Senin, 06 Juni 2011

FENOMENA MINANGKABAU DALAM KEKINIAN

Bagaduru Mengejar Gelar Penghulu


H
ingar bingarnya upacara Adat, Seminar dan penulisan teks tentang Minangkabau, terutama mengenai mitologi sosok Penghulu, memicu semangat mereka untuk bersegera “bagaduru” mengejar jabatan Penghulu, baik bagi mereka yang bermukim di rantau, apalagi yang berada di kampung halaman (baca: Sumatra Barat).

Dalam pikiran anak kemenakan suku bangsa Minangkabau, Penghulu adalah pemimpin Nagari. Sebagai seorang pemimpin ia tentu mempunyai kelebihan-kelebihan, yang tidak dimiliki oleh orang awam. Informasi tentang “kehebatan” Penghulu sudah sejak lama digambarkan baik lewat oral oleh tukang kaba, dan Tambo yang mulai dituliskan menjelang akhir abad 19. Kemudian beberapa penulis asing pun tak kalah gencarnya menulis tentang sosok Penghulu (sejak Belanda bercokol di negeri ini). Berikutnya penulis-penulis lain, yang berdasarkan informasi yang diterima dari mereka yang memang ahli dalam hal tersebut, dan berdasarkan tulisan-tulisan yang ada, penulis menulis kembali sosok Penghulu sesuai dengan orientasinya masing-masing. Sehingga tulisan mereka lebih menjurus pada gambaran cenderung mengagungkan sosok Penghulu.

Dan ditambah pula oleh penulis-penulis yang berasal dari tokoh Adat sendiri. Yang memang orientasinya lebih menggambarkan sosok Penghulu sebagai manusia tanpa cacat cela dengan kekuasaan yang ada dalam genggaman mereka. Dalam mamangannya diungkapkan Penghulu disebutkan, “Ditinggikan sarantiang, didahulukan salangkah. Maminteh sabalun hanyuik, bakameh sabalun kanai. Ka pai tampek batanyo, jikok pulang tampek babarito”  ( Dia ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Dia, lebih dulu arif sebelum terjadi masalah Kalau akan pergi, dialah tempat bertanya.) Pengertian dari ungkapan tersebut, bahwa Penghulu yang ideal itu adalah seseorang yang memiliki ke-arifan. Bila ada kemenakannya yang pergi merantau, dimintakan nasehat atau petuah darinya. Dan bila kemenakannya pulang kembali, maka ia telah terdahulu diberikan informasi.

Ketika terjadi pergolakan PRRI, para Penghulu pun dimintakan kesediaannya untuk mendukung gerakan Dewan Banteng tersebut. Akan tetapi ketika pemerintah “pusat” masuk, mereka pun beralih pula mendukung Pusat, sebagian besar. Kecuali bagi mereka yang terlanjur masuk rimba. Sedangkan di zaman rezim Sukarno, pernah istri Sukarno, yaitu Hartini diangkap sebagai Bundo Kandung. 

Di zaman kekuasaan Orde Baru, Penghulu difungsikan oleh rezim tersebut, terutama dalam menghadiri upacara seremonial kenegaraan dan kedaerahan. Para Penghulu diundang dan berjejer mendengarkan pidato Gubernur atau Walikota atawa Bupati. Mereka dengan pakaian kebesarannya manggut-manggut sambil mengudap snack (makanan ringan). Ironisnya, mereka datang dijemput, pulang sendiri-sendiri, tertatih-tatih dengan pakaian kebesaran, naik Angkot.

Walaupun demikian, semangat orang Minangkabau tetap saja punya cita-cita untuk menjadi Penghulu. Gejala seperti itu tampak mencolok pada para pejabat dan mereka yang punya kedudukan serta finansial yang cukup. Umumnya para Gubernur Sumatra Barat menyandang gelar Penghulu. Demikian pula dengan Bupati. Malah ada pula orang sumando diangkap jadi penghulu. Berikutnya, banyak pula pemberian gelar kepada pejabat pusat. Kemungkinan besar hal ini dilakukan adalah untuk kepentingan politis, baik secara individu maupun secara lembaga.

Orang di luar Minangkabau menganggap sosok Penghulu itu berdarah biru, seorang yang berasal dari para dewa atau ada garis keturunan secara vertikal dengan nabi Muhammad Saw. Di samping itu peranan dari Lembaga Kerapatan Alam Minangkabau pun sejak Orde Baru sampai sekarang banyak sekali mendorong agar lebih berminat jadi Penghulu, terutama mereka yang punya jabatan. Kemudian setelah jadi Penghulu mereka pun berniat pula jadi petinggi LKAAM di daerah masing-masing.

