Rabu, 25 Mei 2011

ADAT dan Cupak Nan Duo

ADAT
          Adat Minangkabau yang terbuka dalam mamangannya diungkapkan Adaik babuhua sentak (berbuhul sentak), maksudnya sewaktu-waktu dapat dibuka. Bagi suku bangsa Minangkabau, Adat merupakan kebudayaan secara utuh, yang dapat berubah. Namun ada Adat yang tidak dapat berubah, seperti dinukilkan dalam mamangan ; Kain dipakai usang, Adat dipakai baru. Pengertian dari mamangan tersebut adalah sebagaimana kain atau pakaian yang dipakai dapat usang dan lapuk. Akan tetapi Adat kalau dipakai terus-menerus maka akan selalu lestari.
Kesetiaan mereka pada Adat pun mereka ungkapkan dalam mamangan yang berbunyi Hiduik dikanduang Adaik, mati dikandung tanah, yang mengandung makna antara hidup dan mati, mereka sudah tahu tempatnya, tidak ada pilihan lain. Dalam sebuah pameo yang muncul pada zaman Hindia Belanda, mempertegas pendirian mereka terhadap Adat, berbunyi Kompeni babenteang basi, Minangkabau babenteang Adat (Kompeni berbenteng besi, Minangkabau berbenteng Adat). Dengan kata lain mereka bermaksud menggambarkan kekuatan mereka seimbang dengan kekuatan Belanda. Meskipun mereka kalah perang tapi jiwa mereka tak kunjung takluk.
            Karena ada Adat yang tetap tidak berubah, di samping yang berubah. Maka Adat tersebut dibagi dalam empat kategori, yaitu :
(1)    Adat yang sebenarnya Adat, maksudnya adalah Adat yang asli, yang tidak berubah, yang tak lapuk kena hujan, yang tak lekang kena panas. Akan tetapi jika dipaksa dengan keras untuk merobahnya, maka dicabuik indak mati, diasak indak layua (dicabut tidak mati, dipindahkan tidak layu). Adat yang sebenarnya Adat itu adalah seperti hukum Alam, yang lazim diungkapkan dalam pepatah petitihnya.
(2)    Adat Istiadat, yaitu kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat umum atau setempat, seperti acara seremonial atau tingkah laku yang bila dilaksanakan akan dianggap baik dan bila tidak dilakukan – tidak apa-apa- Dalam mamangannya diumpamakan sebagai tanaman sayuran yang gadang dek diambak, tinggi dek baanjuang (besar karena dilembuk, tinggi karena dianjung). Pengertiannya, Adat istiadat tersebut akan dapat tumbuh kalau dia dirawat dengan baik.
(3)    Adat yang diadatkan, maksudnya adalah apa yang dinamakan sebagai Undang-Undang dan Hukum yang berlaku, seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Luhak dan Rantau, Undang-Undang Nan XX. Hal tersebut diungkapkan dalam mamangan Jikok dicabuik mati, kok diasak layua (Jika dicabut mati, kalau dipindahkan akan layu). Diumpamakan seperti pohon kayu yang telah hidup berakar, yang dapat tumbuh selama tidak ada tangan yang mengganggu hidupnya.
(4)    Adat teradat, ialah peraturan yang dilahirkan oleh mufakat atau konsensus dari masyarakat yang memakainya. Maksudnya dinukilkan dalam mamangan Patah tumbuah, hilang berganti (Patah tumbuh, hilang berganti). Diumpamakan sebagai sebuah pohon kayu yang patah karena bencana, maka pada bekas patahannya tersebut akan tumbuh tumbuh ranting dan daun baru. Namun bila ia hilang maka ia akan diganti dengan pohon baru, pada tempat bekas ia tumbuh tersebut. Karena pohon itu perlu ada untuk keperluan hidup manusia.

Sebagai suku bangsa yang mengambil Alam sebagai sumber filsafat hidupnya, sifat Adatnya elastis, sehingga menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah itu, dengan memakai pola hidup seperti ungkapan Nan elok dipakai, nan buruak dibuang (Yang baik dipakai, yang buruk dibuang).
Pada sejarah kehidupan Minangkabau, telah banyak kekuasaan asing yang menjajahnya. Namun mereka tetap berpegang teguh kepada Adatnya, seperti disampaikan pada sebuah pantun :


Sakali aia gadang,
 sakali tapian baraliah
Nan aia ka hilia juo.
Sakali gadang balega,
sakali aturan batuka
Nan Adaik baitu juo.

