Selasa, 24 Mei 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (5)


5
 Tuan Logos

          Nago turun di jalan Hamka dari angkutan kota. Kemudian menyeberang menuju toko buku. Memang sudah lama sekali ia ingin ke sana, membeli sebuah buku. Setelah menitipkan tas di depan, Nago langsung naik ke lantai dua.
            Seperti pengunjung lain, Nago melihat buku-buku yang terpajang di rak-rak maupun pada meja khusus. Walaupun sebenarnya ia telah menyiapkan pilihan sejak berangkat dari rumah, tapi tak salahlah kalau ia menyempatkan diri melihat judul yang lain.
            Di sudut sana, Nadia dan Sarah sedang asyik membaca buku. “Saya mau beli buku ini,” kata Nadia. Gadis itu memperlihatkan judul buku tersebut pada Sarah.
            “Itukan buku sejarah. Kamu kan jurusan sastra.”
            “Apa salahnya. Pengetahuan itu kan saling berhubungan.”
            “Saya suka buku ini,” tukas Sarah seraya memperlihatkan buku yang ditempelkan ke dadanya. Judul buku tersebut “Kamasutra”.
            Nadia ketawa renyah. “Kamu kok jadi romantis tiba-tiba.”
            Sarah pun ketawa. Lalu kedua gadis itu pergi ke kasir. Ada beberapa buku yang mereka beli. Setelah itu mereka langsung turun ke bawah.
            Nago Salapan tertegun. Ia tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Bukankah gadis berambut panjang sepunggung itu, Puti Rinjani? Segera Nago melangkah ke kasir, ia membayar buku yang dipilihnya. Kemudian bergegas turun ke bawah.
            Kedua gadis itu menyeberang, menunggu angkot di seberang sana. Sebuah kendaraan berhenti, Nadia dan Sarah naik.
            Dan di trotoar Nago menyapukan pandangannya. Ia memandang angkot yang bergerak ke arah selatan. Terhenyak anak muda itu pada kedua kakinya. Kerinduannya pada Puti Rinjani telah terbawa oleh kendaraan tersebut. Seketika kerongkongannya kelat, haus. Ia beli air mineral gelas pada kios di pinggir jalan tersebut. Lalu ia teguk sekali teguk, sejuk kerongkongannya seketika.
            Tiba-tiba Nago ingat Katib Agam. Ia membawa lelaki tersebut ke pasentrennya di Kotopanjang. Murid-murid yang berada di sana bertanya penuh kekhawatiran akan nasib guru mereka.
            “Kalian tidak usah cemas. Saya baik-baik saja, sebentar juga sembuh,” kata Katib Agam pada murid-muridnya. Lalu ia menoleh pada Nago,” Anak muda ini sahabat lama saya. Ialah yang menyelamatkan saya dari iblis-iblis itu.”
            “Mudah-mudahan ia cepat sembuh,” bisik Nago dalam hati. Langkahnya mengayun ke kantor surat kabar yang tidak jauh dari toko buku. Biasanya, siang ini Atos manggal di sana, Nago menggumam.

