Kamis, 30 Juni 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (17)

17

Puti Bagalang Banyak

Sekitar pukul 10 pagi Nago turun dari pesawat. Segera saja dia keluar. Bis khusus Bandara Sukarno Hatta berderet-deret menunggu penumpang. Ketika hendak naik bis, seorang sopir taksi mendekatinya.
“Bukankah nama Abang, Nago?”
“Ya, ada apa?” Nago balik bertanya.
“Saya dipesan agar menjemput Abang. Beliau menunggu di hotel,” ujar sopir taksi seraya meraih tas yang ditenteng Nago.
“Tidak usah, saya bisa bawa sendiri,” tukas Nago seraya menyandang tas ke bahunya. Masuk ke dalam taksi, sebenarnya ia merasa curiga. Siapakah “beliau” yang dimaksud oleh sopir taksi tersebut? Jempol kaki kiri Nago berdenyut tiba-tiba. Insting lelaki itu bergerak segera, sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi!
Taksi terus melaju kencang. Sopir taksi melarikan kendaraannya sangat kencang, beberapa kendaraan di depannya, dilewati tanpa peduli kiri kanan.
“Bung sopir, siapa sih yang kamu sebut belaiu itu. Saya tidak kenal dia.”
“Saya juga tidak tahu siapa nama. Tapi para pembantunya menyebutnya “beliau” atau Tuanku. Tenanglah Bang, sebentar lagi kita sampai ke tujuan.”
“Arah ke mana kita?”
Lewat kaca depan di atas kepala sopir taksi, kelihatan sopir itu tersenyum. “Saya bilang tenang, ya tenang,” sopir taksi mulai mengancam. Dan pada sebuah persimpangan, taksi berhenti. Di pinggir jalan tampak seorang lelaki tegap berdiri. “Agar Abang kesepian sendiri di belakang. Kita naikkan si Janggo. Dia preman Benhil.”
Nago beringsut ke kanan ketika Janggo membuka pintu. Pada lengan Janggo yang telanjang tampak tato kalajengking. Wajahnya kasar dan memandang sinis pada Nago. “Inikah kelinci itu Man?” Janggo bertanya sinis. Sementara itu Nago pura-pura tidak mendengar ocehan lelaki tersebut.
“Iya Bang. Beliau bilang dia berbahaya, Bang,” sahut Mansur, sopir taksi itu.
Terbahak-bahak Janggo mendengar ucapan Mansur. Ia menatap Nago yang duduk di sampingnya, seperti hendak melahap Nago bulat-bulat. Geraham Janggo berderak-derak. Kemudian tubuhnya pun bergerak-gerak, tulang belulang Janggo berkretokan. Itulah demonstrasi kekuatan si preman tersebut. Dia berharap Nago kehilangan nyali!
Kendaraan terus melaju menuju Cisarua. Mansur tersenyum. Tersenyum karena ia merasa bebas dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Nago. Ia pun merasa aman karena ada Janggo.
“Kamu bilang dia berbahaya?” Janggo ketawa terpingkal-pingkal, seakan-akan informasi Mansur hanyalah sebuah lelucon. Kembali ia memandang Nago. “Tampangnya boleh juga. Kayak preman. Tapi aneh sekali, orang yang memberimu order kok memperlakukan preman kampungan ini kayak pejabat.”
“Mungkin dia orang penting, Bang.”
“Orang penting… Sudahlah Man, kita habisi saja,” kata Janggo bersemangat.
“Jangan Bang. Nanti upah kita tidak dilunasi.”
Tiba-tiba Nago berkata,”Kalian orang-orang yang tak mengenal diri. Pasti juga tak mengenal Tuhan.”
Janggo naik pitam mendengar ucapan Nago. Segera ia mengekang rahang Nago dengan tangan kanannya. “Kamu bilang apa?” Janggo mempelototi lelaki tersebut dengan geram.
Tenang setenang mungkin, Nago meraba tangan Janggo yang mengekang rahangnya.”Anda suka bercanda.” Bersamaan dengan ucapan itu pegangan Janggo melemah. Lelaki tersebut merasakan tangannya seperti disengat listrik. Ia tersandar ke pintu kiri.
Menggigil preman Benhil beberapa jenak. Ia tidak percaya pada apa yang dialaminya. “Agaknya kamu jagoan juga!” Janggo membentak seraya mencabut clrut di pinggangnya. Ia acungkan ke wajah Nago.
“Jangan dibunuh Bang. Kasi aja pelajaran,” seru Mansur.
Nago Salapan tersenyum. “Kamu tidak mungkin membunuh saya dengan ular itu.”
“Ah, ular!” Terperanjat Janggo, clurit di tangannya berubah jadi ular. Ia ketakutan seraya membuka pintu. Taksi terus melaju. Kedengaran benda jatuh. Lelaki itu bergulingan di jalan raya.
Mansur memelankan taksi hendak berhenti. “Biarkan dia. Kita terus jalan,” kata Nago datar.
“Ampun saya Bang. Saya tidak tahu dia akan menjahili Abang,” sahut Mansur menghiba.

