Selasa, 24 Mei 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (4)

4    

Katib Agam

          Sejenak kita tinggalkan Nadia yang sedang bergelut dengan pikiran dan perasaannya. Marilah ita menoleh pada Nago dan Atos yang senja itu bergerak keluar Taman Budaya, berkendaraan sepeda motor.
            Kota P kian ramai senja itu. Atos berbelok ke kanan, masuk jalan M.Yamin. Lalu menepi kekiri. “Abang suka martabak Mesir?” Atos bertanya ketika turun dari kendaraan.
            Nago menyisir rambutnya dengan jemari seraya mengikuti langkah Atos. “Kamu bilang apa tadi, Tos,” katanya.
            “Abang suka martabak Mesir?”
            “Kamu sudah gajian?”
            “Abang kok tanya gaji segala. Wartawan lokal seperti saya jarang digaji.”
            Kedua orang itu memilih tempat duduk di luar, menghadap ke jalan raya.
            “Saya suka martabak Mesir. Mmm, jadi wartawan itu tidak digaji. Lalu kamu dapat rezeki dari mana?”
            “Ah, Abang macam-cama saja. Walaupun sekarang tanggal tua. Rezeki itu tak berpintu. Tadi siang sebelum bertemu Abang, saya bertemu Pak Syaf di rumah bagonjong. Ia memberi ampau. Lumayanlah…”
            “Oooo, begitu.”
            Pelayan datang membawa pesanan mereka. Sambil makan mereka dapat menyaksikan pemandangan keramaian kota sekaligus. Tukang parkir sibuk mengatur kendaraan yang mangkal dan berangkat dari restoran.
            Di antara kesibukan tukang parkir, di sela-sela kesibukan pelayan restoran, sebuah jip harptop parkir di depan restoran itu, bersamaan dengan itu masuk pula sebuah sedan. Penumpang jip hardtop turun lebih dulu. Saat ia membuka pintu, pintu jip membentur badan sedan. Kedengaran benturan keras.
            Seperti tidak ada apa-apa, pengemudi jip acuh tidak acuh. Ia sejenak menunggu turun dari pintu samping sebelah. Mereka adalah Moen dan Slang. Ketika hendak melangkah ke restoran, pengemudi sedan turun. Ia memeriksa dinding sedang yang kena benturan pintu hardtop.
            “Tuan,” pengemudi sedan memanggil.
            Moen dan Slang tak peduli. Mereka terus melangkah ke restoran. Duduk membelakangi jalan. Dan memasan makan dan minuman.
            Katib, pengemudi sedan mendekati kedua orang itu. “Tuan, kendaraan saya lecet dibentur pintu jip kalian. Akan tetapi Moen pura-pura tidak mendengar ucapan Katib Agam. Menoleh pun tidak.
            Demikian pula dengan Slang. Sedikit pun tak tergerak untuk mengerling pada laki-laki yang bicara itu. Namun ketika ketika Katib Agam maju ke depan, berhadapan dengan mereka. Slang terperanjat, pipet penyedot jus oranye di mulutnya jatuh ke lantai. “Kamu…kamu?” Ia menunjuk Katib Agam. Gemetar telunjuk Slang.
            “Haa, ternyata kalian.” Katib Agam berkata.
            Moen dan Slang seperti tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Bukankah laki-laki di depannya itu telah dikubur hidup-hidup oleh Anurangga di Fort de Cock. Keringat dingin menetes di sekujur tubuh keduanya.
            “Siapa anda. Apakah nama anda pantas dicatat pada HP ini,” kata Moen menunjuk HPnya yang ditaruh di meja. Kalimat tersebut diucapkannya untuk menghilangkan kegugupannya.
            “Kalian berdua memang sudah pikun. Ingat baik-baik. Nama saya, Katib Agam.” Kemudian ia duduk di depan Moen dan Slang.
            Kedua orang itu semakin tidak nyaman. Betapa tidak, di zaman yang berbeda, saat Perang Paderi. Mereka menjadi kaki tangan Belanda ikut menumpas perlawanan rakyat Minangkabau. Dan mereka bertemu dengan Katib Agam. Silangkaneh dan Muncak bertarung melawan Katib Agam. Kedua tokoh hitam ini jadi pecundang, dalam pertarungan tersebut.
            Namun dalam penggebekan berikutnya, Belanda berhasil menangkap beberapa orang pejuang, salah seorang diantaranya Katib Agam. Sebelum dihukum pancung, mereka disiksa terlebih dahulu, di Fort de Cock. Katib Agam dikubur hidup-hidup oleh Anurangga. Semua itu masih tersisa dalam benak lelaki tersebut. Ia masih ingat Anurangga mendorongnya ke dalam lobang kubur yang telah dipersiapkan. Muncak dan Silangkaneh ketawa terkekeh menyaksikan lawannya itu ditimbun dalam kubur itu.
            “Di mana bersembunyi induk semang kalian?”
            “Siapa yang anda maksud?” Mereka balik bertanya.
            “Kalian memang pikun atau pura-pura. Tentu yang saya maksud adalah Anurangga si manusia iblis itu!” Mata Katib Agam mencorong tajam menatap Slang dan Moen. Tatapan itu bagai api membara, layaknya hendak membakar kedua orang di hadapannya.
            Slang mengerling ke jalan raya. Di trotoar orang ramai berlalu-lalang. Kendaraan bergerak seperti siput beringsut karena macet. “Kami akan bayar kerusakan kendaraan Katib,” tiba-tiba Slang mengambil keputusan.
            “Begitukah?”
            “Dan kami minta maaf.”
            “Tidak semudah itu. Uang kalian itu haram dimakan. Saya jijik menerimanya.” Sejenak Katib Agam mengalihkan pandangannya ke sudut lain. Lalu kembali menatap kedua orang tersebut, “ Saya ingin jiwa kalian berdua. Besok menjelang senja kita bertemu di Airdingin.”
            “Bangsat! Kamu kira kami takut padamu.” Gemeretak geraham Moen menahan emosi. “Baik, kami akan menerima tantanganmu.”
            “Bagus, saya hargai keputusanmu.”
            Tanpa menghabiskan makanan, Slang dan Moen keluar. Jip yang mereka kendarai meraung kencang menuju ke timur.
Katib Agam masih duduk di sana ketika pelayan memberesi piring dan gelas kedua orang itu. “Saya minta sate kambing, minumnya jus tomat,” pesan Katib Agam. Pelayan mengangguk.

