Kamis, 30 Juni 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (18)

18
 Jakarta Jakarta


Sebelum itu Anurangga dan manusia kucing datang LP Cipinang. Lewat kaca pembatas, dan intercom yang tersedia, Anurangga berbicara dengan Katib Agam.
“Kita sahabat lama, tuan Katib. Oleh karena itu denai menjenguk anda,” ujar Anurangga memulai percakapan.
Katib Agam tidak langsung menjawab. Ulama itu muak dan jijik melihat wajah Anurangga. Betapa masih membekas dalam ingatannya ketika ia ditawan di benteng Belanda di Fort de Cock, Bukittinggi. Anuranggalah yang mengusulkan kepada Belnda agar dia dikubur hidup-hidup. Sekarang, Aunrangga datang menjenguk di penjara Cipinang ini. Pasti ada sesuatu rencana yang tersembunyi dalam benak lelaki tersebut. Seperti pameo lazimnya, “Tak ada berada, tak mungkin tempua bersarang rendah” Katib Aagam tidak percaya kedatangan Anurangga tersebut diberengi ketulusan.
“Kita bukan kawan lama. Tapi musuh lama.”
Kelabu wajah Anurangga mendengar jawaban ulama tersebut. Bukanlah  Anurangga namanya kalau tidak mampu meredam perasaannya. Ia tersenyum nenatap Katib Agam. “Waktu terus bergulir. Wahai Katib Agam, teman denai yang alim dan bijak bestari. Denai datang menjenguk dengan tulus dan hati seputih kapas. Tiada maksud lain agar kita dapat bekerjasama,” ujar Anurangga bersahaja.
“Kerjasama?”
“Ya.”
“Minyak dan air tak mungkin bersatu. Tujuanmu hanyalah dunia semata. Kamu mirip Firaun. Demi tercapainya cita-citamu, kamu tidak malu bersekutu dengan setan!”
Ketawa lepas Anurangga. Ia surut selangkah menjauhi wajah Katib Agam di balik kaca itu. Kemudian maju lagi, matanya mendelik geram memandang Katib Agam. “Tahukah engkau Katib Agam? Dunia ini tempat meraih cita-cita. Doa dan zikir tak bermanfaat bila tak disertai upaya. Orang yang sukses di dunia juga akan sukses di akhirat.”
“Hebat kamu sekarang Anurangga. Tapi jangan coba menggurui saya. Ucapanmu sama dengan ucapan orang kafir. Manis di awalnya tapi pahit di ujung. Hanya Allah yang
akan menghukum kalian!”
Ketawa terbahak-bahak Anurangga. “Katib Agam, lihatlah denai baik-baik. Perhatikan penampilan denai. Segala yang denai pakai sekarang ini, dari ujung kaki sampai kepala, dibuat oleh orang kafir.”
Penjara itu mendadak panas bagi Katib Agam. Ia beristighfar membaca nama Tuhan. “Kita akhiri perbincangan ini,” ujar Katib Agam kemudian.
“Maafkan denai sahabat.”
“Saya bukan sahabatmu!”
“Denai ingin menawarkan sesuatu padamu. Sesuatu yang dapat membuat engkau kembali menghirup udara segar. Bebas di luar sana.”
“Mestinya saya dibebaskan. Tetapi ada pihak-pihak yang berkepentingan untuk membenam saya ke dalam penjara ini.”
“Justru karena itu denai mendatangimu. Jika engkau mau mengakui segala perbuatanmu bahwa kerusuhan-kerusuhan yang ada di negeri ini adalah tanggung jawabmu. Maka engkau akan dibebaskan,” bujuk Anurangga.
“Artinya kamu aku bertanggung jawab terhadap apa yang tidak saya lakukan. Aatau dengan kata lain, saya harus berdusta.”
“Ya.”
“Andaikata langit ini runtuh pada hari ini. Saya tidak akan berdusta!”
Tertegun Anurangga. Lebih tertegun lagi ketika katib Agam pergi dari hadapannya. Ulama itu melangkah masuk ruangan yang menghubungkan kamar tahanannya.
Anurangga menghentakkan kaki. Ia sangat kesal. “Dasar bebal!” Lelaki tersebut menggerutu. Lantas mengajak manusia kucing keluar penjara.

