Sabtu, 14 Mei 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (1)

Oleh : Amran SN

Inilah sebuah cerita tentang manusia-manusia abadi. Mereka hidup di zaman lampau memainkan peranan sebagai anak manusia. Mungkin saja mereka tokoh putih mau pun tokoh hitam, dalam istilah dunia persilatan. Mereka boleh saja dikalahkan atau terkabar tewas maupun lenyap pada suatu zaman. Tapi pada zaman yang lain, mereka muncul kembali.

Dalam kisah Selendang Pembunuh Anggang ini akan ditampilkan manusia-manusia abadi yang hidup dalam masa kekinian. Mereka memiliki kesaktian yang tidak dipunyai oleh manusia zaman sekarang. Tokoh putih tetap saja berupaya memberantas kejahatan dan maksiat. Sedangkan tokoh hitam terus kokoh dengan keculasan, bersekutu dengan iblis, menggoda dan mengintimidasi manusia di setiap zaman yang dimasukinya.

Kisah ini penuh misteri, kekerasan hidup, keculasan dan pengkhianatan. Amran SN akan terus menggiring anda agar mengikuti Selendang Pembunuh Anggang, dengan gaya bahasa yang mengalir. 

........................................................................................

Bagian Kesatu
 
1
Puti Campa
           

Senja telah turun bersama gerimis di kota P. Nadia mengemaskan buku-buku yang digelarkannya di meja tulis. Ia susun buku-buku itu lalu diletakkan di sudut sana. Kemudian bangkit melangkah ke kamar.
Dari jendela yang belum ditutup, ia melihat ke halaman, menukikkan pandangannya ke jalan gang. Ada beberapa orang pejalan kaki bergegas menyusuri jalan itu. Di antara mereka tampak seorang perempuan menoleh ke jendela. Dalam keremangan senja yang disirami gerimis hanya melihat perempuan itu sekilas. Kemudian menutup jendela. Lalu turun ke bawah.
            Selesai shalat magrib, gadis itu kembali ke kamarnya. Ia duduk kembali di meja tulis yang juga digunakannya sebagai meja baca. Nadia membaca buku “Pengantar Antropologi” untuk bersiap menghadapi ujian semester besok.
Beberapa saat menekuni buku tersebut, gadis itu terpecah konsentrasinya. Ia mendengar langkah ringan menaiki tangga menuju kamarnya. Sejenak Nadia menoleh ke belakang. Biasanya Ibu kost mengetok pintu, lalu berteriak, “Saatnya makan malam, Nadia!”
            Tapi kali ini ia tidak mendengar Ibu kost mengetok pintu, dan tidak memanggil seperti biasanya. “Barangkali saya sedang mengkhayal,” gumam gadis itu. Nadia kembali membaca buku di tangannya itu.
            Sekonyong-konyong lampu kamar Nadia padam. Gadis tersebut mendecih. “Apakah sekarang giliran listrik mati di sini?” Pertanyaan itu seperti ditujukannya kepada dirinya sendiri. Gadis itu bangkit dan membuka pintu. Di luar lampu kelihatan menyala. Kemudian Nadia melayangkan pandangan ke kamar sebelah, ke kamar Yanti. Lampu di sana pun hidup.
            Nadia mengetok pintu kamar Yanti. Tapi tidak ada jawaban. Dari bawah kedengaran Ibu kost berteriak,”Ayo turun ke bawah. Sudah waktunya makan malam!”
            Yanti dan Sarah sedang makan di ruang makan tersebut. Ibu kost yang bertubuh gemuk itu menggeleng-geleng kepala,”Kamu kok sering tidur senja. Ada apa sih?”
            “Saya sedang membaca Bu.”
            “Kenapa kamu tidak mendengar saya memanggil.”
            Nadia diam, ia menarik kursi lalu duduk dekat Sarah.”Lampu kamar saya putus,”ujar Nadia seraya menyendok nasi ke piring.
            “Makan dulu,” kata Ibu kost.
            Di luar gerimis makin tebal. Nadia kembali ke kamarnya. Sejenak terperanjat gadis itu. Lampu kamarnya hidup kembali. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di ranjang. Muncul rasa malas  gadis itu untuk belajar. Ia melonjorkan sepasang kakinya, agar lebih santai beberapa jenak. Suara gerimis hujan jatuh ke atap, kedengaran dikupng Nadia bagai nyanyian sendu.
            Ada keinginan Nadia untuk bangkit, lalu ia lakukan. Ia melangkah ke jendela, membuka pintu dan menyingkapkan gordin. Seperti tadi, gadis itu menukikkan pandangan ke jalan gang yang berada di depan kamar. Samar-samar Nadia melihat seorang perempuan berpayung hitam berdiri di bawah siraman lampu merkuri. Pandangan mereka bertemu sesaat.
            “Saya pernah melihat sosok perempuan itu. Tapi di mana?” Gadis itu membatin. Namun ketika ia kembali menoleh ke arah perempuan yang berdiri di bawah lampu merkuri tersebut, perempuan itu sudah lenyap.
            Gerimis memercik ke daun jendela, yang tertutup sepotong. Nadia menurunkan gordin, cahaya di luar masih membias dari luar ketika ia kembali berbaring. Wajah Nadia tengadah ke plafon. Pikirannya melayang jauh. Jauh melewati batas waktu.

            Dulu, ia menyusul Nago ke Inderapura. Lelaki itu ke sana untuk memenuhi tantangan Anurangga. Perjalanan ke Inderapura memakan waktu cukup panjang. Setiba di sana, dia tidak mendapatkan Nago Salapan dan Anurangga sedang bertarung. Menurut masyarakat di sana, keduanya telah pergi.
            “Kemana mereka pergi?”
            “Mereka saling bertolak belakang. Anurangga terluka berat. Dia menuju ke Muko-Muko. Sedangkan Nago Salapan kembali ke Pagaruyung. Lelaki itu pun terluka. Seterusnya kami tidak tahu lagi, bagaimana nasib keduanya,” tutur seorang tua di Inderapura itu.
            Bayangan Nadia terputus. Ia miringkan tubuhnya ke dinding, Gerakan itu dilakukannya agar bayangan masa lalu tersebut segera lenyap. Bersamaan dengan itu, kedengaran langkah kaki ringan di luar. Sangat dekat sekali.
            Secepat kilat Nadia bangkit dan membuka pintu kamar. Di luar tampak seorang perempuan berdiri. Cahaya lampu memperjelas sosok perempuan tersebut. Ia perempuan setengah baya tapi guratan kecantikan masa lalu masih tersisa di wajahnya.
            “Nyonya, bukankah nyonya perempuan berpayung di bawah sana?” Agak gugup Nadia berkata. Ia lebih gugup lagi ketika melihat ke sandal yang dipakai oleh perempuan itu, tidak ada bekas lumpur, padahal di luar sana jalanan becek.
            “Ya, kamu benar.”
            “Nyonya ketemu Ibu kost?”
            “Semuanya telah tidur. Kecuali kamu,” sahut perempuan itu. “Sudah lama denai ingin bertemu dengan kamu. Tapi denai selalu terlambat. Waktu seakan-akan tidak bersahabat,” lanjutnya. Ia surut selengkah, memperbaiki tali tas yang disandangnya. “Bolehkah denai masuk?”
            Nadia tersentak dari keterpanaannya. “Maaf nyonya, saya membiarkan nyonya berdiri lama. Mari, silahkan masuk.”

            Gerimis telah reda. Bulan sepotong tumbuh di langit.
            “Sebenarnya nyonya siapa?”
            Perempuan itu tersenyum. Ia melepaskan tas di bahunya. Tas itu lalu diletakkan di pangkuannya. “Kamu pasti ingat ketika denai ajarkan jurus Selendang Dunia. Denai Puti Campa, gurumu. Waktu telah memisahkan antara engkau dan denai,” tutur Puti Campa.
            Seberkas cahaya masuk ke dalam pikiran Nadia. Ia melihat dirinya di sebuah bukit. Nadia menari dengan selembar selendang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ketika ia berkelabat ke sana sini memainkan selendang itu.
            Di bawah pohon rindang, Puti Campa memberi petunjuk berulang kali. Kadangkala perempuan itu menimpuk Nadia dengan selembar daun. Daun itu melesat kencang menyerang gadis yang sedang memainkan jurus Selendang Dunia.
            Nadia berjumpalitan, meletik beberapa kali di udara. Lalu hinggap di tanah dengan ringan. Tiba-tiba gadis itu ingat siapa dirinya, ia adalah Puti Rinjani. Itulah nama Nadia di masa lampau!
            “Kamu ingat?”
            “Guru.” Nadia memeluk Puti Campa. “Maafkan saya. Saya telah melupakan engkau, Guru.” Tanpa disadarinya, butir-butir air mata mengalir di pipi Puti Rinjani. Sepertinya ia tidak ingin melepaskan perempuan itu dari dekapannya.
            Saat kemudian, Puti Campa membuka tasnya. Sekonyong-konyong tampak cahaya kemilau memancar, kamar itu terang benderang seketika. Perempuan itu memegang selembar selendang bewarna keemasan yang dikeluarkannya dari tas itu.
            “Inilah Selendang Pembunuh Anggang,” ujar Puti Campa seraya membentangkan selendang itu di pangkuannya. Benda tersebut panjangnya dua meter. Kedengaran gemerisik halus ketika perempuan ini membalik-balik selendang. Sungguh indah sekali sulaman selendang tersebut, pinggirannya bermanik-manik dari batu pualam. Kemudian Puti Campa menyodorkan pada Nadia. “Selendang ini untukmu,” katanya.
            “Terima kasih, Guru.”
            Bulan sepotong disungkupi awan tipis di angkasa, Puti Campa bersiap hendak pergi. “Tugas denai telah selesai. Tapi sebelum denai pergi, engkau wahai Rinjani akan denai beri amanah.”
            “Amanah?”
            “Ya, kamu harus menjaga dunia ini dari orang-orang serakah dan biadab. Mereka bukan manusia biasa. Mereka abadi sepanjang dunia ini masih ada.”
            Menetes keringat dingin di sekujur tubuh Nadia. Ia tercenung sejenak. Dalam pikirannya muncul berbagai pertanyaan. Manusia abadi. Siapakah manusia abadi yang dimaksud oleh Puti Campa itu. Manusia macam apa mereka. Dan di mana mereka sekarang? Ketika gadis itu mengangkat wajahnya, Puti Campa sudah mengirap.

*


            Ayam berkokok. Fajar menyingsing.
            Nadia tersentak, ia mendengar pintu kamar diketok. Lalu kedengaran suara Ibu kost setengah berteriak di luar. “Bangun Nadia. Subuh telah tiba!”
            Gadis itu terlompat dari ranjangnya. Agak pusing dia. Ia bangkit perlahan dan duduk di kursi yang terletak di sudut kamar. “Saya mimpi lagi,” gumam Nadia. Lama dia termenung. Galau pikirannya. Dan dalam kegalauan itu, Nadia pergi ke kamar mandi. Ia guyur tubuhnya basah-basah. Saat itu ingatannya kembali pada perempuan yang datang ke kamarnya. Perempuan itu memberinya selembar selendang.
            Ketika kembali ke kamarnya, Nadia mendapatkan selembar selendang bewarna keemasan dengan sulaman indah, bertatah manik-manik batu pualam. Ia menyampirkan selendang itu ke bahunya. Nadia berkaca, berputar-putar bagai seorang pragawati di atas pentas. Ada nuansa magis masuk ke dalam diri gadis itu. “Denai Puti Rinjani,” bisiknya sambil menatap dirinya dalam kaca.** (bersambung...2 & 3)


0 komentar:

Posting Komentar