Jumat, 15 Juli 2011

KECAPI NAGA (1)

Amran SN

Kecapi Naga adalah lanjutan dari kisah Selendang Pembunuh Anggang. Pada kisah terdahulu dikisahkan Nago tewas karena ledakan bom dahsyat. Mass media pers, baik cetak maupun elektronik memberitakan tentang peristiwa naas tersebut.
Kematian Nago Salapan didengar oleh Puti Rinjani dan mereka yang berada di Minangkabau atau Sumatera Barat. Namun Nago Salapan tiba-tiba muncul di kota P. Kisah dalam buku kedua ini semakin seru ketika munculnya Kati Muno. Kati Muno seorang tokoh jahat sezaman Datuk Perpatih nan Sebatang.
Amran SN, pengarang cerita ini memaparkan kisah Kecapi Naga bagai air mengalir. Dan anda akan ikut terbawa oleh cerita, seakan-akan ikut berperanan di dalamnya.  

------------------------------------------------------------------------------------------------------



1
Alam Antah Berantah


            Kendaraan patroli polisi berada di belakang mobil boks yang dikendarai Ook dan Damiri. Ook yang menyopiri mobil boks tersebut menggerutu karena mobil patroli polisi itu sangat lamban bergerak. Tentu saja mobil mereka tidak bisa langsung ke halaman Kedutaan. Akhirnya Ook memutuskan kembali mengitari kawasan Kuningan tersebut. Sementara itu Damiri di belakang cemas, bom rakitan yang mereka bawa beberapa menit akan meladak!
            Nago menyusuri trotoar di depan Kedutaan, ia memperlambat langkahnya, menoleh ke belakang. Atos belum juga muncul. Barangkali anak muda itu asyik berbincang-bincang dengan pemilik kios rokok, gumam Nago.
            Tiba-tiba sebuah mobil boks menikung kencang. Nago melompat! Saat itu kedengaran bunyi ledakan dahsyat. Bumi berguncang hebat. Jalanan terkuak. Langit merah menyala. Benda beterbangan bagai kapas diterpa badai.
            Lelaki itu masih mendengar pekikan membahana. Kemudian tubuhnya seperti tertarik ke bawah oleh kekuatan luar biasa, masuk ke dalam perut bumi. Tarikan di bawah bumi sangat kencang membenamkan lelaki tersebut.

            Sayup-sayup Nago mendengar suara seruling dan talempong. Irama itu menggiring tubuh Nago menembus perut bumi. Terapung-apung laki-laki itu menukik melewati lapisan kerak bumi. Sekian lama tubuh itu belum juga mencapai dasar. Berjam-jam ia melayang-layang. Berhari-hari Nago mengapung.