Ketika mobil Anurangga hendak keluar halaman LP Cipinang, ia melihat seseorang berjalan terpincang-pincang mendekat. Lelaki tersebut adalah Janggo, preman Benhil. “Ada apa dengan kamu,” tegur Anurangga.
“Saya terjatuh, Tuanku.”
“Ayo naik. Kita bicara di atas mobil saja.”
Janggo naik di depan di samping Kucing Air Kuning yang menyopiri kendaraan itu.
“Jadi kamu biarkan Nago Salapan bersama Nago Salapan ke bungalow?” Anurangga bertanya di belakang. Ia pura-pura tidak tahu peristiwa yang dialami Janggo. Padahal Slang telah memberi kabar tentang situasi di bungalow.
Janggo tidak menyahut. Tubuhnya kuncup, dan ia tidak ingin menjawab. Tidak ingin jawabannya akan membuat Anurangga marah.
“Lupakan semua itu. Kamu ada tugas baru. Tapi kali ini, kamu tidak boleh gagal!”
*


Anurangga bertemu dengan Zahir dan dua orang lelaki di sebuah kontrakan. Mereka terlibat percakapan serius. Zahir memperlihatkan peralatan yang dirakitnya. “Saya telah merakit bunuh diri ini, seminggu lamanya. Hanya tinggal menunggu perintah Tuanku, “ tutur Zahir seraya menoleh pada Ook dan Damiri, kedua lelaki berjanggut itu.
“Okelah. Saya setuju saja. Kita buat tipuan-tipuan biasa, yaitu memberikan “sport jantung” kepada masyarakat. Letakan kardus-kardus kosong di Mall-mall. Atau di kantor-kantor pemerintah, sehingga polisi terpancing ke sana. “Kamu paham maksud denai?”
Zahir mengangguk.
*

