Selasa, 17 Mei 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (2 & 3)

           2

Tiga Orang Preman Tewas

          Dandanan laki-laki itu mirip perempuan. Bibirnya merah, rambutnya dicat oranye. Kemejanya berkembang-kembang dengan warna menyala. Tampaknya ia sedang menunggu seseorang di kafe itu. Sebentar-sebentar ia melihat arloji yang melingkari tangan kirinya.  
            Seorang laki-laki bertubuh tegap muncul di pintu kafe. Ia melmabaikan tangan pada laki-laki berdandan menor itu. Kemudian melangkah masuk seraya menyalami Slang, si laki-laki menor itu. “Tuanku Anurangga segera datang,” ujar laki-laki tegap.
            “Saya sudah menunggu hampir satu jam,” Slang mendecih.
            “Tuan pasti datang,” sahut Moen, laki-laki tegap itu.
            Orang ramai berlalu lalang di luar sana. Mereka masuk ke toko, melihat-lihat pakaian, lalu keluar lagi. Itulah pemandangan yang tidak aneh di Mall. Kadangkala sepasang remaja memojok di sudut emperan.
            Slang lagi-lagi melihat arloji, sepertinya yak sabaran. Gelisah memang. Menatap Moen tang duduk di hadapannya. “Moen. Coba kamu hubungi Tuanku.”
            Moen mengangguk, ia segera menghubungi Anurangga dengan HP. “Ya, tuanku. Saya dan Slang menunggu di kafe ini.”
            Kedengaran suara di seberang sana, suara Anurangga. “Wah, denai tidak bisa datang. Sebab sore ini pada saat yang bersamaan, ada pertemuan dengan rekan-rekan dari Timur Tengah. Dan nanti malam akan ada pertemuan dengan Konsorsium Eropa.”
            “Jadi tuanku?”
            “Nanti akan denai hubungi lagi!” HP di seberang sana diputuskan. Moen mengatur nafas perlahan. Ia menangkap kekecawaan di wajah Slang.
            Slang menopang dagu dengan tangan kanan. “Padahal pertemuan kali ini menyangkut hidup mati kita. Kita kaum abadi golongan hitam,” ujar laki-laki banci itu dengan suara sengau.
            “Hidup mati. Bukankah kita abadi. Sungguh saya tidak mengerti maksudmu Silangkaneh. Kamu kok berpikir begitu?”
            Silangkaneh atau Slang menghirup jus lemon di gelas lewat pipet. Bibirnya berdecap-decap. Ia kemudian menatap Muncak atau Moen yang juga menatapnya. Sejenak ia menarik nafas dalam-dalam. “Saya kira Tuanku Anurangga pasti tahu tentang ini.”
            “Apa yang kamu ketahui?’
            “Ibusuri telah menemukan Rinjani. Ia telah memberikan Selendang Pembunuh Anggang pada gadis itu.”
            “Selendang Pembunuh Anggang? Bukankah selendang itu hanyalah isapan jempol atau dongeng.”
            Slang ketawa renyah. “Dalam dunia nyata selendang itu dapat disebut dongeng. Tapi dalam dunia abadi, Selendang Pembunuh Anggang adalah musibah bagi manusia abadi. Terutama bagi kita yang mereka sebut sebagai golongan hitam.”
            “Tapi kita ditakdirkan hidup selama dunia ini masih berputar. Senjata secanggih apapun tak mungkin membunuh kita.” tukas Mone.
            Sebelum Slang menjawab. Kedengaran cemooh sinis di pojok sana. “Hai banci. Kamu bicara apa. Sakit kepala kami mendengar,” Tiga orang muda di pojok sana ketawa terbahak-bahak.
            Mendelik mata Moen pada mereka. “Mereka tampaknya mencari perkara,” gumam Moen. Ketika hendak bangkit mendekati ketiga pemuda itu, Slang menarik bahu Moen,”Jangan bikin ribut di kafe ini. Sebaiknya kita tunggu mereka di ruang parkir.”
            Slang menggamit pelayan. Setelah membayar minuman, Slang mengajak Moen keluar. Ketiga pemuda itu mencibir pada mereka.
            “Hallo say…” Salah seorang dari mereka menyapa dengan gaya banci.
            “Hallo juga,” Slang membalas tak kalah genitnya. Sepertinya dia tidak tersinggung oleh cemooh ketiga orang pemuda itu. Bahkan ia melenggok-lenggok ketika melihat ketiga orang itu. Sebenarnya Moen ingin membanting ketiga orang tersebut. Tapi ia ingat pesan Slang, agar tidak membuat keributan di kafe itu.