            Dalam pada itu, Nadia dan Sarah berjalan memasuki Taman Budaya. Mereka memang janji dengan Bu Narni. Ketika kedua gadis itu di pintu kantor, Bu Narni berkata,”Kebetulan kalian datang. Terlambat sedikit, saya akan ke museum. Di sana seniman-seniman sedang musyawarah.”
            Tidak begitu lama mereka menghadiri acara musyawarah seniman itu, mereka kemudian keluar berbarengan dengan Bu Narni. Dan kedua gadis ini naik angkot jurusan Tabing. Saat itu sebuah kendaraan lain bergerak mengikuti angkot yang ditumpangi Nadia dan Sarah.
            “Kamu yakin gadis itu yang dicari Pak Logos,” kata sopir kendaraan yang mengikuti angkot tersebut.
Orang yang di samping sopir mengangguk. “Ya, saya yakin. Kamu lihat potret ini,” ujarnya seraya memperlihat potret itu.
Sopir melihat potret Nadia sekilas. “Okelah,” ujarnya.
            Angkot yang tumpangi kedua gadis itu, berhenti sebelum lampu merah, di depan masjid. Dari sana Nadia dan Sarah jalan kaki ke simpang. Di simpang itu mereka menyambung oplet “baruak cigak”
            “Tunggu apa lagi. Kita sergap gadis itu.”
            “Jangan gegabah. Jika kita sergap sekarang, orang ramai akan heboh,” tukas lelaki berambut cepak yang duduk di samping sopir.
            “Lalu kapan?”
            “Ikuti oplet omprengan itu.”
            Siang itu panas terik. Seekor anjing tua berjalan terseok-seok, lidahnya menjulur kepanasan. Ibu kost sedang menyapu di teras. Tubuhnya yang subur itu bergelambiran dan bergoyang-goyang ketika bergerak.
            “Siang Bu,” mereka menyapa Ibu kost. Ibu kost hanya mendengus. Kedua gadis itu segera masuk ke dalam rumah. Sementara itu laki-laki berambut cepak turun dari mobil, ia langsung masuk ke halaman. Tanpa bicara apa-apa, ia langsung menerobos masuk.
            “Hei, mau ke mana kalian!”
            Si rambut cepak tidak peduli dengan teguran Ibu kost.  Ia telah sampai di ruang tengah. Tatkala itu Nadia dan Sarah baru saja duduk. Mereka heran karena laki-laki rambut cepak itu hadir dengan tiba-tiba.
            Ibu kost masuk. “Apa dia teman kalian,” perempuan itu berkata dengan nada tinggi.
            “Saya tidak mengenalnya,” balas Nadia.
            “Saya juga,” Sarah menimpali.
            Serta merta wajah Ibu kost kelabu karena amarah. Ia menuding si rambut cepak. “Keluar!” Pekikan Ibu kost yang penuh emosi itu percuma saja. Dari belakang muncul seorang laki-laki lain. Laki-laki itu menyumpal mulut perempuan tersebut dengan sapu tangan. Sapu tangan yang diberi serbuk penenang. Ibu kost seketika mengelosor ke lantai. Pingsan!
            Dan laki-laki berambut cepak mencabut pistol dari balik jaket. Ia mengacungkan pada Nadia dan Sarah,”Rinjani! Kamu ikut kami,” kata Gugum si rambut cepak itu.
            Sarah bolak-balik melemparkan pandangan, pada Gugum, pada lelaki yang melumpuhkan Ibu kost, pada Nadia. “Siapa itu Rinjani. Saya Sarah dan ini Nadia, temanku,” gadis itu berusaha menjelaskan.
            Sesaat Gugum terdiam. Tapi kemudian ketawa lebar. “Kalian tidak bisa mendustai kami. Gadis berambut sepinggang itu adalah Rinjani.”
            Nadia maju ke depan. Berdiri beberapa langkah dari mereka. “Ya, denai Puti Rinjani Ada urusan apa dengan kalian,” ujar Nadia. Mata gadis itu kini tampak mencorong tajam memandang kedua orang laki-laki tersebut.
            “Tuan Logos ingin bertemu dengan kamu.”
            “Siapa itu tuan Logos. Saya baru mendengar nama itu hari ini,” sahut Nadia tajam.
            “Kamu harus ikut kami. Kalau tidak kami akan bertindak kasar.”
            “Baik, saya akan ikut kalian, Tapi jangan coba ganggu teman saya dan Ibu kost,” Nadia berbalik mengancam.
            Gugum mendengus. Ia memberi isyarat pada Kompe, si sopir itu. Kompe mendekati Nadia bermaksud menarik tangan gadis itu. Akan tetapi Kompe salah duga, ia mengira gadis itu akan bisa diperlakukan seperti itu. Nadia menepiskan tangan Kompe yang hendak menyentuhnya. Mendelik Kompe, tepisan tangan Nadia menyengat sampai ke jantung laki-laki itu.
            “Saya bisa jalan sendiri,” kata Nadia.
            Sarah mengejar Nadia ketika hendak naik ke mobil. “Jaga dirimu baik-baik Nadia,” ujar Sarah sendu.
            “Semuanya akan baik-baik saja. Saya pasti kembali.”
Air mata menetes di pipi Sarah sasat kendaraan yang membawa nadia menghilang di tikungan. Ia masuk kembali ke rumah. Ibu kost telah siuman.
“Mereka membawa Nadia?”
Sarah mengangguk.

*

            Tuan Logos sedang bicara lewat HP dengan Anurangga, di rumahnya yang terletak di kawasan Ratulangi tersebut. “Saya memang berminat pada benda kuno itu,” katanya.
            “Tapi tidak mudah mendapatkannya, tuan.”
            “Oh, soal seperti itu memang sudah saya duga. Saya telah menyediakan dana cukup besar untuk mendapatkan Selendang Pembunuh Anggang. Tuan Anurangga, orang-orang saya telah menyebar ke kota dan kabupaten di Sumbar ini.”
            “Baiklah, jika demikian tekad tuan. Denai akan membantu tuan. Bila tuan memerlukan,” kata Anurangga di seberang sana.
            Tuan Logos ketawa senang. “Oya, bukankah tuan sekarang berada di Jatim? Tuan harus hati-hati. Suasana di sana sedikit panas. Saya pernah tugas di sana selama sepuluh tahun.”
            Kali ini Anurangga yang ketawa. Ada nada lain pada ketawa itu. “Panas? Gadis-gadis di sini memang panas. Denai suka itu. Tapi di sini denai sedang mengembangkan duit panas. Ha…ha…ha…”
            Seorang berpakaian dinas datang menghadap. Waktu Logos menoleh, orang itu melapor. “Gadis itu telah ditemukan, Pak.”
            Tuan Logos mengangguk pelan. Lalu memberi isyarat pada orang tersebut. Orang itu memberi hormat, lalu melangkah keluar.
            “Kalian boleh membawa gadis itu menemui Bapak,” kata laki-laki pelapor pada Gugum dan Kompe.
            Kedua lelaki itu menggiring Nadia masuk ke ruangan Logos. Ruangan itu ditata mewah. Lantainya berlapis permadani Turki. Sudut-sudut ruangan bersusun benda keramik buatan Cina. Dekat meja kerja Logos, tegak patung perunggu mirip patung yang ada di kastil Buckingham.
            Logos memandang Nadia sejenak. Kemudian menarik sebatang cerutu dalam boks yang terletak di meja kerja. Ia gigit pangkal cerutu, lalu membakarnya. Asap mengepul ke udara. Aromanya harum. Harum cerutu Havana.
            “Inilah gadis itu, Pak,” kata Gugum.
            Manggut-manggut Logos mengamati Nadia. Lantas Logos meletakkan cerutu di asbak. Ia melangkah mendekati gadis itu. “Ternyata kamu seorang gadis cantik. Saya laki-laki suka akan kecantikan gadis muda sepertimu. Logos mengitari Nadia, dengan nakal matanya menelusuri tubuh Nadia.
            Ketika Logos semakin nakal, ia hendak menyentuh dagu Nadia dengan ujung jari. Nadia mundur setapak. Sentuhan jemari Logos menyentuh tempat kosong. Ia tersenyum dan berkata,” Saya hanya ingin berbisnis nona.”
            “Saya bukan pedagang,” sahut Nadia ketus.
            Mendengar jawaban Nadia, Logos menghentak tumit sepatunya ke lantai. Ia menjauh beberapa langkah. Wajahnya tampak berubah tapi bibirnya tersenyum. Ia tatap Nadia lekat-lekat, “Saya memang beruntung karena nona bukan pedagang.”
Ruangan yang sejuk itu tidak membuat nadia sejuk. Ia merasa muak berhadapan dengan Logos. “Katakan apa yang dimaksud tuan mamanggil saya ke sini?”
“Saya ingin berbisnis. Berbisnis dengan seorang putri. Engkau, Putri Rinjani. Saya ingin membeli Selendang Pembunuh Anggang.”
Diam sesaat Nadia. Orang ini ingin membeli Selendang Pembunuh Anggang. Dari mana ia mendapat informasi tentang selendang tersebut? Tapi yang jelas saya tidak akan menjualnya, batin gadis itu. Nadia lalu mendongak menatap Logos, dan berkata,”Saya tidak memiliki selendang itu. Andaikata saya mempunyai selendang tersebut. Saya tidak akan menjualnya pada anda.”
Logos kembali ke kursinya. Ia membakar kembali cerutu yang tadi taruhnya di asbak. Aroma harum cerutu Havana menebar di ruangan itu. “Saya yakin kamu adalah pemilik Selendang Pembunuh Anggang. Nona jangan mungkir. Tawaran pertama saya 100 juta rupiah.”
Semakin muak Nadia mendengar ucapan laki-laki itu. “Agaknya tuan telah menerima informasi yang salah. Saya tidak memiliki benda tersebut, sekali lagi saya tidak tahu menahu tentang Selendang Pembunuh Anggang. Izinkanlah saya pergi,” ujar Nadia.
“Nona boleh saja pergi. Tapi serahkan dulu selendang itu.”
Gadis itu menatap Logos. Tatapannya bercahaya-cahaya. “Anda keliru. Sebaiknya uang 100 juta itu disumbangkan kepada fakir miskin. Amal tuan akan dikenang orang sepanjang masa. Dan anda akan dilimpahkan pahala berlipat ganda oleh Allah.”
Berguncang-guncang dada Logos karena ia ketawa terbahak-bahak. “Hebat kamu nona. Ternyata kamu bisa juga berkhotbah,” kata Logos seraya mematikan cerutu kembali di asbak Wajah Logos kelabu tapi bibirnya tersenyum. “Berapa kamu minta harga yang kau minta untuk selendang itu. Katakanlah!”
“Saya lebih baik pergi!” Nadia membalikkan tubuh, ia melangkah menuju pintu. Gugum dan Kompe bertindak segera. Mereka melompat hendak meringkus gadis tersebut. Tapi diluar dugaan mereka, gadis itu berputar lincah. Nadia melepaskan tendangan ke lambung Gugum. Gugum terbungkuk. Ketika Kompe menelikung dari belakang, Nadia mengangkat tumitnya ke belakang, menghantam kerampang Kompe. Laki-laki itu meraung seraya memegang kemaluannya.
Segera Nadia berkelabat keluar ruangan. Namun ia surut kembali. Di depan berbaris sepuluh orang mengancam dengan senjata otomatis.
Logos terbahak-bahak. “Jika masuk kandang harimau. Kamu tidak mungkin keluar. Kecuali mati…”
Gadis itu seperti berada di ujung tanduk. Betapa tidak, sepuluh serdadu itu adalah orang-orang terlatih. Mereka sudah berpengalaman menumpas gerakan separatis dan teroris. Dalam keadaan genting mereka diturunkan. Menculik, membunuh tanpa berkedip adalah bagian mereka.
Nadia surut dengan langkah teratur. Sementara itu dari belakang Logos menarik anggar yang terpajang di dinding. Anggar di tangan Logos bukanlah “pedang” sembarangan. Konon senjata itu pernah dipakai oleh seorang Musketir, tokoh anggar masa lalu yang legendaris.
Logos tidak menunggu lama, ia segera menebas pinggang Nadia. Dengan lenturan tubuh yang sempurna, gadis itu berkelit. Dalam jarak waktu yang sempit Nadia meletik bagai ikan gabus, dan turun menjejakkan kaki di meja kerja Logos.
“Kamu memang keras kepala.”
“Tuan kepala batu.”
Nadia melayang turun dari meja dan melepaskan tendangan kilat ke arah Logos. Logos terkesima, ia tidak menyangka Nadia bergerak secepat itu. Anggar di tangan Logos terpental dihantam tendangan gadis tersebut. Ia tersandar ke dinding.
Berkunang-kunang pandangan Logos seketika. Tatkala ia stabil kembali, Logos berseru,”Habisi dia!”