(Sekali air besar, sekali tepian berubah.
Yang air ke hilir juga.
Sekali kekuasaan berganti. Sekali aturan bertukar.
Yang Adat begitu juga)


            Peraturan dapat saja berubah karena pergantian kekuasaan. Namun alam pikiran mereka yang hakiki tidak akan berubah. Malah agama yang mereka anut pun tidak dapat merubahnya. Dalam catatan sejarah, sekurang-kurangnya ada dua agama besar seperti Hindu dan Budha menjadi anutan suku bangsa Minangkabau, sebelum masuknya agama Islam. Bahkan raja Minangkabau memeluk agama Islam, jauh lebih kemudian dari rakyatnya sendiri.
            Catatan sejarah menuliskan bahwa masuknya Islam ke Minangkabau, bukan karena melalui penaklukan. Kedatangan Islam ke Sulu (Pilipina) adalah berkat pengembangan Raja Baginda pada abad ke XIV, sedangkan raja Minangkabau memeluk Islam sekitar abad XVI, merupakan bukti sejarah. Islam diduga dibawa oleh pedagang Arab, namun pengembangan  dan pembaharuan Islam oleh suku bangsa Minangkabau sendiri, setelah mereka pergi merantau ke Aceh, bahkan ke negeri Arab. Hal ini membuktikan bahwa Islam diterima suku bangsa Minangkabau dari tangan suku bangsa itu sendiri. Karena Islam tidak bertentangan dengan dengan filsafat mereka.
            Secara filosofis sumber-sumber ajaran Alam takambang jadi guru merupakan sumber yang sama dengan ajaran Islam, yakni ciptaan-Nya seperti alam sebagai contoh dan Kitab-Nya sebagai pegangan. Islam juga memandang manusia dalam kedudukan yang sama antara sesamanya, baik hak maupun kewajibannya serta melindungi nilai-nilai moral dan etika yang agung.
            Filsafat Islam tidak mengenalkan kehidupan yang gaib, dan apabila agama memperkenalkannya, maka hal tersebut tidak menggoyahkan ajaran mereka yang hakiki. Bahkan makin memperkokohnya. Memang terdapat berbagai perbedaan , yang antara lain seperti motivasi dalam kehidupan yang dalam Adat karena harga dir. Sedangkan dalam Islam karena Allah. Sementara itu perbedaan lainnya ilah tentang sistem pemerintahan dan gaya kepemimpinan dalam masyarakat karena perbedaan sumber hukum.

CUPAK NAN DUO

            Disebabkan Adat itu ada yang tetap dan ada yang berubah oleh keadaan dan waktu, maka mereka memperkenalkan nilai Adat tersebut dengan Cupak. Jenis cupak tersebut ada dua, sehingga lazim disebut Cupak nan Duo. Yakni Cupak asli dan cupak buatan.
            Cupak asli ialah norma-norma yang mereka terima secara turun menurun dari nenek moyangnya, seperti nilai-nilai yang dituangkan oleh filsafatnya. Sedangkan Cupak buatan ialah kaidah-kaidah yang dibuat kemudian atas kesepakatan atau karena keterpaksaan disebabkan oleh keadaan.
            Dalam alam pikirannya rasional, suku bangsa Minangkabau memahami bahwa meski norma-norma itu tetap ada ukurannya, baik yang asli maupun yang buatan kemudian. Namun penggunaanya tidak selalu dapat dilaksanakan. Justru karena itu dalam mamangannya diingatkan bahwa Cupak sapanjang batuang, Adat sepanjang jalan (Cupak sepanjang betung). Maksudnya adalah takaran tersebut seruas bambu (betung). Bambu tersebut tumbuh pada tanah yang tidak sama. Maka nilai-nilai kehidupan yang dianut manusia pun tidak sama. Akan tetapi Adat mereka pakai sepanjang jalan hidup mereka, meskipun di mana tempatnya – di kampung atau di rantau orang lain.


            Berikutnya secara realitas mereka memang waspada, karena kemungkinan cupak dipalsukan dan jalan dialihkan orang lain yang punya kepentingan. Maka petuah mereka pun memperingatkan agar sampai terjadi cupak dililih urang panggaleh, jalan diasak urang lalu (cupak diraut orang pedagang, jalan dialih orang lewat). Sehingga norma atau nilai itu jadi menciut dan jalan hidup menyimpang ke arah yang salah.
            Menilai perubahan yang terjadi karena kehendak sejarah, mereka melihat kepada ajaran-ajaran pokok seperti dinukilkan dalam pepatah petitih, yang mereka sebut Barieh balabeh (belebas adalah semacam papan tipis untuk mistar). Maksudnya, mereka akan menilai perubahan tersebut berada pada yang digariskan pepatah, juga pada ukuran yang sesuai dengan mistar, seperti yang diperinci oleh petitih. Menurut mamangannya penilaian demikian dikatakan Barieh baukua jo papatah, balabeh bajangko jo patitih (Baris diukur dengan pepatah, balabeh diukur dengan petitih). Barieh baukua jo papatah juga disebut Angga (angga), yaitu batang tubuh yang dibawa sejak lahir, yang tidak dapat berubah sepanjang hidup. Sedangkan balabeh jo petitih, disebut tanggo (tangga), yaitu semacam tempat turun naik atau jenjang.