            Slang masuk ke mobil. Dan Moen duduk di samping. Tak tersirat emosi atau kemarahan di wajah Slang. Ia tampak tenang, bersandar ke kursi mobil. “Mereka datang,” bisik Slang.
            Kedengaran suara ketawa. Mereka saling bercanda.
            “Banci gaek. Tak tahu diuntung, lagaknya bukan main.”
            “Kamu naksir dia Bob?”
            “Naksir apaan. Emangnya gue doyan gituan
            Mereka ketawa terbahak-bahak. Bob masuk ke mobil, Sapar dan Hamdan pun masuk. Bob menghidupkan mesin, ia masukkan perseneling mundur. Menderu mobil itu memekakkan kuping. Tapi mobil itu tidak bergerak. Bob menginjak pedal gas dalam-dalam. Tetap saja mobil tidak mau atrek. “Par, kenapa kamu duduk doang. Ayo turun. Coba lihat apa ada yang mengganjal”
            Sapar turun. Ia memeriksa roda belakang, kalau-kalau ada yang mengganjal.  Namun ia tidak melihat apa-apa. “Beres aja kok,” ujarnya berteriak. Kemudian naik lagi.
            Tukang parkir di sana melihat seorang lelaki berdiri di belakang mobil Bob. Ketika mobil itu menderu, bergerak, ia melihat lelaki itu menahan mobil dengan tangan. Tukang parkir terpana.
            Mobil menderu lagi. Tapi kandas. Ia ganti persneling maju, seraya bercarut bungkang. Mobil bergerak ke depan. Dan tiba-tiba Bob menukar gigi mundur. Mobil bukannya mundur tapi terangkat naik!
            “Bego lu Par. Lu periksa lagi, apaan yang membuat roda belakang naik.” Bob, Hamdan dan Sapar segera meloncat keluar. Mereka terperanjat menyaksikan Slang dan Moen berada di belakang mobil. “Banci, lu apain mobil gue hah!” Bob menuding Slang.
            Slang ketawa genit.
            Tanpa menunggu lagi, Bob menubruk Slang. Ia yakin banci gaek itu akan terjungkal. Terjungkal dengan kepala terhempas ke lantai parkir. Namun apa yang diduga Bob, tidak sama dengan kenyataan. Banci gaek itu tak bergeming.
            Bob terhuyung ke belakang. Pandangannya berkunang-kunang. Anak muda itu tidak percaya pada apa yang dialaminya. Serudukannya demikian keras tapi tak menghasilkan apa-apa.
            Hamdan dan Sapar mendekati Bob. Mereka yang memapah Bob yang terhuyung-huyung bagai kapal oleng diterjang badai.
“Kamu tidak apa-apa Bob?”
Kok jadi gini.”
            Bob meringis. Tapi kemudian ia membentak,”Kenapa kalian ngomong aja. Habisi kedua orang itu!”
            Hamdan dan Sapar maju serentak. Berbarengan menerjang Slang dan Moen yang berdiri berdampingan. Hamdan meleyangkan pukulan ke pelipis Slang. Sedangkan Sapar menendang perut Moen.
            Tukang parkir yang berdiri di sudut sana terpana. Ia mengenal ketiga orang preman itu. Mereka sering membuat keributan di Mall ini. Sebulan yang lalu mereka telah menganiaya sepasang muda-mudi. Keduanya terpaksa diangkut ke rumah sakit karena luka parah. Sekarang kejadian itu akan berulang kembali, gumam tukang parkir itu. Pastilah kedua lelaki gaek itu akan menjadi pecundang. Tukang parkir itu mendengar suara melenguh bagai kerbau disembelih, dan berderak. Ia memicingkan mata, tidak kuasa menyaksikan!
            Hamdan dan Sapar terlempar bagai layang-layang putus. Mereka jatuh ke lantai parkir bagai cempedak masak. Apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kedua manusia abadi itu masih berdiri kokoh?
            Pukulan tangan Hamdan menghantam dagu Slang. Hamdan kaget, ia seperti meninju tembok, pergelangan tangannya nyeri. Dia humbalang ke belakang, hilang keseimbangan, dan jatuh. Sementara itu tendangan Sapar ditangkap Moen. Demikian cepat peristiwa itu berlalu. Tulang lutur Sapar patah berderak dihantam siku Moen.
            Bob pun tak percaya. Ia tahu, kedua temannya itu, Hamdan dan Sapar adalah petarung yang handal. Entah berapa banyak preman yang roboh dan keok ketika berhadapan dengan mereka.
            Moen mendekati ketiga preman itu, sepasang matanya bercahaya aneh. “Kalian akan jadi bubur,” ujar lelaki itu. Moen mengangkat lengannya tinggi, sepasang lengan itu mencuat ke atas seperti hendak meraih sesuatu. Sekonyong-konyong muncul cahaya pada kedua telapak tangannya.
            Bob surut selangkah. Ia mencabut pistol di pinggang, lalu mengacungkan pada Moen. “Saya rengkah kepalamu!” Preman itu mengancam.
            Moen menyeringai.
            Jemari Bob menarik picu pistol. Pistol itu meletus, melesat peluru itu bagai kumbabg api, menghantam dada Moen. Tertunduk Moen Moen mendekap dadanya.
            Hening sejenak.
            Tiba-tiba Moen menegakkan kepalanya, ia menggenggam sebutir peluru. Sungguh aneh! Lelaki itu tak terluka sedikit pun.
            Tukang parkir di sudut sana menggigil. Bob, Hamdan dan Sapar tercengang. Tetapi ketercengangan mereka hanya sekejap. Seberkas cahaya biru menyungkup ketiga preman itu. Kedengaran suara mendesis bagai benda terbakar.
            Slang tersenyum.
            Tiga preman itu memekik histeris. Mereka bergulingan di lantai parkir. Tubuh mereka meleleh bagai lilin terbakar. Kemudian dari tubuh yang meleleh itu itu melayang tiga cahaya ke arah Moen. Cahaya-cahaya itu masuk ke dalam tubuh Moen. Bergetar tubuh laki-laki tersebut sejenak. Ia memekik keras sekuat-kuatnya.
            Di luar sana tampak lidah api. Lidah api tersebut menjulang ke udara bagai kembang api. Kemudian kembang api itu menukik ke bangunan Mall, lalu masuk ke dalam tubuh Moen. Pengunjung Mall terperanjat sesaat. Mereka menatap ke langit. Mereka mengira ada pesta kembang api. Pengunjung memang tidak mengetahui proses penyerapan roh ketiga preman itu masuk ke dalam tubuh Moen. Itulah manusia abadi!

