Sabtu, 07 Januari 2012

KECAPI NAGA (3)


3

Pulang

“Kamu telah selesai berguru pada saya. Tuan Janaka Mantrolot berpesan bahwa engkau harus kembali ke dunia fana,” ujar Imam Ali pada Nago.
Memang selama di Alam Antah Berantah, Nago banyak menimba ilmu pada Imam Ali. Pengetahuannya tentang ilmu agama kian dalam. Nago belajar tasauf, tauhid dan filsafat.
Imam Ali sangat senang mengajar anak muda tersebut, otaknya encer dan cerdas. Cakrawala pikiran Nago terbuka luas. Ketika ia mendengar Imam Ali menyatakan bahwa ia telah selesai berguru, Nago terperanjat karena ia belum merasakan apa yang diterimanya tersebut masih banyak lagi. Ibarat pepatah, ia belum berjalan sampai ke batas, mengeruk sehabis gaung.
“Saya ingin lebih lama di sini,” sahut Nago. “Pengetahuan saya masih dangkal. Belum seujung kuku Imam.”
Tersenyum Imam Ali. “Saya juga manusia biasa seperti engkau. Ilmu Allah itu lebih luas dari langit dan bumi. Jika engkau tuliskan maka kering lautan untuk tintanya. Dan akan habis ranting di muka bumi ini untuk tangkai penanya.”
“Saya mengerti Imam.”
“Justru karena itu bagi manusia, belajar itu sepanjang hayatnya. Rasulullah bersabda,”Manusia itu belajar sejak dari ayunan sampai saatnya ia hendak berpisah nyawa dengan badan.”
Nago mengangguk.
“Saya hanyalah saluran dari limu pengetahuan yang ada. Dan yang penting ialah agar engkau memahami ilmu pengetahuan itu sendiri. Yang harus engkau pegang teguh adalah membaca, merenung, memahami. Lalu melaksanakannya. Tanpa melaksanakan apa yang engkau pelajari maka pengetahuan itu sia-sia.”
Sejenak Imam Ali memandang Nago yang duduk bersimpuh di hadapannya.
“Dan tanpa budi dan akhlak yang baik maka ilmu yang ada dalam dadamu akan menimbulkan kesengsaraan bagi manusia lainnya. Betapa banyaknya orang pintar di dunia fana tetapi mereka sombong akan pengetahuannya. Itulah petuah saya. Semoga engkau memahami. Setitik engkau jadikan lautan, segumpal engkau jadikan gunung.”
“Terima ksih Imam.”

*

Setelah itu Imam Ali mengajak Nago ke sebuah tempat. Di sana tampak sebuah lobang besar yang dipenuhi kabut sehingga dasarnya tidak kelihatan.
“Mengapa kita harus ke sini, Imam?”
“Lobang ini disebut Lorong Waktu. Lorong ini akan menghubungkan engkau dengan dunia fana. Kau harus kembali ke sana. Tugas berat menunggumu. Kati Muno dan sekutunya telah menyebarkan kemungkaran di muka bumi. Kamu harus menghentikannya!”
Belum sempat Nago menyahut, Imam Ali mendorong Nago ke lobang Lorong Waktu. Anak muda itu jatuh ke dalam, melayang-layang. Tubuh Nago melayang dalam kabut tebal. Berpusingan ia dalam lorong tak bertepi tersebut. Ia tidak tahu berapa lama melayang dan berpusingan dalam lorong itu.

*

Siang itu panas bergumam di kota P. Walaupun demikian warga kota P merasakan gerah jika berada di dalam rumah. Mungkin hawa panas masuk ke dalam tubuh menyerap lebih kuat. Sehingga ketika mereka kembali ke rumah, mereka jadi gerah.
Atos keluar rumah pagi itu. Anak muda tersebut ditugaskan pimpinan untuk meliput pengambilan sumpah janji anggota dewan yang baru. Memang sebagai wartawan, Atos cukup sibuk, setiap hari meninggalkan rumah. Dan sering pulang larut malam. Bahkan acapkali menginap di kantor. Sedangkan Gugum yang menemani Atos tinggal di rumah itu, pun kadang-kadang menjenguk orang tuanya di kampung Kasang.
Dulu halaman rumah itu bersih. Nago mencabut rumput, menyapu sampah yang berserakan, menggali selokan sebelum ia keluar rumah. Sekarang rumah tersebut tampak sepi dan kumuh. Sampah berserakan di mana-mana, rumput di halaman menyemak panjang, selokan di depan mampet, airnya berlunau.

