Minggu, 29 Mei 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (10 & 11)

10

Membakar Surau

Katib Agam tersentak, empu kaki kirinya berdenyut. Ia segera bangkit. “Astaghfirullah,” lelaki beristighfar. Dan menyapupan pandangan ke arah murid-murisnya yang sedang tidur nyenyak dalam surau itu.
Melangkah Katib Agam keluar mengambil wudhuk. Setelah itu kembali ke surau, lalu shalat Tahajut. “Ya, Allah. Engkau Maha Mengetahui. Saya serahkan diriku ke dalam takdir-Mu,” doa lelaki itu selesai shalat.
Lelaki itu membangunkan murid-muridnya. Mereka mengeliat, mengucek-ngucek mata. Bahkan ada yang menguap lebar-lebar. Agaknya tidur mereka belum puas. Memang jam dinding menunjukkan pukul dua dinihari. “Kalian segera bangun!” Katib Agam berseru lantang.
“Waktu subuh belum tiba, Buya.”
“Saya masih mengantuk, Buya.”
“Kalian boleh tetap tidur. Tapi kalian akan mati!” Terpaksa laki-laki itu berkata demikian untukmenakuti mereka.. Kalau tidak demikian, tentu mereka akan merebahkan tubuh kembali. Sementara itu firasat Katib Agam sangat keras akan terjadi sesuatu di surau itu.
Para murid tersebut membelalak, penuh ketakutan. Wajah mereka tampak pucat. Kematian? Betapa menakutkan kematian itu. Pikiran mereka menjalar jauh. Betapa mereka digotong ke pekuburan. Lalu dimasukkan ke dalam lobang kubur. Dan setelah pengantar beranjak tujuh langkah dari kubur, mereka terbangun. Oh, alangkah gelapnya dalam kubur tersebut.
“Kalian harus mengungsi dari surau ini. Semua kita dalam bahaya,” Katib Agam menjelaskan.
“Siapa yang ingin mencelakai kita, Buya?”
“Jangan banyak tanya. Segera turun dari surau ini. Jabir, bawa teman-temanmu ke masjid di seberang sana. Kalian menginap di sana. Kalau sudah aman, akan saya jemput,” perintah Katib Agam pada Jabir murid tertuanya itu.
“Baik Buya,” sahut Jabir setelah tertegun sejenak. Memelas tatapannya pada Katib Agam. Cemas remaja tersebut akan nasib gurunya itu. Karena ada rasa khawatir, Jabir bertanya,”Kalau memang ada bahaya, kenapa Buya tidak ikut bersama kami?”
“Pergilah. Jangan pikirkan saya!”
Jabir tidak membantah lagi. Ia segera memimpin teman-temannya menyeberang menuju masjid. Jarak antara surau dan masjid tidaklah begitu jauh. Murid-murid itu berjalan kaki ke sana, tidak sampai setengah jam, mereka telah tiba. Seperti pesan Katib Agam, mereka langsung merebahkan diri di masjid.
Ayam berkokok tanda perkisaran waktu. Dua unit kendaraan masuk ke jalan gang, sebuah jip dan satu truk. Kendaraan tersebut berhenti di depan surau.
Katib Agam duduk tafakur di mihrah surau, dalam gelap. Pintu surau terbuka lebar. Dari mihrab surau Katib Agam melihat puluhan orang bersenjata melompat turun, dari atas truk. Dan dari jip turun tiga orang. Beeamaan dengan itu ia mendengar deru sepeda motor.
“Dia telah tahu kedatangan kita,” ujar Slang. “Gugum, perintahkan anak buahmu masuk ke surau,” sambungnya seraya menoleh pada Gugum dan Kompe.
“Jangan. Biar saya bicara dengan Katib Agam,” sahut Gugum. Tapi ketika ia kan melangkah, Slang menahannya. Slang mengerling pada Kompe,”Seret Katib Agam ke mari!”
Terpengaruh Kompe bagai kena hipnotis oleh ucapan Slang. Tanpa banyak bicara laki-laki itu lalu mengajal dua orang anak buahnya naik ke surau. Slang tersenyum. Dia memang amat benci pada Katib Agam. Ia masih ingat, ketika mereka hidup di zaman lampau. Katib Agam pernah mempermalukannya. Slang diikatkan pada sebuah pohon rambutan yang penuh semut karanggo. Memekik histeris Silangkaneh ketika semut tersebut menjalari sekujur tubuhnya. Sungguh tersiksa dia, sampai terkencing-kencing dalam celana. Kini Slang atawa Silangkaneh berharap dengan “serangan” ke surau tersebut, dendamnya akan segera terbalas.
Tanpa membuka sepatu, Kompe dan anak buahnya sudah berada di teras surau. Namun ketika menginjak lantai teras, tiba-tiba mereka merasakan sesuatu kekuatan mendorong keluar. Maka Kompe dan kedua anak buahnya terlempar, jatuh terhenyak di halaman. Susah payah mereka bangkit kembali.
“Katib Agam. Keluar kau!” Kompe berteriak marah.
“Pintu terbuka lebar. Masuklah!”
Kompe memberi isyarat pada kedua anak buahnya. Segera mereka mengokang senjata. Lalu ketiga orang tersebut kembali melompat ke teras. Seperti tadi, mereka pun terdorong keluar oleh tenaga tanpa ujud. Kembali tumpang tindih di halaman surau.
Hilanglah kesabaran Kompe, ia memberi aba-aba. “Tembak!”
Berhamburan peluru-peluru dari senjata otomatis mereka. Kumbang-kumbang api tanpa sayap itu melesat menyerang Katib Agam yang duduk di mihrab. Saat itu pula Katib Agam bangkit seraya mengibaskan tangannya. Mustahil. Tapi itulah kenyataan. Peluru-peluru yang melesat kencang bagai kilat itu, rontok ke lantai!