*

            “Kamu ingat wajah kedua orang itu?” Polisi bertanya pada Pontin, si tukang parkir tersebut.
            Pontin diam. Ia tampak kuyu. Sudah dua hari dua malam ia di kantor polisi ini. Pertanyaan yang diajukan yang diajukan padanya itu ke itu juga.. Bagaimana wajah kedua orang itu?  Apa ciri-ciri mereka? Pontin sudah muak menjawab. Sudah berapa kali ia menjawab, kedua orang itu setan yang menjelma jadi manusia.
            “Kamu mau merokok?” Petugas penanya menyodorkan rokok pada Pontin. Kuyu pandangan laki-laki tukang parkir itu menatap rokok yang disodorkan padanya. Ia menarik sebatang, menempelkan di bibir. Dan petugas menyulut rokok yang menggantung di bibir Pontin.
            Asap rokok merebak di ruangan itu. Ia nikmati benar dalam setiap tarikan. “merka itu bukan manusia tapi dua orang setan,” kata Ponting tiba-tiba.
            Petugas tersentak. “Kamu bilang apa?”
            Pontin batuk-batuk. Wajahnya tampak semakin kuyu. “Bapak bertanya pada saya?” Terlompat begitu saja ucapan Pontin.
            “Ya.”
            “Mereka setan.”
            “Setan? Seperti apa wajah setan itu…”
            “Seperti bapak,” Pontin menunjuk petugas tersebut.
            Gerah seketika petugas itu. Ia membuka kancing baju bagian atas. “Apakah saya seperti setan?” Ia menggumam. Petugas itu bangkit dan berkaca pada cermin yang terpajang di ruang tersebut. Ia hanya melihat wajahnya. Darahnya mendidih sekonyong-konyong. Lalu mendekati Pontin. Petugas itu mengacungkan pentungan. “Kamu melihat apa yang saya pegang?”
            “Itu pentungan.”
            “Bagaimana kalau pentungan ini saya gebukkan,” ujar petugas itu dengan nada tinggi.
            Rokok di bibir Pontin jatuh ke kantai. “Dua orang itu adalah setan. Sudah berapa kali saya jawab pertanyaan bapak. Mereka itu setan. Setan!”
            Polisi itu mengangkat pentung di tangannya. Tapi niatnya menggebuk Pontin ia tunda ketika seorang polisi lain masuk. Polisi yang baru masuk itu berbisik sejenak padanya.  Ia manggut-manggut. Setelah temannya itu keluar, petugas tersebut berkata pada Pontin,”Ada seseorang yang peduli padamu.”
            Slang masuk ke rungan interogasi itu. Petugas menyambut ramah. Dan mempersilahkan Slang duduk di sofa yang ada dalam ruangan tersebut.
            Pontin menunduk ketika Slang menatapnya. Dada laki-laki itu sesak seperti orang habis berlari. “Saya lelah,Pak. Kembalikan saya ke sel,” kata Pontin terbata-bata.
Petugas kembali ke meja, ia menatap Pontin lurus-lurus. “Kamu kenal dengan tuan Slang ini?”
“Saya tidak ingat.”
“Ia bilang sangat kenal kamu.”
“Saya hanya tukang parkir.”
“Saya juga tahu. Tapi tuan Slang telah melihat kamu berbincang-bincang dengan ketiga korban, sebelum mereka tewas.”
“Ya.”
“Apa yang kalian bicarakan.”
Pontin melayangkan pandangannya ke arah Slang yang duduk santai di sofa. Slang tersenyum. Pontin itu melihat senyum itu dua hari yang lalu. Senyum seorang setan. Tanpa ragu-ragu lagi Pontin menuding Slang. Namun tidak ada ucapan dari bibir si tukang parkir tersebut.
“Apa yang ingin kamu katakan. Katakanlah!” Petugas itu mengguncang-guncang bahu Pontin. Namun Pontin tetap membisu. Polisi itu naik pitam, ia menampar Pontin.
“Setan!” Pontin berteriak.
Tersengal-sengal polisi itu. Tangannya perih karena berkali-kali menampar wajah Pontin. Ia menoleh pada Slang,”Maafkan saya. Saya emosi menghadapi si kepala batu ini,” ujarnya pada Slang.
“Anda masih memerlukan saya?” kata Slang tiba-tiba.
Polisi itu menggeleng pelan. “Sebaiknya tuan bicara dengan komandan. Dan tukang parkir ini dimasukan kembali ke sel.”
Menjelang menuju sel, Pontin berteriak-teriak. “Ada setan. Ada setan!”
Petugas mendorong Pontin ke dalam sel, lalu ia kunci dari luar dengan dua gembok, dan jeriji sel itu dilingkari rantai yang kemudian diberi gembok besar. Setelah itu dia mengantar Slang ke ruangan komandan.


