Rabu, 27 Juli 2011

KECAPI NAGA (2)

2

Lima Mustika Alam

Kini Kati Muno yang telah muncul di alam nyata. Setelah membunuh Westenk Jr, ia keluar dari hotel. Langkah cepat lelaki itu cepat bagai orang berlari, dalam sekejap Kati Muno telah berada di trotoar.
Orang ramai mengerling heran menyaksikan Kati Muno, karena lelaki tersebut tidak peduli pada ramainya kendaraan berlalu-lalang. Ia menyeberang tanpa menoleh ke kiri dan kanan, menyelenong seenaknya.
Pengemudi angkutan kota menginjak rem mendadak ketika hampir menabrak Kati Muno. Para penumpang bersusun ke depan. Ada di antaranya yang benjol.
“Kampungan lu. Apa pengen mati!” Sopir angkot memaki. Kemudian angkot itu melaju lagi.
Kati Muno hanya menyeringai mendengar makian tersebut. Lelaki tersebut menyeberang bolak-balik.
Seseorang yang berdiri di seberang jalan menggumam,”Aneh juga orang ini.” Ia mendekati Kati Muno dan menyapa. “Kamu dari desa, ya?” Orang itu memandang Kati Muno dari ujung rambut sampai ujung sepatu.
Dilihat dari penampilannya, Kati Muno tidak terkesan kampungan. Pakaian yang dipakainya terbuat dari bahan impor, modelnya pun model masa kini. Rambutnya disisir rapi. Hanya saja orang tersebut heran karena cara Kati Muno menyeberang seenaknya, dan bolak-balik seakan-akan kurang kerjaan.
“Desa? Saya tidak punya desa.”
“Lalu kamu dari mana?”
Kati Muno menunjuk ke atas.
“Kamu datang dari langit. Akh, yang benar aja.” Sekali lagi orang itu mengamati Kati Muno dengan cermat. Jangan-jangan dia baru lepas dari Grogol. “Kalau kamu dari langit. Pastilah makhluk UFO.”
“Barangkali ya.”
Orang tersebut berpikir sejenak. Muncul akal bulusnya seketika,”Orang desa ini jelas makanan empuk. Mudah dikerjai,” gumamnya. “Tuan makhluk UFO mau ke mana? Saya punya mobil omprengan. Boleh saya antar ke mana tujuan, tuan,” katanya kemudian.
Kati Muno menyeringai. Matanya mencorong tajam menatap orang tersebut. Tapi kemudian tersenyum. “Ya, denai makhluk UFO. Denai mau ke rumah teman. Dia tinggal di Caracas. Ayo kita berangkat,” ujar Kati Muno.
Surut selangkah orang itu ketika bertemu pandang dengan Kati Muno. Cahaya mata lelaki tersebut amat kuat bagai hendak membakar. Iim, lelaki itu membuka mebuka pintu mobil, ia mempersilahkan Kati Muno masuk. Dia kemudian menggamit Somad yang sedang main catur di warung sana.
Somad, lelaki bertampang sangar itu bergegas mendekati Iim. Lelaki itu tersenyum pada Kati Muno, ia lalu duduk di samping Iim. Sedangkan Kati Muno duduk di belakang. “Kamu dapat tumpangan ini?” tanya Somad.
“Ya, kita dapat kijang patah kali ini.”
Somad terkekeh. Lalu mengerling ke belakang, dan manggut-manggut. Sedan omprengan itu melaju.
Kati Muno duduk santai di belakang, ia melihat keluar, memandang kendaraan berlalu lalang di luar sana. Lelaki itu tampak terkagum-kagum menyaksikan bangunan yang menjulang tinggi.
“Dapat di mana kijang ini?”
“Dia datang sendiri.”
“Apakah dia punya uang?”
“Oh, soal itu saya kurang tahu. Tapi dari lagaknya, dia pasti punya uang banyak. Lihatlah pakaiannya. Sepertinya ia orang desa yang baru saja jual tanah, “ sahut Iim.