Slang mengusap wajahnya. Laki-laki itu stres seketika. Kemudian ia menoleh pada Kucing Air Kuning dan Kucing Air Merah. “Katib Agam tidak mempan oleh senjata modren. Dia juga manusia abadi seperti kita juga,” gumam Slang.
“Kalau begitu, biar kami berdua maju,” sahut Kucing Air Kuning.
“Tunggu dulu,” tukas Slang. Berpikir sejenak ia. Tiba-tiba berteriak lantang,”Bakar surau itu!”
Puluhan serdadu bergerak cepat, mereka menuangkan bensin dari jerigen yang memang telah dipersiapkan dalam penggerebekan ini. Tidak berapa lama kemudian api menggelora membakar surau tersebut. Dan bangunan pasentren yang berdekatan dengan surau pun terbakar.
Katib Agam melompat dari surau. Lelaki itu disambut oleh tembakan gencar. Berkelabat lelaki tersebut bagai seekor rajawali yang menyambar ke sana-sini. Dua sampai tiga serdadu terkapar kena terjangannya.
“Jangan dekati dia!” Slang berseru memperingatkan, sebab setiap Katib Agam berkelabat menyerang serdadu yang berada paling dekat terkapar. Lelaki itu memukul dan tinju lawan-lawan yang mengeroyoknya.
Dan ketika Katib Agam mendengar seruan Slang, ia segera menghambur ke arah laki-laki banci itu. Terlambat Slang menghindar. Katib Agam menelikung lengan Slang, lalu ia putar ke belakang. Wajah Slang dicecahkan ke tanah.
“Wooowww. Kamu sadis amat,” raung Slang. Slang merasakan seolah-olah lengan itu lepas dari bahunya.
Beberapa orang serdadu siap menembak ke arah Katib Agam.
“Jangan bertindak bodoh. Kalau kalian menembak. Saya bisa mati!” Slang memekik.
Serdadu-serdadu itu mundur.
Tiba-tiba kedengaran suara kucing meraung. Lalu dua sosok kuning dan merah menerjang ke arah Katib Agam. Katib Agam melepaskan Slang seraya berkelit.
Slang merangkak di lumpur, kemudian dengan susah payah ia bangkit. Banci itu mendelik pada Katib Agam. “Kamu jangan bangga dulu Katib. Sebentar lagi kau akan koyak-koyak disuntih sepasang Kucing itu.”
Katib Agam mendengus. Ia bolak-balik memandang Kucing Air Kuning dan Kucing Air Merah. “Agaknya kalian telah bisa menyesuaikan diri dengan dunia modern,” cemooh laki-laki itu. “Rambut kalian mirip penari “baruakden”(break dance).”
Sepasang Manusia Kucing mengeong. Lalu menyeringai memperlihatkan taring mereka. Rambut mereka mencuat naik, lurus menjulang bagai duri landak. Di tangan mereka masing-masing tergenggam sepasang sabit atau clurit. Senjata tersebut merupakan senjata andalan mereka. Konon kabarnya, sepasang manusia kucing ini hanya setingkat di bawah Anurangga, ilmu silatnya.
“Katib Agam. Kamu akan berkubur di sini!”
“Kepalamu akan terpisah dari badan!”
Kembali Katib Agam mengeluarkan suara dari hidung, mencemooh ucapan sepasang manusia kucing tersebut. Ia memasang kuda-kuda, agak membungkuk tubuhnya. Mata laki-laki itu mencorong tajam mengikuti gerak-gerik lawan.
“Wooooowww!”
“Ngeoooongg!”
Sepasang sabit yang tergenggam di tangan mereka melesat menyerang Katib Agam. Serangan itu cepat dan ganas. Hawa kematian membersit dari sepasang manusia kucing tersebut.
Berkelabat Katib Agam, lengannya mengibas mantap, langkahnya ringan dan lincah. Lima jurus telah berlalu, gerakan-gerakan mereka bertarung semakin cepat.
Gugum, Kompe dan para serdadu melongo melihat pertarungan itu. Seakan-akan mereka sedang menyaksikan film laga di layar kaca. Sementara itu api terus menjalar membakar surau. Bunga-bunga api melayang-layang bagai kunang-kunang ke udara. Dinding surau yang terbuat dari papan mengeropos berderai. Tiang tua yang menyanggah bangunan surau dijilat api!
Lewat dua puluh jurus pertarungan berlangsung, Katib Aagam agak terdesak menghadapi sepasang manusia kucing tersebut. Nafas tua lelaki itu mulai tersengal-sengal. Sebaliknya, Kucing Air Kuning dan Kucing Air Merah semakin meningkatkan serangannya.
Sebuah tebasan menyilang dari Kucing Air Kuning melukai lengan kiri Katib Agam. Namun semangat laki-laki tersebut tetap gigih memberikan perlawanan. Ia berkelit , mengibas dan berkelabat. Seraya menyapu kedudukkan kuda-kuda lawan.
“Senjata modern mungkin tak mampu melukai kulitmu. Tapi clurit kami adalah senjata ampuh. Kamu akan mati sebentar lagi!”
“Wooouuw. Meeooong!”
Serentak sepasang manusia kucing itu menebas, menebas dari kiri dan kanan. Katib Agam membungkuk serendah mungkin. Ia terhindar dari serangan Kucing Air Merah. Akan tetapi tebasan Kucing Air Kuning berhasil menebas betis Katib Agam.
Dalam pada itu, tiang tua surau berderak-derak hendak roboh. Katib Agam seraya berjumpalitan. Ia terhuyung di teras. Darah segar di lengan kiri dan betis kanannya tampak meniris. Pintu surau pun roboh.

Saat genting itulah kedengaran bunyi “Tiiiinggg!”
Sepasang Manusia Kucing tertegun. Semula mereka hendak menghabisi Katib Agam. Namun ketika mendengar suara dentingan keras tersebut. Nyali mereka mendadak ciut. Mereka saling bertukar pandang. “Bukankah itu suara Kecapi Naga?” Kucing Air Kuning seperti bertanya kepaka dirinya sendiri.
“Nago Salapan telah muncul!”
Lewat cahaya api yang bergelora, dari ujung gang sana tampak sosok bayangan mendekati Katib Agam. Sosok itu memang Nago Salapan. Anak muda itu memondong Katib Agam. Tatkala itu pun pintu surau dan tiang tua roboh. Akan tetapi Katib Agam dapat diselamatkan Nago Salapan.
“Maaf Buya, saya terlambat,” ujar Nago Salapan seraya merebahkan Katib Agam di pangkuannya.
Katib Agam batuk-batuk. “Manusia kucing itu terlalu tangguh buat saya. Tapi yang paling saya sesalkan, mereka telah membakar surau dan pasentren.”
“Jangan pikirkan semua itu. Mereka akan saya hadapi,” tukas Nago Salapan.
Melihat Katib Agam dapat diselamatkan Nago Salapan, Slang menyeruak di antara serdadu-serdadu tersebut. Banci itu menuding ke arah Nago Salapan yang menyinggir ke bawah pohon manggis. “Kamu kira akan bisa menyelamatkan Katib Agam? Jangan bermimpi dulu. Dua temanku, Kucing Air Kuning dan Kucing Air Merah segera akan menghabisi kalian!”
Tersenyum Nago mendengar ocehan Slang. Ia tinggalkan Katib Agam yang bersandar di bawah pohon manggis. Melangkah anak muda tersebut beberapa tindak. “Dari zaman ke zaman engkau memang tidak pernah berubah. Kerjamu hanya menghasut dan memfitnah. Dan kepiawaian engkau yang paing menonjol adalah memikulkan beban kepada orang lain.”
Mendengar komentar Nago tersebut, banci itu menggeliatkan tubuh bagai seorang gadis manja. Tapi kemudian ia mendelik penuh emosi. “Wahai kucing kembar yang perkasa. Kalian tunggu apa lagi. Binasakan dia!”
“Meeooonggg!”
“Wooouuw!”
Sepasang Manusia Kucing itu terbakar oleh hasutan Slang. Mereka membungkukkan tubuh sepasang tangan mereka menyentuh tanah. Sesaat kemudian melayang ke arah Nago Salapan. Clurit di tangan mereka masing-masing menebas. Senjata sepasang manusia kucing itu, berkelabat ke arah Nago, menebas di kiri dan kanan.
Nago waspada. Ia waspada akan keganasan serangan senjata lawan. Langkah lelaki tersebut ringan berkelit. Kadang ia mengapung bagai kupu-kupu. Beberapa kali berhasil mengetok kepala Kucing Air Kuning dan Kucing Air Merah.
Merasa dipermainkan lawannya, sepasang Manusia Kucing itu segera merubah cara menyerang. Di mana tadi mereka menyerang silih berganti, sekarang berubah. Mereka menyerang berbarengan tapi sasarannya berbeda. Jika Kucing Air Merah menyerang bagian atas, maka Kucing Air Kuning menyerang bagian bawah.
Ternyata serangan itu telah terbaca oleh Nago Salapan. Dengan mengandalkan kelenturan tubuh, Nago menyelinap di antara serangan-serangan berbahaya tersebut. Bahkan Nago berhasil membanting Kucing Air Merah dengan sapuan kaki.
“Woooouuuw!”
Kucing Air Merah berguling di tanah. Tapi segera bangkit. Manusia kucing itu menyeringai menatap Nago. “Woooouuw!” Belum habis suara “meong” manusia kucing itu, dia lantas menghambur kembali menerjang lawannya. Dan saat yang bersamaan Kucing Air Kuning pun menerjang. Kedua Manusia Kucing tersebut melencarkan serangan beruntun.
Terlambat sepersekian detik Nago menghindar, kedengaran kain robek! Celana Nago di bagian paha robek melebar. Dari sana meniris darah segar. Terasa perih luka tersebut bukan alang kepalang, akibat tebasan clurit lawan.
Sepasang manusia kucing ketawa melengking. Riang mereka menyaksikan lawannya yang tangguh itu terluka.
“Nago! Nasibmu tidak lebih baik dari Katib Agam,” ujar Kucing Air Merah gembira.
Ayam berkokok. Nago Salapan menggigit bibir sesaat. Ia lalu merobek celananya yang tertebas clurit, semakin lebar sobekan itu. Kemudian laki-laki itu meludahi telapak tangannya, lalu ia barutkan ke luka di paha kirinya tersebut.
Sepasang Manusia Kucing saling berpandangan. Kemudian saling mengangguk. Tiba-tiba menerjang serentak. Kucing Air Merah menebas leher, dan Kucing Air Kuning menebas pinggang lawannya itu.
Agaknya serangan kilat bagai kilat menyambar itu tidak mungkin ditangkis atau dielakan Nago. Memang! Nago hanya diam tak bergeming, tak bergerak sedikit pun.
Ayam berkokok lagi. Bunga-bunga api terus melayang mengudara. Surau Katib Agam semakin dilalap api. Saat yang bersamaan Nago Salapan merentangkan lengannya, menjulang ke angkasa. Clurit sepasang manusia kucing mendarat di leher dan pinggang Nago Salapan. Dan saat itulah melayang sepasang benda putih berkilau.
Katib Agam yang bersandar di pohon manggis beristigfar. Lalu menyapu wajahnya. Serdadu-serdadu terbelalak. Slang menganga. Ayam berkokok bersahut-sahutan.
Sepasang benda putih yang berkilau tersebut adalah senajata kedua manusia kucing, yang tadinya menyerang leher dan pinggang Nago. Clurit-clurit itu membalik kembali kepada pemiliknya, Kucing Air Merah dan Kucing Air Kuning. Leher Kucing Air Merah terasa dingin. Kemudian terkulai! Dan pinggang Kucing Air Kuning robek dengan luka lebar. Manusia kucing itu terhuyung-huyung.
Ternyata, Nago Salapan saat merentangkan lengannya ke angkasa, ia sedang merapalkan ilmu “Balik Awah”. Suatu ilmu hawa murni yang mampu membalikkan serangan atau benda apapun yang berasal dari lawan. Konon pemilik ilmu “Balik Awah” tersebut mampu membalikkan arus sungai dari hilir kembali ke hulunya.
Tertatih-tatih Slang mendekati sepasang Manusia Kucing itu. Terperanjat ia melihat luka besar menganga di pinggang Kucing Air Kuning. Banci itu mengguncang bahu Kucing Air Kuning. Manusia kucing itu merintih lemah. Lalu Slang mendekati Kucing Air Merah, Slang terpana. Leher Kucing Air Merah nyaris putus. Dan laki-laki tersebut tak bernyawa lagi.
Tiba-tiba langit seperti rengkah. Tampak kilatan cahaya jatuh pada tubuh Kucing Air Merah. Tubuh manusia kucing merah itu terbakar jadi abu. Abu itu melayang seperti ditipu angin dan jatuh di atas ubun-ubun Nago Salapan.
Petir menggelegar. Kilat menyambar. Sekujur tubuh Nago bergetar. Ia meraung bagi naga.
**



11

Perangkap

Ketika Nadia kembali ke Sungailareh, Sabar mengabarkan bahwa ada yang mencarinya. “Siapa yang mencari saya. Laki-laki atau perempuan?” tanya gadis itu.
“Mereka berdua, keduanya laki-laki.”
“Laki-laki. Siapa ya?”
“Seorang bernama Nago. Dan laki-laki yang lebih muda dipanggil Atos. Akan tetapi laki-laki yang bernama Nago menaruh perhatian padamu. Agaknya kalian berpacaran, ya.”
Gerah seketika wajah Nadia mendengar ucapan Sabar. “Ah, Pak Sabar pintar juga bercanda,” sahut Nadia seraya ketawa polos. Sesaat kemudian gadis itu mengalihkan pandangan ke kandang bebek. Seekor bebek jantan mengejar bebek betina. Bebek betina menghindar ke semak di pinggir kolam sana. “Lalu apa yang dikatakannya.”
Sabar menggaruk kepala, sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu. “Oya, ia berkata suatu saat akan kembali ke sini. Ia sangat rindu padamu.”
Berbunga-bunga hati Nadia mendengar penuturan Sabar. “Saya juga rindu padamu,” kata gadis itu dalam batin. Sejenak Nadia mencuri pandang pada Sabar, laki-laki tersebut batuk-batuk kecil. Tampak itu maklum akan perasaan Nadia. Ia kemudian memanggul ranting kayu buat junjungan tanaman kacang panjang, dan berjalan ke ladang yang terletak di halaman belakang.
Di teras depan duduk Ibu kost, ia memandang ke jalan. Sementara itu Nadia menyiram bunga-bunga yang tumbuh di depan. Tatkala itu telah sore. Dan di sore hari tersebut berhenti sebuah mobil. Dari mobil turun Mori dan Sarah. Sarah mendahului masuk ke halaman.
“Nadia!” Sarah bersorak riang seraya berlari mendekati Nadia.
Kedua gadis itu berpelukan. “Dari mana kamu kami tinggal di sini?” tanya Nadia.
Sejenak Sarah mengatur nafas. “Sungguh panjang ceritanya sehingga saya tahu di mana kamu tinggal,” tutur Sarah. Dalam pada itu Mori pun melangkah masuk ke halaman. Nadia mengajak keduanya naik ke rumah. Tiba di atas rumah tak tahan lagi, Sarah memeluk Ibu kost,” Saya sangat merindukan Ibu,” ujar Sarah sambil mencium perempuan tua itu.
Suasana pertemuan tak terduga itu jadi ramai. Masing-masing mereka menuturkan kisahnya. Sementara itu Ibu kost melangkah ke belakang, membiarkan ketiga anak muda itu bercakap-cakap
“Saya akan pagelaran di Malaysia. Dan kamu masih punya peluang untuk ikut,” kata Mori pada Nadia.
Nadia diam.
“Saya juga ikut Nadia,” sela Sarah.
Angin semilir menyapu rambut Nadia. Gadis itu menelisik rambutnya dengan jemari. Sepertinya ia sedang berpikir. Beberapa jenak kemudian ia menyahut,”Tapi saya belum berlatih bersama kalian. Lagi pula saya belum bicara dengan Bu Narni.”
“Saya sudah bicara pada Bu Narni. Dia oke-oke saja,” tukas Mori. “Di samping itu akan ikut bersama kita Pak Mustafa. Kamu kenal Pak Mustafa kan?”
“Ya, bukankah dia orang dekat Walikota? Saya pernah ke rumahnya di Lubukminturun.”

Berebut senja Mori dan Sarah meninggalkan rumah Ibu kost. Nadia mengantar mereka ke mobil. “Hati-hati di jalan,” ujar Nadia. Mobil yang ditompangi Mori dan Sarah kembali lewat kampung Lolo arah selatan.
Sementara itu Anurangga sedang rebah-rebahan di ranjang hotel berbintang di kota P ini. Matanya berkedip-kedip memandang langit-langit kamar tersebut. Pikirannya menerawang jauh melintasi zaman. Tatkala itu ia bertemu dengan Ibusuri, Puti Campa.
“Kamu telah mendapatkan segala-galanya di negeri ini. Kekuasaan, harta dan perempuan. Lalu buat apa kamu gelisah begini,” ujar Puti Campa.
Anurangga menghela nafas perlahan. Kemudian ia menjawab dengan hati-hati ucapan Ibusuri tersebut. “Apa yang Ibusuri katakan itu, telah cucunda maklumi. Hamba adalah pangeran pertama di negeri ini, memiliki kekuasaan di bawah Maharaja Alam. Punya banyak selir dan perempuan-perempuan muda yang cantik. Tapi ada yang mengganjal dalam pikiran hamba.”
“Kamu menginginkan Puti Rinjani?”
“Ya, hamba menginginkan Puti Rinjani. Menurut tambo gadis itu itu akan menurunkan ras terpilih di muka bumi ini. Jika ia hamba nikahi maka sempurnalah kekuasaan hamba.”
“Cucunda Anurangga. Tidak semua apa yang diingini manusia dapat diraihnya. Engkau sudah mendapatkan Puti Galang Banyak. Perempuan itu pintar dan cerdas. Kenapa kamu tidak membangun rumah tanggamu bersama dia. Maksud denai kenapa engkau tidak menyintai dia?”
Tunduk wajah Anurangga. Ia tidak tahan menantang sorotan mata Ibusuri yang tajam membakar itu. Tanpa menangkat wajah, Anurangga menjawab, “Dia mandul, Ibusuri.”
Beberapa saat Puti Campa hening.
Anurangga merasa dirinya sangat kecil di hadapan perempuan berbangsa tersebut. Ada kekhawatiran dalam hatinya, jangan-jangan Ibusuri akan mendampratnya, karena ia telah lancang mengatakan Puti Galang Banyak mandul!
“Cucunda Anurangga. Hubungan suami istrimu bukanlah sekadar hubungan bersebadan. Manusia bukan binatang, manusia mahkluk yang berakal dan berbudi. Sebenarnya yang menjadi pikiranmu setiap saat adalah nafsu syahwat yang tak terkendali. Bukan kemandulan Puti Bagalang Banyak,” keras nada Puti Campa memecahkan kesunyian.
“Ampun hamba Ibusuri. Sebagai seorang pangeran keturunan Maharaja Alam, salahkah hamba memiliki seorang istri lagi?”
“Tidak juga.”
“Perempuan itu adalah Puti Rinjani.”
Lama Puti Campa menyahut ucapan Anurangga. Ibusuri mendesah. “Denai menyayangimu engkau cucuku. Justru karena itulah denai tidak membantah ketika Maharaja Alam mengukuhkan engkau sebagai pangeran utama negeri ini.” Setelah berkata seperti itu, Puti Campa menukikan pandangannya pada Anurangga yang masih menunduk. “Puti Rinjani akan menimbulkan malapetaka bagimu!”
Petir menggelegar menyambut ucapan Puti Campa.

Pikiran Anurangga yang menerawang melintasi zaman terputus seketika tatkala mendengar ketokan pintu. Lelaki itu tetap saja rebah di ranjang. “Silahkan masuk,” sahut laki-laki itu. Anurangga melihat Slang masuk dengan wajah kuyu. “Apa kabarmu,” sapa Anurangga.
“Surau dan pasentren Katib Agam telah musnah jadi abu, Tuanku.”
Anurangga mendengus mengeluarkan suara dari hidung.
“Lalu?”
“Sayang ada pengkhianatan. Rencana tersebut diketahui lebih awal. Nago Salapan tiba-tiba muncul di sana. Lelaki tengik itu telah menyelamatkan Katib Agam dari kematian. Dan Kucing Air Merah ditangan Nago Salapan. Kami tidak mampu mencegahnya.”
Kelabu wajah Anurangga mendengar keterangan Slang. Ia bangkit, mondar-mandir di kamar, sepasang lengannya terjuntai ke belakang. Kesal raut wajahnya, geraham lelaki tersebut berdekak-dekak menahan amarah. “Kamu bilang tadi ada pengkhiatan. Siapa yang berkhianat?”
Slang mengangkat wajahnya memandang Anuranga. Kecut Slang ditatap laki-laki itu, tapi ia menyahut juga, “Orang itu adalah pembantu tuan Logos.” Wajah Slang kemudian membenam ke lantai.
“Denai sudah menduga,” ujar Anurangga ketus. “Namun berhadapan dengan militer, kita harus hati-hati. Segera kamu pasang perangkap untuk menjebaknya.”
“Kita usulkan dia agar ditugaskan ke daerah konflik.”
“Jangan! Kamu harus tahu, kelemahan manusia zaman sekarang tidak berbeda dengan manusia abadi. Mereka mudah terjebak, pertama oleh harta, kedua oleh jabatan atau kekuasaan, ketiga oleh perempuan. Sisi lemah yang mudah dimanfaatkan adalah perempuan.”
Slang terkikik malu-malu.
“Cari seorang gadis cantik. Tawarkan kepada dia. Denai tidak perlu menjelaskan bagaimana cara menjebaknya. Tapi Gugum harus terjebak hingga mendapat malu!”
“Amanlah itu, Tuanku,” riang Slang menjawab. “Lalu bagaimana dengan Nago Salapan. Dia akan terus menjadi duri dalam daging bagi kita.”
“Persetan dengan Nago Salapan. Denai mempunyai kiat sendiri cara melenyapkan bedebah. Kamu tidak perlu tahu!”
Ketika Slang hendak keluar membuka pintu kamar. Anurangga berkata lagi, “Sore nanti denai akan ke Jakarta. Kemudian terus ke Tokyo. Di sana ada pertemuan akbar antara sindikat. Jadi urusan di sini, denai serahkan padamu.”
Slang mengangguk.

*

Mustafa dengan beberapa orang staf Pemerintahan Kota berkunjung ke surau Katib Agam. “Pak Wali sedang ke Jakarta. Beliau menjemput piala Adipura. Tapi beliau berpesan agar membangun kembali surau dan pasentren Buya ini, “ ujar Mustafa.
Masyarakat di sana bergotong royong membangun kembali surau dan pasentren Katib Agam di Koto Panjang tersebut. Surau itu telah terkerangka kembali. Mustafa berkeliling bersama rombongannya, mereka manggut-manggut menyaksikan puing-puing yang tersisa.
“Kemungkinan besar setelah kembali dari Jakarta, Pak Wali akan mengunjungi Buya,” tutur Mustafa. “Konon dulu beliau pernah belajar mengaji di sini sampai khatam,” sambungnya. Mustafa menyerahkan bantuan itu kepada Katib Agam. Setelah itu Mustafa menyalami orang ramai yang duduk di bawah pohon manggis, melepaskan lelah.
Lai takana jo ambo (Apa masih ingat pada saya),” sapa Inggih, seorang laki-laki berusia 50-an ketika bersalam dengan Mustafa.
Sebagai pejabat yang sering turun ke lapangan, Mustafa memang piawai menghadapi situasi seperti itu. Ia cepat tanggap dan memasang wajah seceria mungkin. Ia guncang-guncang tangan Inggih, lalu mencolek telapak tangan lelaki itu. Ingih bangga. Apalagi ketika Mustafa berkata,”Saya ingat benar. Bukankah kamu dulu menyuruk di bawah kandang One Siar bersama Lela.”
Tersipu malu Inggih. Tapi kebanggaan tetap saja bernaung di dadanya. “Sekarang Lela sudah beranak tujuh. Bahkan kami sudah punya cucu. Anak yang sulung di Batam menggalas nasi ampera. Dan Rosliana jadi guru di Painan. Dan yang paling bungsu masih di SMK.”
Mustafa menepuk-nepuk bahu Inggih. Dan orang lainnya pun datang menyalami Mustafa. Beragam kata dan cerita mereka. Mustafa manggut. Kemudian pejabat itu naik ke mobil plat merah, ia melambaikan tangan di atas mobil sambil tersenyum.

*

Bersama dengan itu, Atos masuk ke dalam rumah. Ia tampak kesal. Tatkala itu Nago sedang memperbaiki dawai Kecapi naga, menyetel dawai yang menggendor. Nago mengerling sejenak pada Atos, lalu kembali asyik dengan kecapinya.
“Sial, Bang,” kata Atos seraya meletakan tas yang disandangnya ke meja kerja di sana. Ia mengambil foto-foto dalam tas, memperhatikan dengan cermat. Melihat foto-foto itu berulang-ulang. “Abang lihatlah ke mari. Semua foto-foto ini rusak,” sungutnya sambil mengerling pada Nago yang masih asyik dengan kecapi.
Agak enggan Nago bangkit, melihat foto-foto yang digelar Atos di meja kerjanya. Mengerling sesaat, ia hanya melihat gambar api yang membakar surau dan pasentren. Lalu serdadu-serdadu yang mengacungkan senjata, Gugum yang berdiri dekat jip, dan Kompe yang sedang berteriak, hanya itu!
“Foto Slang hangus. Foto Katib Agam yang sedang bertarung dengan Kucing Air Merah dan Kucing Air Kuning juga hangus. Dan peristiwa mengabadikan Abang menyerap kekuatan murni Kucing Air Merah pun hangus!”
“Buat apa peristiwa itu kamu abadikan?”
Sepasang mata Atos membulat memandang Nago Salapan. “Abang ini bagaimana. Inikan karya jurnalistik. Sebagai seorang wartawan muda saya punya obsesi untuk mendapatkan penghargaan. Mungkin penghargaan Adinegoro. Kalau bisa saya mendapatkan Award International Jurnalistic. Apa Abang tidak bangga?”
Nago ingin ketawa lepas, tapi khawatir menyurutkan cita-cita anak muda tersebut. Ia hanya tersenyum tulus. “Ya, saya bangga akan kegigihanmu.”
Senang juga hati Atos tanggapan Nago. Sementara itu Nago kembali bersimpuh di lantai, memperbaiki kecapi. Atos mendekati lelaki tersebut, sangat dekat sekali, bahu mereka bersentuhan. Anak muda itu mengamati Nago dalam-dalam.
“Bang,” tegur Atos lembut.
“Hmmm.”
“Apa manusia abadi itu tidak bisa dipotret?”
“Kadang-kadang bisa juga begitu. Jika memang sedang “in” mereka tidak bisa direkam foto atau dipotret. Tapi dalam keadaan biasa, mungkin bisa,” jawab Nago Salapan seadanya.
Hening sesaat Atos. Tiba-tiba kepalanya merasa gatal, ia garuk kepala tersebut. “Akh, saya kok jadi ketombean,” sungut Atos. Tapi kemudian ketawa lepas.
“Kenapa kamu ketawa?”
“Saya heran. Ternyata selama ini, saya tinggal bersama seorang manusia abadi. Tapi saya tidak mampu mengetahui bagaimana sebenarnya manusia badai tersebut sebenarnya.”
Nago Salapan selesai memperbaiki dawai-dawai kecapi, ia bangkit dan meletakan kecapi di lemari. Lalu kembali duduk bersimpuh di lantai, dekat Atos. “Selama ini kamu selalu saja sibuk dengan berita di luar sana. Juga tidak pernah pada saya tentang itu.”
Oke deh. Anggap saya selama ini salah. Tidak pernah bertanya pada Abang,” sahut Atos. “Sekarang tolong Abang tuturkan tentang beda manusia abadi dengan malaikat, jin, iblis, dan hantu.”
“Baik. Kamu orang beragama bukan?”
“Kenapa Abang bertanya begitu?”
“Jika kamu orang beragama. Kamu akan lebih dapat menangkap penjelasan saya ini dengan baik.”
“Akh, Abang ada-ada saja. Saya bukan atheis. Kedua orangku adalah muslim yang taat beribadah. Sedangkan di KTP, agama saya Islam. Abang jangan macam-macam. Jelek-jelek begini, kakek saya haji.” Atos ketawa terkekeh.
Nago pun terpingkal-pingkal keterangan Atos, begitu lengkap. Kemudian Nago Salapan menjelas apa yang diharapkan anak muda itu. “Malaikat itu dari cahaya hijau diciptakan Allah. Iblis atau Setan dan Jin diciptakan dari api yang menyala-nyala. Sedangkan Adam dari tanah lempung yang diambil di bawah Arasy.”
Anak muda itu mendengar penuturan Nago dengan seksama bagai seorang murid yang baik.
“Semua mereka itu mahkluk ciptaan Tuhan. Malaikat patuh dan taat serta selalu bertasbih kepada Allah sepanjang hari. Semula iblis dan jin patuh pada perintah Allah tapi ketika Adam diciptakan, iblis diperintahkan bersujud kepada Adam maka iblis membangkang. “
Interupsi, Bang,” tiba-tiba Atos menyela.
Nago Salapan berhenti sejenak. “Apa ada keterangan saya yang salah?”
“Kapan Iblis diusir dari surga. Dan mengapa Adam dan Hawa pun diusir dari surga. Apakah mereka juga engkar seperti Iblis?”
“Bagi saya, engkau lakukan interupsi tadi, tidak masalah. Pertanyaan-pertanyaan yang kamu ajukan sangat menggelitik.Tandanya engkau menyimak,”sahut Nago. Kemudian laki-laki itu melanjutkan bengkalai pembicaraannya. “Sebenarnya ada keraguan dalam hati malaikat ketika Adam hendak diciptakan Tuhan. Tuhan mengetahui keraguan malaikat tersebut. “Aku lebih tahu dari kalian,” sabda Tuhan. Ternyata keraguan malaikat sirna ketika Adam diuji untuk menyebutkan nama-nama benda, Adam dapat menjelaskan dengan lancar dan benar. Oleh karena itu malaikat disuruh bersujud kepada Adam. Karena perintah itu dari Allah maka malaikat pun bersujud. Namun ketika Iblis disuruh bersujud kepada Adam, Iblis membantah.”
“Kenapa Iblis membantah?”
“Malaikat bersujud kepada Adam atas perintah Allah. Tetapi Iblis menolak karena kesombongannya. “Saya dijadikan dari api yang menyala-nyala. Kejadianku lebih baik dari Adam. Sementara itu Adam berasal dari lumpur dan tanah lempung yang hina dan busuk. Tidak! Sampai kapanpun saya tidak akan sujud di hadapan Adam,” ujar Iblis.
Mendengar kesombongan Iblis, Allah mengusir Iblis dari taman firdaus. Namun sebelum Iblis meninggalkan taman firdaus, ia bersumpah,”Saya akan keluar dari taman firdaus ini. Tapi saya akan menggoda dan menjerumuskan Adam dan keturunannya sepanjang masa.”
Petir menggelegar meyambut sumpah Iblis.
“Aku penuhi permintaanmu,” kata Tuhan. “Akan tetapi manusia yang dapat engkau goda dan jerumuskan adalah mereka yang tidak beriman dan takwa kepada-Ku!”
Nago Salapan memandang Atos yang duduk sambil memeluk sepasang lututnya. “Kamu masih mendengar apa yang kuucapkan?” Laki-laki itu menyapa.
“Teruskanlah…”
“Akhirnya Adam dan pasangannya tergoda oleh bujuk rayuan Iblis. Mereka mendekati pohon Kuldi dan memakan buahnya. Padahal pohon Kuldi dilarang oleh Tuhan untuk didekati. Apalagi memakan buahnya. Karena kekhilafan mereka, Adam dan Hawa yang melanggar larangan Allah, maka mereka diusir dari surga. Keduanya dilemparkan ke bumi ini.”
Atos meregangkan pinggang, melonjorkan sepasang kakinya. Ia hening sejenak. Lalu memasang sebatang rokok di bibir, dan membakarnya. “Boleh saya bertanya Bang?”
Lelaki itu mengangguk.
“Dari penuturan Abang, saya dapat menangkap bahwa malaikat, iblis dan jin hidup sepanjang masa. Kesempatan hidupnya lebih lama dari keturunan Adam. Makhluk tersebut abadi menjelang alam semesta ini digulung oleh Allah.”
“Ya.”
“Tapi ada manusia abadi. Apakah mereka itu sama dengan malaikat, iblis dan jin?”
Termanggu sejenak Nago mendengar pertanyaan dan tanggapan Atos yang bernas itu. Setelah menarik nafas dalam-dalam, lelaki itu berkata,”Manusia abadi tidak sama dengan malaikat, iblis dan jin. Dengan akal modern pastilah akan bertentangan. Namun harus diingat, akal dan pengetahuan manusia tidak mampu menerjemahkan kehendak dan ilmu Allah. Manusia abadi terus hidup menjelang alam semesta ini dihancurkan dan digulung oleh Tuhan. Mereka sebenarnya pun dapat mati seperti manusia biasa. Mereka dapat mati ketika bertarung sesama mereka. Tubuh mereka jadi debu ketika tewas. Dia dapat hidup kembali setelah 500 tahun kemudian,” tutur Nago Salapan.
Nago dan Atos kian serius dalam membicarakan keberadaan manusia abadi. Cukup banyak pertanyaan yang diajukan Atos kepada Nago Salapan. Lelaki tersebut menjawab dengan tenang dan sabar. Tanpa terasa hari telah sore.
*
Sepi kembali mengungkung Ibu kost sejak Nadia berangkat ke Malaysia. Perempuan memang bukan ibu yang melahirkan Nadia, dan ia pun belum pernah melahirkan anak dari rahimnya. Namun sampai akhir hayatnya, suami Ibu kost tetap mencintai perempuan itu. Ia sangat terpukul dan kehilangan ketika suaminya meninggal, seakan-akan dunia ini telah kiamat baginya.
Hadirnya Nadia dalam kehidupannya, semangatnya kembali bersinar, ia gembiara dan dapat ketawa lepas ketika gadis itu melucu. Kendati pun Ibu kost tidak lagi tinggal di kawasan padat, ia tetap merasa nyaman dan ceria. Bu Rahmi atau Ibu kost percaya bahwa kehadiran Nadia merupakan rahmat dari Tuhan.
“Ibu mau dibawakan oleh-oleh apa dari Malaysia?” tanya gadis tersebut pada malam sebelum berangkat.
Ibu kost diam tak menyahut.
“Atau Ibu keberatan saya ikut rombongan kesenian itu?”
Perempuan tua itu menggeleng. “Saya tidak mengharapkan oleh-oleh yang engkau bawa. Engkau kembali selamat, cukuplah.”
Sekarang sudah lima hari Nadia di Malaysia. Bagi Bu Rahmi, lima hari tersebut terasa sangat lama. Jadwal Nadia di negeri jiran itu sekitar seminggu lagi. Waktu yang tersisa tersebut membuat perempuan tua itu kesepian.
Hari keenam Bu Rah memanggil Sabar dan istrinya. “Saya hendak ke Bukittinggi, ke rumah adik saya, Malin Rajo,” ujar perempuan itu.
“Kapan Ibu kembali?”
“Saya tidak lama. Hanya sebentar. Kalau Nadia datang, kalian bilang, saya ke rumah Malin Marajo,” Bu Rahmi menjelaskan.
“Kapan Ibu ke Bukitting?”
“Ya. Siang ini. Kalian jaga rumah. Dan kamu antarkan saya ke terminal,” kata Bu Rahmi pada Sabar.
*

Malam telah turun di kota P. Malam itu, malam minggu. Suasana kota P sebagai ibukota provinsi layaknya, malam minggu tersebut cukup ramai. Nafas kehidupan kota berdenyut sampai dini hari, mereka melepaskan kerutinan sehari-hari. Mereka ajak keluarga mengitari kota, duduk di pantai menikmati deburan ombak. Aatau berdiri di jembatan Siti Nurbaya seraya menikmati jagung bakar.
Gugum masuk ke sebuah diskotik di jalan Diponegoro. Ia memang sudah biasa masuk ke sana untuk menghilangkan pikiran suntuk. Tugasnya yang berat dan padat, kadang mengimbas pada pikirannya. Hal ini membuat rumah tangganya kurang harmonis.
Sumiati, istri Gugum acapkali kesal karena suminya itu jarang berada di rumah. Bahkan ketika Gugum sedang berada di rumah, ia sering dipanggil Tuan Logos lewat ponsel. Saat itu mereka hendak “bercinta”. Tapi gara-gara ponsel berdering, Gugum terpaksa kembali berpakaian. Dan segera keluar rumah. Sumiati kecewa.
“Sebaiknya kita bercerai saja,” ujar Sumiati ketika sampai pada puncak kesabarannya.
Lelaki tersebut tidak menanggapi ucapan Sumiati. Gugum menganggap ucapan sitrinya itu hanya karena emosi. “Tahun depan saya akan ajukan cuti. Dan kita lebih banyak punya waktu santai. Kita bisa ke Bali atau ke mana saja yang engkau sukai,” Gugum coba menghibur.
“Tahun depan? Tahun lalu, kamu juga bilang begitu. Kenyataannya tugas-tugasmu semakin berjibun. Semuanya jadi berantakan,” tukas Sumiati merajuk.
Bayangan ketidak-harmonisan hubungan rumah tangganya sirna seketika, saat seseorang pelayan meletakkan minuman yang dipesannya di meja. Ia teguk bir di gelas itu, terasa hangat kerongkongannya.
Di depan sana, seorang biduanita melantunkan suaranya. Perempuan muda itu menyanyikan lagu melayu pop, suaranya merdu dan indah. Kadangkala pemain orgen di sampingnya pun ikut menyanyi.
Gugum memang sering ke diskotik & Pub ini tapi ia belum pernah melihat gadis tersebut menyanyi. Apakah ia seorang pramuria atau memang khusus sebagai biduanita. Di antara keredupan lampu di ruangan tersebut, mata Gugum masih dapat menangkap kecantikan penyanyi itu. Ia menduga gadis itu bersia sekitar 20-an.
Selesai menyanyi, gadis itu melangkah ke sudut sana, ia duduk sendirian di sudut sana. Beberapa saat muncul Wacong, manejer diskotik & Pub. Mereka kelihatan bercakap-cakap. Tampak akrab.
Entah kenapa tiba-tiba saja, Gugum merasa cemburu pada Wacong. Gugum segera menggamit pelayan. “Siapa gadis itu?” ia bertanya.  Pelayan menoleh ke sudut di mana gadis tersebut sedang bicara dengan Wacong.
“Maksud tuan, gadis yang bersama bos itu?”
“Ya.”
“Dia, Olivia.”
“Dia gadis selingkuhan Wacong?”
“Bukan. Dia keponakan bos. Olivia itu tamu di sini. Sama juga dengan tuan. Oya, apa tuan naksir dia?”
Gugum lega. Lantas ia berbisik pada pelayan. “Boleh saya kenalan dengan Olivia?”
Tertegun sejenak pelayan itu. “Saya usahakan, tuan. Tapi…”
Gugum merogoh kantongnya. Lalu menyelipkan selembar uang ke kantong pelayan. “Saya tunggu kabar dari kamu segera!”
Tanpa menunggu lagi pelayan mendekati Olivia. Kebetulan Wacong telah beranjak ke belakang. Pelayan dan Olivia tampak berbiacara sejenak. Lalu kembali ke meja Gugum.
“Tuan…”
“Hmm.”
Pelayan memberikan secarik kertas pada Gugum. “Ini pesan Olivia.” Gugum membaca pesan tersebut. “Oly merasa tersanjung atas pujian tuan. Jika tuan tidak keberatan, Oly ingin duduk bersama tuan. Tertanda Oly.”
Lelaki itu mengerling ke sudut sana, tersenyum Gugum. Ia mengangguk ramah. Ketika Olivia melangkah ke arahnya, denyut jantung Gugum semakin keras. Dan menetes keringan di dahinya.
“Boleh saya duduk?” Merdu suara itu.
Temaram cahaya lampu di ruangan diskotik itu tidak mampu menyembunyinan kecantikan Olivia Gadis itu memang cantik. Gugum terpesona. Apalagi ketika aroma parfum yang dipakai Olvia menebarkan keharuman ekosotik. Sehingga lelaki tersebut lupa menyahuti ucapan Olivia.
Olivia duduk di samping Gugum, ia menyilangkan kakinya yang indah, menyeruak di antara belahan roknya. Gadis itu menyibakan rambut, tampak lehernya putih berkilau diterpa cahaya lampu.
“Kenalkan nama saya Gugum,” laki-laki tersebut seraya mengulurkan tangan. Olivia menyambut salam itu. “Oh, Om Gugum. Saya Olivia. Dan panggil saja saya Oly. Lebih mudah dan simpel.”
Suara musik melantun di ruangan itu. Romantis suasana di sana. Ketika musik lebmbut terdengar, tamu-tamu melantai bersama pasangan masing-masing.
“Om mau melantai?”
Gugum tersenyum. Ingin, ia ingin sekali melantai bersama gadis tersebut. Tapi kenapa lidahnya terasa berat mengucapkan kata “ya”. Saat ia coba berkata, yang diucapkannya adalah,”Panggil saja saya Mas. Bukankah lebih akrab?”
“Oya,” sahut Oly mendesah.
Keberanian akhirnya muncul juga dalam diri Gugum. “Om Wacong itu pacarmu?”
Membulat sepasang mata Oly mendengar tuduhan lelaki itu. Tapi kemudian ia tersenyum. “Dia Om saya. Saya ke sini berlibur. Kata orang, negeri ini sangat indah dan permai. Ya, kemaren Om Wacong dan istrinya membawa saya ke Bukittinggi, ke Ngarai Sianok. Dan juga sempat menyaksikan Perkampungan Minangkabau. Its beatiful
“Kamu kerja atau kuliah?”
“Oly?”
“Ya.”
“Hmmm. Ya, dua-duanya. Kuliah sambil kerja. Oya, Mas kerja di instansi mana. Kayaknya Mas punya jabatan penting di instansi tempat Mas bekerja.”
Hening Gugum. Kerongkongannya terasa kering, ia mengeguk bir. Terasa hawa panas menjalar di pembuluh darahnya. Ia menatap gadis itu. “Saya hanya karyawan biasa di suatu instansi.” Gugum berusaha menutup diri.
“Mas bercanda ya?” Oly mencubit lengan laki-laki itu.
Gugum berkeringat dingin.
“Tapi Mas ganteng. Saya suka deh.”
Debaran jantung Gugum makin berpacu karena pujian gadis itu. Gelas yang berisi bir di atas meja tidak melepaskan dahaganya. Laki-laki itu sangat dahaga, dahaga untuk mereguk bibir Oly yang basah. Sayang nyalinya untuk mengatakan itu, tidak kunjung muncul. Lelaki itu berupaya mengumpulkan segala nyali yang ada padanya.
Seperti semut yang merayap di tanah, jemari Gugum merayap ke tangan Oly. Ia remas jemari gadis itu sambil menahan nafas. Laki-laki itu lega ketika Oly pun membalas rangkuman jemarinya. Melayang Gugum di awang-awang tak bertepi.  
“Berapa lama kamu di sini?” Gugum berkata parau.
“Jadwal saya hanya seminggu. Dari sini Oly akan bergabung dengan teman-teman yang telah menunggu di Singapura. Semalam di Singapura, kami berangkat ke Tokyo. Jadi waktu Oly sangat singkat,” desah gadis itu manja.
Malam semakin larut. Bagi Gugum semakin larut malam, semakin terpaku dia duduk bersama Oly. Sedikit tidak keinginannya untuk meninggalkan ruangan tersebut.
“Saya ingin selalu bersamamu, Oly.” Gugum rapatkan ke tubuh gadis tersebut. Laki-laki itu mendengar hembusan nafas Oly, panas dan harum. Tangan lelaki menyibakan rambut di kuduk Oly. Bibir Gugum mencuri sekecup ciuman di sana.
Curian cimunan di tengkuk itu membuat Oly berjarak dengan Gugum. Tapi ia senyum pada Gugum. Namun setelah itu ia merapatkan bahunya ke bahu laki-laki tersebut. Gadis itu merasakan degupan jantung laki-laki itu kian bekejaran. “Oly pun ingin bersama, Mas,” bisik Oly ke kuping Gugum.
Dan saat itu pula ponsel Gugum berdering. Ada pesan dari Tuan Logos lewat SMS. “Segera ke Ratulangi. Penting!” Terhenyak Gugum di kursi. Ia kecewa. Lalu menoleh pada Oly, seakan-akan melahap wajah gadis itu. Dan enggan untuk beranjak dari samping gadis tersebut. “Maafkan saya. Ada tugas penting menunggu,” ujar Gugum bernada kecewa.
“Kapan kita bertemu lagi?”
Agak bimbang Gugum berdiri di pintu. “Saya janji akan kembali besok. Kamu mau menunggu?”
Oly mengangguk.
Bagai kapal oleng Gugum melangkah ke mobil. Bahagia dan kecewa bercampur aduk jadi satu ketika laki-laki itu menyetir kendaraannya di jalan raya. Kota P telah sepi tapi hati Gugum lebih sepi. Ada yang direnggutkan dalam hatinya.** (Bersambung....12)

0 komentar:

Posting Komentar