3

Bergolak

            Nadia menyeka keringat dengan handuk. Sore itu ia berlatih tari di Taman Budaya bersama grup tari “Rantak”. Kini ia duduk bersama Yanti dan Sarah di laga-laga, sebuah bangunan berbentuk bundar dan berlantai papan. Kadang-kadang ada juga grup kesenian yang berlatih di sini, misalnya grup Randai. Pun ada juga penari yang berlatih di sini. Mungkin inspirasi penari akan lebih cepat terangkat ketika lantai papan itu terinjak kaki, kedengaran bunyi berderam-deram bagai suara gendang.
“Kita pindah ke lapau Onon,” ajak Nadia pada kedua temannya itu. Sebelum Sarah dan Yanti menjawab, Nadia telah bangkit seraya menenteng tasnya. Mau tidak mau Sarah dan Yanti mengikuti dari belakang.
            Di sana mereka memesan minuman. Beberapa orang telah duduk lebih dulu di lapau Onon. Mereka berbicara bebas, semau pikiran mereka yang mengalir bagai air sungai tanpa hambatan. Bisa membicarakan tentang pertunjukan teater, saling memuji di antara mereka, memuji lakon yang mereka mainkan. Namun ada sisi lain pembicaraan mereka, kadangkala menjelekkan antara sesama seniman. Terutama bagi mereka yang tidak hadir di sana. Anehnya hal itu merupakan sebuah dosa. Hanya dianggap sebagai pemanis omongan. “Begitulah seniman kota ini,” tutur Narti, pelatih tari itu saat mereka menunggu angkutan kota lewat.
            Mori ikut bergabung di lapau Onon. Dia seorang kreografer tari modern. Dia sering mentas di TIM. Bahkan sering diundang ke luar negeri. Reputasinya sebagai kreografer dan pimpinan grup tari modern sering mendapat pujian para kritikus nasional. Mori menyapa Nadia dan teman-temannya. “Saya kagum melihat kelenturan tubuhmu ketika menari tadi, Nad. Juga sangat gemulai dan penuh penjiwaan. Kalau kamu mau, kamu boleh bergabung dengan grup kami,” ia menawarkan.
            “Terima kasih pujian Abang,” sahut Nadia. Ia mengerling pada kedua temannya, penuh arti. Kemudian senyum.
            Naluri Mori cepat bergerak. Ia ketawa lebar. “Pujian saya itu tulus kok. Tidak ada udang di balik bakwan. “ Lelaki itu ketawa lebih lebar lagi.

            Tanpa terasa sore semakin tua. Langit merah jingga. Di ufuk barat matahari tampak tenggelam perlahan-lahan.
            “Saya pertimbangkan tawaran Abang. Tapi saya harus membicarakan dengan Bu Narni,” jawab Nadia. Ia pun permisi bersama kedua temannya. Mereka berjalan keluar, beberapa jenak kemudian di pinggir jalan raya.
            “Saya tunggu kepastianmu Nadia!” Mori berkata setengah berteriak.
            Berdiri beberapa jenak di depan Taman Budaya itu, sebuah angkot bewarna oranye berhenti. Gadis-gadis itu segera naik. Bersamaan dengan itu, Atos dan Nago berboncengan naik sepeda motor masuk pelataran Taman Budaya. Sekilas Nadia melihat punggung Nago yang berbonceng di belakang. Gadis itu ingin berteriak memanggil tapi angkutan kota yang ditompanginya telah melaju..
            “Kamu kok gelisah Nad,” sapa Yanti.
            “Ia masih ingat Bang Mori,” tukas Sarah.
            “ Kalian bisa aja. “ Nadia menatap ke pelataran Taman Budaya, di sana melaju Atos dan Nago di atas motor. Bayangan masa lalu, tahun 1959 hinggap kembali di benak gadis tersebut.

