Jumat, 15 Juli 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (19)

19

Luka


Pukul sepuluh pagi, Anurangga mengajak Slang, Manusia Kucing dan Janggo ke jalan Lagoa di kawasan Tanjung Priok. Mereka menuju rumah, tempat menginap Bu Rahmi. Tadi malam informan Anurangga melaporkan bahwa Bu Rahmi dan Nadia tinggal di kawasan tersebut. Tanpa menunggu lagi, ia dan ketiga anak buahnya segera berangkat pagi itu.
Darman, keponakan Bu Rahmi itu seorang pengusaha besi tua. Pagi itu ia telah berangkat ke tempat penumpukan besi tua yang terletak tidak berapa jauh dari rumahnya. Sedangkan Warni mengantar gadis kecilnya ke TK. Di rumah itu, kini tinggal Bu Rahmi dan Nadia. Setengah jam kemudian, Nago datang.

“Apa kamu jadi pulang hari ini?” tanya Nago.
“Ya, rumah di Sungailareh sudah lama tinggal,” sahut Bu Rahmi. Sementara itu jalanan di depan rumah, seperti biasa ramai dilewati kendaraan.
Pagi hari itu, warga kampung itu sibuk dengan berbagai aktivitas masing-masing. Dan perempuan yang tidak bekerja kantoran, tinggal bersama anak anak mereka. Sambil bersih bersih rumah, kadangkala mereka juga menonton televisi.
“Kami pesan tiket untuk berangkat sore. Oya, Abang tidak pulang?” Nadia balik bertanya seraya meletakan secankir kopi di meja.
“Mungkin minggu depan. Saya masih ada urusan di sini.”

*

            Anurangga dan rombongannya berhenti di depan rumah itu. “Coba kamu cek, apa gadis itu memang berada di sana,” kata Anurangga pada Janggo.
            Janggo melompat turun, ia bergegas memasuki halaman rumah. Pintu rumah tersebut tampak terbuka. Nadia dan Nago sedang bercakap-cakap. Janggo melihat kedua orang tersebut. Kemudian ia kembali menemui Anurangga. “Mereka ada, Tuanku,” lapornya.
            “Semuanya turun,” ujar Anurangga. Lelaki itu turun dari mobil seraya menenteng pedang Jinawi. Slang dan manusia kucing mengikuti langkah Anurangga. Matahari pagi terasa panas menyengat. Langkah kaki mereka menghentak bagai genderang perang.
            Nago melihat kedatangan mereka. “Kita kedatangan tamu istimewa,” tukasnnya seraya melangkah ke depan. Dan Nadia bersiap, ia memegang Selandang Pembunuh Anggang, berkibar-kibar selendang itu dihembus angin.
            Slang dan Janggo maju ke depan. “Nago, dunia ini memang sempit. Kalian tidak mungkin lari dari kami. Sebaiknya kamu serahkan Selendang Pembunuh Anggang tersebut.”
            “Silangkaneh. Mulutmu memang besar. Tapi kamu tidak ada apa-apanya,” tukas Nadia.
            Surut selangkah Slang, ia menyuruk di belakang Janggo. “Tangkap gadis itu. Biar saya membereskan Nago,” kata banci itu seraya mendorong Janggo.
            Tanpa didorong pun Janggo telah maju. Ia mencabut belati di pinggangnya. Kemudian menghambur ke arah Nadia. Sebenarnya Janggo hanya ingin menggertak gadis tersebut. Menurut pikiran Janggo gadis itu akan menjerit ketakutan bila diancam dengan belati. Namun dugaannya meleset, gadis itu bukan menjerit atau lari terbirit-birit tapi malah menangkap lengannya.
            Meringis Janggo tatkala lengannya yang memegang belati ditarik gadis itu. Kesemutan lengannya bagai disengat arus listrik. Janggo berusaha menarik lengannya. Dan Nadia mendadak melepaskan! Janggo tunggang langgang. Belati itu berpindah ke tangan Nadia.
            Sementara itu Nago mendekati Slang. Pucat seketika Slang. Ia mundur beberapa langkah. Lalu menoleh pada Manusia Kucing. “Tolong saya!”
            Sebelum Manusia Kucing bergerak, Nago telah menelikung lengan Slang,”Jika kamu berontak. Maka lenganmu akan patah!” Nago mengancam.
            Manusia Kucing terpaku.
            Dalam keadaan genting itulah, berkelabat Anurangga ke arah Nago. Ia menebaskan pedang Jinawi. Kedengaran suara berdesing mirip raungan harimau.
            Untung Nago waspada. Ia merasakan hawa panas keluar dari angin sambaran pedang Jinawi. Nago melepaskan lengan Slang. Sehingga serangan Anurangga menemui tempat kosong. Namun serangan pedang Anurangga, tidak berhenti sampai di sana saja. Ia menyerang beruntun, membuat gerakan menusuk, menebas dan menetak. Anurangga tidak memberi ruang gerak sedikit pun pada lawannya.
            Di lain posisi, Manusia Kucing menerjang Nadia dengan clurit. Selendang Pembunuh Anggang berkibar-kibar menyambut serangan lawan. Janggo coba membantu Manusia Kucing.
            Berkali-kali Manusia Kucing kena sambaran Selendang Pembunuh Anggang. Laki-laki tersebut sungsang balik dihantam ujung selendang Nadia. Ia menggelosor di tanah, terus menggelinding dan masuk comberan.
            Bu Rahmi terperanjat melihat adegan pertarungan tersebut. Jantungnya berkipas-kipas. Perempuan itu berlari ke sana sini tak menentu. Bu Rahmi berteriak minta tolong. Namun tak ada seorang pun yang keluar rumah.