“Oh, soal uang, jangan kalian cemaskan,” tukas Kati Muno. Ia segera merogoh kantong celananya. Dan mengeluarkan segumpal dolar. Kemudian menarik selembar cek dan mengacungkan ke depan. “Denai akan membayar secukupnya. Asal bisa mengantar denai sampai ke tujuan.”
Somad dan Iim sejenak saling bertukar pandang.
“Bisikanmu terlalu keras. Dia mendengarnya,” ujar Iim pelan.
“Tuan, jangan ragu. Tuan pasti antar sampai tujuan,” tukas Somad seraya mencolek paha Iim. Kemudian keduanya terkekeh.
Kati Muno mendehem.
Kendaraan itu terus melaju.
Lewat sebuah persimpangan, mereka membelok ke kiri. Mobil itu berhenti pada kawasan sepi. Somad turun, ia melangkah ke belakang, membuka pintu dan menarik lengan Kati Muno. “Turun!” seru lelaki itu.
Kati Muno terpana, tapi ia segera turun. “Kenapa berhenti di sini. Apakah kita sudah tiba?” Ia bertanya polos.
Somad tidak menyahut. Lelaki itu mencabut pistol di pinggang. Lalu mengacungkan ke pelipis Kati Muno. “Keluarkan uangmu!” Somad mengancam.
“Bagaimana kalau denai menolak?”
Somad menekankan laras pistol ke pelipis Kati Muno. “Pelipismu akan meledak!”
Namun Kati Muno tak bergeming. Sedikit pun laki-laki itu tidak peduli dengan ancaman tersebut. Ia malah menyeringai menatap Somad. Tampak taringnya menyembul, taring ular. Ia menjulurkan tangan lengannya, mengambil pistol di tangan Somad. Sangat cepat gerakan itu.
Somad tidak sadar bagaimana pistolnya berpindah tangan.
“Ini bukan pistol. Kamu lihat sendiri.” Kati Muno meremas pistol tersebut, pistol itu remuk bagai kerupuk pecah. Ia lalu membuangnya ke tanah.
Somad terbelalak. Lebih terperanjat lagi ketika Kati Muno menangkap lehernya. Laki-laki itu coba berontak tapi Kati Muno lebih kuat, lehernya seperti terkunci gembok besi. Berikutnya, Kati Muno menerkam leher korbannya itu. Lalu menghirup darah Somad. Somad lemas terkulai. Laki-laki itu mengelosor ke tanah. Tewas!
Menyaksikan kejadian tersebut, mengucur kencing Iim di celana. Betapa tidak, demikian mudah Somad dihabisi oleh Kati Muno. Segera Iim menghidupkan mesin mobil. Sedan itu menderu-deru. Anehnya, mobil itu tak bergerak seinci pun. Ia menoleh ke belakang, ia melihat Kati Muno mengangkat mobil. Iim memekik, berusaha membuka pintu hendak keluar. Tapi pintu tersebut macet.
Sementara itu buntut mobil Iim terangkat makin tinggi. Kepala sedan itu menukik ke bawah. Lalu sedan itu rebah kuda. Iim memekik histeris.
Belum puas Kati Muno agaknya. Bukan saja menjungkalkan mobil dan tiba-tiba mulut Kati Muno menganga lebar. Api menyembur dari mulut Kati Muno ke arah sedan yang terbalik. Cepat sekali api membakar kendaraan tersebut dan menjilat bensin yang tumpah.
Iim keluar dari mobil dengan susah payah. Sungguh malang nasib lelaki itu, tubuhnya dilalap api. Ia menjerit dan bergulingan di tanah.
Kati Muno ketawa puas. Ia berkelabat kencang meninggalkan Iim yang sekarat. Matahari kian garang memancarkan sinarnya. Burung-burung yang melintas di kawasan itu, tiba-tiba kehilangan tenaga, jatuh terhempas ke bumi.