*
           
“Kita harus meninggalkan pos ini, Nago,” ujar Rinjani pada Nago. “Tentara Pusat telah memasuki Kalumbuak,” sambung perempuan itu seraya berkemas.
            “Saya tahu. Tapi saya harus menunggu seseorang. Ia pasti datang bersama Tentara Pusat. Anurangga mencari saya sekian lama. Dendamnya terus membara sejak kalah bertarung di Lunang.”
            Sebuah pesawat terbang pembom menjatuhkan bom di Bukit Ase. Tanah bukit itu berhamburan. Debunya sampai ke pos itu. Beberapa tentara pemberontak atau yang sering disebut tentara rimba menghambur keluar.
            “Tinggalkan pos ini!” Komandan regu memberi perintah. Tentara rimba bergegas mengemasi barang-barang dan menyandang senjata. Mereka merayap di sela-sela bebatuan.
            “Pergilah kamu bersama pasukan. Nanti saya menyusul,” kata Nago.
            Rinjani masih duduk di pos itu. Pesawat pembom mendengung dan menjatuhkan bom. Segera Nago menarik lengan Rinjani, ia sungkupkan tubuhnya melindungi gadis itu. Debu tanah dan bebatuan muncrat, kemudian membungkus sepasang kekasih itu.
            “Tinggal pos ini!” Letnan Ridwan berseru lantang. Sementara itu Nago keluar memondong Rinjani dari runtuhan puing-puing pos.
            “Tolong bawa gadis ini,Pak,” pinta Nago pada letnan Ridwan. Letnan itu menggamit dua tentara. “Selamatkan gadis ini, dia dari regu Palang merah,” perintahnya.
            Ketika letnan Ridwan melihat Nago kembali ke pos yang telah jadi puing-puing itu, ia berseru,”Kenapa kamu kembali ke sana!” Namun seruan itu hanya menjadi gaungan. Nago telah melesat kencang ke bekas pos tersebut.
            Nago masuk ke dalam lobang yang terbuka karena bom. Dari lobang itu ia masih sempat menyaksikan tentara rimba pimpinan letnan Ridwan telah sampai ke Bukit Sarasah. Ia lega, tentara-tentara tersebut selamat, demikian juga dengan Rinjani. Kemudian laki-laki itu masuk ke dalam lobang, menyeruak puing-puing.
Di antara puing-puing itu Nago memungut sebuah benda. Sebuah kecapi berkepala naga. Nago mengusap kecapi Naga dan bergumam,”Kita akan menunggu kedatangan mereka.”

