Senin, 06 Juni 2011

Sosok Perempuan Minangkabau

   
D
alam tulisan yang normatif, sosok perempuan Minangkabau digambar merupakan perempuan yang lemah lembut, penurut dan penuh pengertian, tapi juga tegar, dia jarang turun dari rumah kecuali sekali se-Jumat. Kasih sayang pada anaknya, sepanjang jalan (tak pernah habis-habis sepanjang hayatnya). Postur kecantikannya dilukiskan sebagai berikut: “Wajah bagai bulan purnama empat belas, bibirnya asam seulas, dagunya bak labah hinggok, bulu matanya semut beriring, pinggangnya ramping bak ketiding ,langannyo bak lilin dituang, betisnya bak paruik padi, tumitnya bak telur burung. Jika ia berjalan bagai itik pulang patang, lebih surut dari maju” Demikianlah sosok ideal kecantikan perempuan Minangkabau.
            Bersangkutan dengan prototipe tersebut, secara harfiah kecantikan perempuan Minangkabau, sungguh-sungguh menarik dipandang mata. Dan menjadi dambaan bagi setiap lelaki untuk menyunting. Barangkali itulah yang membuat orang luar banyak mempersunting gadis Minang sejak dahulu sampai sekarang.
            Ukuran kecantikan seorang perempuan selalu bergeser dari zaman ke zaman. Dulu perempuan yang disebut rancak (cantik) di ranah ini, adalah perempuan yang berwajah bulat bagi bulan purnama, bertubuh sintal (gapuak punai), pinggul lebar, kalau berjalan bergoyang-goyang ( ciek untuk uda, ciek untuk ambo), berpayudara besar, gigi berlapis emas atau platina. Kulit kuning langsat, walaupun pada kenyataan perempuan Minang itu berkulit sawo matang. Dan tinggi rata-rata perempuan Minang itu, hanya berkisar 150 Cm.
            Sekitar tahun 70 an ukuran postur dan kecantikan perempuan mulai bergeser. Pergeseran tersebut dimulai dari munculnya seorang gadis Twiggy di belahan barat sana. Tubuh gadis tersebut kurus kerempeng, setipis papan triplek. Payudara hanya sekadar bergantung di badan saja. Imbas pergeseran kecantikan ideal tersebut pun sampai ke Indonesia, dan ranah Minangkabau tentunya. Di samping itu ukuran ideal kecantikan pun menyangkut tinggi badan. Tinggi badan tidak lagi 150 Cm tapi 160-170 Cm. Itulah menurut ukuran bangsa Eropa dan Amerika. Kesan ukuran kecantikan tersebut, membuat bangsa Indonesia, tidak pernah menang dalam kontes Miss Kecantikan Dunia, yang jurinya dari negera barat. Demikian juga dengan pemenang Uni Sumatra Barat, ketika dikirim mengikuti Putri Indonesia ke tingkat nasional, kalah melulu. Padahal untuk melaksanakan kontes Uni dan Uda tersebut menelan biaya sekitar 200 juta.
            Oleh karena tren kecantikan berubah, termasuk di Sumatra Barat (Minangkabau), maka perempuan Minangkabau pun berusaha pula mempercantik dirinya. Mempercantik diri menurut ukuran internasional (pandangan dunia barat). Kulit perempuan Minangkabau yang rata-rata sawo matang, kini tampak putih dioles krem pemutih. Sekarang dipasaran beredar kosmetik berbagai merek untuk memutihkan kulit. Tentu saja produk kosmetik pemutih banyak dicari kaum perempuan, agar mereka pun memiliki kulit putih, seputih pualam atau mirip kulit orang Barat sana (tidak peduli pada efek sampingannya). Bulu mata yang dulu semut beriring pun dicukur diganti dengan calak. Lalu badannya yang dulu semok sintal, tidak pula enak terasa, maka harus dirubah pula menjadi kurus langsing (setipis papan triplek tak apalah), agar bisa memakai pakaian ketat dan celana jin, sehingga paha mereka kelihatan seperti sepasang pinsil.