Termanggu Nago berdiri di halaman rumah. Sepi rumah tersebut. Lelaki itu masuk ke dalam. Di dalam ia melihat kertas berserakan, dekat komputer. Biasanya Atos bekerja sampai larut malam. Ketika bangun, ia mungkin tidak sempat membenahi ruangan itu.
Debu melengket di sana-sini. Lantai pun kelihatannya jarang disapu. Motor besar yang dipinjamkan ayah Gugum tampak berdiri di sudut sana. Nago segera mengambil sapu, dan menyapu lantai. Kemudian membersihkan debu-debu yang hinggap pada perabotan. Juga membasuh gelas-gelas yang masih berisi serbuk kopi dan teh Selanjutnya, ia ke dapur dan memasak. Cukup banyak yang dikerjakan lelaki tersebut di rumah itu. Ia pun melanjutkan pekerjaannya keluar, menyapu halaman dan menggali selokan.
Malam hari.
Sekitar pukul 22.00 atau 10 malam, Atos kembali ke rumah. Tampak lelah anak muda itu, wajahnya lusuh. Semula ia merasa tidak ada perubahan pada rumah tersebut. Ia pun lupa memperhatikan lampu yang hidup di ruang depan. Ketika Atos membuka pintu, ia baru sadar, pintu tak terkunci.
“Mungkin saya lupa menguncinya. Atau Mas Gugum telah duluan pulang,” gumamnya. Atos melangkah masuk. Namun ia terpana. Langkahnya kembali surut ke belakang. Anak muda itu terbelalak, ia melihat Nago sedang duduk menonton televisi. Menggigil lutut Atos. Lalu bibirnya komat-kamit membaca doa. Namun hantu tersebut tidak beranjak dari sana.
“Kenapa kamu bengong. Ayo masuk,” sapa Nago.
Lutut Atos bergoyang. Ia ingin memicingkan mata tapi malah terjadi sebaliknya, mata itu membelalak. Dan dia ingin lari terbirit-birit, namun sepasang kakinya kaku terpaku.
Akhirnya Nago bangkit, ia menarik lengan Atos. Semakin gemetar anak muda tersebut. Jangan-jangan hantu itu hendak mencekik atau menghisap darahnya.
“Lepaskan saya,” ujar Atos gugup. Akan tetapi hantu tersebut menariknya, dan mendudukannya dia di kursi. “Lihat baik-baik Tos. Apakah saya itu hantu dengan sepasang kaki mengapung di udara?”
Atos memperhatikan Nago, ia telusuri sosok di depannya tersebut. Memang! Lelaki di hadapanya itu tidak mengapung di udara dan nyata. Jika dia makhluk halus, pastilah sosok tersebut akan mengapung di udara, seperti yang cerita yang didengarnya tentang makhluk halus. Namun sebagai seorang wartawan, Atos tetap mempunyai naluri curiga. Tidak muda percaya begitu saja.
“Kalau kamu memang Bang Nago. Jawablah beberapa pertanyaanku.”
“Kamu ingin mewawancarai saya. Saya silahkan.”
“Siapa nama pacar atau gadis yang paling dekat dengan engkau?”
“Gadis itu adalah Puti Rinjani.”
“Oke. Lalu siapa nama lain dari Puti Rinjani?”
Nago diam.
“Kamu tidak tahu?”
“Ketika Rinjani kembali muncul ke dunia ini, ia dikenal dengan nama Nadia. Nah, sekarang kamu puas dengan jawabanku itu?”
Manggut-mangut Atos. Ia kembali menelusuri lelaki di hadapannya tersebut. Wajah, tubuh gerak-gerik dan cara berbicaranya. Walaupun demikian Atos tidak bisa percaya begitu saja. “Saya ingin lebih mengorek lebih dalam tentang jati diri lelaki yang mengaku Bang Nago ini,” gumamnya.
“Ceritakan di mana kita bertemu terakhir kalinya.”
“Apakah itu perlu?”
“Ya.”
Nago menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan-lahan. Wajah lelaki tersebut tampak cerah. “Pagi itu kamu dan saya berjalan-jalan ke kawasan Kuningan. Setelah mencuci mata di Mall Kuningan, kita menyeberang. Dan kamu membeli rokok di kios. Saya terus berjalan.”
Gambaran kisah yang dituturkan lelaki tersebut, mulai meyakinkan Atos. “Saya juga ingat, Bang Nago terus jalan meninggalkan saya.”
Nago tersenyum. “Nah, kamu sudah ingat. Dan apa lagi?”
“Lalu apa yang tejadi selanjutnya?”
“Saya terus melangkah menyusuri trotoar. Akhirnya sampai di Kedutaan. Dan bersamaan dengan itu sebuah mobil boks berhenti. Naluri saya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Peristiwa tersebut lebih cepat terjadi. Tiba-tiba kedengaran ledakan keras, saya terlambung. Saya terlambung, lalu masuk ke dalam lobang yang demikian dalam. Saya terpisah dari dunia fana.”
Atos tercenung. Ia diam seribu bahasa. Kemudian mengerling pada lelaki itu. “Saya ingat sekarang. Bang Nago bukan manusia biasa. Dia manusia abadi, dapat hidup sepanjang masa. Dan tidak mempan oleh senjata modern secanggih apa pun. Wajarlah kalau dia masih hidup, walaupun kena bom berkekuatan tinggi,” gumam Atos.
Dan anak muda tersebut menatap Nago lurus-lurus. Lalu memeluk Nago erat-erat. “Saya yakin, engkau adalah Bang Nago,” ujarnya lirih.
Seperti seorang kakak, Nago membelai kepala Atos. “Saya gembira bertemu dengan engkau kembali.”
“Saya rindu pada Abang. Dan ingin dekat selalu dengan Abang. Dekat bagai saudara dan guru. Sudah lama saya tidak mendengar pengajianmu. Sebentar lagi, bulan Ramadhan tiba.”
“Ya, sekarang kamu pergilah mandi. Baumu kurang enak,” ujar Nago tersenyum.
Terkekeh Atos. “Sekarang kelihatan asli Abang. Ya, saya tadi kencing di celana. Baik, saya mandi dulu.” (Bersambung ....4)

0 komentar:

Posting Komentar