Jumat, 15 Juli 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (21)

21

Kematian


Udara cerah pagi itu. Ketika itu Nago dan Atos sedang di atas bis kota. Dari halte Tanjung Priok, mereka menuju kawasan Kuningan.
“Semalam Abang tidur di luar?”
Nago mengangguk.
“Sepertinya tadi malam ada gempa. Apa Abang tidak merasakan?”
“Benar. Justru karena itu saya pindah ke ruang tengah.”
“Kenapa Abang tidak membangunkan saya.”
“Kamu mendengkur semakin keras.”
Atos ketawa.

Sampai di Plaza Kuningan mereka turun. Atos mengajak Nago naik lift ke tingkat atas. Keduanya berkeliling melihat barang-barang yang dipajang di etalase. Penat berkeliling, mereka duduk bersandar ke pagar yang terdapat pada pinggiran toko. Dari sana mereka dapat melihat orang berlalu-lalang.
Sebagian pengunjung Mall adalah orang berduit atau anak orang kaya. Namun ada juga di antaranya dari masyarakat klas menengah yang kadangkala berkunjung. Kunjungan itu mereka jadikan sebagai rekreasi.
“Heran juga, orang bilang ekonomi sedang terpuruk. Atau bahasa yang lembut, bahwa ekonomi belum stabil. Tapi kalau kita lihat keadaan di sini, daya beli mereka kok begitu tinggi.”
“Yang belum stabil itu, ekonomi rakyat seperti kita ini. Kalau kelompok “the haves”, ya biasa-biasa saja. Kamu kok pura-pura begitu. Semua ini kan bukan rahasia umum lagi.”
“Benar Bang, sebebulan yang lalu saya ikut reses dengan anggota legislatif. Biaya perjalanan mereka lima juta setiap orang. Menurut SPJ mereka berkunjung selama seminggu, pergi pulang dengan pesawat terbang. Tapi tiga hari kemudian, mereka telah pulang. Tema perjalanan reses tersebut yakni mempelajari kelebihan daerah yang dikunjungi.”
“Barangkali itulah sebabnya sebagian anggota legislatif menjadi tersangka dalam kasus korupsi,” tukas Nago sambil mengerling pada Atos. “Dan kamu sebenarnya ikut pula menikmati perjalanan haram tersebut.”
“Abang ini gimana sih. Saya kan hanya pengikut,” Atos berkilah. Tapi kemudian ketawa.
“Ya, sudahlah. Lebih baik kita singgah ke kafe. Kita bisa minum atau makan nasi goreng di sana,” ajak Nago.

*

Dari kafe mereka keluar halaman Mall. Ketika itu hampir pukul 11 siang. Mereka menyeberang melintasi, melintasi zebra cross. Tiba-tiba Atos ingin merokok, ia mengeruk kantong kemeja, hendak mengambil rokok. Ia kecewa karena bungkus rokok dalam kantong kemejanya itu, kosong.
“Saya beli rokok dulu, Bang.” Atos singgah di kios pinggir jalan tersebut. Sementara itu Nago terus melangkah. Makin jauh dan makin jauh meninggalkan Atos.
Kawasan Kuningan memang kawasan ramai dan padat. Kendaraan berlalu lalang tanpa hentinya. Dan tanpa sadar Nago terus melangkah, ia seakan-akan melupakan Atos yang membeli rokok di kios sana.
Sebuah mobil boks telah dua kali melintasi kawasan tersebut. Lalu berhenti di depan Kantor Kedutaan.
Sekonyong-konyong kedengaran suara ledakan. Bumi berguncang!
Berhamburan benda-benda ke tas bagai kapas ditiup angin. Serpihannya jatuh dan menimpa orang ramai yang berlalu lalang. Atos terlempar. Kios rokok roboh. Hingar bingar, hiruk pikuk jadi satu. Selanjutnya Atos tidak tahu apa yang terjadi.
Kala ia sadar, Atos telah berada di rumah sakit. Ada luka lecet di kening dan kaki kirinya diperban, juga terasa nyeri di tumitnya. Ketika menoleh ke samping, beberapa orang mengalami nasib yang lebih buruk dari dia. Mereka mengerang-ngerang kesakitan, kadang menyebut nama Tuhan.
Rumah sakit tersebut semakin ramai dan terasa sumpek. Para pelayat berdatangan menjenguk keluarga masing-masing. Wajah mereka tampak cemas, ada yang menangis tersedu-sedu, dan ada pula yang memekik histeris. Mereka tidak tahan melihat korban tewas dengan menggenaskan.
Atos berusaha bangkit, ia gigit bibirnya menahan sakit. Akhirnya ia bisa berdiri. Seorang perawat muda menyodorkan tongkat pada Atos. “Anda harus menyangga tubuhmu dengan tongkat ini,” ujarnya.
Tiba-tiba Atos ingat Nago. Di mana lelaki tersebut. Apakah dia selamat? Atos berusaha bangkit dengan tongkat itu. Terpincang-pincang anak muda tersebut mengelilingi ruangan itu. Setiap orang atau mayat yang terbujur, ia perhatikan dengan seksama. Tidak ada Nago. Di antara desakan orang ramai, Atos keluar.

*

Di layar kaca diberitakan meledaknya bom berkekuatan tinggi di Kedutaan Australia, tercatat 100 orang lebih korban menderita cedera berat dan ringan. 90 orang tewas. Mass media cetak dan elekronik memberitakan peristiwa tersebut tak putus-putusnya.
Sementara itu aparat keamanan mensinyalir bom itu diledakkan oleh kelompok yang sama dengan mereka yang meledakan bom di Hotel Mariot dan Bali. Kemudian berbagai pendapat dilansir oleh pengamat di televisi, radio dan surat kabar. Ada yang memojokan keamanan dan polisi karena kurang peka serta tidak cepat tanggap.

*

Atos kembali ke P. Gugum terperanjat ketika melihat Atos terpincang-pincang berjalan. Dan dari Atos, lelaki tersebut mendengar penuturan bahwa Nago hilang dalam peristiwa meledaknya bom di Kedutaan Australia itu.
“Saya sudah mencari Bang Nago ke mana-mana. Ke penginapan, ke rumah teman-teman yang biasa kami kunjungi. Dan ke kantor polisi. Namun Bang Nago tidak ada,” kata Atos memelas. “Mestinya kami tidak ke sana. Padahal kami tidak punya urusan di kawasan itu.”
Gugum menengadah, terenyuh hati lelaki itu. Mereka baru saja bergaul beberapa bulan. Tapi kini Nago telah tiada. “Saya merasa kehilangan. Dia seorang sahabat yang baik dan sekaligus seorang guru. Masih banyak yang harus kita timba dari almarhum. Tapi takdir mengatakan lain,” desahnya.
Keesokan harinya, Gugum mengajak Atos ke Sungailareh. Gadis itu terhenyak Ketika mendengar penuturan Atos tentang kematian Nago. Berlinang air mata Nadia. Daun-daun tua rontok diterpa angin.*** (Bersambung....Kecapi Naga)

Dari Meja Kerja Amran SN
Padangsarai - Sumatera Barat, Juli 2011





1 komentar:

TAMBO DUNIA mengatakan...

walaupun alah lanjuik usia namun manulih taruih juo nyiak iko nan paralu di contoh dek nan mudo dari ambo Uwan

Posting Komentar