            Perempuan memang cenderung menghias diri, disamping untuk menarik lawan jenisnya tapi juga membuat ia lebih percaya diri. Bermacam-macam kiat untuk mencapai tubuh ideal (kerempeng), bisa dengan senam, ajojing, minum obat pelangsing dan seterusnya. Sementara itu, para pedagang pun melihat peluang. Iklan televisi, mass media cetak dan elektronik selalu sarat dengan produk-produk untuk mempercantik diri. Ditayangkan beragam produk dan berbagai merek. Lalu ditampilkan pula wajah-wajah cantik bertampang Indo untuk menarik konsumen. Pokoknya ukuran cantik di zaman sekarang adalah, berwajah Indo, langsing, sehat seperti yang ditampilkan oleh selebritis Indonesia. Kendati pun ada usulan bahwa yang lebih baik itu adalah kecantikan yang memancar dari dalam atau inner beauty. Tapi itu hanyalah sekadar wacana, dan sekadar mengingat saja.
            Lalu apakah kita menggugat perempuan Minangkabau karena perubahan pikiran dan prilakunya dalam penampilannya? Tidaklah adil rasanya. Zaman telah berubah. Pada filsafat Alam Minangkabau sudah dipesankan: Sakali aia gadang, sakali tapian barubah. Bahkan dalam suatu tulisan Puti Reno Raudha Thaib menyatakan bahwa perempuan Minangkabau tidak menolak perubahan.
            Perubahan terus bergulir di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Sementara itu ada diantara kita masih bicara, “sangkek daulu…sangkek daulu…” (Masa dulu…masa dulu) Ucapan tersebut muaranya adalah nostalgia masa lalu. Masa kejayaan Minangkabau. Padahal kita jarang sekali menunjukkan secara kongkrit tentang jayanya masa lalu Minangkabau. Sebab catatan sejarah tidak pernah memberi informasi tentang masa jaya itu. Zaman Melayu Tua-kah, zaman Pagaruyung-kah, zaman Islam-kah, zaman VOC-kah, zaman PRRI-kah, zaman Orde Lama atau zaman Orde Barukah?
            Sekarang muncul tren pakaian Muslimah, yang diterjemahkan memakai jilbab. Dan kini kita melihat di tengah-tengah masyarakat Minang, perempuan-perempuan memakai jilbab. Bahkan kanak-kanak pun berjilbab. Namun jilbab yang dipakai sekarang lebih modern dari aslinya (seperti Arab sana). Jilbab dipadukan dengan pakaian ketat dan jin sempit sehingga mencetak bentuk tubuh yang ideal. Hal ini mengundang polemik, kritik dari masyarakat, terutama ulama Islam. Tapi para pemakainya cuek-cuek saja menerima kritikan tersebut. Apalagi kalau kacamata yang mereka pasang, daulu ka daulu. Padahal perempuan Minangkabau itu juga manusia biasa. Dia bisa saja hadir di majalis taklim, bisa shalat berjamaah di masjid, berpakaian muslimah, memberi nasehat kepada orang tentang nilai baik dan buruk. Hafal Asmaul-as Husna, suaranya merdu membaca al-Quran. Namun dalam keseharian setiap orang bisa terpeleset. Perempuan Minangkabau memang bukan dewi yang datang dari langit. 
            Wilayah Minangkabau merupakan wilayah kebudayaan. Sumatra Barat adalah wilayah Minangkabau secara teritorial tapi secara kebudayaan Minangkabau itu melintasi jauh sampai ke daerah Rantau. Kalau kita lihat sekarang, masyarakat Minangkabau bukan saja pribumi Minangkabau tapi sudah bercampur baur dengan suku bangsa lain, seperti suku Jawa, Nias, Aceh, Sunda, Makasar, Ambon, Cina, Mentawai, Batak, dan sebagainya. Terutama di perkotaan. Walaupun terdapat penduduk yang berasal dari berbagai etnis, suku bangsa Minangkabau tetap menjadi warga terbesar di ranah ini. Akan tetapi sulit-sulit mudah membedakan antara perempuan Minangkabau dengan perempuan etnis lainnya. Mungkin bisa lewat bahasa, kita bisa menduga dia adalah perempuan Minangkabau.