Malam itu bintang-bintang bertaburan di langit. Udara di bungalow dingin menusuk ke tulang sumsum. Nago masih belum tidur, ia bersandar di kepala ranjang, melonjorkan sepasang kakinya lurus-lurus. Berbagai masalah berkeliaran dalam benaknya. Ia belum bertemu dengan Katib Agam. Juga belum bertemu dengan Puti Rinjani yang kini berada di Jakarta, mencari Westenk Jr. Lantas di bungalow ini seakan-akan masuk ke sarang harimau betina. Tapi semua masalah tersebut harus dihadapinya.
Pintu kamar terkuak, Nago menoleh ke arah pintu tersebut. Aroma parfum khas tercium. Gemerincing halus berbunyi ketika Olivia melangkah masuk. Lampu kamar masih terang benderang. Nago melihat jelas sekujur tubuh perempuan itu karena Olivia memakai pakaian tidur yang tembus pandang.
“Tuan pendekar belum tidur?”
Nago Salapan bangkit dan duduk di pinggir ranjang. Ia jatuhkan pandangannya ke lantai sejenak.
Olvia melangkah ke ceruk ruangan, ia mengambil sebotol sampanye dan dua gelas, meletakan di meja sofa yang ada di kamar tersebut. Kemudian mengambil beberapa potong kecil es di kulkas. “Sebagai tuan rumah, saya harus menghormati tamu.” Perempuan itu menuangkan sampanye ke gelas.
Nago Salapan melangkah ke sofa. Serba salah ia tidak bangkit menemani Olivia. “Puti belum tidur?”
“Ya, sama seperti tuan. Orang-orang yang ditinggalkan kekasih selalu gelisah. Dan susah tidur,” sahut Olivia tersenyum.
“Pagi saya harus berangkat.”
Sendu tatapan mata Olivia memandang Nago. “Kesempatan kita untuk berbincang-bincang malam ini. Malam masih panjang…Marilah kita nikmati hidup ini dengan santai.” Perempuan muda itu mengangkat gelas. Nago pun meneguk sampanye.
“Kapan Anurangga kembali?” Nago berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Saya tidak peduli. Apakah tuan pendekar peduli akan kedatangan Anurangga?”
“Tergantung pada apa urusannya.”
Gemerincing gelang di tangan Olivia tatkala perempuan muda itu beringsut ke samping mendekati Nago. Desah nafasnya yang harum berembus ke hidung lelaki tersebut. Ia menarik lengan Nago dan menjatuhkan ke pangkuannya. “Saya sudah lama merindukan pertemuan dengan tuan. Pertemuan dengan seorang pendekar besar seperti kamu.”
Menggigil Nago, seluruh bulu romanya merinding. Siapa yang akan tahan berhadapan dengan perempuan secantik Olivia? Apalagi di kamar itu hanya dia dan Olvia, tidak ada siapa-siapa.
Bulan tumbuh sepotong di langit. Cahayanya jatuh lewat sela=sela cabang cemara yang menjuntai. Seperti benda yang terseret oleh magnit, Nago merapatkan tubuhnya ke badan Olivia.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Olivia. Ia merangkulkan lengannya ke pinggang laki-laki itu. Nago Salapan membalas, dadanya menggelora berdebar-debar. Seekor laba-laba merayap di ceruk loteng, binatang itu melihat mangsanya terjerat.
Di luar kedengaran kokok ayam.
Laki-laki itu tersentak. Nago bergulir ke pinggir, lalu bangkit. “Maafkan saya,” ujarnya menyesal. Segera ia berpakaian seteleh menghidupkan lampu. Ruangan terang benderang.
Olivia duduk di pinggir ranjang sambil membungkus sebagian tubuhnya dengan selimut. Ketika Nago melangkah ke pintu, Olivia berkata,”Apakah saya kurang pintar di ranjang?” Ia memburu lelaki itu, dan mendekap dari belakang. “Jangan tinggalkan saya,” berkata lirih.
“Kita bukan suami istri,” sahut Nago datar. Ia melepaskan dekapan perempuan itu. “Iblis telah memperdayai kita. Jadi harus kita hentikan permainan ini.”
“Kamu goblok!”
“Lebih baik saya jadi orang goblok. Saya tidak ingin kamu perangkap seperti Gugum.” Nago mengambil sebuah benda dari tasnya, ia lemparkan ke lantai. “Benda itu telah saya cabut. Bukankah benda tersebut juga digunakan merekam permainanmu dengan Gugum?”
Terbelalak Olivia alias Puti Bagalang Banyak. Ia tidak menyangka alat perekam gambar itu telah ditemukan Nago Salapan. Padahal alat itu disembunyikan pada sekat dinding kamar. Tiba-tiba perempuan itu tersedu-sedu. “Percayalah, tuan pendekar. Di hati saya tidak ada keinginan untuk memerangkap tuan. Tuan tidak sama nilainya dengan Gugum.”
Nago Salapan diam. “Selamat tinggal,” ujar lelaki tersebut. Ia berkelabat keluar.
*

Menjelang pagi Nago telah sampai di jalan Pramuka. Lalu ia cari penginapan. Karena semalam ia tidak tidur sepicing pun, lelaki itu terhampar lelap di ranjang penginapan. Nago Salapan baru terbangun ketika pelayan penginapan itu mengetok pintu.
“Sudah lohor,” ujar pelayan tersebut.
“Terima kasih,” sahut Nago. Saat itu pula ia ingat akan Katib Agam. Segera Nago ke kamar mandi. Ia guyur kepalanya basah-basah. Beberapa jenak kemudian, ia naik taksi menuju LP Cipinang hendak menjenguk Katib Agam.