Melihat induk semang mereka dipecundangi, kesepuluh serdadu melepaskan tembakan beruntun ke arah Nadia. Menurut akal sehat, gadis itu tidak akan lolos dari terjangan hujan peluru itu. Saat yang mendebarkan tersebut, Nadia mempertautkan sepasang ibu jarinya.
Cahaya keemasan membersit membungkus tangan Nadia. Ruangan itu kemilau emas. Kini tampak gadis itu membentangkan Selendang pembunuh Anggang. Lalu saat itu Nadia membungkus tubuhnya dengan selendang. Hujan peluru yang menyiram Nadia rontok seketika ke lantai.
Seperti dalam mimpi Logos menyaksikan peristiwa tersebut. Sepuluh serdadu melongo, mulut mereka terbuka lebar. Dan mereka pun lengah ketika Nadia mengibaskan Selendang Pembunuh Anggang, angin menderu kencang. Gadis itu menghilang tanpa bekas dari ruangan itu.
Logoa terhenyak di lantai. Sepuluh serdadu pilihan tersebut lemas dan rebah. Ketika Logos sadar, ia memekik lantang. “Kejar dia!”
Sepuluh serdadu itu tersentak, kalang-kabut mereka menghambur keluar. Tidak ada apa-apa di halaman. Di halaman mereka hanya melihat kendaraan lalu lalang. Kesibukan di rumah Logos menarik orang ramai. Mereka menyaksikan serdadu mondar-mandir dengan senjata lengkap. Beberapa orang berkerumun di luar pagar.
Atos turun dari motornya, ia menitipkan motor itu di kafe yang bertetangga dengan kediaman Logos. Wartawan muda itu menjepretkan tustelnya ke arah serdadu yang sibuk di halaman. Kemudian melangkah beberapa meter dan bergabung dengan kerumunan orang ramai.
Gugum melihat aksi Atos, ia bergegas keluar. Laki-laki itu menarik lengan Atos. Orang ramai hanya memandang dengan tatapan kosong. Ada di antara yang bersungut-sungut, menceloteh seenaknya.
“Apakah negeri ini berlaku lagi undang-undang darurat?”
“Mungkin begitu.”
“Dia menyeret wartwan itu!”
“Apakah dia tidak tahu undang-undang pers?”
“Artinya dia melanggar HAM.”
“Ham. Apa itu?”
“Ham itu makanan orang Amerika.”
“Nanti saya pilih Capres dari militer. Biar negeri ini aman.”
“Saya pilih Partai Periuk Nasi saja.”