Pada sebuah tanjakan rendah, ada jalan gang. Taksi yang disopiri Mansur masuk ke sana. Sekitar 100 meter dari jalan kelihatan sebuah bungalow. Pintu halamannya terbuka.
“Bungalow itu tempat tinggal beliau itu?”
“Ya Bang.”
Nago turun. Dan berkata pada Mansur,”Bilang pada beliaumu itu bahwa Nago Salapan telah datang!”
Mansur berlari-lari kecil naik ke teras bungalow. Ia memencet bel yang terletak di sudut pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka. Slang muncul di hadapan Mansur. “Tuan, saya telah membawa lelaki yang bernama Nago itu,” ujarnya seraya menoleh ke belakang.
Slang melihat Nago berdiri di halaman menyandang tas. “Mana Janggo?” Dia bertanya.
Mansur menggaruk-garuk kepala. “Oya, preman Benhil itu turun di jalan, tuan. Entah kenapa tiba-tiba dia melompat begitu saja. Saya sungguh tak mengerti.”
Kelabu wajah Slang mendengar ucapan Mansur. Sungguh tak masuk akal, kenapa pereman Benhil tersebut melompat turun dari taksi. Padahal Janggo dipersiapkan untuk mengawal Nago. “Goblok kamu jadi orang. Kenapa dia bisa melompat tanpa sebab. Ayo jawab!”
Gatal-gatal lagi kepala Mansur. “Saya menyetir di depan. Saya mendengar Janggo membentak-bentak. Lalu ia menjerit dan melompat keluar. Sepertinya ia sangat ketakutan.”
“Kamu biarkan ia jatuh. Kenapa kamu tidak berusaha menolongnya.”
Mansur semakin gugup dan hilang akal. Dia mau menjawab apa? “begini tuan, saya hendak menolong Janggo. Tapi lelaki tersebut mengancam hendak membunuh saya. Maka saya segera tancap gas menuju ke sini.”
Percakapan itu didengar Nago dengan jelas. Kendati pun jarak mereka cukup jauh dan berbicara tak begitu keras. Sebab Nago Salapan menggunakan ilmu “Telinga Angin” Dengan ilmu tersebut, Nago mampu menyerap suara puluhan kilo meter.
“Wahai banci penebar berita bohong. Ternyata kamulah yang disebut beliau itu oleh Mansur. Sungguh hebat panggilan tersebut untuk seorang pengecut seperti kamu!” Suara Nago Salapan menggema.
Bergetar kuping Slang. Nyalinya menciut seketika. Namun karena ia berada di sarangnya, nyalinya segera kembali. Slang berteriak,”Pengawal!” Suara itu membuat beberapa puluh orang muncul dari belakang bungalow. Begitu mereka muncul, Slang memberi perintah. “Kepung dia!”
Orang-orang berseragam hitam itu bergerak cepat, mereka mengepung Nago Salapan dengan formasi tapal kuda. Namun Nago Salapan masih dapat melihat Slang dan Mansur di sana.
“Slang, sebenarnya apa yang kamu inginkan. Sebaiknya engkau panggil saja induk semangmu, Anurangga. Saya tahu ia bersembunyi di sini.”
Bibir Slang berdecap-decap. Ia haus seketika, lalu menyapukan lidahnya ke bibir. “Soal itu tidak bisa saya jawab. Sebab ada orang yang lebih berwenang menjelaskan padamu.”
Sekonyong-konyong kedengaran suara nyaring dari dalam bungalow. “Persilahkan Nago Salapan masuk!”
Terperanjat Nago Salapan mendengar suara itu, ia pernah mendengar suara tersebut ratusan tahun yang lalu. Tapi suara siapa itu?
Slang masih bingung. Ia menoleh pada Mansur. Sopir taksi hanya bisa menggaruk-garuk kepala. Dia juga bingung dan telinganya merasa hendak pecah oleh suara nyaring dari bungalow.
“Apakah kamu sudah tuli Silangkaneh.”
“Ya, ya Puti,” sahut Slang terbata-bata. Kemudian ia memberi perintah pada serdadu-serdadu hitam itu untuk memberi jalan lebih lebar pada Nago Salapan. Para serdadu itu berkuak sehingga Nago dapat lebih leluasa melangkah memasuki bungalow.
Nago melangkah menuju bungalow. Senjata di tangan para serdadu hitam mengacung ke arah lelaki itu. Ketika Nago naik ke teras, pandangan matanya bertemu dengan Slang. Slang surut selangkah, ia seakan-akan terbakar oleh cahaya mata itu. Sementara itu Mansur menghindar ke pinggir. Gemetar ia.