“Dia telah datang kemaren,” kata Katib Agam.
“Anurangga ke mari?”
“Ya. Dia mengharapkan saya mengaku. Mengaku segala perbuatan yang tidak pernah saya lakukan. Dia tawarkan keringanan. Bahkan kebebasan.”
“Buya percaya?”
Ulama itu menggeleng. “Tidak akan kehilangan tongkat orang tua untuk kedua kalinya. Saya pernah ditipu Anurangga saat perang Paderi. Ia ajak saya berembuk dengan seorang letnan Belanda di Fort de Cock. Semula perundingan itu berjalan lancar, bahwa lentan tersebut akan menjual beberapa puluh pucuk senjata kepada kami. Tetapi setelah saya dan beberapa orangpaderi lainnya keluar benteng, kami diserang.”
Nago menatap Katib Agam.
Katib Agam pun menatap. Kemudian tatapannya beralih ke loteng ruang tamu penjara. “Ternyata penjualan senjata tersebut hanyalah siasat mereka. Siasat untuk menghabisi kami. Semua itu adalah berkat peranan Anurangga.”
“Sekarang, berapa lama Buya dijatuhi hukuman?”
“Dua puluh tahun.”
“Dua puluh tahun. Apakah mereka punya saksi-saksi dalam perkara tersebut? Dan hakim bisa percaya begitu saja.”
“Saya sungguh tak mengerti. Saya tidak pernah ke mana-mana. Tidak pernah meninggalkan Sumatera barat. Kapan saya memberi komando kepada mereka yang berada di Aceh, di Bali, di Poso dan Papua.” Ulama itu berkomat-kamit beristighfar. Lalu membarut wajahnya dengan tangan. “Barangkali Allah sedang menguji saya.”

Nago tercenung. Lantas menatap Katib Agam sendu. “Saya bisa mengeluarkan Buya dari penjara ini. Mestinya ketika di kota P, Buya bisa meloloskan diri. Apa sulitnya bagi kita menjebol tembok penjara ini.”
Lekat-lekat Katib Agam menatap Nago. Ia menggeleng halus. Bibirnya bergerak-gerak. “Jangan engkau berpikir demikian. Berusaha merubah takdir yang diridhoi Allah. Pasti ada maksud lain dari Dia. Justru karena itu sebaiknya kita bersabar.”
Termanggu Nago Salapan. “Saya memang emosi, Buya. Allah memang memberikan cobaan kepada hamba-Nya semampu ia memikulnya. Saya tahu Buya sedang memikul gunung. Tapi gunung itu tidak berat terasa di pundak orang yang takwa.”
“Syukurlah engkau paham,” tukas Katib Agam.
*
Setelah menjenguk Katib Agam, Nago naik taksi, kembali ke penginapan. Tatkala laki-laki itu melangkah ke teras, ia melihat sepasang sejoli. Seorang lelaki bule dan perempuan pribumi. Insting Nago bergetar, ada sesuatu yang tidak beres dengan mereka. Nago menunda niatnya masuk ke kamar. Sementara itu kedua orang tersebut berdiri di pinggir jalan.
Westenk Jr menyetop taksi, mereka mengarah ke selatan. Nago pun menyetop taksi. “Tolong ikuti taksi di depan itu.” Sopir taksi mengangguk. Taksi yang ditompangi Nago melaju mengikuti mereka itu.
Taksi di depan melaju melewati simpang dan lampu merah. Sementara itu Nago di belakang menyuruh sopir agar tidak kehilangan jejak. Kadang taksi Nago berdampingan dengan taksi yang ditompangi Westenk Jr. Kaca taksi lelaki bule itu tertutup, sehingga tidak bisa jelas ke dalam. Namun dengan “mata elangnya”, ia mampu menerobos kegelapan kaca. Westenk Jr duduk berdamping dengan Lola.
Memasuki persimpangan lampu jalan raya Gunung Sahari, tiba-tiba taksi yang ditompangi Nago mengambil jalan kiri. “Maaf Ban, ban depan kempes,” ujar sopir taksi. Dalam pada itu taksi Westenk Jr terus melaju melawati lampu merah.
Nago menarik nafas menghilangkan kesal. Terasa sangat lamban tukang tambal ban tersebut bekerja. “Pasti saya sudah kehilangan jejak,” gumam lelaki tersebut.  Tentu saja mereka telah kehilangan jejak. Insting Nago menduga Westenk Jr dan Lola masuk ke kawasan Ancol. Hampir setengah jam berputar di sana, Nago memutuskan turun dari taksi.
Lelaki itu duduk di kafe Pasar Seni. Nago duduk seraya memasan jus tomat. Memandang orang ramai berlalu lalang di pelataran Pasar Seni tersebut. Ia ingat kota P, kota tempat tinggalnya, kadangkala ia suka juga pergi ke Taman Budaya. Di sana ia melepaskan kejenuhan. Atos memperkenalkan dengan teman-temannya yang mangkal di sana. Asyik juga berbincang dengan mereka.
Tapi sejauh ini belum terlihat perkembangan kesenian di kota tersebut secara profesional. Acara kesenian, pameran atau pementasan teater kurang diminati masyarakat. Sebelum ia ke Jakarta ada pameran lukisan di sana.
Pembukaannya dihadiri oleh pejabat-pejabat daerah. Mereka berpidato, kemudian meresmikan pameran tersebut. Lalu membeli sebuah lukisan perupa. Hari-hari berikutnya, pameran itu mirip kuburan, sepi pengunjung. Apakah yang salah dari negeri yang pernah melahirkan orang-orang besar ini, baik di bidang kehidupan politik, ekonomi, agama dan budaya?
Dan Jakarta memang ibukota negera republik ini. Karena statusnya sebagai ibukota, maka segala ide dapat diterima, seperti ide berdirinya Pasar Seni Ancol. Seniman perupa dapat bekarya dan tinggal seraya memajang hasil rupaannya. Pun swasta juga ikut memberikan andil dan menghargai hasil seni para seniman. Barangkali hal ini merupakan “pekerjaan rumah” para pejabat di daerah.