Gugum menghentakkan Atos ke kursi yang ada di teras. Wajah Gugum dipasang segarang mungkin. “Siapa yang mengizinkan kamu memotret rumah ini!”
Memacu jantung Atos cemas. Tapi ia tetap mampu menjawab pertanyaan Gugum. “Memotret itu bagian dari kerja wartawan.”
“Kamu tahu rumah siapa ini?”
“Ya, saya kenal Pak Logos. Dia seorang pejabat yang suka senyum dan ramah.”
Kompe muncul dari dalam, ia menggamit Gugum, mengajak masuk ke dalam. Gugum segera masuk. Kelihatan Logos duduk di meja kerjanya, ia memijat-mijat dahi. Tampaknya ia risau akan lolosnya Nadia bersama Selendang Pembunuh Anggang itu.
“Siapa dia?”
“Wartawan, Pak.”
Logos menyusun jemari menutup sebagian wajahnya. Merenung ia sejenak. “Ia bilang apa?”
“Ia bilang bapak suka senyum dan ramah.”
Tersenyum Logos. Senyum itu menyembunyikan keperihan. Perlahan Logos membuka laci meja, ia letakkan sebuah amplop. “Katakan saya sedang rapat. Berikan ampau ini. Tapi jangan lupa menyita klise jepretannya.”
Gugum keluar.

*

            Menjelang senja Nadia mengetok pintu rumah kost. Kedengaran langkah mendekati pintu. Pintu terbuka. Sepasang alis Sarah mencuat ke atas, ia tidak percaya yang berdiri di hadapannya itu adalah Nadia.
            “Kamu pulang?”
            “Ya.”
            Sarah memeluk Nadia lekat-lekat. “Kami semua mengkhawatirkan kamu,” ujar Sarah sendu. Sarah kemudian bergegas ke dalam. “Bu…Ibu. Nadia pulang,” katanya penuh keriangan. Ibu kost bangkit dari duduknya, terseok-seok perempuan tambun itu menemui Nadia. Ia memeluk dan mencium gadis itu sepuas-puasnya.
            “Ceritakan. Ceritakan apa yang terjadi, Nadia.”
            “Saya baik-baik saja. Ibu lihat sendiri. Bukankah saya sehat-sehat saja.”
            “Pikir ibu,  mereka ngapa-ngapain kamu. Syukurlah engkau selamat,” kata perempuan itu. Ia menoleh pada Sarah,”Antarkan nadia ke kamarnya.”
            “Tidak usah, Bu. Saya bisa naik sendiri.