            Suatu saat Nago mundur beberapa tindak. Ia menggumam,”Dari mana ia mendapatkan pedang itu?” Akan tetapi Nago tak sempat berpikir lebih jauh, karena Anurangga semakin gencar menyerang lawannya itu. Pedang Jinawi di tangan Anurangga terus mencecar ke mana Nago berkelit.
            Sekali saat, pedang Jinawi menyentuh Nago. Kedengaran suara kain robek. Pakaian di dada Nago robek. Sejenak kemudian, tampak darah meniris di dada lelaki tersebut. Dada Nago yang tergores itu berdenyut-denyut. Sementara itu Anurangga terus mendesak lawannya. Nago terhuyung ke dalam rumah. Anurangga ketawa lebar, penuh kemenangan.
            Pedang Jinawi memang senjata ampuh. Sekian abad yang lalu, pedang Jinawi mejadi milik Timur Leng. Dengan pedang sakti tersebut, Timur Leng menaklukan Eropa dan Asia Tengah. Entah berapa musuh-musuh Timur Leng tewas di ujung pedang itu. Ia menjadi penakluk yang melegendaris, tak ada tandingannya di abad tersebut. Setelah ia Timur Leng tewas, pedang Jinawi pun menghilang. Tapi tidak banyak informasi, kenapa kemudian pedang Jinawi menjadi milik keluarga Al Lahab, kemudian dihadiahkan kepada Anurangga.
            Anurangga mengejar Nago sampai ke pintu rumah. Ia sambil mengacungkan pedang, ia menyeringai seraya menebaskan leher lawannya. Sungguh-sungguh genting keadaan Nago. Bagai kilat tebasan itu dilancarkan Anurangga. Tidak mungkin Nago berkelit, satu-satunya jalan adalah menangkis dengan lengan kanannya.
            Kedengaran suara berdetak, pedang Jinawi bertemu dengan lengan lelaki tersebut. Nago Salapan mengerahkan tenaga saktinya. Namun pedang Jinawi adalah senjata keramat. Kekebalan tubuh Nago sirna, seketika lengan itu terluka, menganga lebar. Racun pedang tersebut masuk ke pembuluh darah Nago. Kepalanya tiba-tiba merasa pusing. Nago terhuyung-huyung.
            Nadia sedang bertarung melawan Manusia Kucing dan Janggo. Saat itu ia menoleh ke arah Nago. Ia melihat lelaki tersebut terhuyung-huyung. Sementara itu dengan ganas Anurangga melangkah hendak menghabisi Nago Salapan.
            “Hiaaat!”
            Nadia berseru keras, ia menyabetkan Selendang Pembunuh Anggang. Menderu kencang selendang itu, ujung selendang menghantam Manusia Kucing. Terlambat Manusia Kucing berkelit, ia hanya sempat mundur setindak. Clurit di tangannya lepas. Lelaki itu terjerembab. Saat yang hampir bersamaan, Nadia berkelabat, ia mengibaskan selendang menyerang Anurangga yang siap hendak menghabisi Nago.
            Anurangga terperanjat. Sedikit pun ia tak menyangka akan diserang Nadia dengan Selendang Pembunuh Anggang. Laki-laki itu berguling menghindar. Lunglai sekujur tubuh Anurangga karena ujung selendang menerpa tubuhnya. “Selendang itu benar-benar sakti. Andaikata denai terlambat menghindar. Habislah denai,” gumamnya.
            Orang ramai mulai berdatangan. Mereka menonton pertarungan. Bu Rahmi menarik Nago ke dalam rumah. Sedangkan Nadia bersiaga, ia merentangkan selendangnya di dada. Matanya mencorong tajam.
            Melihat keadaan yang tidak memungkinkan, Anurangga kembali ke kendaraan. Manusia Kucing dan Janggo terpincang-pincang melompat ke mobil. “Silangkaneh. Kamu tunggu apa lagi. Jalankan mobil!” Anurangga membentak.
            Mobil menderu kencang. Orang ramai yang berada di pinggir jalan terpekik mundur. Takut keserempet.