            Sebelum saya menulis naskah ini, saya sempat bertanya pada beberapa orang perempuan Minangkabau mengenai perbedaan antara mereka dengan perempuan etnis lainnya. Kebanyakan menjawab, “tidak tahu” atau tersenyum. Tapi dari mereka berpengetahuan lebih tinggi, cenderung menjawab dengan normatif, dan sosok perempuan Minangkabau bukan tentang pisik, namun lebih menjurus kepada yang berlaku umum. Misalnya tentang prilaku, sopan-santun,  pola pikir, cara berpakaian dan seterusnya.
            Bagaimanakah sebenarnya sosok perempuan Minangkabau? Baik secara pisik maupun prilaku, pola pikir, dan cara dia berpakaiannya. Sudahkah sosok itu mencerminkan perempuan Minangkabau, sesuai koridor nilai-nilai Adat dan budaya Minangkabau itu sendiri. Mereka bisa berubah karena dalam pergaulan hidup juga bertemu dengan etnis lain. Di permukiman kota, mereka kebanyakan tinggal di kompleks “real estate” yang dibangun oleh developer. Dan pergaulan di perumahan kompleks memang berbeda dengan Nagari asalnya. Malah generasi sekarang (berusia sekitar 30 sampai 35 tahun) jarang “memikirkan” tentang norma-norma Adat. Walaupun pada dasarnya mereka tahu, orang Minangkabau itu adalah mereka. Apalagi bagi mereka yang berada di luar Minangkabau.
            Jadi sosok perempuan Minangkabau itu tak ada bedanya dengan perempuan etnis lain. Kulit mereka bukan lagi sawo matang tapi ada juga yang putih. Tidak selalu pakai jilbab, ada juga yang menggeraikan rambut dengan aroma semerbak. Bibir pun dipoles gincu. Parfumnya mangkapusak, membangkitkan birahi. Jika dia masih dalam usia ABG (Anak Baru Gede). Bahasanya bukan lagi bahasa Minang tapi sudah “Lu dan Gue
Di sisi lain, dia punya harga diri. Kadang lebih tahan menderita dari kaum lelaki. Ia mampu mendidik anaknya, walaupun tanpa suami-entah karena bercerai hidup maupun bercerai mati- Anak baginya adalah segala-galanya. Bila teraniaya, ia bisa meredam pada batas-batas tertentu. Jika ia tidak tahan maka ia pun membalas keteraniayaan itu dengan bercerai, baik bercerai dari suaminya maupun bercerai dengan nyawanya sendiri atawa bunuh diri (baca cerita klasik Minangkabau: Siti Baheram). Atau bisa juga mengibaskan pedang seperti Siti Manggopoh. Kecerdasannya pun tak kalah dari lelaki.
Kalau bicara dahulu, maka kita memang tidak menemukan perempuan Minangkabau yang melacurkan diri (terang-terangan). Tapi sekarang, boleh anda jalan-jalan ke kota-kota besar, tak usah ke Jakarta tapi cukup di Padang, Malam hari mereka menjajakan diri, di pinggir jalan, atau menunggu di atas taksi menunggu hidung belang. Nauzubillah! Jenguklah Panti Andam Dewi Kayu Aro, perempuan lacur yang terjaring razia itu ada di sana. Dalam istilah Minang disebut jangak, pinang sirah ikue atau lebih vulgar lagi, yaitu lonte atawa poyok. Sebagian kecil di antara mereka tergoda dan tipis iman, disebabkan beratnya beban hidup, dan terperangkap oleh gaya hidup konsumtif, mereka rela menggadaikan diri kepada si hidung belang. Jelaslah fenomena seperti itu hanyalah “kasus” Masih banyak perempuan Minangkabau yang mampu bertahan dalam deraan penderitaan. Mereka mau bekerja keras, menerima upah bercocok tanam di sawah, menjadi pemulung sampah, menerima upah cuci di sekitar perumahan. Semua itu mencerminkan kekentalan mereka dalam memelihara Adat dan harga diri, baik sebagai perempuan Minangkabau, maupun sebagai perempuan Islam.
Itulah sosok perempuan Minangkabau dengan segala kelebihan dan kekurangan.

Dari Meja Kerja Amran SN
Padang, Mei 2008

0 komentar:

Posting Komentar