            Malam pekat sepekat belacu hitam. Serombongan tentara Pusat bersenjata lengkap bergerak naik mendaki bukit. Sebelum itu mereka telah membakar rumah-rumah penduduk yang berada di kaki bukit. Bunga-bunga api meletik merah ke udara.
            Air selokan mendesah pelan menggiring langkah sepatu tentara Pusat yang mendaki Bukis Ase. Samar-samar kedengaran suara kecapi dipetik. Tertegun mereka sejenak. Komandan pasukan tentara Pusat ketika mendengar suara kecapi, ia merentangkan lengannya. “Kalian mendengar suara kecapi?”
            “Ya, Pak,” sahut seorang anak buahnya yang pas berada di belakang.
            “Semuanya tiarap. Jangan ada yang membuat gerakan mencurigakan atau menembak. Tunggu perintah,” ia berbisik. Lalu rombongan tentara itu terus merayap naik, berusaha merayap seringan mungkin. Kian lama kian jelas suara kecapi tersebut.
            Di antara kegelapan malam, sekonyong-konyong di angkasa kelihatan melayang jatuh seberkas cahaya. Itulah rasi bintang yang jatuh ke bumi. Seluruh pasukan tentara Pusat merapatkan tubuh ke tanah..
            Komandan mengangkat wajah, ia melihat cahaya di puncak bukit. Di balik cahaya itu berasal suara kecapi. “Tembak!” Komandan itu memberi aba-aba.
            Bagai bunyi orang merendang kacang tanah, riuh rendah peluru-peluru berhamburan ke arah cahaya di puncak bukit itu. Lalu sunyi seketika, sesunyi malaikat lewat.
            Setelah berondongan peluru itu selesai, tentara Pusat kembali merayap naik mendekati puncak Bukit Ase. Dalam hitungan seratus langkah hendak menuju runtuhan pos yang ditinggalkan tentara rimba, mendengar lagi suara kecapi.
            Komandan terperanjat. Ia ingin memerintahkan agar melepaskan tembakan lagi. Tapi suara kecapi itu mendayu-dayu, ia dan mereka yang berada di sana seakan-akan mendengar dendang “nina bobok” dari Mbok mereka.
Semuanya terbuai oleh dendang ibu mereka di masa kanak-kanak. Mata mereka jadi berat, ingin tidur. Memang pasukan itu pun bergelatakan pulas dengan senjata dalam pangkuan masing-masing. Kecuali Anurangga!
            Anurangga melangkah ke puncak bukit. Samar-samar ia melihat sosok tubuh duduk di antara runtuhan pos. Sosok itu adalah Nago Salapan yang sedang memetik snar kecapi Naga. Api unggun di hadapan laki-laki itu bergoyang mengikuti irama kecapi.
            “Ternyata engkau masih punya nyali seperti dulu,” ujar Anurangga semakin mendekat.
            Tanpa menoleh, dan tanpa menghentikan permainan kecapinya, Nago Salapan menyahut,”Saya memang sedang menunggumu Anurangga.”
            Anurangga ketawa terbahak-bahak. “Sungguh aneh. Orang seperti engkau sukar dicari duanya. Mau menunggu kematian.” Ada kesombongan dalam ucapan laki-laki itu. Ia mendengus. Lalu menendang batu sebesar kepala di depannya. Batu itu menggelinding menimpa api unggun.
            Bunga-bunga api meletik ke udara. Api unggun padam seketika. Namun Nago Salapan tidak terpengaruh oleh demonstrasi lawannya itu. Dengan tenang ia meletakkan kecapi, menyandarkan ke batu di samping dinding bukit.
            Malam kian pekat.
            Anurangga melemparkan stengun di tangannya ke bawah pohon  kayu yang telah hangus terbakar di sana  “Denai tidak perlu senjata macam ini. Hari ini denai ingin menjajal kepandaianmu Nago,” sorak laki-laki itu. Ia lalu mengeser langkah menuju lawannya itu.
            Nago Salapan masih duduk. Tapi ketika Anurangga menghambur menyerangnya, Nago Salapan berkelabat, ia meletik ke udara. Ia langkahi kepala Anurangga.
            Anurangga mendengus sinis. Sepasang matanya menyala-nyala. Kemudian ia merentangkan lengannya. Ia mirip seekor elang raksasa. Dan mendadak Anurangga berseru menggema. Sepasang lengan Anurangga berubah jadi akar hidup. Itulah ilmu “Akar Lunang” yang menjadi andalannya.
Ilmu sakti yang dimiliki laki-laki tersebut, telah menewaskan puluhan pendekar golongan putih. Bahkan Nago Salapan sendiri pun pernah merasakan kehebatan “Akar Lunang”  Ia hampir tewas dililit akar lunang yang muncul dari sepasang lengan Anurangga. Untung pendekar ini ingat akan kecapi Naga, ia memetik snar kecapi tersebut. Lilitan akar lunang mengendor dan akhirnya melepaskan korbannya. Dan Nago Salapan langsung merobohkan Anurangga dengan petikan kecapi. Perisitiwa itu terjadi ratusan tahun yang lalu.  
            “Nago Salapan, kali ini kau tidak mungkin  lolos,” kata Anurangga menyombong. Tapi kesombongan Anurangga memang pantas karena ilmu “Akar Lunang” semakin matang sejak kekalahannya di Inderapura. Ia lalu berlatih siang malam tanpa mengenal lelah.  Kini sepasang lengan Anurangga menjalar-jalar mengejar ke mana Nago Salapan berkelabat. Kibasan-kibasan lengan akar Anurangga membuat dedaunan pohon rontok berderai.
            Setelah sekian jurus, Nago Salapan terus terdesak oleh serangan beruntun lengan akar Anurangga. Ia hanya mampu berkelit dan berkelebat ke sana-sini. Setiap langkah atau lompatan yang dilakukan Nago Salapan selalu dicegat oleh serangan lawan.
            Suatu saat Nago Salapan berjumpalitan sampai tujuh kali di udara agar menjauh dari serbuan serangan lengan Anurangga. Sekarang ia bertengger di atas sebuah batu besar. Di sinilah Nago Salapan mempunyai kesempatan untuk menghimpun hawa murni dalam tubuhnya.
            Anurangga memang tidak sabar, ia ingin mengakhiri pertarungan itu sesingkat mungkin. Lelaki itu menengadah ke atas. Sepasang lengannya mencuat ke atas, akar-akar hidup lengan Anurangga berkibar-kibar. Jarak antara mereka ada sekitar dua puluh kaki. Tapi dengan ilmu Akar Lunang, sepasang lengan Anurangga dapat menjalar mengejar lawannya.
            Nago Salapan mengibaskan lengan Anurangga yang memanjang menyerang ke arah leher. Terperanjat Nago Salapan, betapa kibasannya itu tidak berhasil mengusir akar lengan Anurangga, lengan tersebut licin bagai belut. Bagaimana pun lincahnya Nago Salapan mengibaskan serangan itu, serangan lain pun segera datang silih berganti.
            Betapa pun Nago Salapan adalah seorang pendekar besar. Memiliki pengalaman bertarung yang tak terhitung banyaknya. Dengan Anurangga, inilah pertarungan yang kesekian kalinya.
            Dan Anurangga pun bukanlah nama kosong belaka. Ia seorang tokoh besar golongan hitam. Tidak banyak tokoh hitam yang mampu menyaingi ilmunya. Namun ia mempunyai kelemahan kecil yaitu emosi yang berlebihan. Kadangkala suka meremehkan lawan yang terdesak.