Gambaran Pemitosan Penghulu

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gusti Asnan, yang kemudian dipaparkan dalam Kongres Kebudayaan dan Apresiasi Seni Budaya Minangkabau dengan judul Demitologi dan Reposisi Adat (November 2006) Terkesan kedominan mitos Penghulu dalam ingatan kolektif masyarakat Minangkabau adalah karena dua hal faktor utama; pertama, banyaknya gambaran (karya tulis) yang dibuat dan dipublikasikan mengenainya. Kedua, gambaran tersebut cenderung mengagungkan dan memitoskan Penghulu.

Catatan sejarah masa lampau menyebutkan bahwa mitologisasi Penghulu telah dimulai sejak awal Belanda menapakkan kakinya di Minangkabau. Upaya ini dilakukan oleh pejabat sipil maupun militer yang bertugas di daerah ini dan dilakakukan laporan dinas yang mereka tulis. Dua nama yang perlu dicatat dalam penulisan tersebut, yaitu Du Puy dan de Stuers, yang berjasa meng go- internasionalkan gambaran ideal Penghulu. Upaya yang mereka lakukan tersebut bertepatan dengan berkecamuknya perang antara Belanda (dibantu sebagian besar kaum Adat) dengan kaum Paderi. Dari kaca mata politik, tentulah hal tersebut merupakan bagian dari ikhtiar pemerintah Hindia Belanda untuk menciptakan saling harga menghargai dan tolong menolong antara Belanda dengan pihak Penghulu. Sekaligus menciptakan suasana kebencian pada kaum Paderi yang membangkang pada Belanda.

Seiring semakin derasnya perubahan sosial dan semakin panasnya suhu politik (perempat abad ke 20) maka mitologisasi Penghulu memasuki babak baru. Karangan atau tulisan-tulisan semi modern mulai bermunculan. Lukisan ideal mengenai sosok Penghulu terlihat semakin nyata dalam karya mereka. Dan karya tulis sekitar tahun 60-an ke atas, lukisan ideal tentang Penghulu itu ditambah  dengan mengetahui, memahami Pancasila dan UUD 45, serta bersifat Pancasilais, seperti yang ditulis oleh Idrus Hakimy Dt. Rajo Panghulu (1994). Idealisasi dan mitologisasi Penghulu semakin kental dalam pikiran kolektif masyarakat Minangkabau. Dan mengejar jabatan Penghulu sebagai suatu keinginan wajar dari seorang manusia Minangkabau. Sebab jabatan Penghulu juga merupakan simbol status dan simbol orang berbudaya.

Terpinggirnya Penghulu

Sesuai dengan filsafat yang dianut oleh suku bangsa Minangkabau, “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah” Maka terjadi pula sikap dan cara pandang masyarakat Minangkabau terhadap Penghulu. Faktor perubahan pandangan tersebut, disebabkan oleh dua hal; pertama karena faktor internal. Dan kedua karena faktor eksternal.

Semula faktor internal itu adalah karena sikap dari Penghulu lebih banyak menjurus kepentingan pribadi. Di mana karena kekuasaannya, ia bisa berbuat “sekehendak hati” tanpa mempedulikan kepentingan masyarakat yang dipimpinnya. Catatan hitam bagi pemuka Adat (Penghulu) adalah ketika Sutan Alam Bagagarsyah dan beberapa orang Penghulu “menyerahkan” Minangkabau pada kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda  Peristiwa tersebut mengakibatkan  mengikis kepercayaan masyarakat. Dan karena melihat sikap lemah dari mereka, maka de Struers menghapus Hoofdregend Minangkabau yang semula dihadiahkan pada St. Alam Bagagarsyah. Sementara itu kaum Paderi terus berjuang menantang Belanda. 

Merosotnya pandangan anak Nagari pun makin diperkuat oleh sikap para Penghulu yang memerangi rakyat yang berpihak pada Paderi. Dengan balatentara yang sangat besar, mereka merampok dan membunuh rakyat sendiri, karena diduga melibatkan diri membantu Paderi (menurut catatan Kieltsra  1887).

Semakin termajinalkan Penghulu dalam pandangan masyarakat Minangkabau, disebabkan oleh mereka bersedia menjadi bagian mesin kekuasaan penjajah. Terbuktinya dengan maraknya bermunculan Penghulu-penghulu baru, agar mereka pun dapat sato sakaki meraih keuntungan pribadi. Karena maraknya permohonan hendak menjadi Penghulu, pemerintah Belanda lalu melarang pembentukan penghulu-penghulu baru itu. Konon pernah terjadi unjuk rasa dari sejumlah masyarakat di daerah Solok (Alahan Panjang), Lima Puluh Kota (Suliki), dan Agam (Banuhampu) terhadap Penghulu di sana. Terjadinya unjuk masyarakat tersebut karena Belanda telah membeberkan perangai buruk dari para penghulu itu ke tengah-tengah masyarakat, yang sebenarnya telah diketahui rakyat. Bocoran dari prilaku sebagian besar Penghulu untuk bersedia menjadi mesin kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, dilakukan oleh kontroler daerah bersangkutan.