*

Senja telah turun di bungalow itu. Matahari sempurna masuk ke peraduannya. Saat itu pula tampak Kati Muno memasuki halaman bungalow. Ia melompati pagar dengan enteng sekali, tanpa menimbul suara.
Sementara itu serdadu-serdadu mondar-mandir berjaga di halaman bungalow. Di samping gardu jaga berdiri seorang serdadu dengan wajah kaku. Saat Kati Muno melintas, serdadu tersebut berteriak lantang,”Hei!”
Teriakan lantang itu disertai kokangan senjata di tangan serdadu itu. Dan teriakan itu membuat serdadu lainnya menoleh.
Kati Muno tertegun sejenak. Tapi kemudian ia acuh tak acuh, terus melangkah memsuki halaman.
“Berhenti!” Serdadu jaga membidikkan senjatanya ke arah kati Muno. Ia melompat keluar dari gardu menghampiri Kati Muno.
Namun tanpa diduga Kati Muno bergerak secepat kilat, ia menarik senjata yang ditodongkan padanya. Belum sempat berpikir, serdadu itu terhempas. Rahangnya dihantam popor senjatanya sendiri!
Lima orang serdadu lainnya segera mengepung Kati muno. Mereka mengacungkan senjata ke arah lelaki tersebut. Salah seorang dari mereka maju ke depan dan bertanya, ”Siapa tuan?”
Mencorong tajam mata Kati Muno. Ia mendengus sinis memandang kelima serdadu tersebut. “Denai ingin bertemu dengan Anurangga.” Suara itu menggema.
Kelima serdadu saling bertukar pandang. Siapakah orang ini? Demikian lancang menyebut nama Anurangga tanpa menggunakan kata “Tuanku”. Serdadu yang maju ke depan tadi memberanikan diri bertanya. “Tuan ingin bertemu tuanku?”
“Ya, suruh dia menyambut denai.”
Makin geram serdadu-serdadu tersebut. Mereka mengokang senjata, segera hendak menghabisi Kati Muno.
“Minggirlah. Denai tidak berselera mebunuh kalian!”
Tentu saja ucapan Kati Muno tidak mereka pedulikan. Mereka maju lebih dekat lagi. Jari mereka siap menarik pelatuk senjata. Jika Kati Muno bergerak sedikit saja, maka senjata di tangan para serdadu itu meledak. Dapat dibayangkan bila lima pucuk senjata otomatis meledak bersamaan, dan menghantam Kati Muno.
Saat yang genting itu, Slang dan manusia kucing muncul.
“Tahan!” Slang berseru keras.
Serdadu-serdadu itu mendengar suara Slang. Mereka segera menurunkan laras senjata, menunda niatnya menembak Kati Muno.
Dan Slang berlari-lari kecil menghampiri Kati Muno. Ia mencium tangan Kati Muno. “Selamat datang, Guru. Tuanku Anurangga telah menunggu,” ujar Slang.
Kati Muno ketawa terbahak-bahak. Suara ketawa itu menggema sampai jauh. Seekor burung kecil yang melintas di udara, jatuh ke tanah. Sedangkan serdadu-serdadu tadi melongo. Nyali mereka ciut seketika.

Gembira Anurangga menerima kedatangan Kati Muno. Seketika Kati Muno mengerling pada Olivia. Anurangga segera berkata,” Lupakah guru pada Puti Galang Banyak. Dia istri denai.”
Sekali lagi Kati Muno mengamati perempuan muda itu. “Oh, tidak. Hanya saja ketika itu ia masih ingusan. Sekarang ia telah tumbuh menjadi perempuan yang jelita. Lagi pula gayanya sudah berubah,” tukas lelaki tersebut. Dan sekali ia mengerdip pada Olivia.
Jengah juga Puti Galang Banyak menerima kerdipan lelaki tersebut. Kendati pun usia Kati Muno ratusan tahun, tapi penjelmaan kali ini, ia tampak muda dan ganteng.
“Dan Silangkaneh, kamu masih seperti dulu. Tetap bergaya banci,” Kati Muno melayangkan pandangannya pada Slang. Kemudian pada manusia kucing. “Bukankah kamu Kucing Air Kuning. Setahu denai, kalian kembar. Mana kembaranmu?”
Ketawa Kucing Air bagai kucing merungus. “Benar guru. Kami memang kembar. Tapi saudara saya, Kucing Air Merah tewas dibunuh Nago Salapan.”
“Nago Salapan? Ternyata anak nakal itu semakin besar kepala setelah dididik Janaka Mantrolot. Dia memang penghalang nomor satu!”
Anurangga mengangguk.
“Tapi kini setelah kita bergabung. Dia akan lenyap dari muka bumi ini, selama-lamanya.”
“Ya, guru. Tapi kita harus hati-hati. Dia dan Puti Rinjani memiliki senjata pamungkas untuk memusnahkan kita. Senjata itu adalah, Selandang Pembunuh Anggang dan Kecapi Naga.”
Diam Kati Muno sejenak. Pikirannya menerawang ke masa lalu. Masa itu ia berbuat onar di ranah Minangkabau, membunuh semua orang, yang tidak sepaham dengan dia.
Perbuatannya itu didengar oleh Datuk Perpatih nan Sebatang. Mereka bertemu dan bertarung sampai seribu hari. Tidak ada yang kalah atau menang. Dan suatu saat Perpatih nan Sebatang mengeluarkan senjata Kecapi Naga dan Selendang Pembunuh Anggang. Kati Muno tewas. Tubuh lelaki tersebut hancur lebur dihantam kedua senjata sakti tersebut.
Bergidik Kati Muno mengingat peristiwa tersebut. Tapi dia adalah tokoh maha jahat, jauh lebih sakti dari Anurangga. Lagi pula di Alam Antah Berantah, Kati Muno berguru dengan sang Dajjal. “Kelak bila engkau kembali ke dunia fana, untuk melengkapi kesaktianmu, carilah lima mustika alam. Dengan kelima mustika tersebut, engkau tidak akan terkalahkan,” pesan gurunya itu.
“Mustika alam. Benda apakah itu?”
“Dengarlah baik-baik. Dulu sebelum alam semesta ini diciptakan Tuhan. Tuhan mengambil lima buah batu di bawah Arsy. Kelima buah batu tersebut dijadikan penyangga antara langit dan bumi. Setelah bumi tidak memerlukan lagi untuk menyanggah langit. Tuhan melemparkan kelima mustika tersebut, ke lima penjuru bumi.”
“Lalu apa hubungannya, keabadian seseorang dengan lima mustika itu?”
“Kati Muno, kamu jangan bego! Tanpa kesaktian lima mustika ini, bumi dan langit tidak akan berpisah. Lalu jika kamu memiliki lima mustika alam, maka kamu dapat menghancurkan bumi setiap saat.”
Kati Muno menjelaskan petuah Dajjal tersebut pada mereka yang hadir dalam pertemuan itu. “Mustika yang pertama, mustika Api. Mustika itu bewarna merah darah. Sedangkan mustika kedua bewarna putih jernih. Mustika ketiga, yaitu mustika Tanah yang bewarna hitam. Lalu mustika Angin dan Kayu!”
Semua yang hadir mendengar penuturan tersebut Kati Muno manggut-manggut. Bagi mereka kisah yang dituturkan Kati Muno adalah hal baru. Sebab mereka tidak sezaman dengan lelaki tersebut. Dalam tambo disebutkan waktu kehidupan Kati Muno; bumi masih belum berkembang seperti sekarang, tidak ada benua-benua. Apalagi pulau-pulau. Zaman tersebut disebut zaman Alun Barabalun. Hal ini membuat Anurangga tergelitik untuk bertanya.
“Denai takjub akan penuturan Guru. Tapi denai ingin bertanya. Bolehkah?”
Kati Muno mengangguk.
“Guru menyebutkan ada lima mustika alam. Apakah Guru telah mendapatkan kelima benda sakti tersebut. Di mana benda tersebut sekarang?”
Kati Muno tersenyum. “Lima mustika itu ada di bumi ini. Justru karena itulah denai lahir kembali. Dan keluar dari Alam Antah Berantah. Mustika itu harus kita cari, bagaimana pun caranya.”
“Saya bersedia membantu Guru,” sahut Slang.
“Bagus. Besok ita segera mencari. Anurangga dan manusia kucing ke daerah lain.”
Anurangga mengangguk. Sementara itu Olvia merasa tertinggal, ia segera menukas. “Bagaimana dengan saya. Apa tugas saya?”
“Oho, anak manis. Kamu jangan tersinggung. Tapi untuk saat ini, kamu tetap di bungalow. Denai khawatir, musuh-musuh kita akan ke mari. Dan segala rencana kita jadi berantakan.”

*

Keesokan hari, Kati Muno dan Slang terlihat di jalan Surabaya, sebuah kawasan yang terkenal di Jakarta, menjual dan membeli barang antik. Buka saja turis domestik tapi turis mancanegara pun datang mencari benda-benda antik ke sini.
Kedua orang tersebut, masuk toko keluar toko, masuk kios keluar toko untuk mencari benda yang mereka cari. Hampir dua jam mereka berkeliling di kawasan tersebut, namun mereka belum juga menemukan satu mustika alam saja.
Slang mengarukgaruk kepalanya, sejenak menghilangkan stresnya. Lelaki itu mengerling pada kati Muno, wajah lelaki tersebut tampak kusam. Kusam karena kesal.
“Mungkin kita harus mencari ke tempat lain. Atau ke daerah lain,” usul Slang.
Tetapi ketika Kati Muno hendak meninggalkan kawasan tersebut. Tiba-tiba Slang melihat sebuah kios dekat jalan keluar. “Guru, untuk menghilangkan was-was kita. Coba kita msuk kios itu,” ujar Slang. Kati Muno mengangguk.
Kios itu tampak sepi, seakan-akan tidak ada penghuninya. Slang memanggil berkali-kali. Akhirnya, seorang tua muncul dari belakang. “Tuan. Tuan mau cari apa?” Orang tua itu menyapa.
“Kami mau mencari suatu benda. Benda antik, tentunya.”
“Ohh, ada tuan. Barang-barang antik saya beragam. Silahkan tuan lihat. Semuanya asli,” tukas orang tua itu.
“Denai mencari mustika alam.”
“Mustika alam. Semacam batu akik ya?.”
“Begitulah…”
Orang tua itu manggut-manggut. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari etalase. Ia membuka kotak itu dan memperlihatkan sebuah batu delima. “Ini batu merah delima. Batu langka. Tapi tuan boleh mengujinya.”
“Bagaimana cara mengujinya?”
Orang tua itu tersenyum. Ia mengambil lima gelas dan mengisi kelima gelas tersebut dengan air putih. Dia memasukan batu delima ke dalam gelas yang berada di tengah. Sejenak ia menoleh pada kedua tamunya. Kemudian mengalihkan pandangannya ke gelas yang berderet di atas etalase.
Beberapa saat kemudian, muncul buih dalam gelas batu merah delima. Dan air dalam gelas seketika menjadi merah. Tersenyum orang tua tersebut, ia mengerling pada kati Muno dan Slang. Saat yang bersamaan, air dalam gelas di kiri kanan pun berubah merah.
Ada perasaan bangga di wajah orang tua itu. “Tuan saksikan sendiri, betapa air di gelas lainnya menjadi merah pula. Inilah batu delima asli. Saya kira inilah batu yang tuan cari.”
“Sungguh menakjubkan, “ tukas Slang memuji.
Kati Muno mendehem. Lalu mencibir. Sorot matanya mencorong ke arah orang tua tersebut. “Akal bulusmu sungguh hebat. Tapi denai tidak mungkin engkau tipu,” kata Kati Muno. Ia mengambil batu merah delima dalam gelas. Sejenak ia mengamati batu tersebut. Lalu menatap orang tua itu kembali.
Orang tua itu terperanjat.
“Perlihatkan tanganmu!” Kati Muno berseru lantang.
Seketika ciut nyali lelaki tua tersebut. Gemetar ia memperlihatkan telapak tangannya. Sepintas lalu, orang tidak akan mengetahui apa yang ada di telapak tangan orang tua tersebut. Tapi mata Kati Muno luar biasa tajam dan awas, ia dapat melihat serbuk putih hinggap di telapak tangan si tua.
“Kini kamu pegang gelas itu kembali!”
“Tapi tuan…”
“Ayo!”
Gemetar tangan orang tua itu. Ia menyentuh gelas-gelas di atas etalase. Ternyata dugaan Kati Muno benar. Tanpa batu merah delima dalam gelas, air kelima gelas itu jadi merah. Serbuk putih yang ada di telapak tangan si tua, menguap ke dalam gelas-gelas tersebut. Memang si tua telah meramu serbuk putih sedemkian

“Grrrhhh!”
Kati Muno mencekal leher orang tua tersebut. Tubuh si tua terangkat naik.” Kamu akan selamat bila mengatakan di mana Mustika Api yang asli berada.”
Orang tua itu terbatukbatuk ketika Kati Muno menghempaskannya ke lantai. Dia tersengal-sengal seraya meraba lehernya. Wajah si tua pucat bagai kertas kumal kena air. “Saya tidak tahu apa itu Mustika Api,” sahut orang tersebut ketakutan.
“Mustika Api itu mirip dengan batu merah delima. Benda tersebut mempunyai tujuh star atau tujuh bintang. Denai yakin kamu pernah melihatnya.”
“Ya, pernah. Tapi tuan berdua jangan menyakiti saya.”
“Tidak, bila kamu dapat memberikan keterangan yang sebenarnya.”
Si Tua mulai lega. Ia mereguk air di gelas. Terpena sejenak. “Sebulan yang lalu ada seseorang datang ke kios ini. Seperti juga tuan, ia mencari Mustika Api.”
“Kamu menjual mustika tersebut pada dia. Siapa namanya?”
“Ya, saya menjual mustika tersebut padanya. Tapi, saya lupa nama?”
Orang tua itu membisu.
“Coba kamu ingat,” Kati Muno mendesak.
Lagi-lagi orang tua tersebut membisu. Ketika Kati Muno menyeringai, terlihat taring menyembul di rahangnya. Lelaki tua itu tergagap-gagap. “Ya, saya ingat. Pembantunya memanggil orang tersebut Mbah Bejo.”
“Di mana dia tinggal?”
“Dia tinggal di kaki gunung Tangkuban Perahu.

Setelah mendapat informasi dari orang tersebut, kati Muno dan Slang segera berangkat. Orang tua itu melongo memandang kepergian mereka. Dan tiba-tiba dadanya berdenyut-denyut. Lalu terhenyak di lantai, mulutnya berbusa-busa. Jelang beberapa saat, ia kejang-kejang. Orang tua itu tewas dengan mata mendelik.

*

Padepokan Mbah Bejo

Padepokan Mbah Bejo terletak di desa, di kaki gunung Tangkuban Perahu. Orang desa di sana menyebutnya “Orang Pintar”. Mbah Bejo bukan saja populer di desa tersebut, dia juga terkenal sampai ke Ibukota dan daerah lain. Konon banyak orang kota minta pertolongan pada Mbah Bejo.
Berbagai masalah yang terjadi memang tidak selamanya bisa diselesaikan oleh manusia, karena memang kemampuannya terbatas. Disaat ini, di tengah-tengah krisis, orang sering kali kehilangan akal sehat sehingga mereka coba mencari alternatif lain untuk menyelesaikan persoalannya dengan hal yang tidak lumrah.
Setiap hari padepokan Mbah Bejo selalu ramai dikunjungi orang. Mereka minta pertolongan kepada Mbah Bejo, umumnya orang minta tolong berhubungan dengan penyakit seperti kena guna-guna, kena santet. Di samping itu ada juga yang berobat karena mengidap kanker payudara, rahim dan mencari jodoh, penglaris usaha. Kebanyakan orang kota yang datang ke sana untuk minta naik pangkat, disayang bos, disayang suami dan sebagainya.

*

Senja berkabut di kaki gunung Tangkuban Perahu. Sebuah jip masuk ke desa tersebut. Bunyi mesin jip menderu-deru karena melintasi jalan tanah yang menanjak. Slang beberapa kali harus menukar perseneling. Kadang kendaraan tersebut berguncang keras karena rodanya terganjal batu atau masuk lobang.
“Sudahlah. Kita turun di sini saja,” kata Kati Muno tak sabar. Ia segera melompat turun.
Slang mematikan mesin. Lalu mengikuti langkah Kati Muno, berkelabat cepat menuju padepokan Mbah Bejo.
Kendati pun padepokan Mbah Bejo jauh dari jalan raya tapi listrik telah amsuk ke sana. Pada sebuah tenda tampak orang ramai menunggu. Pasien yang hendak berobat dan ingin bertemu dengan Mbah Bejo harus mendaftar terlebih dahulu.
“Ramai juga orang di sini,” tukas Slang.
“Denai tidak suka birokrasi macam ini.”
“Ya, tampaknya kita juga harus lapor.”
“Persetan dengan semua itu!”
Tanpa peduli, Kati Muno menyelenong masuk, masuk melewati petugas penerima tamu. Slang pun ikut bergegas. Tiba-tiba ia ditegur petugas tersebut. “Catatkan nama tuan,” kata petugas itu.
Tertegun sejenak Slang. Namun ia mengikuti langkah Kati Muno. Orang ramai melongo. Segera petugas bangkit dan menahan Slang. “Tuan harus menunggu giliran. Jangan seruduk wae!”
Slang menatap lelaki yang memegang lengannya. Ia mengibaskan tangan orang tersebut. Pelan kibasan itu tapi lelaki yang memegang Slang, meringis kesakitan. Ia seperti kena sengatan listrik. Ngilu lengannya seketika.
Sementara itu, di dalam sana Mbah Bejo sedang menerima tamu seorang lelaki. Lelaki tersebut memakai safari abu-abu, usianya sekitar 40-an. Ia duduk bersimpuh di hadapan Mbah Bejo.
Mbah Bejo belum berusia separuh baya. Tapi dengan dandannya, memakai blangkon warna hitam, berjanggut keperakan menjuntai di dagunya, ia tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Jemarinya dipenuhi batu akik, lengannya kanan bergelang akar bahar.
Mbah Bejo duduk di atas tilam beralaskan kain sutra merah muda. Di depannya ada tungku perapian yang terbuat dari tanah lempung. Suasana tampak menyeramkan karena dari perapian tercium bau kemenyan. Di samping lelaki tersebut, ada baskom besar berisi air yang ditaruh bunga-bungaan.
Pada cerung ruangan tampak benda-benda aneh. Ada tengkorak manusia, tengkorak harimau, tengkorak srigala. Pun ada boneka-boneka kayu berbentuk aneh. Lampu yang menerangi ruangan praktek Mbah Bejo redup, membiaskan warna kelam.

“Apakah jalan saya akan mulus jadi Walikota, Mbah?” lelaki berpakaian safari tersebut bertanya.
Mbah Bejo manggut-manggut. Ia mengambil serbuk kemenyan dari kotak kecil. Lalu menyiramkan ke perapian. Asap mengepul semakin tinggi dengan aroma kemenyan. Ruangan itu semakin terasa magis.
Dan mata Mbah Bejo mengikuti kepulan asap yang menjulang. Kemudian dia berkedip-kedip. Tiba-tiba sekujur tubuh lelaki tersebut bergetar, menggigil. Lalu matanya mendelik-delik. Sesaat kemudian, ia normal kembali seraya mengusap wajahnya.
“Tuan bilang apa tadi?”
“Apakah saya akan jadi Walikota?”
“Walikota…Eh, siapa nama tuan?”
“Bukankah sudah saya katakan pada Mbah.”
“Saya ingin mendengarnya sekali lagi. Sebab Ki Samudra Reksa yang masuk ke raga ini, menanyakan namamu.”
“Nama saya, Barda Wiyogo,” kata lelaki itu seraya menyodorkan kartu namanya.
Mbah Bejo ketawa senang. “Nama anda akan membawa keberuntungan. Tapi tentu ada syaratnya.”
Barda Wiyigo menyeka keringat dengan sapu tangan. Entah kenapa tiba-tiba ia berkeringat. “Saya sudah memberikan syarat itu pada Mbah,” katanya kemudian.
Tersenyum Mbah Bejo. “Ya, kamu sudah membawa bunga tujuh ragam. Sekepal menyan Hindustan. Dan…”
“Lima juta rupiah,” sambung Barda Wiyogo.
“Ya, tapi menurut Ki Samuddra Reksa, kamu harus tambah lagi.”
Calon Walikota tersebut kembali berkeringat. Tapi kemudian ia merogoh kantong safarinya. Dari kantong itu ia keluarkan amplop tebal. “Saya tambah tiga juta lagi, Mbah.”
Cepat Mbah Bejo menarik amplop di tangan lelaki tersebut. Ia tidak menghitungnya, segera saja ia masukan ke kantong bajunya. Mbah Bejo terkekeh, wajahnya ceria. Berikutnya, bibir Mbah Bejo komat-kamit. Kedengaran suara mendengung-dengung. Mata lelaki itu terpejam. Ketika ia membuka mata kembali, Mbah Bejo berkata,”Untung tuan cepat melengkapi syarat yang diminta oleh Ki Samudra Reksa. Sedikit saja terlambat, maka jabatan itu akan disambar orang lain.”
“Ada yang akan menyambarnya?”
“Ya.”
“Mbah bisa mengatakan siapa lawan saya itu?”
Mbah Bejo tidak langsung menjawab. Ia mengaduk-aduk air bunga dalam baskom. Matanya terpejam lagi, bibirnya komat kamit. “Orang itu musuh dalam selimut!”
“Musuh dalam selimut. Pasti dia,” tukas Barda. “Menurut Mbah siapa dia?”
“Tuan pasti sudah tahu siapa orangnya.”
Barda menyeka keringatnya yang mengucur di dahi. Lalu mengangkat wajahnya memandang Mbah Bejo. “Bolehkah saya pulang?”
“Tentu saja. Tapi kalau ada kendala, datanglah ke pedepokan ini. Pintu saya terbuka 24 jam untuk tuan calon Walikota. Dan jangan lupa bawa oleh-oleh.” Mbah Bejo terkekeh.
Barda keluar, ia berpapasan dengan Kati Muno. Kati Muno melangkah masuk dan kini berdiri di depan Mbah Bejo.
Mbah Bejo menatap heran pada lelaki yang berdiri di depannya. Tidak biasanya seorang tamu yang berkunjung, bersikap seperti itu. Pengunjung yang masuk ke ruangan tersebut, langsung bersimpuh dan mencium tangan Mbah Bejo.
Bahkan lelaki tersebut tidak mengalihkan pandang ketika bertemu tatapan mata Mbah Bejo. Sebaliknya dia menyorotkan matanya yang bercahaya tajam. Tajam setajam mata pedang. Anehnya, tilam tempat duduk Mbah Bejo, jadi panas membara. seperti terbakar!
“Kamukah Mbah Bejo?” Kati Muno masih berdiri.
Mbah Bejo menarik nafas dalam-dalam. Kini ia merasa stabil lagi. “Ya, saya Mbah Bejo. Tuan perlu bantuan apa?”
Sinis pandangan Kati Muno. Matanya memandang sekujur sosok Mbah Bejo yang duduk di tilam tersebut. Ia melihat sebentuk cincin yang melingkar di jari lelaki itu. Ya, benda tersebutlah yang dicarinya. “Ada sesuatu yang denai minta darimu,” ujar Kati Muno bernada tinggi.
“Tuan membutuhkan pertolongan saya? Tapi tuan harus duduk bersimpuh di hadapanku,” balas Mbah Bejo.
Sekonyong-konyong Kati Muno ketawa terbahak-bahak. Ruangan itu bergetar hebat. Benda-benda yang ada di dalam sana bergotang bagai diguncang gempa.Lidahnya yang bercabang dua menjulur.
Perapian di depan Mbah Bejo meletikkan bunga-bunga api. Dan air bunga dalam baskom muncrat menyiram wajah lelaki tersebut.
“Kamu kira engkau siapa!” Kati Muno membentak.
Mbah Bejo mengusap wajahnya yang basah. Nyalinya ciut sesaat. Bibirnya kemudian komat-kamit, membaca mantera. Percaya dirinya kembali lagi. “Tamu ini berisi juga,” gumamnya. Kini ia lebih waspada. “Tuan jangan sombong!” Mbah Bejo balas membentak.
“Serahkan cincin Mustika Api itu!”
“Mustika Api. Oh, maksud tuan Mustika Agni. Tuan jangan sombong dulu. Tidak mudah mendapatkan benda ini. Saya bertapa 40 hari di puncak gunung Tangkuban Perahu, barulah Mustika Agni ini kudapat.” Selesai berkata demikian, Mbah Bejo menancapkan jarum ke boneka yang dipegangnya.
Seketika Kati Muno terhuyung ke belakang, ia memegang perutnya, perut itu seperti ditusuk jarum. Sementara melihat lawannya kesakitan, Mbah Bejo terus menghunjamkan jarum-jarum ke boneka berkali-kali.
Kati Muno berguling-guling di lantai.
“Mampus kau!”
Kati Muno terus berguling di lantai. Ia memegang perut, dada, dan wajahnya. Mbah Bejo semakin garang menghunjamkan jarum-jarum ke boneka. Itulah ilmu Santet yang dimiliki lelaki tersebut. Jangankan korban berdekatan, jauh di seberang lautan pun akan tewas disantet.
Tiba-tiba ruangan itu berguncang hebat. Kedengaran suara ketawa terbahak-bahak. Kati Muno berdiri di depan Mbah Bejo, ia menyeringai. Wajah lelaki tersebut tampak menakutkan. Lidahnya yang bercabang dua menjulur.
Mbah Bejo terkesiap.
“Kamu sangka permaian anak-anak itu bisa membunuh denai,” ujar Kati Muno. Boneka di tangan Mbah Bejo berpindah ke tangan lelaki tersebut, saat ia menjulurkan lidahnya. Kati Muno kemudian menginjak-injak boneka tersebut sampai lumat.
Berkeringat sekujur tubuh Mbah Bejo.
“Sekarang berikan Mustika Api itu!”
“Tapi mustuka ini milik leluhur saya. Mustika itu milik Ki Samudra Reksa. Mohon jangan tuan ambil. Tuan bisa kualat.”
“Hmm. Kamu jangan dusta. Mustika itu kamu beli pada kios penjual barang antik?”
Makin berkeringat Mbah Bejo. Kerongkongannya semakin kelat. Tapi ia berusaha juga berkilah. “Benar tuan. Tapi semua itu atas wangsit Ki Samudra Reksa, ketika saya bertapa.”
Mendengus Kati Muno. “Biar denai berurusan dengan Ki Samudra Reksa.” Saat bersamaan Kati Muno mencopot cincin merah delima itu dari jari Mbah Bejo.
Mbah Bejo melongo. Ia melihat cincin merah delima itu telah berpindah ke jari Kati Muno. Dalam pada itu Slang muncul. “Guru telah selesai?”
“Ya, dia menyerahkan mustika itu,” sahut Kati Muno seraya memperlihatkan cincin melekat di jarinya.** (Bersambung...3)

Dari meja kerja Amran SN
Padangsarai Sumatera Barat, Juli 2011

2 komentar:

SUTAN RAJO LELO mengatakan...

assalamualaikum warah matulahi wabarakatu
salam hormat dari anak apak,sutan rajo lelo
.ucung kan jempol untuak APAK ku, masih berkarya
http://sutanrajolelo.blogspot.com

TAMBO DUNIA mengatakan...

Ok...thanks untuk jempolnya...sukses slalu

Posting Komentar