            Hawa panas menyembur di antara kerak bumi. Api yang membiru bergelora membakar tubuh Nago. Lelaki itu memekik, tubuhnya dilalap api biru. Tubuh itu menghitam bagai arang kayu. Dan melaju terus bagai meteor jatuh. Beberapa saat angin puting beliung bertiup. Nago berputar bagai gasing. Lama dan kian lama tubuh lelaki tersebut berpusing. Namun belum ada juga tanda-tanda kakinya hendak menyentuh dasar bumi.
            Berikutnya, Nago mendengar dentingan suara kecapi. Ia kenal benar suara kecapi tersebut. Itulah suara kecapi Naga. Ia coba membuka mata tapi kabut tebal menghalangi pandangannya.
            Dan tiba-tiba tubuh Nago menggigil. Tubuh itu seakan-akan membeku. Ia lemas tak berdaya. Nago terkapar pada sebuah padang luas.
            Saat itu pula, Nago mendengar burung murai berkicau di balik hijau dedaunan. Kabut telah lenyap, ketika ia membuka matanya. Aroma rumput liar dan bau tanah tercium hidung Nago. Ia berusaha bangkit, kondisi tubuhnya masih lemah. Kini ia punya kekuatan untuk bangkit walaupun sempoyongan.
            “Apakah saya telah mati?” Nago menyapukan pandangan ke sekeliling padang tersebut.
Di atas kepalanya matahari menyinari padang luas itu. Bunga-bunga semak tumbuh di sana-sini, bewarna-warni. Indah sekali. Ia mengayunkan langkah menyusuri padang tersebut. Angin semilir bertiup membelai rambut Nago, berkibar-kibar rambut itu. Cahaya matahari lembut membelai tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba Nago mendengar suara azan. Suara azan itu hadir bersamaan dengan tiupan angin. Nago menyeruak semak ilalang, mencari selokan untuk berwudhuk. Ia mendengar gemericik air.
Dan lega ia ketika mendapatkan anak sungai yang mengalir. Airnya jernih sehingga dapat berkaca. Terperanjat lelaki tersebut tatkala melihat wajahnya hitam legam dalam bayang-bayang air. Lalu ia membasuh wajahnya. Tapi noda hitam di wajahnya tidak terhapus. Termanggu Nago di pinggir sungai itu.
“Sudahlah,” ia menggumam membujuk dirinya sendiri. Kemudian shalat lohor.
“Saya harus ke mana. Di mana saya sekarang?”  Nago membuang pertanyaan itu jauh-jauh. Ia segera melanjutkan perjalanan.
Burung-burung terbang di angkasa. Sekelompok rusa sedang merumput. Makin jauh Nago berjalan, ia hanya melintasi padang rumput dan semak perdu. Ia belum juga menemukan kehidupan manusia.
Sekarang ia memasuki hutan belantara. Pohon-pohon besar berdiri bagai raksasa menantang. Tanah basah dalam hutan belantara itu karena cahaya matahari tertutup dedaunan.
Makin jauh Nago menelusuri belantara tersebut. Dalam hatinya ia terus bertanya, di daerah mana ia sekarang. Apakah ia bisa keluar dari kawasan ini?

“Denai yakin engkau akan datang,” tiba-tiba kedengaran suara menggema dalam belantara tersebut.
Nago menunda langkahnya. Ia menengadah ke atas, mengitari pandangannya ke sekeliling. Dari mana suara tersebut datang. Ia menyeruak semak, menuruni lereng, mencari tahu asal usul suara itu. Namun semakin ia berusaha makin kecewa dia. Ia tidak menemukan apa-apa.
“Perlihatkan dirimu!” Nago berseru lantang. Suara itu menggema sampai jauh.
“Lupakah engkau pada denai?” Kedengaran gema jawaban nun jauh.
Nago berbalik ke belakang karena ia mendengar gema suara tersebut dari sana. Namun tidak ada sosok siapa pun di belakang itu. Lelaki itu melangkah, ia mendengar air berdesau. Segera Nago berlari ke arah desauan air.
Di sana, tampak sebuah air terjun. Di bawah air terjun itu duduk seorang lelaki berjubah putih dan besorban. Anehnya, air terjun yang meluncur dari atas tidak menyentuh tubuh lelaki yang berada di bawahnya.
Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu tenaga dalam orang tersebut. Dan yang membuat Nago terheran-heran, lelaki besorban yang duduk di bawah air terjun itu, ia duduk mengambang di air. Hanya orang sakti mandragunalah yang dapat melakukan perbuatan itu.
Jarak antara Nago dan orang itu ada sepuluh tombak. Namun lelaki tersebut dapat melihat orang bersorban itu. Tapi Nago tidak mengenalnya, namun ia mengenal suaranya, suara tersebut adalah suara Tuan Janaka Mantrolot, gurunya.
“Guru!” Nago menyapa untuk meyakinkan dugaannya.
“Ya,” ujar lelaki besorban itu. Sejenak kemudian ia melayang keluar dari air terjun. Ketika Tuan Janaka menginjakan sepasang kakinya di pinggir sungai, sedikit pun rumput yang disentuhnya tak bergoyang.
Orang tua itu lantas duduk di bawah pohon rindang. Sedangkan Nago bersimpuh di hadapan orang tua tersebut.
“Saya tidak tahu di mana sekarang?”
“Oh, itukah yang membuatmu gamang?”
Nago mengangguk.
Tuan Janaka tersenyum.
“Ya. Saya gamang. Apakah saya berada di alam kematian atau berada di alam kenyataan. Dalam perjalanan kemari, saya selalu bertanya-tanya dalam hati.”
“Anak muda, engkau denai panggil kemari untuk mengemban tugas berat. Negeri ini adalah Antah Berantah. Suatu negeri yang tidak ada di alam nyata dan tidak dapat dilihat dengan akal modern. Negeri ini hanya ada dalam ilmu Sang Pencipta.”
Terdiam Nago sejenak mendengar penuturan Tuan Janaka Mantrolot. Ia memang pernah mendengar perkabaran Negeri Antah Berantah. Namun tidak mengetahui di mana letak negeri tersebut.  Dulu ia hanya mengira, negeri ini sebuah dongeng tukang kaba. Ternyata kini ia berada di sini.
“Apa yang membedakan antara Negeri Antah Berantah dengan Alam Ujud atau Fana?” Tak tahan Nago bertanya.
“Denai sudah menduga engkau akan bertanya seperti itu.”
Nago menunduk.
Orang tua sakti itu menatap Nago dalam-dalam. “Negeri ini sebenarnya adalah bagian dari alam ujud. Makhluk yang tinggal di sini merupakan bayang-bayang dari manusia di alam fana. “
Nago mendengar dengan seksama.
“Di sini ada rombongan putih dan rombongan hitam. Engkau termasuk rombongan putih, yang berjuang menegakan kebenaran. Sedangkan rombongan hitam adalah iblis, setan, hantu penasaran serta mereka yang suka membuat kemungkaran. Engkar terhadap perintah Tuhan.”
 “Di manakah bermukimnya rombongan hitam tersebut?”
“Nanti engkau segera tahu.
Nago tidak bertanya lagi. Ia diajak Tuan Janaka ke sebuah gua. Di sanalah orang tua itu tinggal. Gua tersebut sangat lapang. Ada puluhan orang di dalam sana. Mereka berjubah putih, duduk bersila di pasir, mereka mengundangkan Asma Allah. Di atas kepala mereka mengapung kabut tpis, mengawang ke langit-langit gua, akhirnya menembus ke alam bebas di luar sana.
“Siapakah mereka?”
“Mereka adalah para Aulia. Orang-orang terpilih. Di negeri ini mereka hanya berharap akan pertemuan dengan Sang Khalik. Justru karena itu mereka berzikir pagi dan petang.”
“Dan merekakah yang disebut rombongan putih. Lalu di mana rombongan hitam?”
“Kamu benar. Sedangkan rombongan hitam, nanti akan ketahui kelak. “
Suara azan berkumandang.
“Panggilan Allah telah datang. Mari kita shalat berjamaah,” kata orang tua itu.