Angin sore bertiup, nago tersentak dari lamunan pikirannya yang berkeliar-keliaran. Saat itu, seorang perempan bertubuh subur membimbing balita perempuan. Di belakangnya berjalan lelaki dan perempuan muda. Nago mengenal perempuan itu, ia adalah Bu Rahmi. “Bu Rahmi,” laki-laki itu langsung menyapa.
Bu Rahmi menoleh, tertegun sejenak. Kemudian membalas sapaan Nago. Perempuan utu memperkenalkan suami istri di sampingnya. “Ini Darman, keponakan saya. Dan ini istrinya, Warni. Bocah yang cantik ini, Cici, putri mereka.”
“Bukankah Nadia bersama ibu di sini?”
“Oya, saya memang lupa mengatakan padamu. Dan kamu ada keperluan apa ke sini? Jangan-jangan ada bisnis besar,” kata Bu Rahmi bercanda.
Sebenarnya Nago ingin mengatakan kedatangannya ke Jakarta untuk menemui Nadia. Tapi hatinya mendua sehingga ia bicara lain. Ia bilang menjenguk seorang sahabat lama, Katib Agam yang dipenjara di LP Cipinang.
“Pasti juga kamu ingin ketemu Nadia.”
Perlahan Nago mengangguk.
“Hmm. Sayang kamu terlambat.”
“Kenapa Bu?”
“Siang tadi Nadia telah berangkat ke Cangkareng. Semula kami ingin mengantar. Tapi Nadia bilang, ia tidak perlu diantar.”
“Ke Cengkareng. Ada apa?”
“Dia mendapat informasi bahwa Westenk hari ini akan berangkat ke Belanda. Bule itu membawa Selendang Pembunuh Anggang. Justru karena itu Nadia bergegas ke Cengkareng.”
*

Westenk Jr dan Lola mampir ke kafe. “Masih ada waktu setengah jam lagi. Pukul 6 sore kita baru naik pesawat,” ujar lelaki bule tersebut. Westenk Jr tampak agak gelisah. Ia acapkali mengerling ke kiri dan ke kanan. Lalu menukikan pandangannya ke koper yang di diletakan di bawah kakinya.
“Saya cemas,” kata Lola.
“Kamu cemas meninggalkan kampung halamanmu. Ah, itu biasa. Saya juga dulu begitu. Tapi lama-lama jadi biasa.” Westenk mencubit pipi Lola lembut. Gadis itu mengaduh manja. Westenk Jr tersenyum.
“Sepertinya ada yang mengikuti kita.”
Westenk Jr terpengaruh oleh ucpan Lola. Ia memindahkan kopernya ke atas meja. Nalurinya memang mengatakan ada bahaya mengintai. Sesaat ia mengatur nafas agar tenang.
Seorang berambut kuning mengamati Westenk. Tak berkedip matanya memandang koper di atas meja tersebut. Sesekali ia melangkah ke tempat lain. Di sana duduk Anurangga dan Janggo. Kucing Air Kuning berbisik pada Anurangga. “Lelaki bule itu mungkin bersenjata.”
Mengerling Anurangga pada Janggo.”Habiskan kopimu. Segera rampas koper itu. Ingat. Jangan gagal!”
Janggo bangkit menuju ke arah Westenk Jr.
Westenk Jr waspada. Ia telah melihat gelagat buruk Janggo yang mendekatnya. Namun Janggo lebih cepat, secepat kilat ia menyambar koper di atas meja tersebut. Aakan tetapi, saat yang bersamaan, berkelabat bayangan ramping. Bayangan itu lebih cepat dari Janggo.

“Puti Rinjani!”
Bayangan itu memang Puti Rinjani alias Nadia. Gadis tersrebut kini menenteng koper di tangannya. Janggo terperangah karena kecolongan. Segera Janggo menghambur ke arah Nadia. Sebuah tendangan keras ke arah lambung laki-laki itu. Karena tidak menyangka akan diserang mendadak, ia tidak semapt berkelit.
Dan tunggang langgang Janggo, menggelosor ke lantai. Susah payah ia bangkit. Ketika Janggo berhasil bangkit, Nadia melesat keluar kafe.
Suasana di sekitar kafe centang perenang. Janggo mengejar Nadia sampai ke ruang tunggu. Dan Kucing Air Kuning pun bergerak.
Sementara itu Westenk mengikuti dari belakang. Ia berteriak,”Rampok.Rampok!”
Dua orang Satpam bandara tersentak. Segera mereka mengejar Nadia yang kelihatan menenteng koper milik Westenk Jr. Suasana kian heboh. Suatu saat kedengaran letusan ke udara. Kedua Satpam tersebut memberi tembakan peringatan. Namun tembakan peringatan tersebut dianggap angin lalu oleh mereka.
Orang ramai di pelataran bandara berlari ke sana sini menyelamatkan diri dari peluru nyasar.
“Dia menghilang!”
“Cari ke sudut sana.”
Westenk Jr bersandar ke dinding, tersengal-sengal laki-laki itu.
Janggo dan Kucing Air Kuning menggeladahi ruangan. Nadia seakan-akan jarum yang menghilang dalam lumpur. Dua Satpam pun kehilangan jejak. Mereka mendekati Westenk Jr yang masih bersandar di dinding. Wajah lelaki bule tersebut pucat bagai kertas buram.  Kedua Satpam memapah Westenk Jr ke kantor. Lalu memberi segelas air.
“Gadis itu merampas koper saya,” Westenk Jr mendesah kecewa.
Sementara itu Kucing Air Kuning dan Janggo menelusuri setiap sudut ceruk yang mereka anggap tempat bersumbunyi Nadia. Tetap saja mereka tidak menemukan gadis itu. Manusia kucing menghentakkan kaki. “Bangsat!”
Sekonyong-konyong Janggo melihat sebuah benda tergeletak di pelataran parkir. Tanpa berpikir panjang lagi, ia mengambil benda tersebut, itulah koper yang dirampas Nadia dari tangan Westenk Jr. Kemudiam menenteng koper ke mobil. Di sana menunggu Anurangga Mereka segera berangkat.