 SUKU

            Asal mulanya orang Minangkabai hidup dalam golongan yang mereka namakan Suku. Kata Suku berasal dari bahasa Sansakerta, artinya kaki, yaitu dengan pengertian satu badan dengan empat kaki. Maka satu kaki berarti seperempat dari satu kesatuan. Di negara tetangga Malaysia yang mengunakan bahasa Melayu, Suku diartikan seperempat. Dalam pengertian Minangkabau, bahwa suatu Nagari mempunyai empat Suku. Suku dapat pula diartikan marga.
            Sistem bersuku di Minangkabau , serupa dengan sistem puak-puak di Cina. Di mana warga puak tidak boleh saling mengawini. Perkawinan hanya dapat dilakukan dengan puak atau warga lainnya. Yang membedakan antara kebudayaan Minangkabau dengan Cina adalah sistem keturunan, di Minangkabau menurut garis ibu atau matrilinial, sedangkan di Cina memakai sistem Patrilinial. Namun sistem seperti di Cina tersebut juha pernah diterapkan oleh Maharajajo Dirajo pada awal kedatangannya.
Keempat itu masing-masing, Bodi, Caniago, Koto, Piliang. Suku Bodi dan Caniago menganut aliran politik yang disebut Kelarasan Bodi Caniago yang dipimpin oeh Datuk Perpatih nan Sebatang. Sedangkan Suku Koto dan Piliang menganut sistem Kelarasan Koto Piliang, yang dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan.
            Penulis Tambo menafsirkan Bodi Caniago berasal dari budi baharago (budi berharga), karena ketinggian budi Datuk Perpatih nan Sebatang dalam menghadapi aristokrasi Datuk Ketumanggungan. Sementara itu versi lain menyebutkan bahwa Bodi Caniago berasal dari kata budi dan curigo (curiga), karena Datuk Perpatih nan Sebatang senatiasa curiga terhadap kemauan politik Datuk Ketumanggungan.
            Koto Piliang berasal dari kata Koto (nan) pilian, yang maksudnya apa yang diucapkan oleh Datuk Ketumanggungan berupa perintah selektif. Namun kata yang lebih tepat adalah merujuk pada bahasa Sansakerta. Yakni Bodhi dan (ca) Niago (Niaga), serta Koto (kotta)  dan (pele) Hiang. Kata sisipan ca pada niago mungkin jadi dari kata sisipan si atau sang – boleh jadi dari carana, kehilangan bunyi karena kata-kata yang dikembarkan- seperti lazimnya pada bahasa Minangkabau. Sementara itu kata “carana” artinya perjalanan atau pejalan. Demikian pula dengan kata sisipan pele pada hiang, maka pele pada hiang menjadi pili karena pengaruh hi pada hiang. Pada kepercayaan agama Budha yang memuliakan pohon bodi bersama kaum musafir (carana) – merupakan golongan manusia itu sama derajatnya- demikian pandangan dari kaum kelarasan bodi caniago- Sementara itu kehidupan orang “kotta” (benteng) yang hidup bertingkat-tingkat sebagai prajurit, bintara, perwira serta penganut agama Hindu yang berkasta-kasta. Maka pandangan hidupnya telah terbiasa dengan cara hidup menurut ketentuan hirarkhi. Itulah pandangan tentang Koto Piliang.
            Oleh karena tuntutan perkembangan sejarah, dan oleh kedatangan kekuasaan asing mengintervesi Minangkabau, maka jumlah empat Suku menjadi bertambah atau berkembang. Tambo mencatat bahwa perombakan pertama terhadap kedua aliran sistem politik tersebut dilakukan oleh Datuk Sekelap Dunia, yang menginginkan hakny asama dengan kedua saudaranya. Cara yang dilakukan adalah memisahkan diri ke Lima Kaum dan membentuk lima Suku baru – Kutianyir, Patapang, Banuhampu, Salo dan Jambak. Nama kelima Suku tersebut diambil dari nama Nagari asal dari penduduk pengikutnya. Sementara itu orang asing yang menjadi abdi raja Pagaruyung mendirikan Suku Melayu, Mandahiling, Kampai, Singkuang dan Bendang. Selanjutnya Kelarasan tidak lagi menjadi anutan suku, melainkan menjadi anutan Nagari. Misalnya, ada suku Caniago yang menganut sistem Koto Piliang, karena warga suku Caniago mendiami Nagari yang menganut aliran Koto Piliang, seperti yang terjadi di Luhak Kubung nan XII.
            Sejenak kita singgung tentang Datuk Sekelap Dunia, dia adalah adik seayah-seibu Datuk Perpatih nan Sebatang. Ciri yang dominan dari sistemnya ialah suku-suku masyarakat bukan bersumber dari ajaran agama Budha maupun Hindu, tetapi dari bangsa-bangsa atau asalnya. Pembauran untuk penyatuan melalui asimilisasi. Jika dalam sistem yang dianut saudara mempunyai pantang perkawinan sesama suku, maka dalam sistem Datuk Perpatih nan Sebatang, memantangkan perkawinan antara seNagari atau sebangsa. Gelarnya sering ditambahkan dengan Nan banego-nego.


            Kemudian dengan kehadiran kerajaan Singosari dan Majapahit, menyebabkan munculnya suku bangsa lain di Minangkabau. Lalu dalam perkembangannya membentuk Suku baru sebagai integrasi mereka dengan kebudayaan yang ditepatinya. Lahirlah suku baru yang namanya memakai negeri asalnya (bangsa itu). Suku Melayu dari bangsa Melayu, Singkuang dari bangsa Cina, Mandahiling dari bangsa sebelah utara dan sebagainya.
            Karena proses sejarah serta perkembangan masyarakatnya, maka jumlah Suku bertambah banyak juga. Bila diawal mulanya hanya dikenal empat Suku – Bodi, Caniago, Koto dan Piliang- lalu bertambah dengan apa yang dilakukan oleh Datuk Sekelap Dunia di Lima Kaum. Maka kehadiran kerajaan Pagaruyung ikut menambah jumlah Suku. Setelah Suku-Suku itu berkembang jadi banyak, masing-masingnya mengelompok kedalam dua aliran sistem pemerintahan. Kemungkinan karena kedudukan raja Pagaruyung kian melemah atau karena alasan lainnya. Prinsip-prinsip yang dianut oleh Suku menurut aliran semula, kian melonggar. Dimana Suku yang semula menganut aliran Koto Piliang beralih menganut aliran Bodi Caniago. Sedangkan di wilayah Luhak nan Tigo, umumnya Suku-Suku tersebut tetap kokoh menganut aliran semula. Dalam pada itu, karena pembangkangan Datuk Sakelap Dunia, atau karena kehadiran bangsa-bangsa yang menjadi abdi raja, lambat laun Suku tersebut menjadi lebih empat puluh buah. Pada mulanya suku-suku itu menjadi penganut dari laras yang ada. Selain Laras nan Duo, muncul laras ketiga yang disebut Laras nan Panjang, dibawah pimpinan Datuk Sekelap Dunia.

TATA CARA MENJADI WARGA MINANGKABAU

            Catatan sejarah Minangkabau ternyata bahwa setiap bangsa dapat menetap di negeri itu, terutama di wilayah Rantau. Karena wilayah Rantau merupakan daerah kolonisasi raja, yang juga menjadi daerah perekonomian. Sebagai daerah perekonomian, wilayah Rantau  tentu banyak dikunjungi berbagai orang asing, terutama dalam kegiatan perdagangan. Dan mereka yang datang tersebut menetap di sana, kemudian menjadi penduduk negeri itu.
            Untuk menjadi penduduk negeri dalam wilayah Minangkabau, dengan hak dan kewajiban yang sama, memerlukan persyaratan atau tata cara. Tata cara tersebut, mereka namakan dengan mengisi Adat : Cupak diisi, limbago dituang (demikian ungkapan pepatah). Yaitu mengisi akan aturan tersendiri untuk memenuhi kewajiban pada keadaan yang berbeda-beda. Mengisi Adat itu bukan hanya berlaku pada bangsa asing, akan tetapi bagi orang Minangkabau yang pindah dari nagarinya ke negeri lain dalam wilayah Minangkabau. Misalnya, warga yang semula berasal dari Padangpanjang lalu pindah ke Sintuk, maka ia harus mengisi Adat kepada Penghulu di Nagari Sintuk. Bila ia dari warga Suku Koto maka ia mengisi Adat pada Penghulu suku Koto pula. Ia tidak dapat memilih atau mengisi Adat tersebut pada Penghulu yang bukan dari Sukunya. Pada mamangannya diungkapkan, “Tanah sabingkah alah bamiliak, rumpuik sahalai alah bapunyo, malu alun babagi, suku indak dapek diasak.” (Tanah sebingkah telah bermilik, rumput sehelai telah berpunya, malu belum berbagi, suku tidak dapat dipindahkan). Pengertiannya, dirujuk pada kalimat terakhir, yaitu suku tidak dapat dipindahkan. Maka apabila di Sintuk tidak ada Penghulu Koto maka ia dapat mencari Penghulu yang sealiran dengan Kelarasan Koto Piliang. Umpamanya dengan Penghulu suku Piliang.
            Tata cara demikian, disebut dengan ungkapan Hinggok mancakam, tabang basitumpu (Hinggap mencekam, terbang bersitumpu). Ibarat seekor burung yang hinggap di dahan pohon, kukunya akan mencekam. Dan bila terbang maka ia akan bersitumpu. Artinya bila orang Minangkabau meninggalkan Nagarinya ia akan pamit kepada Penghulunya. Dan ketika ia tiba bila Nagari tujuannya maka dia pun harus melapor kepada Penghulu tepatannya (mengisi Adat) Jika ia hanya menetap sementara ia membawa rokok untuk diisap Penghulu. Akan tetapi bila menetap di Nagari tersebut, syarat mengisi Adatnya adalah membawa sirih dalam carano. Lalu mengajukan permintaannya untuk menetap. Tapi permintaan itu harus pula disetujui oleh warga suku yang dipimpin oleh Penghulu itu. Apabila telah disetujui, barulah permintaan itu dilakukan dalam jamuan kecil.
            Dan bila yang meminta itu adalah orang asing, maka persetujuan itu juga akan dimintakan kepada seluruh Penghulu yang ada di Nagari tersebut, oleh Penghulu yang ditepati orang asing itu. Bila hal tersebut telah disepakati maka akan direbahkan atau dipotong seekor kerbau untuk perjamuan bagi seluruh Nagari, sebagai tanda bahwa orang asing tersebut  telah menjadi anak-kemenakan Datuk Sampono, umpamanya. Dengan pengesahan itu maka haknya sebagai warga Suku dan warga Nagari telah syah untuk dibawa sehilir mudik. Artinya, dia sudah dapat dibawa berunding atau mendapat perlindungan.
            Orang Minangkabau yang menetap di suatu nagari tanpa melalui prosedure Adat, ia dianggap sebagai orang dagang, yang diperlakukan sebagai orang luar yang tidak jelas asal-usulnya. Namun sebagai orang luar, ia dapat memilih pimpinannya dengan nama jabatan Penghulu Dagang.

MAMAK DAN KEMENAKAN

            Setiap kelompok dalam masyarakat tentulah mempunyai pimpinan. Suku bangsa Minangkabau sebagai masyarakat yang beradasarkan kekerabatan menurut stelsel matrilinial, pimpinannya berada ditangan Mamak. Pengertian mamak adalah saudara lelaki dari ibu. Secara umum laki-laki yang lebih tua disebut mamak, yaitu sebagai sebutan bagi sesama orang yang berkerabat. Terkecuali bagi saudara lelaki dari ayah, yang disebut dengan panggilan bapak atau Pak.
            Mamak adalah juga pemimpin. Maka panggilan kepada semua laki-laki yang tua dengan mamak, merupakan pernyataan bahwa yang tua itu adalah pemimpin. Dalam mamangannya diungkapkan sebagai berikut :

Kamanakan barajo kamamak, mamak barajo ka pangulu,
Pangulu barajo ka alua jo patuik, alua jo patuik barajo ka nan Bana,
Nan Bana badiri sandiri-Nyo.

(Kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja ke Penghulu,
Penghulu beraja kepada alur dengan patut. Alur dengan patut beraja kepada Yang Benar,
Yang Benar berdiri sendiri-Nya.)

            Dan yang disebut kemenakan dalam masyarakat Minangkabau, yang berstesel matrilinial adalah anak dari saudara perempuan. Anak dari saudara perempuan itu menyebut saudara lelaki dari ibunya, “mamak” Dalam struktur kebudayaan Minangkabau ada empat jenis kemenakan, yaitu :

(1)      Kemenakan di bawah daguak (Kemenakan di bawah dagu). Maksudnya ialah kemenakan yang ada hubungan darah, baik dekat atau pun jauh. Jaraknya dikatakan dalam mamangan; nan sajangko, nan saeto, nan sadapo (yang sejengkal, sehasta, sedepa)
(2)      Kemenakan di bawah dado (Kemenakan di bawah dada). Maksudnya, ialah kemenakan yang ada hubungan karena sukunya sama. Tapi penghulunya lain.
(3)      Kemenakan di bawah pusek (Kemenakan di bawah pusar). Ialah kemenakan yang hubungannya karena Sukunya, tapi berbeda Nagari asalnya.
(4)      Kemenakan di bawah lutuik (Kemenakan di bawah lutut). Ialah kemenakan yang hubungannya karena Suku dan Nagarinya berbeda. Tapi minta perlindungan  di tempatnya.