**

            Matahari jatuh memuntahkan sinarnya di langit Jakarta. Walaupun sudah saatnya musim hujan, kota megapolitan ini belum memperlihatkan akan terjadi perkisan cuaca. Dalam panas terik yang menyengat itu Nago melangkah gontai di trotoar, ia menyandang tas di bahu. Peristiwa penyerangan Anurangga ke rumah Darman, tempat Bu Rahmi dan Nadia menginap di jalan Lagoa, telah berlalu, seminggu lamanya. Luka di dada Nago akibat sabetan pedang Jinawi dari Anurangga, masih belum sembuh. Kadangkala ia menunda langkahnya karena terasa nyeri di luka tersebut.
            Nadia dan Bu Rahmi telah pulang ke kota P.
“Ya, sebaiknya kamu kembali ke P,” ujar Nago tatkala gadis itu hendak naik pesawat. “Di sini kurang aman bagimu. Terutama bagi Bu Rahmi,” sambungnya. Sebenarnya Nago ingin berdekatan dengan Nadia. Tapi instinknya berkata lain.
            “Saya juga mengkhawatirkan Uda. Kelihatannya luka tersebut belum sembuh benar.”
            “Saya akan mengobati sendiri.”
*

            Sengatan matahari kian panas jatuh di atas kepala Nago. Ia telah melewati beberapa persimpangan. Keringat menetes di dahi laki-laki itu. Namun ada keindahan tersendiri kala berjalan kaki di trotoar sepanjang jalan Gunung Sahari. Sepanjang perjalanan ia dapat menangkap makna kehidupan. Wajah-wajah orang berlalu lalang ketika berpapasan dengan dia, dapat ditangkapnya. Ada wajah yang optimis menjalani kekerasan hidup, tapi ada pula wajah getir yang sendu duduk di pinggir trotoar sambil menadahkan tangan mengharap belas kasihan.
            Ibukota memang impian bagi mereka yang berada di daerah. Segalanya tampak menggiurkan. Di sini ada harapan. Di sini juga ada kekecewaan. Orang bisa sukses, dan bisa juga terpuruk. Namun bagi yang tidak siap maka muncul kekecewaan. Semula harapan menggunung di dada, ternyata harapan hanyalah tinggal harapan. Akan tetapi kekerasan hidup itu harus dijalani oleh mereka yang tergusur situasi kehidupan itu sendiri. Mereka hidup apa adanya, tidur di emper toko bila malam tiba, melacurkan diri, mengemis, mencuri. Atau yang punya keberanian lebih, bisa merampok, bahkan bila perlu korup jika kesempatan itu memang ada.
            Langkah-langkah Nago di bawah sengatan matahari terus bergerak. Pikirannya terus menerawang, bergalau ke mana-mana. Nago tiba-tiba ingat Nadia. Seakan-akan antara dia dengan gadis tersebut selalu terpisah. Rindu-rindu mereka terputus oleh keadaan. Apakah karena ia tidak bernai mengambil keputusan? Keputusan untuk menikahi Nadia alias Puti Rinjani.
            Ada semacam tabir tipis yang menghalangi di antara mereka. Tabir itu adalah “keabadian”. Saat ia berguru pada Tuanku Janaka Mantrolot, orang tua sakti tersebut berpetuah,”Kamu ditakdirkan jadi manusia abadi. Akan tetapi kamu tidak boleh mempersunting Puti Rinjani. Dia perempuan pilihan zaman. Rinjani itu perawan abadi.”
            “Tapi saya juga manusia. Saya butuh perempuan pendamping hidup,” tukas Nago Salapan.
            Nago…Kita bukan bicara tentang baik atau buruk. Tapi kita bicara tentang keharusan. Kewajiban kamu sebagai makhluk ciptaan-Nya, yaitu menerima takdir yang dibebankan dipundakmu.”
            Dialog itu terputus ketika Tuan Janaka Mantrolot mengambang di udara.
*
            Ayunan langkah Nago menerawangkan pikiran lelaki itu pada Anurangga. Anurangga dalam setiap reinkarnasi selalu memburunya. Alasan klasik dari Anurangga, bahwa segala perbuatannya selalu mendapat halangan dari Nago Salapan. Di samping itu terselip kedengkian akan cintanya tak berbalas dari Puti Rinjani. “Suatu saat dunia akan denai beri bertampuk, dan akan denai jinjing. Dan kalian berdua akan sujud minta ampun di kaki denai,” kata Anurangga.
            Nago menunda langkah, ia meraba dadanya yang terasa nyeri. Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia hembuskan perlahan-lahan. Sekejap dadanya terasa lapang. Kemudian ia berdiri di pinggir jalan hendak menyetop angkot.