Sebelum itu, ketika Nadia dikejar Manusia kucing dan Janggo, ia masuk ke sebuah ruangan kosong. Tiba-tiba seseorang menarik lengan Nadia. Ternyata yang menarik adalah Nago. “Kita sembunyi di balik dinding ini,” bisik Nago.
 Di luar kedengaran langkah kaki ramai. Para pengejar masuk ke ruangan kosong itu. Tentu saja mereka tidak menemukan siapa-siapa di sana. Seekor kucing melenggok keluar dari sana. Kucing Air Kuning menggerutu. Lantas mengajak Janggo keluar dari sana.
Sebenarnya, Nago dan Nadia ada dalam ruangan tersebut. Lelaki itu merapatkan tubuh ke dinding bersama Nadia. Kabut tipis membungkus tubuh sejoli itu. Nago Salapan merapalkan merapalkan ilmu “Hilang di balik ilalang sahalai”.
*

Begitu tiba di bungalow, Anurangga turun menenteng koper. Wajahnya tampak ceria. Slang datang menyambut Anurangga. “Puti Bagalang Banyak menunggu Tuanku di kamar,” ujarnya. Anurangga tidak menyahut, ia hanya mendengus.
Anurangga meletakkan koper di meja buffet. Puti Bagalang Banyak menyapa suaminya dengan senyum. Senja telah berlalu ketika itu. “Akhirnya kita mendapatkan Selendang Pembunuh Anggang,” kata Anurangga gembira.
“Oya.”
Lalu membuka koper tersebut. Tiba-tiba wajahnya berubah!
“Ada apa?”
Isi koper ini hanyalah sebuah boneka. Tak tahan lagi, Anurangga bercarut bungkang. Dengan langkah lebar ia menuju ruang tamu. Silangkaneh,Kucing Air Kuning dan Janggo sedang minum tuak seraya bernyanyi kecil. Anurangga marah yang bergejolak di dada, ia melemparkan koper ke hadapan mereka.
“Kalian bodoh. Rinjani telah menipu kalian!”
Kecut ketiga orang tersebut. Mereka menatap koper yang tergeletak di lantai berisi sebuah boneka lucu. Lalu saling bertukar pandang. Dan seraya bersungut-sunggut Anurangga kembali ke kamar di atas sana.
Slang mendelik pada Janggo. “Kamu memang goblok. Tapi saya yang kena getahnya. Mestinya kamu periksa koper itu.”
“Tapi koper itu memang milik Westenk, si bule itu.”
Kedua orang itu segera keluar. Slang takut jika Anurangga kembali, tentu mereka akan dimaki habis-habisan. Makian Anurangga kalau sedang, anjing saja tak mampu mendengarnya!
Mereka duduk di gazebo, bangunan yang berbentuk bulat. Biasanya kalau sedang santai, Anurangga dan Puti Galang Banyak bercengkrama di sana.

Di kamar, Anurangga tersengal-sengal menahan amarah. Puti Bagalang Banyak tiduran di ranjang. “Kanda tidak memeriksa isi koper tersebut?” perempuan itu bertanya. Lelaki itu hanya menggumam. Lantas ia melangkah ke lemari. Dari lemari ia keluarkan sebuah pedang yang berbentuk melengkung. Itulah pedang Jinawi.
“Kesabaran denai sudah habis,” kata Anurangga seraya mencabut pedang. Kedengaran bunyi desingan halus. Lalu ruangan kamar itu hiruk pikuk, seperti ada sorak-sorai dalam suatu pertempuran. Dan derap langkah ramai. Lalu suara pekikan pilu. Suara itu berasal dari pedang Jinawi.
“Sarungkan kembali pedang itu!”
Puti Bagalang Banyak melihat hawa iblis membias pada wajah Anurangga. Mata lelaki itu terbuka lebar. Namun ketika Puti Bagalang Banyak berseru, Anurangga sadar. Ia sarungkan kembali pedang tersebut.
*

Di luar bulan menggantung di pucuk pohon cemara. Seekor burung hantu hinggap di dahan pohon. Suara burung hanti itu membuat bulu kuduk Slang dan Janggo merinding. “Suara burung hantu itu pertanda kurang baik,” ujar Janggo berbisik.
Slang menggumam.
Manusia kucing muncul dari pos. Ia bergabung dengan kedua orang tersebut. “Kamu dari mana saja?” tegur Slang. Manusia kucing mendecih. “Tuanku sedang sakit gigi. Dia sakit hati karena ditipu Rinjani.”
“Biarkan aja. Emangnya gue pikirkan,” sahut Kucing Air Kuning ketawa lepas.
Slang menepuk paha manusia kucing. “Hebat kamu sekarang. Bicaramu gaya orang Betawi. Padahal kamu baru tinggal dua minggu,” cemooh Slang.
Dada manusia kucing berguncang-guncang karena ketawa. “Silangkaneh…Kalau kita hidup bersama Anurangga, kita harus santai. Biar saja dia mencak-mencak marah. Nanti juga reda. Apalagi Puti Galang Banyak ada di sampingnya. Ha…ha…ha.”
*
Seekor belut melata di tanah berlumpur. Binatang itu melata dan beringsut mencari lubang, ia menjulurkan lidahnya, menyibakan rumput yang menyemak. Anurangga rebah di punggung Olivia. Berkilauan punggung perempuan muda itu bagai pualam.
Ketika Olivia membalik, lelaki itu mengerang syahdu. Dan belut yang menyibak lubang tersebut menyorong ke dalam. Olivia seperti berkecimpung-kecimpung di sungai dangkal.

“Saya ingat Inem, tuan,” desah Janggo di luar sana.
“Siapa Inem?”
Gendak saya. Tapi ia sangat setia dan juga cantik. Dua tahun saya di penjara, perempuan itu masih menunggu. Pada malam yang dingin saya tiba-tiba ingat dia. Jika urusan ini selesai, saya akan menjenguknya.”
“Kamu romantis juga.”
“Dia kan manusia. Janggo butuh seorang perempuan,” tukas manusia kucing.
Malam semakin dingin.
Anurangga terhampar lelah di samping Puti Bagalang Banyak. Perempuan itu mengerling seraya melemparkan senyum. Anurangga membalas senyum itu dengan mengelus punggung perempuan muda itu. “Denai merasa semakin muda,” desahnya.
Olivia sambil berbaring membakar sebatang rokok bermentol. Asap rokok itu ia hembuskan, melayang ke udara, berbundar-bundar. “Kanda masih menyintai Rinjani?” Perempuan itu bertanya tiba-tiba.
Anurangga bangkit, ia duduk di pinggir ranjang. “Denai hanya mengikuti petuah Tambo. Bila seorang raja mengawini perempuan tersebut maka akan kekal kekuasaannya.”
“Pendapat itu hanya dibuat-buat saja. Tak lebih dari sebuah dongeng.”
Anurangga tak menyahut.
Asap rokok Olivia berbundar-bundar naik ke udara. Perempuan itu bangkit dan duduk di sofa. Ia kemudian mematikan rokok di asbak. Kemudian menyibakan rambutnya, jatuh ke depan.
“Kita habisi saja mereka,” ujar Anurangga seraya mendekati Olivia. Ia mencium punggung indah perempuan itu.
Menggelinjang halus Olivia. Lalu mereka bertatapan. Bibir Olivia basah menggoda birahi Anurangga.
“Apa yang kanda tunggu?”
“Denai bukan menunggu. Tapi adalah menyangkut waktu, yaitu waktu yang tepat buat menghabisi Nago Salapan.”
Kembali pandangan mereka bertemu. Bibir Olivia yang basah semakin menggoda lelaki itu. Tak tahan lagi, Anurangga menarik lengan perempuan tersebut. Tidak ada lagi kata-kata. Mereka berguling kembali di ranjang. Di sana kedengaran melodi-melodi cinta. Melodi yang dibahasakan dalam desah nafas, rintihan sendu dan kebinalan.** (Bersambung...19)

Dari Meja Kerja Amran SN
Padangsarai, Sumatera Barat, Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar