Sabtu, 14 Mei 2011

Eksistensi Kebudayaan Minangkabau dalam Keragaman Budaya Nusantara


 Pendahuluan

D
ari pengamatan dalam fenomena yang berkembang saat ini kita seakan-akan sekadar memiliki kebanggaan sekunder sebagai individu yang kebetulan dilahirkan dalam komunitas suku bangsa Minangkabau. Kebanggaan sekunder yang dimaksud adalah kebanggaan-kebanggaan pengakuan sosial dan kesejarahan Minangkabau atau terhadap keberhasilan masa lalu yang berkaca terhadap tokoh-tokoh yang mewarnai dan mempengaruhi sejarah, politik, kehidupan sosial masyarakat di republik ini. Kebanggaan sekunder ini dalam realita ditengah masyarakat Minangkabau sendiri, di mana dalam kekinian mulai terombing-ambing, baik secara prinsip, paradigma, dan nilai-nilai.
            Eksistensi kebudayaan tidak akan mungkin kita temukan jika kita belum memiliki persepsi yang tentang kebudayaan Minangkabau. Ada sarjana yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi daya yang berarti “daya dari budi”. Oleh karena itu mereka membedakan budaya dengan kebudayaan – menurut mereka, daya dari budi adalah cipta, karsa dan rasa. Sementara itu kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut.
            Namun menurut pendapat Koentjaraningrat dalam bukunya Ilmu Antropologi dalam istilah antropologi budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya hanya dipakai sebagai singkatan saja dari kebudayaan, dengan arti yang sama. Di samping itu kita pun mengenal kata culture, yang merupakan kata asing, yang pengertiannya sama dengan kebudayaan – berasal dari bahasa latin “colere” yang diartikan mengolah dan mengerjakan.  

 Kegamangan

            Bagi orang Minangkabau yang tinggal di rantau, terutama anak muda – memang sangat mengusik dan menggelitik untuk “dimasuki”, baik dari segi filsafat atau lebih kental dengan istilah Adat, maupun secara emosional sebagai bagian kepeduliannya terhadap ranah Minang ini- Mereka mempertanyakan relevansi Adat Minangkabau, di sampng kerinduannya untuk pulang ke kampung halaman. Kita di daerah harus mengakui bahwa perantau yang diperkirakan berjumlah sekitar 8 (delapan) juta orang, kebanyakan telah mengecap pendidikan tinggi dan banyak mengenal dunia luar. Dan cara kepedulian itu, dari sudut pandangnya yang berbeda – menggugat norma-norma adat dan penerapannya dalam kehidupan nyata kurun kekinian-
            Gugatan ini muncul karena mereka banyak belajar tentang sains, teknologi dan ilmu sosial lainnya. Ketika mereka pulang ke kampung halamannya dengan acara pulang basamo, mereka tidak mendapat jawaban apa-apa tentang relevansi Adat Minangkabau dengan kehidupan kini dan mendatang.
           
            Realitasnya kita melihat dan mendengar pepatah-petitih yang senantiasa disampaikan dalam acara seremonial. Tapi tidak ada imbas dan prakteknya dalam kehidupan sehari-hari, bahkan pemangku Adat sendiri gamang memberikan contoh tauladan kepada anak kemenakannya. Kita beri contoh dengan pepatah yang mengatakan  “Nan kuriek iyolah kundi, nan merah iyolah sago- Nan baik budi, nan elok bahaso” (Yang kurik ialah kundi, yang merah ialah sago, yang baik budi- yang indah bahasa) Namun dalam kehidupan nyata, banyak orang di daerah ini tampak tak ramah, apalagi bertutur bahasa yang baik. Padahal pepatah itu mengandung ajaran Adat untuk mendidik masyarakatnya berbudi pekerti yang luhur. Kalau demikian, maka relevanlah mereka prihatin dan bergesernya pandangan terhadap nilai-nilai budaya Minangkabau yang mereka yakini sebelumnya sebagai budaya yang tinggi.
            Sementara itu kebanyakan pemangku Adat hanya bisa melantunkan pepatah-petitih, padahal mereka sendiri pun tidak mampu menjelaskan apa yang tersirat dari pepatah tersebut. Apalagi mencari yang tersuruk dari filosofi pandangan hidup orang Minangkabau. Sebab mereka hanya penghapal-penghapal yang baik dari pepatah, mamangan bidal dan pantun. Hendaknya hal ini perlu disadari secara jujur oleh mereka yang menyandang kebesaran Adat.
            Dan bagi mereka yang berada di rantau, jika kembali ke kampung halamannya, perlu menyediakan waktu agak panjang menetap di ranah ini agar sudut pandangnya lebih luas. Bukan sekadar melihat dari ketinggian menara gading, sehingga muncul pemikiran-pemikiran bernas dan menambah darah segar bagi budaya Minangkabau.

            Sebenarnya bukan mereka yang dirantau saja gamang dan bingung melihat fenomena budaya Minangkabau (Adat) dengan aplikasi kehidupan nyata. Bagi mereka yang berada dan menetap di ranah ini gamang akan realita Aadat itu sendiri. Dan yang lebih parah lagi adalah generasi muda yang merupakan penerima waris nilai-nilai yang sedang kita bicarakan ini.
            Dalam perjalanan waktu, ada upaya yang dilakukan oleh instansi formal (pemerintah) untuk menggerakan pembelajaran Adat Minangkabau, yakni dengan menerbitkan buku-buku BAM (Budaya Alam Minangkabau). Namun gagasan besar ini tidak didukung dan tidak melibatkan mereka yang bergelimang pada kebudayaan bersangkutan. Sehingga buku-buku yang disuguhkan kepada siswa mau pun mahasiswa, akhirnya menambah panjang daftar pertanyaan selingkar norma-norma Adat, dan relevansi dengan kehidupan kini dan mendatang. Di samping itu pengajarnya belum mengerti dan memahami Adat Minangkabau, karena mereka disiapkan secara tergesa-gesa dan instans.


Prinsip dan nilai-nilai

Panakiek pisau sirawiek, ambiak galah batang limbatuang,
silodang ambiak ka niru, nan satitiak jadikan lawiek,
nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru.

(Penakik pisau siraut, ambil galah batang limbatung, silodang ambil untuk niru, yang setitik jadikan laut, yang sekepal jadi gunung, alam terkembang jadi guru)
 Makna yang terkandung dalam pepatah ini, agar manusia selalu berupaya untuk meningkatkan wawasannya dengan membaca, merenungkan, memahami alam terkembang sehingga dia dapat mengambil intisari ajaran alam tersebut. Merupakan ketentuan dalam filsafat alam yang dianut oleh orang Minangkabau – alam yang terbentang dipelajari dengan seksama, menjadi sumber dan bahan pengetahuan yang dapat diterapkan dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat –
Suku bangsa Minangkabau menjadikan alam sebagai guru sebelum Islam masuk ke negeri ini. Ketika itu mereka mengenal alam sebatas pandangannya, apa yang dilihat dan dirasakannya. Kemudian setelah Islam menjadi anutan mereka, maka mulai mengenal alam hakekat. Seumpama ketentuan laut berombak, gunung berkabut, jeram berair, air menyuburkan, api membakar, batu dan besi keras, kelapa bermata, bambu beruas, pohon bertunas, ayam berkokok, murai berkicau, elang melengking nyaring, warna hitam, putih, merah dan seterusnya.