Bimbingan yang diminta dan dituntut pada seorang seorang lelaki adalah berkenaan dengan fungsinya sebagai mamak dalam membina lingkungan masyarakat yang dipimpinnya itu, pada hakekatnya terdiri dari dua sasaran, yakni :

(1)      Terhadap kemenakannya yang perempuan, bimbingan itu meliputi persiapan unuk menyambut warih bajawek (waris berjawat) dan persiapan melanjutkan turunan. Warih bajawek dimaksud itu adalah pemahaman tentang nilai-nilai lingkungan sosial, di mana perempuan merupakan pusek jalo pumpunan ikan, yang artinya mereka merupakan titik sentral dari lingkungan masyarakatnya di rumah dengan peran sebagai ibu dan nenek yang akan mengasuh anak cucunya. Dan sebagai istri yang menjadi tali penghubung dengan lingkungan masyarakat lain.
(2)      Terhadap kemenakan laki-laki, bimbingan itu meliputi persiapan untuk pusako batolong, yang maksudnya adalah untuk berperan sebagai penunjang dan pengembangan sumber-sumber kehidupan sanak saudaranya, terutama sanak perempuan yang akan melanjutkan turunan mereka.

Tugas mamak kepada kemenakannya tak obahnya seperti tugas ayah bagi orang yang bukan bersuku bangsa Minangkabau. Berbeda dengan ayah, seorang mamak akan berhadapan dengan banyak kemenakannya, jika mamak itu mempunyai sanak perempuan. Akan tetapi tugas mamak adakalanya lebih ringan, jika dua perempuan mempunyai banyak saudara laki-laki- yang menjadi mamak anak-anak mereka-
Tali kerabat mamak kemenakan merupakan tali kerabat yang ditumbuhkan bagi keperluan kesinambungan dan kestabilan kepemimpinan di lingkungan sosial, sejak dari rumah, kampung sampai Nagari. Dan fungsi kepemimpinan itu pada tingkat yang lebih tinggi dan lebih luas, disebut Penghulu.
Seperti diuraikan tentang kepemimpinan kelompok geneologis yang berdasarkan stesel matrilinial itu, ialah mamak menurut tingkatannya masing-masing. Pimpinan rumah tangga, dinamakan Tungganai. Tungganai adalah mamak yang tertua di Rumah Gadang. Akan tetapi ia tidak tinggal di Rumah Gadang kaumnya, ia tinggal di rumah istrinya tapi ia mengawasi kaum kerabatnya yang tinggal di Rumah Gadang tersebut. Asal kata dari Tungganai, kemungkinan dari tunggak (tiang). Maka pengertian harfiah dari Tungganai adalah penyanggah kerabatnya. Sedangkan pimpinan kaum disebut mamak kaum. Dan pemimpin Suku, ialah Penghulu.

Jabatan Penghulu bertingkat-tingkat sebagai berikut :

(1)    Penghulu Suku, yaitu Penghulu yang menjadi pimpinan Suku. Ia juga disebut sebagai Penghulu Pucuk menurut Kelarasan Koto Piliang atau Penghulu Tuo menurut Kelarasan Bodi Caniago. Penghulu Pucuk atau Penghulu Tuo ialah Penghulu dari empat Suku pertama yang datang membuaka Nagari kediamannya. Mereka merupakan pimpinan kolektif pada Nagari tersebut. Dan mereka namakan Penghulu Andiko. Penghulu Suku yang datang kemudian, walaupun statusnya Penghulu Suku, akan tetapi tidak dapat menjadi andiko Nagari. Penghulu Tua mereka tetap berada di Nagari asalnya.
(2)    Penghulu Payung, yaitu Penghulu yang menjadi pimpinan dari warga Suku yang membelah diri, karena perkembangan yang membengkak pada jumlah Suku pertama. Penghulu belahan ini tidak mempunyai hak untuk menjadi Penghulu Pucuk atau Penghulu Tua yang menjadi pimpinan Nagari.
(3)    Pengehulu Indu, adalah Penghulu yang pimpinan warga Suku dari mereka yang telah membelah diri dari kaum sepayungnya, karena alasan pembengkak jumlah warganya atau perselisihan dalam perebutan gelar atau jabatan Penghulu. Pun bisa karena mereka memerlukan seorang pemimpin bagi kaum mereka yang banyak di Rantau atau permukiman baru. Alasan ini pun dapat diduga sebagai munculnya Penghulu Payung.


Semua Penghulu dari suatu Nagari,  baik yang berjabatan sebagai Penghulu Pucuk atau Penghulu Tua atau Penghulu Payung, atau juga Penghulu Indu, bersama-sama mereka disebut Penghulu satu Tungku.
       
KERABAT DAN NILAI

            Kekerabatan pada struktur kebudayaan masyarakat Minangkabau akan tampak berlapis-lapis dan berbidang-bidang. Ia bisa diungkapkan dalam hubungan keturunan menurut stesel matrilinial dengan sebutan nan batali darah, dan dalam lingkungan terbatas antara orang yang sekaum atau sesuku. Yang dalam ungkapannya nan sajari, nan satampok, sajangka, saeto, sahasta, sadapo. Dan bisa juga meliputi wilayah yang luas di beberapa Nagari, yang pada saat ini disebut nan basapiah babalahan, bakuduang bakaratan. Pada pepatahnya menukilkan; Dakok mancari indu, jauh mancari suku.
            Berikutnya, ia pun dikaji lewat perkawinan anggota kaum yang laki-laki sebagai biang kelahiran disebut induk bako atau pihak yang dilahirkan disebut anak pisang atau anak pusako. Perkawinan bukan semata-mata hubungan antara dua orang individu, tapi juga mengikat hubungan antara dua kerabat dan bahkan juga membuat hubungan antara seluruh kerabat yang telah berhubungan karena perkawinan itu.
            Ada empat macam hubungan kekerabatan atau tali kekerabatan, yakni (1) Tali kekerabatan mamak-kemenakan. (2) Tali kerabat suku-sako. (3) Tali kerabat induk bako- anak pisang. (4) Tali kerabat andan-sumandan. Tali kerabat dua yang pertama bersifat hubungan ke dalam. Timbulnya karena pertalian darah. Sementara itu tali kerabat jenis yang lain  bersifat ke luar dan timbulnya karena perkawinan.
            Keempat tali kerabat itulah yang dibawah tata tertib tertentu telah menjadi daya ikat dan menyatukan individu-individu ke dalam suatu jaringan kompleks. Meski pun sangat kompleks, namun oleh tata tertib yang mengaturnya dapat menjamin kesatuan, kesamaan dan keutuhan pendirian, sikap dan perbuatan seorang individu terhadap suatu kasus yang menyentuh kekerabatan mereka.
Dan bisa juga diuungkap dalam bentuk kekerabatan yang terjadi karena perkawinan antar etnis, dengan basaluak budi, maangkek induak, dan lain-lainnya. Berhubungan dengan perkawinan antar etnis, budaya Minangkabau mempunyai jalan keluar, yaitu dengan memasukan calon menantu ke kaum induk bako sebagai kemenakan nan mancari induak, bila si lelaki diberi gelar secara Minangkabau. Kalau bukan demikian, menantu laki-laki tersebut akan berdiri sendiri dalam lingkungan kerabat istrinya atau menantu perempuan akan dianggap orang tidak beradat.
            Hubungan kekerabatan yang seluas dan sekompleks itu dalam budaya Minangkabau, sangat terpelihara dan saling memelihara. Dalam mamangannya mereka mengungkapkan siang ba liek-liek, malam danga-dangakan, dakek janguak-bajanguak, jauh jalang-manjalang. (siang dilihat-lihat, malam didengar-dengarkan, dekat datang-mendatangi, jauh kunjung-mengunjungi). Maksudnya adalah agar semua kaum kerabat tetap berhubungan dalam suka dan duka. Sekaligus menumbuhkan kewajiban dan rasa tanggung jawab individu untuk saling menjaga dan mengontrol supaya jangan sesuatu yang dapat membuat malu. Bukan saja anggota kaum kerabat lainnya, tapi juga Suku, kampung halaman, maupun teman sepergaulan.
            Nilai kekerabatan akan tumbuh menjadi budaya Minangkabau yang kuat, karena adanya rasa malu dan kebersamaan, yang ditanamkan sejak dini oleh orang tua-tua dalam lingkungan anak tersebut tumbuh. Sehingga seseorang akan merasa dirinya ada karena diperlukan dan sebagai bagian dari mereka, serta dapat dibanggakan oleh kerabatnya.Jika seorang mamak gagal menjadi sosok yang diperlukan dalam kaum kerabatnya, maka bukan tidak ada yang dengan sukarela meninggalkan kampung halamannya, merupakan tindakan baralah (menyingkir). Atau dengan bahasa yang lebih tajam, yaitu ma-itamkan korong jo kampung (menghitamkan korong dan kampung). Dengan demikian pandangan nafsi-nafsian pada setiap orang Minangkabau akan terdesak ke belakang, bila orang sudah merasa bagian yang tidak terpisah dari kelompoknya. Dan ia memerlukan kelompok tersebut, baik sebagai tempat berlindung atau tempat uji coba.
            Ungkapan baralah atau mengalah dalam budaya Minangkabau, bukanlah sebuah kata tanpa makna sama sekali. Setiap orang tua (termasuk mamak) akan menamamkan sifat “baralah” atau mengalah pada anak-kemanakan, jika masalahnya berhadapan dengan saudara-saudaranya yang lebih muda atau yang belum memahami bagaimana mempergunakan hak-hak individu dalam kelompoknya. Hal ini sering terjadi antara saudara laki-laki menghadapi saudara perempuannya.
            Antara mereka yang berkerabat, sudah ditanamkan juga sejak usia dini – apa itu nan sarasojo pareso, nan sahino, nan samalu- Bahwa hanya saudara-saudaranya itulah sebagai kerabat yang akan membela kepentingannya, bila berhadapan dengan pihak luar. Dalam ungkapannya disebutkan tagak di korong mamaga korong, tagak di kampuang mamaga kampuang, tagak di Suku mamaga Suku (Tegak pada korong memagar korong, tegak di kampung memagar kampung, tegak di Suku memagar Suku). Pemahaman yang hakiki dari ungkapan tersebut adalah mereka didorong agar membela kampung halamannya, membela sanak keluarga, kaum atau Sukunya. Namun kadangkala pengertian ini sering salah ditafsirkan, sehingga sering terjadi perkelahian massal hanya karena masalah sepele.  Padahal untuk memahami “kata-kata bertuah” tersebut, perlu merujuk pada  norma-norma prinsipnya, yaitu Syarak mangato-Adat mamakai. Sesuai dengan patron Adat basandi Syarak-Syarak basandi Kitabullah. Oleh karena itu kita tampilkan hadis Rasulullah : Bersabda Rasulullah Saw, “Bantulah saudaramu yang mengainiaya dan yang teraniaya” Lalu ada yang bertanya; Wahai Rasulullah, aku bisa menolong yang teraniaya. Lalu bagaimana aku akan menolong yang menganiaya?” Rasul menjelaskan “Kamu mencegahnya dari perbuatan menganiaya. Demikian bentuk pertolongan kepadanya.”
            Berdasarkan hadis Rasulullah tersebut, dapatlah kita ambil benang merah tentang memahami “tagak kampung-pagar kampung, tagak Suku pagar Suku, atau tagak Nagari pagar Nagari” Bukan berarti harus terseret ke dalam kancah perseteruan, dan ikut berbuat aniaya. Namun harus menjaga prilaku supaya tidak memalukan kampung atau Suku dan kaumnya.
            Rasa malu sudah jadi bagian tak terpisahkan dari filsafat hidup orang Minangkabau. Seperti yang diajarkan oleh Islam bahwa malu adalah bagian tidak terpisahkan dari Iman. Diketahui bahwa pandangan hidup suku bangsa Minangkabau ditegakkan atas pondasi raso jo pareso, dan salang tenggang dalam pergaulan. Bagi pandangan hidup orang Minangkabau, bila seseorang sudah tidak mempunyai rasa malu maka dapat disamakan dengan binatang.
            Tempo dulu, bila orang melihat seseorang berbuat menyimpang atau berperangai tidak senonoh akan disebut indak baradaik, indak bataratiak (tidak beradat, tidak bertertib). Lantas orang akan menanyakan dia kemenakan siapa, bukan anak siapa. Karena tugas mamak adalah membimbing dan mengawasi kemenakannya, agar menjaga sopan santunnya dalam pergaulan masyarakat. Dan kalau yang berbuat itu adalah Urang sumando, maka mamaknya akan memberi teguran secara kiasan.
            Demikian pula ada salah satu kaum yang tiba-tiba menjadi buah gunjingan masyarakat. Maka bukan saja sosok pribadi tersebut yang akan mendapat malu, tapi juga seluruh kaumnya. Dalam mamangannya dikatakan saikua kabau nan baluluak, sakandang nan kanai luluaknyo (seekor kerbau yang berlumpur, maka yang kena seluruh kerbau yang ada dalam kandang kena). Artinya, walaupun yang berbuat itu adalah individu dari kaum, tapi yang akan dapat malu adalah suku atau kaumnya. ***

Dari Meja Kerja, Amran SN 
Padangsarai - Sumatera Barat, Mei 2011

0 komentar:

Posting Komentar