“Tuan, tugas saya telah selesai. Jadi saya harus pulang,” kata Mansur.
“Oya, silahkan.”
“Tapi tuan…”
Slang memasukan tangannya ke dalam baju, dari balik baju tersebut ia keluarkan bungkusan. “Dalam bungkusan ini ada duit lima juta. Silahkan kamu hitung.”
Tanpa basa basi Mansur mengambil bungkusan uang tersebut. Riang tak terkira Mansur mendapatkan uang sebanyak itu. Dan ia tidak menghitungnya. Ia membayangkan, setelah dipotong setoran maka masih banyak sisanya dibawa pulang. Pokoknya ia akan membeli macam-macam.
Santai Mansur keluar dari halaman bungalow. Ia hidupkan tip mobil, kedengaran lagu dangdut yang dinyanyikan Inul. Sambil menyetir tubuh Mansur bergoyang-goyang mengikuti irama dangdut.
Seekor kucing melintas. Mansur terperanjat, ia menginjak rem mendadak. Kucing itu melompat ke seberang, selamatlah binatang itu. Kendaraan itu meluncur kencang. Ketika Mansur menginjak rem lagi, laki-laki tersebut terperanjat. Rem blong. Mansur berupaya mengocok-ngocok rem tapi kendaraan itu terus meluncur kencang. Saat itu sebuah truk gandeng dari arah berlawanan menderu. Tabrakan tak terhindarkan lagi!
Taksi yang dikendarai Mansur terseret hampir 100 meter. Truk gandeng yang bermuatan sarat itu berhenti. Sopir dan keneknya melompat turun. Mereka termanggu menyaksikan taksi tersebut terguling remuk rendam.
Orang ramai berdatangan.
“Mana penumpangnya?”
“Itu sopirnya!”
Mansur tertangkup di setir, berlumuran darah. Ketika orang-orang mencoba mengeluarkan mayat Mansur, mereka terhalang oleh pintu taksi yang peot.
Sopir truk menyuruh keneknya mengambil linggis yang ada dalam truk. Lantas bersama yang lainnya mengungkit pintu taksi yang peot tersebut.

Bersamaan dengan itu Nago masuk ke dalam bungalow. Slang dan dua serdadu hitam mengantar ke ruang tersebut. Ruang itu amat luas. Lantainya beralaskan permadani merah. Di sana ada sofa tamu. “Tunggu di sini,” kata Slang.
Nago duduk. Tapi ia belum melihat tuan rumah. Slang berdiri mondar-mandir, sesekali memandang ke tangga yang menghubungkan ruang bawah dengan ruang atas.
Sesaat kemudian kedengaran suara langkah kaki ringan dan gemericingan benda bergoyang. Tampak seorang perempuan muda menuruni tangga. Ia melemparkan senyum pada Nago Salapan. “Selamat sore tuan pendekar,” sapa Olivia alias Puti Bagalang Banyak.
Nago Salapan mendongak. Dugaannya ternyata benar, suara merdu dan nyaring yang didengarnya di luar tadi adalah suara Puti Bagalang Banyak, permaisuri Anurangga. Perempuan bangsawan itu menyalami Nago Salapan. Lelaki itu menyambut salam tersebut. Lama juga Puti Bagalang Banyak menggenggam tangan Nago.
“Tinggalkan kami berdua saja,” ujar Olivia seraya mengibaskan tangan, memberi isyarat pada Slang dan dua serdadu hitam itu.
Kuncup Slang mendengar perintah Olivia, ia mengajak dua serdadu hitam keluar. Tetapi ketika Slang mendekati pintu keluar, Olivia menggamit,”Kamu panggilkan pelayan. Sediakan minuman,” ujarnya. Lalu berkata pada Nago Salapan,”Maaf, saya telah merepotkan tuan pendekar.”
“Ya, Puti telah menunda perjalanan saya.”
Ketawa renyah perempuan itu, ia menyilangkan kakinya. Dari belahan longdresnya tampak sebagian pahanya. Nago memalingkan wajah ke samping. “Sebenarnya tuan Anurangga ingin bertemu dengan anda. Tapi mendadak ia bersama Kucing Air Kuning mengunjungi seorang teman lama. Akan tetapi saya suka bertemu dengan tuan pendekar.”
“Sebaiknya saya pergi,” tukas Nago Salapan hendak bangkit.
“Tunggu. Kenapa tuan pendekar begitu tergesa-gesa. Tanpa Anurangga kita pun bisa berbincang-bincang. Lagi pula kita sudah lama tak berjumpa.” Olivia menatap lelaki tersebut dengan cahaya matanya yang indah. Perempuan ini memang cantik. Dalam penjelmaannya di abadi ini, ia berprofesi sebagai seorang selebritis. Puti Galang Banyak memanfaatkan kecantikan lahiriahnya pada bidang ini yang dikenal dengan nama Olivia. Tidak sedikit kaum lelaki jatuh dan bertekuk lutut dalam pangkuannya.
“Bukankah Anurangga ingin bertemu dengan saya?”
Bola mata Olivia bermain indah menatap Nago yang berada di hadapannya. Perempuan semakin genit. Ia sapu bibirnya yang merah delima tersebut dengan sentuhan lembut ujung lidah. Bersamaan dengan itu ia menuangkan vodka ke gelas yang telah terhidang di atas meja.  Olivia menyodorkan segelas ke depan Nago.
“Mari kita bersulang tuan pendekar. Kita rayakan perjumpaan dua orang teman lama ini,” desah Olivia seraya mengangkat gelas di tangannya.
Serba salah Nago Salapan menerima ajakan perempuan tersebut. Aroma minuman vodka di gelas itu berkadar alkohol. “Saya lebih suka secangkir teh atau kopi panas,” Nago coba berkilah.
Renyah ketawa Olivia menanggapi ucapan Nago. “Anda tampaknya mulai meninggalkan kebiasaan lama. Bukankah dulu, tuan pendekar seorang peminum tuak. Lalu kenapa tiba-tiba berubah.”
Nago tersenyum. Ia kemudian mencicipi vodka di gelas tersebut. Setitik vodka membasahi bibir lelaki itu. “Puti. Kita manusia, manusia itu bagain dari alam. Kerena itu seperti alam yang senantiasa berubah. Manusia pun dapat berubah karena perjalanan kehidupannya.

Senja pun mulai hadir di bungalow itu. Nago Salapan masih belum bisa berangkat meninggalkan bungalow tersebut. Olivia masih tetap mengajak Nago berbincang-bincang. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, ia mampu mengimbangi pikiran-pikiran Nago Salapan.
“Jika manusia tersebut berubah karena perjalanan kehidupannya. Apakah cintamu pada Puti Rinjani juga berubah?” Pertanyaan tersebut memang berusaha menjebak Nago.
Semakin lekat punggung Nago ke sandaran sofa. “Cinta saya pada Puti Rinjani tak lekang dipanas, tak lapuk oleh hujan,” sahut lelaki itu pasti.
“Oya.” Ada sejumput kecewa dalam hati Puti Bagalang Banyak.
“Dan suami Puti terus mengejarnya. Itulah salah satu alasan Anurangga membenci dan memusuhi saya sepanjang masa.”
Kabut tipis mengambang di luar sana.
“Saya telah menyelamatkan Puti Rinjani ketika ia disekap Anurangga. Bagaimana pun kami berdua masih kerabat. Lagi pula, saya tidak suka dimadu,” ujar Puti Bagalang Banyak.
“Terima kasih…Puti telah menyelamatkan Rinjani.”
Tiba-tiba Slang muncul dari luar. “Tuanku menelpon Puti lewat HP. Katanya ponsel Puti sedang dialihkan,” lapor lelaki tersebut. Olivia mengangguk. Slang lalu kembali keluar. Perempuan itu mengaktifkan ponselnya. “Kanda sedang di mana sekarang? Oya, kanda sudah bertemu dengan dia. Okelah, Nago Salapan juga sudah hadir di sini. Kini dinda sedang bicara dengan pendekar itu.Ah, kanda jangan begitu. Kok masih belum percaya pada dinda.”
Nago Salapan tidak tertarik pada percakapan tersebut.
Olivia menutup ponsel, ia mengerling dan tersenyum berkulum pada Nago Salapan. “Anurangga cemburu pada anda. Lelaki memang begitu,” desah Puti Bagalang Banyak alias Olivia.
“Kenapa dengan lelaki?”
“Ya begitulah sifat lelaki. Mereka tajam sebelah ibarat mata pedang. Kalau mereka berselingkuh dengan beberapa perempuan, mereka anggap biasa. Bahkan ada pameo mengatakan,”Dunia akan menangis bila perempuan mengkhianati cinta. Tapi bila lelaki berkhianat maka dunia akan ketawa.” Sekarang saya sedang bicara dengan teman lama. Anurangga langsung cemburu. Dunia seakan-akan berguncang!”
Diam Nago Salapan mendengar ocehan Olivia yang berisi protes itu. “Hukum seperti itu berlaku sejak zaman purba. Bukan saja manusia, binatang pun demikian. Kodrat lelaki senantiasa berpoligami. Sementara itu perempuan cenderung monogami,” tukas Nago Salapan kemudian.
Olivia ketawa renyah. Gelang di lengan dan kakinya menimbulkan bunyi gemerincing. Bahasa tubuh perempuan itu memancarkan gairah. Olivia memang ingin menarik perhatian Nago.
“Anda sebaiknya menginap di sini. Anurangga dan Kucing Air Kuning besok baru kembali,” bibir Olivia mendesah.
“Pertemuan kita sudah cukup lama. Saya juga hendak bertemu dengan seseorang.”
“Harapan saya, tuan pendekar menginap. Bungalow ini mempunyai kamar sebanyak 12 kamar.Tapi kami telah mempersiapkan kamar khusus untuk anda,” bujuk perempuan itu.
Nago Salapan bimbang. Mestinya dia sudah bertemu dengan Katib Agam yang dipenjara di LP Cipinang. Namun malam ini, ia tidak mungkin bertemu dengan ulama tersebut.** (Bersambung....18)

Dari Meja Kerja Amran SN
Padangsarai, Sumatera Barat, Juni 2011



0 komentar:

Posting Komentar