Di Minangkabau tahun 1950 pernah ada Partai Adat Rakyat. Partai ini memiliki ideologi kekiri-kirian. Mereka acapkali menyerang Islam. Bahkan seringkali meremehkan kedudukan Islam . Lalu ada seorang tokoh Adat, yaitu M.A. Datuk Bungsu menulis di harian Haluan (1951) dengan judul “Adat Minangkabau Bukan Bersendi Syarak” Ia tidak mengakui keberadaan Islam dalam Adat. Konon tulisannya tersebut mengundang protes dan polemik dari berbagai kalangan.

Dalam realitas kehidupan sehari-hari, kehidupan Penghulu bertolak belakang dari sosok ideal seorang pemimpin, seperti yang digambarkan oleh Tambo. Seringkali terjadi pertengkaran dengan anak kemenakannya, baik masalah tanah, maupun amoral, berselingkuh dengan istri orang lain, bahkan menelantarkan anak istri. Seringkali ditemukan, baik secara nyata maupun diberitakan oleh mass media.

Faktor eksternal, yakninya terlalu ikut campurnya Belanda terhadap kepenghuluan. Belanda dengan kekuasaan dapat saja membentuk Penghulu baru, dan memberhentikan penghulu yang dirasakan kurang bermanfaat bagi pemerintah (Hindia Belanda). Malah saat itu ada yang nama Penghulu Dagang. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan ketentuan Adat Minangkabau itu sendiri.
Dan setelah zaman Republik pun demikian. Intervensi pemerintah semakin jelas. Baik di zaman Orde Lama dan Dewan Banteng, Kodam 17 Agustus, maupun di zaman Orde Baru. Di zaman Orde Baru para Penghulu diberi beban agar memenangkan Golkar. Zaman itu pun mereka jadi bagian kekuasaan Golkar. Sehingga anak kemenakan mereka yang menjadi anggota atau simpatisan partai lain, memandang Penghulu dengan sinis.

Kenapa Masih Bagaduru?

Walaupun jabatan Penghulu dalam masyarakat Minangkabau dimasa kini terpinggirkan, tapi anak kemenakan suku bangsa Minangkabau tak kunjung lengangnya untuk “mengejar” jabatan tersebut. Semua itu merupakan kebanggaan tersendiri, baik kebanggaan Kaum, maupun kebanggaan pribadi. Lagi pula sosok Penghulu secara mitologilisasi masih melekat dalam pikiran. 

Penghulu dalam pikiran mereka adalah bukan manusia biasa, ia berdarah biru, dan dihormati oleh Kaumnya dan masyarakat. Malah orang luar pun berkeinginan untuk menjadi Penghulu. Menurut Adat, seseorang hendak menjadi Penghulu atau memakai gelar dan memakai sangsako Minangkabau, diwajibkan menelusuri asal muasal mereka, dengan bermuara ke Luhak nan Tigo. Kemudian diwajibkan pula untuk menunjukkan Rumah Gadang dari Kaumnya. Bila belum ada Rumah Gadang, haruslah dibangun Rumah Gadang, di tempatkan ia akan dilewakan sebagai Penghulu.

Bagi mereka yang punya minat menjadi Penghulu, masalah itu bukan jadi soal. Karena mereka telah mempersiapkan segalanya, maklumlah menjadi Penghulu di masa sekarang memerlukan dana yang besar, untuk membiayai upacara helat pelewaan Penghulu. Kerbau direbahkan, kambing disembelih, ayam terkeok. Pun duit dihamburkan. Semua itu untuk mencerminkan Penghulu tersebut sosok”mulia” Justru karena itu, Penghulu yang baru, umumnya para pejabat yang memang tebal kantongnya.

Penghulu adalah manusia biasa, bukan manusia yang datang dari langit, seperti diungkapkan pameo “Nan turun jo palapah karambia dari langik ka tujuh”  Ia tidak lepas dari kodrat manusiawinya. Penghulu punya kelebihan dan kekurangan, yang bisa dipinggirkan disebabkan unsur-unsur yang datang dari dalam dan luar (internal atau eksternal). Hanya saja, kita terlalu terkurung oleh mitologisasi Penghulu. Mestinya, kita harus pula memberi cermin pada mereka yang memegang jabatan Penghulu. Cermin untuk berkaca agar mereka dapat melihat sisi kemanusiawiannya. Perlu dihayati bahwa jabatan Penghulu adalah amanah. Amanah yang dipikulkan oleh Kaum dan masyarakatnya. Perlu sekali melihat dari luar ke dalam dirinya, apakah pantas ia menyandang gelar tersebut. 

Jaan londong aia, londong dadak. Awak tasorong, urang tagak” (Jangan londong air, londong dedak). Jadilah Penghulu, kalau memang pantas! **

 _______________

Catatan :  Amran SN adalah juga Ketua Lembaga Pemerhati Seni Tradisi & Kebudayaan Minangkabau (disamping anggota Dewan Redaksi Serambi Pos) * bagaduru, asalnya dari gaduru, yang artinya berbondong.




0 komentar:

Posting Komentar