            Kali ini lengan akar Anurangga berhasil membelit leher Nago Salapan. Anurangga girang bukan main. Ia tersenyum sinis. Terbayang kemenangannya sudah di ambang pintu. Ia mengerahkan tenaga dengan menghentakkan kaki ke tanah dan bersamaan dengan itulah, ia menarik Nago Salapan yang lehernya terjerat akar.
            Nago Salapan melayang dari batu besar tempatnya bertahan. Saat di udara, ia jungkir-balik beberapa kali. Cengkeraman lengan akar Anurangga longgar seketika. Ketika itulah Nago Salapan mengambil kesempatan menyentakan kedua lengan akar lawan. Ia kembali melayang dan hinggap di atas batu besar. Hawa sakti dalam tubuh Nago Salapan bergelora sepenuhnya!
            Terkesima Anurangga. Tapi ia terlambat beraksi, kedua lengan akarnya putus. Lelaki itu jatuh menggelinding ke tanah. Wajahnya pucat, ia terkulai lemas.
            Burung hantu berbunyi di atas pohon sana.
            Setan-setan yang bersemayam di puncak bukit merintih.
            Sepasang lengan Anurangga yang copot, bergerak-gerak merayap lamban. Wajah Anurangga semakin kelabu dalam pekat malam.
            Nago Salapan turun dari batu besar. Ia segera mengemasi barang-barangnya, ransel dan kecapi Naga. Lalu siap meninggalkan tempat itu. “Saya tidak berniat membunuhmu. Sebaiknya engkau kembali ke jalan benar,” ujar laki-laki itu seraya melangkah. Melangkah menyusul pasukan tentara rimba.
            Kembang-kembang api naik ke udara bagai kunang-kunang beterbangan. Asap kelabu mengepul di puncak bukit Ase. Anurangga tengadah ke langit, ia menghirup udara malam. Sekonyong-konyong sepasang lengannya kembali bertaut bagai sediakala. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala, gerakan itu disebut “Penyatuan Roh Anggang”
            “Nago!”
            Suara itu menggema sampai jauh. Anurangga memungut stengun yang tergeletak di tanah. Kemudian ia berlari kencang menyusul Nago Salapan, meyeruak kelamnya malam. Seraya berlari lelaki itu melepaskan tembakan beruntun.
            Nago Salapan menunda langkah. Ia tunggu lawannya yang sedang dibungkus api amarah. Dengan cahaya matanya yang tajam, Nago Salapan dapat mengikuti gerak-gerik Anurangga.
            “Kita belum selesai!” Anurangga memekik.
            “Apa maumu?”
            “Tidak boleh ada dua ayam jago dalam satu kandang.”
            Nago Salapan tersenyum.
            Sejenak kemudian senjata di tangan Anurangga menyalak-nyalak. Berondongan peluru itu bagai rantai api menerjang tubuh Nago Salapan. Kedengaran bunyi mendesis saat rantai api tersebut singgah di di tubuh Nago Salapan. Pakaian anak muda itu cabik-cabik beserpihan. Kini senjata di tangan Anurangga telah kosong.
            “Tuan telah puas?”
            “Phuah!” Anurangga meludah ke tanah. Di jantungnya bertengger sebutir darah hitam. Darah yang penuh kesumat. Dendam kesumat melekat dalam dada Anurangga, karena Nago Salapan telah ikut campur dalam percaturan kekuasaan di Pagaruyung. Nago Salapan memihak pada Basa IV Balai. Yang akhirnya membuat Anurangga terdepak dari singgasana Pagaruyung. Zaman boleh berganti, tapi ambisi Anurangga yang haus kekuasaan tersebut tak akan pernah berubah.
            Malam semakin renta. Hembusan angin Bukit Barisan menusuk tulang sumsum. Rambut Nago Salapan berkibar-kibar.
            Nafsu membunuh Anurangga lebih berkibar-kibar lagi. Sepasang matanya bercahaya bagai bola api. Tiba-tiba mulutnya terbuka lebar, lidahnya menjulur keluar. Akar sebesar lengan melesat deras keluar dari mulut laki-laki itu. Semak belukar tersapu rapuh dilanda lidah akar Anurangga. Lidah akar itu menjalar mengejar Nago Salapan.
            Kembang-kembang api masih terlihat bagai ratusan kunang-kunang. Nago Salapan sadar bahwa kali ini lawannya tidak main-main. Ia pun sadar Anurangga telah mengerahkan ilmu “Akar Lunang” tingkat terakhir. Pada tingkat tersebut, Anurangga dapat merubah setiap jengkal tubuhnya jadi akar yang ganas. Bahkan bila terluka maka setiap tetesan darahnya akan menjalar jadi akar.
            Lidah akar mengibas ganas bagai ekor dinosaurus, binatang purba yang lenyap ribuan tahun lalu di muka bumi ini. Pohon-pohon sebesar paha orang dewasa bertumbangan. Dan Nago Salapan terpaksa berkelabat ke sana-sini di antara pohon yang bertumbangan.
            “Grrrhh!”
            Sampai saat ini, Nago Salapan belum punya peluang membalas serangan lawan. Yang dapat dilakukannya hanya berkelit ke sana ke mari.
            Melihat lawannya jungkir balik menghadapi serangannya, Anurangga terbahak-bahak. “Hidupmu akan berakhir Nago Salapan!”
            Nago Salapan beringsut ke belakang. Ia tidak melayani ocehan lawannya. Segera ia mencari tempat bertahan, ia bersandar pada pohon beringin di bukit itu. Itulah satu-satunya pohon yang belum tumbang oleh libasan lidah akar Anurangga.
            Meluncur deras lidah akar ke arah Nago Salapan. Ketika lidah akar itu mendesis hanya beberapa jengkal dari laki-laki tersebut, ia menjulurkan tangan kanan menangkap lidah akar.
            Lidah akar Anurangga membelit lengan Nago Salapan, bergetar keras lengan itu.  Dan lidah akar menyeret Nago Salapan  beberapa langkah. Lalu menghempaskan ke tanah. Tulang belulang anak muda ini seakan-akan rontok.
            “Grrhhh!”
            Lidah akar Anurangga terus tubuh Nago Salapan yang masih tersengal-sengal. Kini lidah akar membelit sekujur tubuh Nago Salapan. Dada pendekar ini sesak seperti hendak pecah. Saat detik hidup mati tersebut, Nago Salapan merapalkan ilmu “Balik Awah”. Ada cahaya menggerinik di sekujur tubuh Nago Salapan. Apa yang terjadi kemudian? Lidah akar menyurut dan berbalik mengarah pada pemiliknya!
            Anurangga terperanjat. Lagi-lagi terlambat bereaksi, lidahnya itu meluncur bagai anak panah yang lepas dari busur. Kedengaran bunyi desisan panjang. Lelaki itu meronta-ronta ketika lidahnya sendiri membelit sekujur tubuhnya. Hidungnya berdarah. Telinganya berdarah. Seluruh anggota tubuhnya yang berlobang mengeluarkan darah. Darah yang keluar menjelma jadi akar serabut yang kemudian membungkus Anurangga.
            Sejenak Nago Salapan menatap lawannya yang sekarat itu. Kemudian ia mengatur nafas dalam-dalam, dan ia biarkan udara mengendap di perut beberapa detik, lalu ia hembuskan lewat bibir.
            Fajar mulai menyingsing. Bukit Ase kini tenang dan sunyi, setenang bayi dalam dekapan ibunya. Nago Salapan melangkah pasti menyusul pasukan tentara rimba yang menyingkir jauh ke Sarasah.
*