            “Bang. Bang Nago!”
            Nago menoleh, Atos berlari-lari kecil menghampiri lelaki itu. “Saya mengikuti Abang dari simpang sana. Semula saya bimbang. Tapi setelah dekat, baru saya yakin yang berjalan di depan, adalah Abang.”
            “Tumben kamu kok di sini?”
            “Saya sudah seminggu di sini. Apa Abang tidak tahu, sekarang Jakarta sedang sibuk. Sibuk soal pilihan presiden. Saya ikut rombongan tim sukses. Di samping itu banyak peristiwa yang dapat dijadikan berita di sini.”
            “Oya. Tapi kamu harus hati-hati. Bisa-bisa kamu dituduh teroris,” gurau Nago.
            Atos tergelak. “Abang ini ada-ada saja.”
            “Kamu sudah makan?”
            “Kebetulan. Saya memang lapar. Kita ke Senen, di sana ada warung Padang.”
            Tampaknya Atos memang lapar. Di warung Padang itu, ia bertambuh sampai tiga kali. Selesai makan ia minta segelas kopi. “Bang. Saya ingat Buya Katib Agam. Bagaimana kabar beliau?” Tiba-tiba Atos bertanya.
            “Beliau telah dijatuhi hukuman.”
            Batuk-batuk kecil mendengar jawaban Nago. “Bagaimana mungkin seseorang yang tak bersalah dijatuhi hukuman,” tukas Atos datar. “Saya kira kedailan telah dipermainkan.”
            “Barangkali itulah situasi di negara ini. Saya bukan orang politik atau ahli hukum. Tampaknya kita harus bersabar menunggu perubahan.”
            Atos membakar rokok yang sejak tadi diselipkan di bibir. Ia menawarkan rokok pada Nago. “Konflik internal di negeri ini semakin tidak menentu. Sementara itu pemerintah dalam posisi lemah. Korupsi merajalela di mana-mana.”
            Asap rokok Atos mengambang ke udara. “Saya melihat kita telah tercabik-cabik. Masing-masing kita sudah tak merasa aman tinggal di negeri sendiri. Di mana-mana bom meledak. Dan para petinggi keamanan negeri ini bergerak setengah-setengah. Hangat-hangat cirit ayam. Mereka selalu mendua.”
            “Justru karena itu, kita perlu perubahan. Tidak boleh sepotong-potong. Jangan hanya kita bebankan saja pada pemimpin. Rakyat pun harus ikut aktif melakukan perubahan.”
            “Bernas juga pikiran Abang.”
            “Saya hanya melihat realita yang terbentang.”
            Panas mulai lindap, menjelang sore.
            “Oya, Abang menginap di mana?”
            “Saya menginap di losmen sana. Losmen itu murah meriah. Saya kan hanya turis lokal. Lagi pula saya ke sini atas kemauan sendiri. Tentu saja tidak ada SPJ (surat perintah peejalanan).”
            Tersenyum Atos. Ia lalu menggamit pelayan dan membayar makan dan minum mereka. “Rombongan tim sukses telah kembali ke P. Jadi sekarang, saya nginap di rumah Om. Kalau Abang tidak keberatan, kita ke sana.”*** (Bersambung....20)

Dari Meja Kerja Amran SN
Padangsarai - Sumatera Barat, Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar