti di Padangche bovenlanden. Suatu daerah tidak terdapat kemiskinan dan transportasi manusia dan barang hampir seluruhnya berada di tangan rakyat sendiri dan orang tidak usah takut akan ditekan maupun diperas. Oleh karena itu bangsa Melayu (yang dimaksudnya suku bangsa Minangkabau) tersebut berani untuk berjuang mempertahankan haknya terhadap yang memerintah yang ingin merongrong hak-hak mereka itu.”
Apa yang ditulis oleh De Rooy sekian abad yang lalu, jika kita pahami maka jelaslah suku bangsa Minangkabau sangat teguh memegang prinsip hidup mereka seperti diwarisakan oleh Adat dan filsafat Alam Minangkabau. Harga diri mereka tidak rela terinjak-injak oleh siapa pun. Dalam suatu ungkapannya mereka berkata,”Labih elok bakalang tanah, dari pado baputiah mato” (Lebih baik berkalang tanah, dari pada berputih mata). Maksudnya, mereka lebih suka mati dari pada harga dirinya dilecehkan orang.
Disamping itu harga diri menurut alam pikiran mereka yang tidak bisa dimaafkan adalah aib, yaitu mencuri, mengemis, menjadi budak, berzina atau melacurkan diri, menjual diri kepada orang lain. Bukan saja pribadi atau individunya yang terkena tapi lingkungannya pun ikut menanggung malu. Dalam pribahasa mereka menyebutkan,”Saikua bakubang, sakandang kanai luluak” (Seekor kerbau berkubang, sakandang kena lumpur). Keaiban merendahkan diri kepada orang lain, tidak bisa ditebus, tidak bisa dibayar dalam bentuk materi. Bahkan keaiban itu tidak bisa dibagi-bagi akibat malu yang dideritanya. Pun orang Minangkabau memandang aib adan merendahkan diri bila ia mengeluh dan menangisi nasibnya pada saat kesulitan. Rasa malu yang diderita itu melibatkan seluruh kaum kerabat dan lingkungan masyarakat sendiri, karena mencemarkan lingkungan kerabat – seakan-akan lingkungan itu tidak mampu melindungi masyarakatnya sendiri –
Sebagai ilustrasi tersebut, kalau orang Minangkabau dalam kesulitan, dia lebih suka berdendang atau menyanyi-nyanyi kecil mengobati hatinya yang luka untuk melupakan kesedihannya. Untuk menutupi kekurangannya, ia berusaha tampil rapi ketika keluar rumah, tetap ceria kendatipun sebenarnya ia sedang rusuh dan susah. Justru karena itu ada pameo mengatakan ; Omong Betawi-Lagak Padang. Maksudnya, orang lain boleh pintar bicara tapi orang Padang (orang Minangkabau) dengan penampilannya tidak mungkin dikalahkan. Itulah salah satu kiat mereka mengangkat harga dirinya.
Prinsip keteguhan harga diri memegang ajaran nenek moyangnya, mereka aplikasikan dengan berusaha menyembunyikan kesulitan sebesar apa adanya. Mereka tidak akan mengadukan masalahnya kepada orang di luar lingkungannya. Aib atau harga dirinya yang telah jatuh, hanya mereka sampaikan kepada orang terdekat – kaum kerabatnya – Ungkapan babiliak ketek-babiliak gadang (berbilik kecil-berbiling besar), bermakna bahwa permasalahan yang diderita haruslah diselesaikan terlebih dahulu di kelompok kecil. Kelompok kecil adalah kerabat dekat – saudara-saudara, orang tua dan mamaknya – Bila persoalan tersebut masih menemui jalan buntu. Maka persoalan tersebut dibawa ke bilik gadang, maksudnya masalah itu dibawa ke kelompok yang lebih besar, yaitu kepada orang yang sesuku,setaratak, sekampung dan seterusnya. Akan tetapi tetaplah permasalahan itu tidak dapat dibawa ke luar lingkungan masyarakatnya.
Ketakutan orang Minangkabau kepada aib yang mengakibatkan harga mereka jatuh di dalam masyarakat, bukanlah ketakutan pribadi belaka. Pun akan mengimbas pada kaum kerabatnya. Justru karena itu sebelum kena aib, dia harus berpandai-pandai menjaga diri. Dalam mamangannya mereka berkata, mamakan habieh-habieh-manyurauk hilang-hilang (memakan habis-habis-manyuruk hilang-hilang) Artinya, orang yang berbuat tak sesuai dengan kelaziman maka dia benar-benar dapat menghapus jejak perbuatannya sehilang-hilangnya. Karenanya mereka selalu memperhatikan dan menjaga diri agar tidak terjadi; sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya!
Orang luar yang tidak mengenal alam pikiran Minangkabau sering menghakimi sewcara sepihak, berpendapat bahwa mereka manusia hipokrit, tidak sesuai kata dengan perbuatan: Angguak anggak-geleng amuah (Angguk enggan-geleng mau). Sebenarnya penolakan dengan angguk dan penerimaan dengan geleng adalah pertanda mereka bersikap hati-hati untuk membuat pernyataan. Dalam sistuasi mendesak tak mungkin, orang mengambil keputusan. Sebab keputusan yang diambil dengan tergesa-gesa, lebih banyak mudarat dari pada manfaatnya. Petuah mereka menyebutkan: Pangana indak sakali tumbuh-pikiran indak sakali datang (Ingatan tidak sekali tumbuh-pikiran tidak sekali datang). Untuk menerima fan menolak suatu yang baru tentulah memerlukan pemikiran dan kajian yang mendalam. Apalagi lagi menyangkut hal-hal prinsip. Contoh, masyarakat Minangkabau dalam menerima ajaran agama Islam cukup lama. Negeri ini cukup lama mengenal Islam sekitar abad VII M. Sekian abad kemudian Islam mereka terima secara utuh, kemudian suku bangsa ini sangat teguh dan menjadi penganut yang fanatik. Ada ucapannya yang berbau klise bahwa orang Minangkabau itu adalah orang Islam. Namun, seperti juga penganut Islam di belahan Nusantara ini, orang Minangkabau ada juga yang disebut Abangan, Jumatan, Ramadhanan, Idulfitrian dan seterusnya. Tapi jangan coba-coba menyebut mereka “bukan orang Islam” Ucapan itu sungguh-sungguh menusuk perasaan mereka, betapapun premannya mereka – pastilah anda akan dimakinya habis-habisan. Karena anda dianggap telah menjatuhkan harga diri mereka. Hidup dalam kandungan harga diri. Dan mati dalam beriman.  Itulah sosok orang Minangkabau!

AWAK dan AWAK SAMO AWAK

            Sumber filasafat Minangkabau adalah Alam takambang jadi guru – Suku bangsa ini membentuk masyakarakat yang komunitas, baik permukiman maupun usaha dan sosial. Setiap kelompok  yang lebih besar pun kelompok yang kecil saling berbaur dengan identitas masing-masing dan terpelihara dalam ikatan kehidupan kebudayaan, serta filsafat yang sama – Dikiaskan pengelompokan dan pemabauran selaras unsur alam, unsur yang dapat diraba oleh indera. Dalam kelompok kediaman. Terdapat beberapa kampung di suatu Nagari. Aada banyak nagari dalam satu Luhak, ada beberapa Luhak dalam alam Minangkabau.
            Kelompok sosial diawali dengan rumah tangga yang tergabung dalam satu kaum. Kaum bergabung dalam Suku, gabungan tersebutlah yang menjadi sebutan Urang Awak. Seperti filasafat alam yang mereka anut, penggabungan itu bukanlah peleburan. Di sini dapat ditarik perumpamaan, bila anda berdiri di pinggir sungai lalu melempar batu kecil – maka akan terjadi raik-riak semula membentuk lingkaran kecil, kemudian lama kelamaan semakin tampak riak lingkaran lebih besar. Lingkaran besar akibat riak tersebut disebut Awak besar, sedangkan lingkaran kecil disebut Awak kecil atau individu. Di luar lingkaran itu disebut orang lain, karena tidak termasuk lingkungannya. Dalam pemahamannya maka pengertian awak besar akan mengkaibatkan pupusnya awak-awak kecil ke dalam kebersamaan yang komunalistik. Individu akan merasuk ke dalam masyarakat yang lebih besar, karena individu hanya merupakan zarah (molekul) dari yang lebih besar dan luas.
            Dan dalam masyarakat komunal Minangkabau, setiap kesulitan, kemuliaan, kejayaan yang dilakukan individu atau sosok pribadi – merupakan pula kesulitan, kemuliaan, dan kejayaan bersama. Dalam bahasa lain, awak kecil meruapakan bagian yang utuh dari awak yang besar, dan sebaliknya. Oleh karena itu pemahaman lingkungan awak mempunyai batas sesuai dengan struktur masyarakatnya.
            Kemudian, meski pun semua orang itu adalah “Awak” tetapi tidak semua orang yang mereka sebut “Orang Awak” adalah Awak. Logikanya begini; lingkungan masing-masing mulai dari tingkat yang lebih besar – seperti kerabat dekat, kerabat jauh, kerabat sekaum, senagari dan berikutnya sesama Awak Minangkabau – karenanya ada ungkapan babiliek ketek-babaliek gadang – (berbilik kecil-berbilik besar)
            Pengertian Awak babiliek ketek-babiliek gadang tersebut, yang pertama disepakati dan diselesaikan dalam rung lingkup kecil, baik dalam menunjang hidup atau meminta bantuan serta menyampaikan kesulitan yang dialami kepada kerabat dekat, yaitu saudara kandung. Menurut alam pikiran mereka, meminta bantuan atau menyampaikan kesulitan kepada orang di luar bilik ketek, sama artinya dengan minta angok keluar badan (minta nafas keluar tubuh atau badan) Semestinya mereka terlebih dahulu mencari bantuan kepada kerabat dekat guna mengatasi kesulitan hidupnya. Andaikata kerabat dekat tidak mampu menanggulangi, maka kerabat itu menyampaikan pada bilik gadang. Yaitu kerabat jauh.
            Hubungan awak sama awak yang senantiasa terjaga dapat menghilangkan fungsi hukum formal yang berlaku dalam masyarakat mereka, misalnya terjadi perselisihan atau persengketaan maka terlebih dahulu diselesaikan secara biliak ketek. Andaikata menemui jalan buntu lalu disampaikan lewat biliak gadang.

KESEIMBANGAN dan KEBERSAMAAN

            Harga diri merupakan motivasi persaingan antara sesama mereka, baik secara pribadi maupun komunal, supaya mencapai tingkat demi menaikkan harga diri pribadi maupun kamum kerabatnya. Namun nilai-nilai keseimbangan harus diperhatikan dan terus terjaga bagi harmoni dalam masyarakat. Seperti diketahui bahwa setiap persaingan sesungguhnya dapat menimbulkan konfik-konfik yang mengakibatkan perkelahaian massal atau meluas ke arah peperangan. Konflik itu dapat terhindar karena tetjadi perkawinan antara Suku, antar kampung, sehingga antara mereka rasa ikatan yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat.
            Demikian pula dalam sistem kerja dikembangkan – tidak hanya satu Suku saja (suku yang sama). Misalnya dalam sistem “restoran Padang”, walaupun terdiri dari urang awak tapi juga meruapakan awak besar – mereka belum tentu satu Suku, mungkin hanya satu kampung. Dalam tata cara memperoleh hasil kerja bukan berdasarkan gaji harian atau bulanan. Namun setiap orang tetap memperoleh hasil dengan cara bagi hasil sesuai dengan fungsinya. Semua awak yang bekerja di restoran itu akan merasa memiliki usaha tersebut, jika malas berarti ia akan mencelakakan usahanya sendiri. Mereka bersaing dengan wajar, wajar karena memiliki rasa kebersamaan.
            Menjaga keseimbangan yang harmonis itu memakai ukuran, mereka sebut; raso jo pareso. Filsafat mereka mengajarkan bahwa setiap orang mempynyai rasa atau perasaan, dan perasaan tersebut kadangkala disebut juga hati. Hati selalu mempunyai timbangan yang baik. Untuk berbuat yang baik, jika muncul keinginan untuk berbuat buruk atau jelek terhadap orang lain, maka berarti bukanlah berasal dari hati tapi berasal dari hawa nafsu. Oleh karena itu mereka harus menimbang dengan pareso (periksa). Maka dengan raso jo pareso adalah suatu ukuran dalam mamangannya disebutkan “ hukum piciak jangek – sakik raso dek awak- sakiek raso dek urang” (hukum cubit kulit – sakit rasa oleh diri – sakit pula bagi orang lain) Jika kita berniat mencelakai orang lain, cobalah kita renungkan sejenak. Apakah perbuatan zalim itu kalau dilakukan oleh orang lain kepada kita. Tentulah kita kan menderita juga. Jika benar, maka hukum seperti itulah yang disebut hukum piciek jangek. Justru karena itulah, periksalah suatu masalah menurut alur yang lazim, pertimbangan dengan rasa kepantasan atau dengan kata lain- periksalah menurut hati nurani. Namun hal tersebut dapat dielakkan apabila terjadi suatu hal yang memaksa, diluar kemampuan seseorang maka raso jo pareso tak mungkin dilaksanakan. Mereka pun dapat melakukan cara tak menurut alur, kita dapat berbuat sesuatu yang kita ingini tapi janganlah orang lain merasa dirugikan. Dalam pameonya disebutkan; awak mandape-urang indak kahilangan. Pameo ini dapat digunakan dalam berbagai keadaan, yang maknanya yaitu tenggang rasa.
            Sabagai mana Alam jadi guru bagi mereka, masing-masing unsur alam berbeda peranan dan sifatnya, tapi saling membaur dalam alam semesta dengan kedudukan yang sama pentingnya, demikian juga susunan masyarakat Minangkabau. Sebagai suatu kesatuan yang utuh, dengan segala keragaman manusia, berbeda kebutuhan dan kepentingan, kemampuan yang berisikan kebaikan dan keburukan yang dapat menimbulkan berbagai kemungkinan. Namun tidak saling melenyapkan.
            Mereka mempunyai motivasi yang kuat untuk hidup dinamis yaitu memelihara harga diri agar jangan direndahkan dan agar tidak memalukan. Oleh karenanya mereka berlomba dan berkompetesi secara terus-menerus, tak henti-hentinya dalam siklus keharmonian alamnya. Mereka membentuk keluarga dalam perkawinan, akan tetapi tetap mempertahankan eksistensi pribadi masing-masing. Lelaki memiliki kekuatan dan juga kekuasaan tapi lelaki tidak memiliki harta pusaka. Mereka berkampung-kampung dan banagari tapi memelih diri dengan bersuku-suku. Mereka tinggal dalam rumah gadang tapi berbilik-bilik. Mereka selalu menjaga kebanggaan kaum dengan kental dan fanatik tapi tak bermaksud untuk mengalahkan yang lain.
            Dengan acuan tersebut mereka hidup, berusaha dan berjuang untuk memancarkan eksistensi dirinya sesuai dengan ikatan bersama yang ada, sehingga tercipta komunalitas yang kokoh. Jadi orang Minangkabau tak pernah merasa kesulitan, apabila terjadi kesulitan dan kebuntuan hidup maka mereka berpedoman pada sikap dan pameo yang mengiaskan : Duduak sorang basampiek-sampiek-duduak basamo balapang-balapang. Di muka bumi ini orang tidak mungkin hidup sendiri, apalagi dalam masyarakat komunal di Minangkabau. Mereka hidup di atas rumah gadang dengan kerabat keluarganya, berbilik-bilik, berkeluarga tapi bukan berarti terpisah dari masyarakat, tidak memisahkan diri dari kaum dan sukunya. Orang yang memisahkan diri dapat dianggap orang merendahkan diri sendiri. Filasafat alam yang mereka aunut mengu tamakan persatuan, hidup bersama dan kesamaan.
            Konsep kebersamaan mereka bukanlah diibaratkan persatuan seperti perpaduan pasir, semen atau kapur – kemudian jadi beton. Persatuan mereka diibaratkan seperti seikat sapu lidi yang dipertautkan oleh simpai – sendiri-sendiri tapi bersama dalam ikatan yang kokoh. Oleh karena itu orang Minangkabau tidak memiliki istilah “Persatuan”, yang mereka gunakan adalah sama dan bersama, yaitu dihimpun semua bukan menjadi satu, melainkan menjadi suatu kebulatan. Orang seorang adalah sama dengan orang lain, orang seorang dengan orang lain jadi bersama.
            Dalam kehidupan bersama dengan hak dan kewajiban yang sama, diperlulan suatu kesatuan yang utuh (totalitas). Untuk mencapainya mereka mempunyai pimpinan yang harus ditaati secara bulat. Pemahaman makna pimpinan itu adalah saiyo-sakato, baiyo-iyo, yang pasangan katanya adalah babukan-bukan. Maka artikulasinya yaitu pimpinan  yang disebut bagi orang Minangkabau bukanlah pisik tapi lebih tertuju ke arah kata mufakat yang bulat, seperti yang mereka nukilkan dalam mamangan: kamanakan barajo ka mamak – mamak barajo ka panghulu- panghulu barajo ka mupakaik. Mupakaik barajao ka alua jo patuik (Kamanakan baraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja mufakat. Mufakat berpedoman kepada alur dengan patut) Meskipun mufakat tersebut telah menurut garis yang ditentukan untuk dibicarakan bersama. Namun mufakat itu mempunyai persyaratan , yaitu kebulatan pendapat. Kebulatan pendapat tersebutlah yang mereka sebut dengan sakato; bahwa mufakat yang berarti beriya-berbukan, yang seterusnya melahirkan kesatuan kata bulat.  Sementara itu seiya-sekata dapat saja timbul karena rasa segan, segan menyampaikan pendapatnya yang berbeda di depan orang ramai. Dalam pada itu rasa persamaan dan kebersamaan meletakkan setiap orang pada nilai yang sama sederajat pada tingkat awal. Dari sudut demokrasi perbedaan pendapat tidak berarti bahwa seseorang atau kelompok tidak ikut bersama orang lain yang bukan sependapat.
            Filsafat Alam takambang jadi guru mengajarkan bahwa pandangan hidup mereka, yang diterima turun temurun, mereka sebut dengan ungkapan : tak lakang dek paneh-tak lapuak dek hujan (tidak lekang oleh panas- tak lapuk oleh hujan). Kelestarian tersebut bukan  berarti statis atau jumud. Akan tetapi lebih memperlihatkan bahwa filosofi tersebut mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan, seperti keadaan alam yang kadangkala berubah. Namun hakekatnya tidak berubah dan abadi. Proses perubahan itu dituangkan dalam mamangannya : sakali aia gadang, sakali tapian baraliah (sekali air besar, sekali tepian beralih). Artinya, ketika terjadi banjir bandang maka tempat mandi pun beralih atau berpndah ke tempat lain. Namun kehidupan sungai tetaplah tidak berubah. Maka dalam menyikapinya mereka berpendapat bahwa perubahan tersebut adalah wajar saja, karena perubahan alam itu disebabkan kehendak alam, di luar kemampuan manusia.
            Perubahan lainnya karena memang harus berubah, oleh keperluannya – di mana peraturan yang lama tidak sesuai lagi dengan keadaan dan memang harus diperbaharui demi kemajuan. Dalam mamangannya dinukilkan – usang-usang dipabaharui, lapuak-lapuak dikajangi – nan elok kadipakai (usang-usang diperbaharui, lapuk-lapuk dibuang- yang baik yang akan dipakai)
            Alam itu akan terus hidup, meski pun seperti sebuah pohon yang patah, akan tumbuh lagi cabang baru. Zat alam yang hilang seperti air, api, angin tanah yang lenyap dan berubah, ia akan tetap ditemui legi. Sikap demikian adalah sikap optimisnya orang Minangkabau – asalkan mereka mampu dan mau menyesuaikan diri menurut ketentuan alam seperti ajaran yang mereka anut- Namun sikap seperti itu bukanlah mencerminkan sikap bunglon atau pucuk aru, yang sering ditafsirkan orang sebagai makhluk yang berubah-ubah dan meliuk ke arah mana angin bertiup. Ada pepatah yang menyebutkan sikap mereka secara pas, yaitu : Di mano bumi di pijak- di sinan langiek dijunjuang (Di mana bumi dipijak- di sana langit dijunjung)  Artinya, dalam menyesuaikan kehidupan di mana kita tinggal, bukan berarti akan menjadi pembeo atau jadi penurut, sehingga kehilangan jati dirinya. Mereka tetaplah mempunyai pendirian yang tetap, dalam pantunnya mereka berkata :

            Biriak-biriak tabang ka samak, dari samak ka halaman
            Patah sayok, tabang baranti - basuo tanah rato
            Dari niniak turun ka mamak, dari mamak turun ka kamanakan,
            Patah tumbuah hilang baganti, pusako lamo baitu juo

(Birik-birik terbang ke semak, dari semak ke halaman. Patah sayap terbang berhenti- bertemu tanah rata. Dari ninik turun ke mamak, dari mamak turun ke kemenakan. Patah tumbuh, hilang berganti, pusaka yang lama begitu juga)

            Dari pantun tersebut terlihat betapa orang Minangkabau dapat menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati dirinya dan kebudayaan suku bangsanya. Pun ada pula pameo lain yang mendukung sikap tersebut : Pandai bakisa dilapiak salai, bakisa namun duduak di sinan juo. Bakisa tagak di tanah nan sabingkah (Pandai berkisar ditikar selembar, namun duduk di sana juga. Pandai tegak di tanah sebingkah) Maksudnya, jika ia akan berubah mengikuti orang lain tapi ia ikuti tanpa merubah landasan hidupnya, yaitu ajaran nenek moyangnya. ***

Catatan :

* Onjak urang, artinya dalam pergaulan kehidupan di tengah-tengah masyarakat, ia harus mempunyai kemauan untuk mengikuti arus pergaulan itu sendiri. Dia harus mempunyai motivasi yang jelas agar tidak dilecehkan orang lain. Justru karena itu orang Minangkabau tidak boleh bermalas-malasan, terutama untuk mencari sumber kehidupan yang nantinya dapat membahagiakan keluarga dan kaum kerabatnya.

Dari Meja Kerja Amran SN
Padangsarai - Sumatera Barat, Mei 2011




0 komentar:

Posting Komentar