            Nadia masih turun belum turun angkot ketika Sarah dan Yanti duluan menginjak trotoar. Saat angkot bergerak maju, Sarah berteriak,”Nadia. Ayo turun!” Gadis itu tersentak. Ia pun bergegas turun.
            Menjelang rumah kost mereka, Sarah dan Yanti terus menggoda Nadia. Mereka mengira Nadia telah menyambut “cinta” Mori. Menghadapi godaan tersebut, Nadia hanya tersenyum simpul, menganggap godaan kedua temannya itu hanyalah angin lalu.

*

            Habis makan malam, Nadia mengurung diri dalam kamar. Bayangan-bayangam masa lalu selalu melekat dalam hati dan jiwanya. “Nago telah muncul di kota ini. Tapi kenapa dia tidak memberi kabar?” Nadia membatin. “Oya, kenapa saya tiba-tiba jadi tulalit begini. Saya belum pernah bertemu muka dengan dia. Mestinya saya turun dari angkot dan menemuinya,” gumamnya.
            Sekonyong-konyong Nadia ingat Selendang Pembunuh Anggang. Ia bangkit dari ranjang. Nadia membuka lemari pakaian, dari sana ia keluarkan selendang pemberian Puti Campa tersebut. Cahaya keemasan membersit saat Nadia membentangkan selendang. Biasan cahaya selendang itu berhawa magis, terasa menjalar ke dalam tubuh Nadia. Terasa hembusan angin sejuk.
            “Anurangga dan pengikut-pengikutnya telah muncul ke zaman ini. Manusia biasa tidak akan mampu menghadapi mereka. Hanya engkau dan Nago Salapan yang mampu menghadang perbuatan mereka. Justru karena itulah denai mewariskan Selendang Pembunuh Anggang padamu.”
            “Apakah mereka belum juga bertobat?”
            “Anurangga dan pengikut-pengikutnya adalah sekutu Iblis. Mereka tidak akan bertobat selama dunia ini masih terhampar. Mereka bisa jadi apa saja dalam setiap kehidupan dan zaman. Jadi orang terpandang. Orang berkuasa, orang pintar, bandit-bandit dan sebagainya.”
            Puti Campa menatap Nadia, yang dipanggilnya Rinjani. “Selendang Pembunuh Anggang itu, walaupun mempunyai panjang dua meter dan lebar hasta, tapi bila dikembangkan bisa lebih luas dari alam. Pun bila dilipat ia dapat selebar kuku,” perempuan itu menjelaskan. (Bersambung....4) 

*Cerita Silat, By: Amran SN



0 komentar:

Posting Komentar