            “Tunggu di sini. Saya akan menemui seorang teman lama,” ujar Nago pada Atos. Atos mengangguk. Nago bangkit, ia melengkah melewati beberapa meja. Sampai di depan Katib Agam, ia menyapa,”Assalam Mualaikum.”
            “Mualaikum Salam…” Katib Agam menyahut salam itu. Saat ia mengangkat wajah, Katib Agam tersentak. “Eh, kamu Nago. Ayo silahkan duduk.” Wajah lelaki itu yang semula kelabu karena emosi, kini cerah kembali.
            “Sudah lama saya ingin menemui Buya. Tapi baru kali ini saya punya kesempatan.”
            “Oya.” Katib Agam sejenak menunda suapannya. Ia menoleh ke pelayan yang lewat di sana. “Kamu mau makan apa?”
            “Saya sudah makan, Buya. Saya duduk di sudut sana bersama teman.”
            “Kalau begitu kamu melihat mereka.”
            “Ya, saya melihat pertengkaran Buya dengan Silangkaneh dan Muncak.”
            “Mereka tetap seperti dulu. Bahkan lebih brutal lagi. Apalagi di zaman edan ini. Mereka memanfaatkan zaman yang carut marut. Saya selalu memantau perkembangan mereka.”
            Banyak hal yang mereka bicarakan di restoran itu. Tanpa terasa malam beranjak larut. “Saya ingin menghabisi keduanya. Tapi situasi tidak mengizinkan. Justru karena itu saya menantang mereka di Airdingin.”
            “Buya menantang mereka menjelang senja.”
            “Ya, kamu telah mendengarnya.”
            “Mereka berbahaya sekali, Buya.”
            Katib Agam diam sesaat. “Saya mengharapkan Anurangga muncul di sana. Anurangga mesti dilenyapkan. Kalau tidak, dia semakin merajalela. Ia sebarkan kemaksiatan sesuai seleranya,” tukas Katib Agam kemudian.
            “Saya juga mencarinya.”
            Pengunjung restoran telah banyak keluar. Malam memang menuju larut. Nago Salapan pun minta diri pada Katib Agam.
*