            Sementara itu Anurangga turun dari pesawat. Di luar menunggu Moen dan Slang. Ketiganya langsung ke rumah Logos.
            “Dia gagal mengambil Selendang Pembunuh Anggang dari tangan Puti Rinjani,” kata Anurangga dalam perjalanan. “Tuan Logos itu sekutu kita. Dia telah banyak membantu denai. Oleh karena itu kalian harus membantu dia.”
            Slang dan Moen diam. Mereka tampaknya lebih suka menjadi pendengar yang baik. Salah-salah sorong, mereka bisa kena damprat. Lewat lampu merah, Moen mengambil jalur kanan, sesaat masuk ke halaman.
            Gugum dan Kompe melangkah turun dari undakan teras ketika Anurangga keluar mobil. Kompe hendak meraih tas Anurangga, membantu membawa tas tersebut. “Tidak usah. Biar Slang saja,” kata Anurangga menoleh pada Slang.
            Slang cepat menenteng tas itu. Lalu mengikuti langkah Anurangga bersama Moen.
            “Selamat datang tuan,” sapa Logos seraya memeluk Anurangga. Lelaki itu mempersilahkan tamunya duduk, dan berbasa-basi. Tidak lama kemudian datang dua gadis pelayan membawa minuman dan makanan kudapan.
            Suatu kelebihan yang dimiliki Logos, ia tahu selera tamaunya. Sengaja ia persiapkan dua gadis cantik mengantar minuman ke hadapan Anurangga. Pakaian mereka seksi, ketika gadis itu membungkuk meletakkan minuman, kelihatan pangkal payudaranya seperti hendak melompat keluar.
            Anurangga memang tak tahan akan suasana seperti itu. Tangannya jadi nakal, ia mencubit paha gadis yang terdekat. Gadis itu mengaduh renyah. Anurangga semakin gemas. “Saya suka kamu. Siapa namamu?”
            Gadis itu mengerling pada Logos. Logos menyahut, “Gadis berkaos merah itu, Desi. Dan yang berkaos kuning, Lola.”
            “Saya suka keduanya.”
            Moen berbisik pada Slang, “Saya paham juga.”
            Slang memalangkan telunjuk pada Moen.
            Logos memberi isyarat kepada kedua gadis itu. Kedua gadis itu berlalu dari ruangan tersebut. “Bila tuan suka. Nanti akan saya atur. Tapi kini kita bicara santai dulu.”
            Anurangga ketawa lebar. Slang dan Moen tersenyum.
            Di luar sana lampu jalan telah menyala. Kendaraan semakin ramai berlalu lalang di jalan raya. Pembicaraan antara Logos dan Anurangga makin serius, terutama tentang Selendang Pembunuh Anggang.
            “Lewat telpon kan sudah denai bilang, tidak mudah mendapatkan Selendang Pembunuh Anggang. Tanpa melibatkan orang-orang seperti kami. Usaha tuan akan sia-sia.”
            “Saya paham.”
            “Bisnis kita semakin berkembang. Tokoh-tokoh daerah konflik telah sepakat bekerjasama dengan sindikat. Sindikat telah memasok kebutuhan mereka. Tapi ada tantangan serius yang mungkin kita hadapi,” ujar Anurangga.
            “Tantangan?”
            “Ya.”
            “Apakah tantangan itu dari sindikat lain?”
            “Mereka adalah organisasi tanpa bentuk. Dan sangat misterius.”
            Logos menyusun jemarinya ke bibir. Ia berpikir sejenak. “Orang-orang saya akan melacak keberadaan mereka. Tapi mereka itu siapa. Berikan informasi kepada kami.”
            “Mereka manusia abadi. Salah seorang di antaranya Puti Rinjani. Dan yang paling berbahaya adalah pacarnya.”
            “Pacar gadis itu. Siapa dia?”
            “Dia, Nago Salapan.”
            Makin risau Logos mendengar informasi Anurangga. Namun pembicaraan “bisnis” itu semakin hangat. Malam pun semakin larut.** (Bersambung...6)

Dari Meja Kerja, Amran SN 
Padangsarai - Sumatera Barat, Mei 2011




0 komentar:

Posting Komentar