**
Di negeri Antah Berantah Nago bertemu dengan Imam Ali. Menurut Tuan Janaka, Imam Ali di masa hidupnya adalah seorang sufi dan filsuf. “Denai sering bertukar pikiran dengan beliau. Wawasan denai kian mengental ketika berdiskusi dengan Imam Ali,” kata Tuan Janaka Mantrolot.
“Ini murid tuan?”
“Ya. Dia dari dunia fana. Denai sengaja memanggilnya ke mari agar wawasannya kian terbuka lebar. Lagi pula denai hendak menugaskannya untuk menyelamatkan dunia fana dari gangguan  kemaksiatan dan kemungkaran.”
Imam Ali menatap Nago Salapan. Mereka bertemu pandang. Nago melihat wajah lelaki itu bersih dan di sekitar sorbannya ada seberkas cahaya mengelilingi. Janggut Imam Ali putih keperakan.
Nago tidak tahan berlama-lama menatap wajah Aulia itu. Ada semacam kekuatan gaib yang luar biasa sehingga ia harus menunduk.
Ketika Imam Ali berbicara, suaranya lembut. Fatwanya tentang agama menyejukan hati. Pengetahuan orang tua tersebut sangat luas. Ia bicara tentang apa saja, tentang alam semesta ciptaan Tuhan, tentang hubungan manusia dengan Khalik, dan hubungan manusia dengan sesamanya. Dan hubungan manusia dengan alam.
Kemudian kedua orang tua sakti tersebut mengajak Nago ke tempat bermukimnya “rombongan hitam”. Kawasan rombongan tersebut berada di atas bukit tandus. Setelah berjalan cukup lama, mereka tiba di kawasan itu. Tampak batu cadas hitam menjulang tinggi.
Kawasan bukit itu benar-benar tandus, tidak ada secuil pun rumput atau lumut tumbuh. Cahaya remang-remang di sana. Padahal masih sore. Tampaknya suasana demikian, sudah biasa. Namun hawa di kawasan tersebut panas menyengat.
Makhluk yang berada di sana berwajah hitam legam. Ketika melihat kedatangan ketiga orang tersebut, mereka menyeringai. Lantas berlompatan mendekati, pada batas tertentu makhluk itu berdiri terpaku, tidak berani mendekat. Kebencian tersirat di wajah mereka.
Sekonyong-konyong kedengaran suara mengguntur. Nago merasakan gendang telinganya hendak pecah. Kawasan tersebut berguncang. Makhluk-makhluk yang berada di tapal batas berlari ke arah batu besar.
Ternyata bukan batu besar tapi sebuah kepala raksasa yang menyembul. “Mereka datang untuk mengejek kita!” Raksasa itu berkata. Suaranya menggema.
“Kepala raksasa yang menyembul tersebut adalah Dajjal. Sedangkan makhluk-makhluk yang mengerubunginya adalah pengikutnya, “ Imam Ali menjelaskan. “Dia dikubur di sana sampai datang suatu masa. Namun ia berusaha melepaskan diri. Tapi Tuhan belum menghendaki, Dajjal itu bebas.”
“Kenapa makhluk-makhluk itu tidak berani menginjak tapal batas ini?”
“Mereka tidak bisa menginjak tapal batas itu. Sebab bila mereka melewati tapal batas tersebut, maka tubuh mereka akan hangus. Mereka akan lenyap selama-lamanya,” sahut Imam Ali.
 Sesaat Nago tercenung. Ia memang pernah mendengar cerita tentang Dajjal. Tapi belum pernah mengetahui mengenai makhluk-makhluk yang mengelilingi Dajjal di Antah Berantah tersebut. Dan di sinilah ia baru menyaksikan tempat penguburan kepala Dajjal.
“kecuali Dajjal, sekali rima tahun, di antara makhluk-makhluk ini dibebaskan, dikembalikan ke dunia fana. Ada diantaranya yang sadar dan mau kembali ke jalan Allah. Tapi ada juga yang semakin sesat,” lanjut Imam Ali.
“Apakah salah seorang dari mereka itu adalah Kati Muno?”
“Ya. Dia sekarang mencari teman dan sekutu-sekutunya. Dan juga mencari “Lima Mustika Alam”, agar kesaktiannya sempurna kembali,” tukas Tuan Janaka Mantrolot. “Ada dua senjata pamungkas yang paling ditakuti manusia abadi, termasuk Kati Muno,” sambung orang tua itu.
“Senjata apa itu?”
“Kecapi Naga dan Selendang Pembunuh Anggang. Namun bila kelima mustika alam tersebut jatuh ke tangan Kati Muno, akan sulit menghadapinya.”

Hari-hari berikutnya Nago ditempa oleh kedua orang tua sakti itu. Siang malam Nago berlatih dengan tekun. Tasauf dan filsafat dipelajari Nago dari Imam Ali. Sedang Tuan Janaka menurunkan ilmu “Memetik kecapi tanpa kecapi” Ilmu tersebut merupakan penyempurnaan dari ilmu kecapi yang dipelajarinya dulu. Kalau dulu Nago harus memetik dawai kecapi sehingga menimbulkan bunyi. Tapi sekarang, tanpa kecapi, ia cukup menggerakkan jemarinya maka akan kedengaran suara kecapi berdenting.
Tidak mudah mempelajari ilmu kedua orang tua tersebut. Kadangkala Nago gagal mencernakan maksud-maksud keduanya. Tapi karena kegigihannya yang luar biasa, Nago akhirnya mampu menyerap ilmu pengetahuan Imam Ali dan Tuan Janaka Mantrolot.*** (Bersambung... 2

0 komentar:

Posting Komentar