            Sore Moen dan Slang bersiap hendak berangkat ke Airdingin. Sebelumnya, pagi hari Slang mengajak Moen ke rumah seseorang. Dalam perjalanan ke rumah orang tersebut Moen bertanya, “Buat apa kita ke rumah orang itu?”
            Slang tersenyum di samping Moen yang menyetir kendaraan mereka tumpangi itu. “Kita perlu senjata otomatis untuk menghabisi Katib Agam.”
            “Orang itu menjual senjata?”
            “Ya, ia orang berpengaruh di kota ini. Tuanku Anurangga yang mengenalkan dia dengan saya. Antara dia dan Tuanku punya hubungan bisnis. Bisnis penjualan senjata modern.”
            Dari Tuan Logos itu Slang dan Moen membeli dua pucuk senjata otomatis, dan beberapa granat tangan. “Saya yakin Katib Agam akan cabik-cabik dihujani peluru, peluru senjata kita ini,” kata Slang mencoba mengokang senjata tersebut.
            “Bagaimana mungkin. Bukankah dia juga manusia abadi seperti kita. Bagaimana peluru senjata otomatis ini tidak mempan.”
            “Nah, kalau peluru tidak mempan. Kita gunakan granat ini.”
            “Akh, cara seperti itu kurang terhormat,” tukas Moen.
            Slang ketawa renyah. “Kamu ini bagaimana Moen. Kenapa kamu masih memikirkan cara? Saya kira, kita sebagai manusia abadi yang selalu menjadi sekutu Iblis, dan tidak memerlukan etika. Yang penting bagaimana mewujudkan tujuan.”
            “Hmm. Kamu makin pintar. Dan makin licik.”
            Slang lagi-lagi ketawa renyah.
            Moen segera memasukkan senjata-senjata dan granat itu ke dalam tas besar. Kemudian ia dibantu oleh orang tuan Logos menaikan ke atas jip, di bagian belakang.

            Bersamaan dengan itu, Katib Agam selesai shalat Ashar, ia berdoa menadahkan tangan ke atas,”Ya, Allah, hamba-Mu akan bertarung dengan sekutu Iblis. Saya hanya berlindung pada Engkau. Tiada daya upayaku selain berlindung pada kekuatan Engkau, ya Rabbi.” Kemudian mengusapkan tangannya ke wajah.
            Langit tampak cerah.
            Katib Agam melangkah keluar rumah, ia hanya berjalan kaki. Airdingin tidak begitu jauh dari rumahnya, hanya setengah jam berjalan kaki. Ia pun tidak membawa senjata kecuali sebuah payung hitam di tangannya.
            Saat itu pula Nago menghampiri Atos yang berbaring di kamar. Anak muda tersebut menutupi wajah dengan koran. Tampaknya ia letih benar. Malam kemaren setelah mengantar Nago, ia kembali ke kantor. Ia bilang pada Nago, malam itu dead line korannya.
            “Bangun Tos, sudah sore!”
            Atos tidak bergeming. Dengkurannya semakin keras. Nago mengguncang kaki anak muda itu. Surat kabar yang menutupi wajahnya jatuh ke lantai ketika ia menggeliat ke samping. Tapi Atos tetap saja belum bangun.
            “Tos, ada cewek mencarimu!”
            Anak muda itu terlambung dari ranjang. Ia hampir saja terguling jatuh. Atos duduk di pinggir ranjang sambil menyeka tahi matanya. “Mana cewek itu, Bang?”
            Nago ketawa lebar. “Bangunlah.”
            “Saya sudah bangun kok.”
            “Saya mau pinjam motormu. Bukankah hari ini kamu masuk malam.”
            “Abang ini gimana sih. Tadi bilang ada cewek mencari. Tau-tau mau pinjam motor.” Sambil bersunggut-sungut ia merogoh kantong celananya, dan dari kantong itu Atos menarik kunci motor. Tapi sebelum memberikan kunci itu pada Nago, dia bertanya lagi, “Mana cewek yang Abang bilang itu?”
            “Kamu bangun kelamaan, ia lalu pergi. Tapi Abang boleh pinjam motorkan?”
            Atos memberikan kunci motor. “Abang isi bensin pulteng, ya,” katanya.
            Nago Salapan mengangguk. Ia segera berangkat. Dan Atos kembali rebah di ranjang.
*

            Di Airdingin Katib Agam duduk pada sebuah dangau di atas bukit tersebut. Dari sana pandangannya dapat lebih bebas. Katib Agam dapat memandang hamparan sawah, dan sekaligus ia pun dapat menyaksikan kendaraan lewat, sepeda motor, dan kendaraan roda empat.
            Di masa Walikota dulu, kawasan Airdingin dipersiapkan untuk kawasan wisata. Pun dirintis jalan pintas ke Solok. Beberapa orang berduit banyak berminat, terutama keturunan Cina.  Bahkan ada yang sudah membuat vila di sini. Namun ada pula yang menggugat. Sebab kawasan tersebut berbatasan dengan hutan lindung. Dan entah apa sebabnya, jalan pintas ke Solok itu terbengkalai pula.
            Matahari telah menukik ke laut. Cahaya jingga merebak ke langit. “Mereka belum juga datang,” gumam Katib Agam.
            Sementara itu Nago melaju kencang mengendarai sepeda motor. Dari Siteba dia menuju Sungaisapih. Tatkala itu sore kian dikejar oleh senja. Nago agak terlambat karena dalam perjalanan, ban belakang sepeda motornya mendadak kempes di Lapai. Hampir satu jam waktunya tersita menambal ban.
Lewat Sungaisapih, Nago menikung ke kiri masuk jalan by pass. Sepeda motornya meliuk-liuk di antara kendaraan besar dan kecil Kadang ia mengambil jalan kiri, kadang terpaksa menyalip truk dan bus yang hendak ke terminal regional Bengkuang di Aiapacah.
“Minta mati kau!”
Balabieh angok waang!”
“Bangsat!”
Nago Salapan tidak peduli caci makian sopir truk dan bus. Sepeda motornya bergerak kencang bagai dikejar setan. Sekarang ia sampai di lampu merah. Ternyata lampu merah di simpang itu tidak hidup. Anak muda itu lantas menikung ke kanan. Sebuah angkot merem mendadak hampir menabrak Nago. Tapi Nago dengan cekatan menghindar. Lantas melaju lagi.

Azan magrib kedengaran dari kejauhan. Katib Agam turun dari dangau menuju tepian sana. Di bawah sana, ada sebuah pancuran. Airnya jernih. Lelaki itu segera mengambil air wudhuk. Kemudian shalat magrib di batu hamparan yang terletak hanya beberapa langkah.
“Senja telah lewat,” kata Slang.
“Jangan-jangan Katib Agam sudah pergi.”
“Tidak mungkin. Ia bukan orang pendusta.”
Jip hardtop masuk jalan kecil. Lewat kaca depan Moen melihat api unggun di atas bukit itu. “Kamu melihat api unggun itu?”
“Ya.”
“Pasti Katib Agam ada di sana,” kata Moen. “Kita turun di sini saja,”sambungnya. Moen turun seraya menyandang tas berisi peralatan.
Slang pun turun. Ia mengambil sepucuk senjata otomatis, menyelipkan ke balik jaket. Dan Moen meraih senjata, dan lima granat tangan ia gantungkan di pinggang.
“Ooiiiii! Katib kami datang!”
Katib Agam menudungi kepalanya dengan telapak tangan, ia memandang jauh. Lewat biasan cahaya api unggun, ia melihat dua sosok bergerak di bawah sana. Lelaki itu mematikan unggun. Ia genggam payung hitam yang masih kuncup. Lantas turun bukit. “Kalian tunggu di sana!”
Slang dan Moen membungkuk di antara semak belukar. “Kita tunggu dia lebih dekat,” bisik Slang. Moen mengangguk.
Angin bukit mendesah. Bintang kejora tampak tumbuh di langit. Katib Agam menuruni bukit, ia menggenggam payung hitam. Gesekan sandal kulitnya yang menginjak jalan setapak, mengapungkan debu. Naluri kependekarannya bergerak. Ia menunda langkah.
Memang tepat naluri Katib Agam, Slang dan Moen melompat keluar dari semak belukar. Langsung saja Moen menyapu kaki Katib Agam. Dan Slang setengah melompat melepaskan pukulan ke lambung lawan.
Luput serangan sapuan kaki Moen ketika Katib agam mundur selangkah. Sedangkan pukulan ke lambung, ia tepis. Lengannya beradu keras dengan lengan Slang.
Slang meringis kesakitan. Saat itu pula Moen melepaskan serangan kedua, ia menendang leher Katib, sebuah tendangan yang cepat dan kuat. Terperanjat Katib Agam mendapat serangan mendadak dari Moen. Tapi dengan sigap ia mengibaskan payung hitam di tangannya.
Moen berguling di pasir kerikil. Tulang lututnya nyeri dihantam payung tersebut. Menyaksikan situasi seperti itu, Slang mundur beberapa langkah. Ia mencabut senjata dari balik jaket. Slang mengacungkan senjata ke arah Katib Agam.
“Kisahmu hanya sampai di sini, Katib!”
Senjata otomatis di tangan Slang menyalak beruntun.  Bagai kumbang-kumbang bersayap api, peluru-peluru bermuntahan dari laras senjata otomatis itu.
Katib Agam mengembangkan payung hitam. Payung itu menutup tubuhnya. Meletik pijar-pijar api tatkala peluru-peluru yang melesat kencang itu menghantam payung hitam.
Terkesima Slang sejenak. Bagaimana mungkin payung hitam mampu melindungi tubuh Katib Agam. Kering kerongkongannya seketika. Ia mengerling pada Moen. “Kamu tunggu apa lagi. Ayo tembak dia!”
Moen menarik picu senjata di tangannya. Kedengaran bunyi berderam-deram. Peluru-peluru melesat bagai kilat menerjang ke arah Katib Agam. Seperti yang dialami Slang, peluru-peluru tersebut mental dihadang payung hitam Katib Agam. Peluru-peluru rontok ke tanah.
Hening sesaat.
Rintihan makhluk halus di bawah pincuran air sana terdengar sendu.
Lalu kedengaran terompa kulit bergeser menyeruak kerikil-kerikil. Itulah langkah Katib Agam mendekati kedua lawannya yang masih terpana. Tiba-tiba Katib Agam melayang ke arah dua lawannya itu. Ia kuncupkan payung hitam dan ditebaskan pada mereka.
Membelalak mata Slang ketakutan tapi ketakutannya itu sia-sia, pinggangnya digebuk payung hitam lawan. Slang terhempas dan menggelinding bagai batu bulat!
Dan Moen pun tidak bernasib baik, payung hitam di tangan Katib Agam menghantam lengannya. Moen menggelinding jatuh ke dalam sawah. Wajahnya berlepotan lumpur.
Cahaya senja kian pudar. Langit bertaburan bintang.
Katib Agam turun menyusuri lereng tebing. Sekarang ia berdiri tepat di atas tubuh Slang. Dendam masa lalunya semakin kental, ia mengangkat payung hitam tinggi-tinggi, ujungnya mengacung ke angkasa.
Waktu yang bersamaan, Moen ingat granat yang digantungkan di pinggang. Dalam kegentingan tersebut, Moen menarik katup granat. Ia lemparkan benda itu pada Katib Agam.
Sedikit pun Katib Agam tak menduga Ia terlambat bertindak karena segera hendak menghabisi Slang. Dan kesempatan yang sempit itu pun digunakan Slang menggelinding menyelamatkan diri.
Granat menerpa tubuh Katib Agam. Jatuh benda tersebut di bawah selangkangan. Kedengaran bunyi mendesis. Katib Agam menjatuhkan diri ke samping.
Granat meledak!
Lumpur berhamburan naik. Granat kedua, ketiga, keempat dan kelima yang dilemparkan Moen meledak. Payung hitam milik Katib Agam melayang jauh. Sedangkan Katib Agam terpuruk ke dalam lumpur.
*

Nago tiba di kawasan Airdingin ketika jip hardtop keluar dari sana. Anak muda itu melihat asap hitam mengepul ke udara. Ia berlari ke sana. Nago terhenyak melihat sebuah lobang besar bagai kubangan gajah.
“Buya!”
Tidak ada sahutan. Nago mengelilingi kubangan itu. Ia tidak menemukan apa-apa dan siapa pun. Tercenung ia duduk di pinggir “kubangan gajah”
Bintang kejora telah menghilang di langit. Bulan berbentuk sabit menggantung di langit. Seekor kalong melintas seperti memotong bulan sabit itu. Di antara peristiwa alam itu, Nago Salapan mendengar rintihan. Laki-laki itu membuka matanya lebar-lebar, melihat ke kubangan. Ada sesuatu yang bergerak di sana. Sebuah lengan menjulur naik.
“Buyakah itu?”
Nago Salapan turun merancah kubangan. Ia tarik lengan tersebut. Akhirnya Katib Agam keluar dari kubangan. Sekujur tubuhnya dipenuhi lumpur yang bercampur darah.** (bersambung..... 5)

 Dari Meja Kerja, Amran SN 
Padangsarai - Sumatera Barat, Mei 2011






0 komentar:

Posting Komentar