Kamis, 09 Juni 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (15)

15

Katib Agam Ditangkap

Atos duduk di teras ketika Nago masuk ke halaman. Anak muda tersebut tidak sendirian, ia duduk bersama Gugum. Atos menyapa Nago tatkala turun dari motor, “Abang klenang-klenong ke mana?”
“Ya, dari mana lagi. Saya dari Sungailareh.” Nago menarik kursi dan bergabung dengan kedua orang tersebut. “Tumben Mas Gugum bertandang ke mari,” ia menyapa Gugum.
“Inilah Bang, Mas Gugum telah dipecat dari kesatuannya. Kini ia sedang bingung. Tadi malam dia menginap di sini,” tutur Atos.
Laki-laki tersebut tersenyum pada Nago. Tapi senyumnya itu bagai awan mendung, terlihat pada wajahnya. “Saya lebih suka dipecat dari pada mengikuti manusia-manusia iblis tersebut,” kata Gugum datar. “Saya harap suatu saat Tuan Logos sadar bahwa ia telah bersekutu dengan sekawanan iblis!”
“Oya, saya buatkan kopi buat Bang Nago,” sela Atos seraya melangkah ke belakang.
“Mas perlu bersabar. Percayalah kebenaran pasti akan menang.” Nago Salapan coba menenangkan hati lelaki yang sedang bingung itu. “Oya, bagaimana dengan keluarga Mas Gugum. Apakah dia belum tahu?”
Kecut Gugum mendengar ucapan Nago. Sumiati memang tidak akan pernah memaafkannya. Istrinya itu telah mendengar skandal dengan top model ibukota tersebut. Malah perempuan itu telah melihat foto-foto selingkuhan dengan Olivia di majalah terbitan Singapura. Mengerling Gugum pada Nago. Kemudian lelaki tersebut menghembuskan nafas untuk meringankan bebab di kepalanya.
Dalam pada itu Atos datang membawa secangkir untuk Nago. “Cobalah kopi buatan saya ini Bang. Pasti Abang ketagihan,” ujar Atos ketawa.
Nago Salapan mereguk kopi buatan Atos. Bibirnya berdecap-decap, lalu mengacungkan jempol,”Sebaiknya kamu buka warung kopi. Pasti banyak peminatnya.”
Atos ketawa lepas. “Sayangnya saya lagi tak punya uang recehan Bang.”
Nago pun ikut ketawa.
“Sumiati terpukul karena ulah saya. Saya memang salah. Iblis itu menjerat saya dengan menyodorkan Olivia. Skenerio tersebut mereka persiapkan karena saya telah membocorkan rahasia penyerangan ke surau Katib Agam.” Gugum mencurahkan perasaannya di hadapan Nago Salapan dan Atos.
Nago diam. Atos pun diam.
“Dan yang paling saya sesalkan, Tuan Logos sebagai komandan terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan. Ia terima usul Anurangga. Tanpa pikir panjang beliau memindahkan saya ke daerah konflik. Tapi saya menolak.
Nago dan Atos menggut-manggut.
“Saya menolak bukan karena takut berperang. Tapi di daerah konflik itu yang akan diperangi dan dibunuh adalah saudara-saudara kita juga,” kata Gugum serak. Ia menoleh kepada Atos. “Saudara Atos kan jurnalis atau wartawan, tentu tahu kenapa mereka memberontak. Ada asap, pasti ada api. Begitulah hukum alam. Sayangnya, saya bukan politikus tapi seorang serdadu.”
“Ya Mas, saya memang wartawan.”
“Di samping ingin Curhat (mencurahkan isi hati), saya juga ingin memberi infomasi untuk anda berdua,” kata Gugum menatap keduanya.
“Informasi apa itu, Mas?” Atos menukas.
“Katib Agam telah ditangkap.”
“Katib Agam ditangkap. Apa salah beliau?”
“Dia didakwa sebagai dalang kerusuhan di beberapa daerah, Jakarta, Ambon dan Papua. Malah ia dihubung-hubungkan dengan krlompok garis keras di Jawa tengah dan Jawa Timur.”
Naluri wartawan Atos segera tersentak. Anak muda itu segera merekam ucapan Gugum dengan tip rekorder. Sementara itu Nago merasa menyesal, kenapa ia tidak lewat ke Kotopanjang surau Katib Agam. Pastilah informasi penangkapan katib Agam lebih cepat diterimanya. Entah kenapa ia memintas lewat Gunungsarik. Barangkali semua itu terpulang pada kehendak Tuhan jua.
“Di mana Katib Agam di tahan?”
“Sekarang dia ditahan kejaksaan. Kemungkinan besar ia akan dipindahkan ke Jakarta.”.
“Gawat Bang. Kita harus menjenguk beliau kejaksaan. Tapi sudah hampir senja. Pasti kita tidak diizinkan menjenguk Katib Agam,” tukas Atos.
Nago termanggu. Lelaki itu menyadari bahwa dia bukan orang terkenal. Dan masalah ini bukanlah masalah kecil. Tuduhan kepada Katib Agam adalah biang teroris. Ia lalu menoleh pada Atos, “Bagaimana kalau kita ke rumah Kepala Kejaksaan. Mudah-mudahan bapak tersebut bisa menerima kita,” katanya.
“Baiklah, Bang.”
“Setelah Magrib kita berangkat. Dan Mas tunggu di rumah,” ujar Nago Salapan.
*
Usaha Nago dan Atos menemui Kepala Kejaksaan tidak berhasil. Karena sore tadi dia berangkat ke Jakarta untuk urusan dinas. Lantas keduanya memberanikan diri ke kantor Kejaksaan. Semula petugas di sana tidak mengizinkan mereka menemui Katib Agam. Apalagi hari telah larut malam dan alasan keamanan. Namun karena keahlian Atos membujuk petugas itu. Mereka diizinkan juga menjenguk Katib Agam.
“Barangkali semua ini adalah coba bagi saya,” ujar Katib Agam ketika bertemu Nago. “Saya pesankan kepadamu agar menjaga murid-muridku di surau dan pesantren.”
“Tapi Buya mempunyai hak untuk membela diri. Negara kita, negara hukum. Buya  bisa menggugat mereka ke praperadilan.”
“Menurut teori memang begitu. Tapi kekuasaan lebih kuat dari hukum. Itulah kenyataan di negara ini.” Katib Agam tersenyum pahit.
Petugas datang, ia mengegur Nago dan Atos. “Waktunya sudah lewat. Anda harus keluar!”
“Jagalah diri Buya baik-baik,” pesan Nago. Lelaki itu menggenggam tangan Katib Agam erat. Orang tua itu membalasnya. “Kamu begitu juga,” sahut ulama tersebut.
Di luar petugas tersebut mengingatkan Atos agar ia tidak memberitakan pertemuan tersebut di koran.”Amanlah itu, Pak,” sahut Atos.

Keesokan pagi Katib Agam diberangkatkan ke Jakarta. Tidak banyak orang yang tahu bahwa tokoh itu dipindahkan ke Jakarta. Namun saat pesawat terbang yang membawa Katib Agam lepas landas, sekonyong-konyong masuk dua bis ke bandara. Hampir 100 orang melompat turun dari kendaraan tersebut. Mereka adalah para murid dan simpatisan Katib Agam.
“Mana guru kami!”
“Kalian zalim!”
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba rombongan  tersebut dikepung polisi anti huru hara. Tapi rombongan itu tak gentar. Mereka terus bersorak. Riuh rendah.
“Kami ingin damai!”
“Guru kami bukan teroris!”
Sorak sorai terus membahana. Polisi tidak bergeming, mereka semakin kokoh berjaga-jaga. Mereka membentuk barisan berlapis agar rombongan tersebut tidak lolos masuk ke lapangan terbang.
Salah seorang dari rombongan itu mendekati komandan satuan. Mereka bercakap-cakap sejenak. Cukup lama percakapan tersebut. Tampak ketua rombongan itu manggut-manggut. Lalu kembali bergabung dengan rombongannya. Dan satuan polisi melonggarkan kepungannya.
“Dia bilang apa Ketua?”
“Buya telah berangkat dengan pesawat tadi.”
“Jangan-jangan mereka mendustai kita.”
“Dia bersumpah demi Tuhan.”
“Di Jakarta, guru kita mau diapakan.”
“Kalau Buya dicelakai. Kita memberontak!”
“Saya dulu tentara rimba. Msuk hutan keluar hutan sudah biasa. Kalau perang saya siap juga.”
“Sabar saudara-saudara. Bukankah Buya berpesan agar kita jangan bertindak anarkhi,” ujar Ketua rombongan mendinginkan massanya. Lantas ia mengajak rombongan itu kembali naik bis.
Akhirnya rombongan tersebut keluar bandara. Sorak-sorai tetrus menggema di atas bis. Petugas-petugas sibuk mengatur lalu lintas. Setelah rombongan itu hilang dari pandangan mata, mereka pun lega.

Matahari garang memanggang kulit.** (Bersambung ...16)



Dari Meja Kerja Amran SN
Padangsarai - Sumatera Barat, Juni 2011 

0 komentar:

Posting Komentar