Ilmuwan berpendapat pada umumnya ada tiga corak dan derajat sumber ilmu pengetahuan di dunia ini yang dipelajari manusia. Sumber ilmu pengetahuan yang tertinggi adalah firman-firman Tuhan, yang datang lewat wahyu yang diturunkan kepada Rasul-rasul-Nya – pengikutnya mempelajari lewat kitab-kitab suci – Sedangkan Islam mempelajari ilmu pengetahuan dengan sumber al-Quran dan Sunnah. Sementara itu alam semesta merupakan sumber pengetahuan yang kedua – dalam al-Quran acapkali ditemui ayat-ayat agar manusia melihat alam semesta yang diciptakan sang Khalik. Berikutnya derajat ketiga adalah renungan dari pemikiran-pemikiran yang kemudian dikenal dengan filsafat. Orang Minangkabau melahirkan filsafat Alam dengan pepatah-petitih yang digambarkan dengan berbagai corak, yang dnyatakan secara langsung maupun tidak langsung. Filsafat Minangkabau kemudian dikenal sebagai pandangan hidup mereka, yang juga disebut Adat.
Eksistensi kebudayaan Minangkabau hakekatnya bersumber dari pemikiran-pemikiran yang dituangkan dalam pepatah-petitih, yang dapat menjawab pertanyaan bersayap dan relevansi Adat dalam kekinian, dan sekaligus menjawab tantangan masa depan.
Kenapa kita sering mengeritik budaya yang menjadi milik kita sendiri. Kritik yang datang dari dalam (mereka yang ada di ranah kampung halaman) atau dari rantau, janganlah membuat suku bangsa ini “lari” dari hakekat Adat tersebut. Aadat Minangkabau bukanlah sebatas seremonial tapi berkapasitas prinsip dan norma-norma kehidupan dalam masyarakatnya. Ironisnya, kita tidak mampu membedakan antara prinsip dan nilai-nilai. Menurut penulis, prinsip adalah wilayah, sedangkan nilai-nilai adalah peta.
Prinsip kebudayaan Minangkabau yaitu kebenaran, kebenaran itu berhubungan dengan martabat manusia. Menurut ajaran Islam (yang mereka anut) bahwa semua manusia diciptakan sama dan dipelihara oleh sang Pencipta dengan hak-hak tertentu, natara lain hak hidup, kebebasan, dan pencapaian kebahagiaan. Konsep itu pun jadi pemikiran dan ketetapan Adat Minangkabau, yang ujungnya akal budi, dan kemudian diteruskan dengan terciptanya manusia yang beriman dan bertakwa. Dan prinsip bukanlah praktek. Sebab praktek adalah aktivitas atas kegiatan tertentu – yang berhasil pada suatu keadaan, tapi gagal dalam keadaan yang lain, seperti bukti tindakan kebudayaan kita, di mana kita telah berusaha menyemai kebudayaan ini agar kelak berujung pada manusia berakal sekaligus berbudi- Ternyata belum menunjukan hasil seperti ang kita harapkan. Tetapi di sisi lain dalam kenyataan, Adat hanya subur dalam bentuk seremoni.
Dan apabila praktek dalam bentuk spesifik menurut situasi, maka prinsip merupakan kebenaran yang hakiki dan fundamental yang memiliki aplikasi universal. Oleh karenanya, prinsip selalu berguna bagi setiap individu, hubungan kekerabatan, lingkungan, keorganisasian – baik pemerintah, mau pun non pemerintah – Tatkala menjadi kebiasaan, kebenaran ini memberikan kekuatan pada orang-orang atau suku bangsa ini untuk menciptakan variasi praktek yang luas dalam menghadapi situasi kekinian dan masa datang.

Peluang itu sebenarnya sudah terbuka sejak lama. Hanya saja kita sering lupa akan petuah yang disampaikan lewat mamangan; sakali aia gadang, sakali tapian barubah (sekali air besar, sekali tepian berubah). Jika demikian pandangan kita pada budaya Minangkabau dari statis, harus mengarah ke pemikiran yang dinamis dan positif thinking.
Sebagai gambaran untuk kita semua, bahwa suku bangsa Minangkabau ini pernah mengalami kegetiran ketika dijajah suku dan bangsa serta kerajaan lain. Akan tetapi suku bangsa Minangkabau tetap eksis dan teguh dengan prinsip serta nilai-nilai yang mereka anut turun-menurun. Bila terjadi perubahan bukanlah prinsip yang berubah, yang berubah hanyalah seremoni dan nilai yang tidak mendasar. Dalam mamangannya mereka menyebutkan; dicabuik indak mati- diasak indak layu (dicabut tidak mati-dipindahkan tidak layu). Apakah yang tidak mati dan tidak layu itu? Adalah kebenaran dan hukum,  alam, sedangkan peraturan-peraturan, peralihan kekuasaan, pergeseran-pergeseran nilai disebut patah tumbuh-hilang berganti. Bila kita menghargai prinsip yang benar, berarti kita memiliki kebenaran suatu pengetahuan segala sesuatu sebagaimana adanya.
Nilai bukanlah prinsip. Sekelompok pencuri dapat mempunyai nailai yang sama, namun nilai itu melanggar prinsip dasar yang sedang kita bicarakan. Nilai adalah peta. Andaikata seseorang asing masuk ke sebuah kota, tentulah dia memiliki atau menyediakan sebuah peta agar tidak tersesat. Umpamanya anda ingin ke Bukittinggi dari kota Padang, pastilah anda mempersiapkan peta kota Bukittinggi. Dari Padang anda harus menuju jalan raya arah ke utara. Namun anda memiliki peta yang salah cetak di tangan anda – lalu anda menuju ke arah timur, yang sebenarnya menuju Solok- Tentulah dapat dibayangkan betapa stresnya anda dalam perjalanan tersebut. Ternyata anda tidak melihat ngarai sianok, jam gadang, yang anda temukan dalam perjalanan itu “Bukittinggi” pemandangan indah yang lain. Itulah nilai-nilai yang sedang anda pedomani.

 Akhirul Kalam

Ditinjau dari ruang lingkupnya, kebudayaan mempunyai dua corak. Corak yang pertama adalah pengertian kebudayaan dalam arti sempit, yaitu membatasi diri pada masalah-masalah; kesenian, kesusasteraan dan sejenisnya. Dalam hal ini orang mengedepankan hal-hal seperti cerita rakyat, roman, novel, sandiwara, teater, randai, kaba, musik, lenong, wayang orang atau sejenisnya. Sementara itu pengertian kedua dianggap lebih luas cakupannya, karena ia berusaha mencari makna kebudayaan dalam kaitannya dengan berbagai segi kehidupan manusia dan masyarakat. Atau dalam arti tidak hanya terbatas pada kesenian dan kesusasteraan saja.
Membicarakan makna hakekat kebudayaan dalam kaitannya dengan berbagai kehidupan manusia dan masyarakat, bukanlah pekerjaan mudah tapi suatu pekerjaan besar karena ia akan melibatkan elemen-elemen kebudayaan dan masyarakat. Seperti saya kemukakan pada sub judul Prinsip dan Nilai-nilai, kita harus memiliki peta yang benar, sehingga kita tidak sesat menelusuri apa yang diwariskan oleh para leluhur.
Keburaman eksistensi kebudayaan Minangkabau terlihat sejak sistem sentralistik semakin menguat. Kekuasaan politik antara pemerintah pusat dengan daerah menganga sangat lebar sehingga daerah tak berdaya yang akhirnya berdampak mencecerkan budaya Minangkabau. Sementara itu budaya suku bangsa yang berada di luar Minangkabau (Jawa) lebih terlindungi dan mengapung ke depan dengan berbagai fasilitas. Dalam pada itu kebijaksanaan politik pemerintah pusat lebih banyak menguntung saudara-saudara kita yang berada di luar ranah ini. Umpamanya, media elektronik yaitu televisi dan radio, demikian juga dengan media cetak, surat kabar, penerbitan buku dan sebagainya.
Jika kita pandang selintas maka terlihat pendangkalan dan realitas kehidupan kita dalam sekian dasawarsa belakangan ini, sebagian masyarakat, terutama lapisan pemimpin telah kehilangan perasaan terhadap nilai-nilai. Hampir tidak ada perjuangan untuk memperjuangkan nilai-nilai luhur, baik dalam arti mempertahankan nilai-nilai lama mau pun menawarkan nilai baru – nyaris tidak ada perdebatan nasional yang meliputi masyarakat kebudayaan itu sendiri
 Menurut penulis, kita harus memiliki paradigma yang jelas. Dalam pengertian yang lebih populer, paradigma adalah cara kita melihat dunia, yang bukan berkaitan dengan dunia visual dari tindakan melihat – melainkan dengan persepsi, mengerti dan memahami serta menafsirkan. Dengan persepsi, mengerti, memahami dan menafsirkan maka kita akan mampu mengangkat eksistensi budaya Minangkabau yang selama ini”terkucil” di antara gema budaya suku-suku bangsa lain di tanah air.***

Padang Sarai-Sumbar,14-05-211

Dari Meja Kerja 

Amran SN.

0 komentar:

Posting Komentar