Rabu, 11 Januari 2012

KECAPI NAGA (12)


12

COBAAN

Sekarang Nago Salapan telah kembali ke rumah. Kondisi lelaki tersebut sebenarnya belum pulih benar. Kadang-kadang ia muntah-muntah, dan pusing. Tatkala Puti Rinjani datang menjenguk, gadis itu menyalurkan hawa murninya ke tubuh Bago agar tenaga dalam lelaki tersebuit pulih seperti sediakala.
 Diluar kelihatan Nago Salapan seperti sudah sembuh tapi sebenarnya Tuba Pemutus Nayawa berangsur-angsur memusnahkan kesaktian lelaki tersebut. Kini ia tak lebih dari manusia biasa, tidak memiliki kesaktian apa-apa!
Suatu malam Nago Salapan bermimpi. Bermimpi bertemu dengan Imam Ali. Lelaki itu seperti biasanya murah senyum. Dia berkata,”Engkau memang sedang diberi cobaan oleh Yang Kuasa. Setiap orang yang mengaku beriman akan selalu diuji Allah.”
“Tapi saya tidak biasa berbuat apa-apa. Anurangga dan Kati Muno akan leluasa berbuat kemungkaran di muka bumi ini. Sementara itu saya tak berdaya. Hanya jadi makhluk lemah.
Imam Ali diam.
“Kapankah kesaktianku akan pulih?”
“Allah tidak akan memberi cobaan kepada umat-Nya, kecuali sesuai dengan kesanggupan yang dapat ia pikul. Karena itu hadapilah hidupmu dengan sabar. Orang yang sabar itu bersama Allah.”
“Jika demikian, saya harus menjalani hidup seperti orang biasa?”
Imam Ali mengangguk. Lelaki itu terssenyum, kemudian ia mengapung bagai asap dan sirna. Tersentak Nago Salapan dari tidurnya. Ia bangkit dan duduk di pinggir ranjang.
Hari-hari berikutnya, Nago menjalani hidupnya sebagai manusia biasa. Manusia biasaa yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Memang demikianlah kehidupan manusia biasa. Namun ada yang berubah dalam kehidupan Nago Salapan, ia selalu taat shalat, kadang pergi shalat berjamaah ke masjid. Di masjid dia mendapat kedamaian. Lelaki itu bukan saja shalat di masjid dekat rumahnya. Tapi juga sesekali bertandang ke surau Katib Agam. Di sana ia bertemu dengan sahabat-sahabat lamanya.
Suatu hari dia naik bis kota. Bis kota yang penuh sesak. Penumpang berdempet-dempet bagai sardin dalam kaleng. Sedang kernet bis masih bersorak,” Kosong…kosong. Geser…geser ke belakang!”
Tiba-tiba ia melihat seseorang merogoh saku celana seorang lelaki tua yang berdiri di antara penumpang lainnya. Naluri kependekaran Nago terusik seketika, ia menangkap lengan pencopet itu. “Kembalikan dompet bapak itu!” ujar Nago.
Wajah pencopet itu berubah beringas. “Kamu kok menuduh saya!”
“Dompet itu kau ambil dari kantong bapak ini,” kata Nago menuding pencopet.
Seorang lelaki lain mendekati Nago Salapn. Matanya merah, bau mulutnya bau minuman keras. Ia mendelik seperti hendak melumat Nago. “Hai, jangan macam-macam!” Bersamaan dengan ancaman tersebut, lelaki tersebut memukul. Terasa pedas pukulan lelaki tersebut hinggap di pipi Nago.
Bis kota terus melaju. Bunyi musik bis kota keras mengghentak-hentak telinga. Si pencopet dan tukang pukul itu melompat di lampu merah. Penumpang lainnya hanya bungkam. Tidak ada yang berbuat. Seakan-akan kejadian tersebut biasa-biasa saja.
“Maaf Pak. Saya tidak bisa menolong bapak, “ ujar Nago sambil mengelus rahangnya yang ngilu kena bogem mentah tadi.
“Sudahlah Nak. Dompet saya itu hanya berisi sepuluh ribu,” tukas orang tua itu.
Nago Salapan mengangkat wajah, ia tidak melihat rasa simpati dari penumpang. Mereka acuh tak acuh pada peristiwa itu. Ia turun di jalan M. Yamin. Kemudian masuk ke sebuah gedung, biasanya di gedung ini mangkal Rusli, seorang penyair – teman lama Nago Salapan.
“Tumben anda muncul hari ini,” sapa Rusli.
Nago duduk tanpa menunggu dipersilahkan. Seorang perempuan bertubuh tambun duduk dekat Rusli. Ia tampak menikmati sebatang rokok. “Saya rindu juga akan suasana yang lain,” sahut Nago Salapan. Sejenak ia mengerling pada Eka, perempuan itu masih asyik dengan rokoknya.
Rusli mangut-mangut, ia tersenyum seadannya. “Dunia kami disini berbeda dengan dunia anda. Kami berbincang apa saja. Tapi tidak ada target yang akan dicapai. Orang luar bilang, kami hanya membuang-buang waktu.”
Di ruang tersebut Nago Salapan hanya menjadi pendengar yang baik. Sebab, apa yang mereka bicarakan bukanlah dunianya. Mereka kadang bicara rumit bahkan terkesan ngawuir. Tidak jelas ujung pangkalnya. Tapi itulah keunikan Rusli dan kelompoknya. Semakin tak jelas semakin itulah yang mereka sebut “berbudaya”
Eka menawarkan minuman pada Nago Salapan. “Anda mau ngopi?”
“Terima kasih. Saya tidak minum kopi atau teh,” sahut Nago. Tapi ia tak menolak ketika disuguhkan kemasan air mineral dalam gelas. Lalu setelah satu jam lebih duduk di sana, Nago mohon pada Rusli dan Eka.
Lelaki itu menyeberang, dan naik oplet jurusan Pasar Raya. Bingung juga Nago Salapan di keramaian pasar tersebut. “Bang…Abang Nago!” Tiba-tiba ia mendengar suara panggilan. Ia menoleh.
“Abang mau ke mana?” Atos menyapa
“Ya, mau ke ,mana lagi. Saya kan klenang-klenong,” tukas Nago tersenyum.
“Ayo naik,” ajak Atos. Dan Nago berbonceng di belakang. “Kalau Abang mau jalan-jalan, ya tunggu saya.”
“Tapi saya jenuh tinggal di rumah. Dan menunggu kamu…Kamu kan sibuk. Lagi pula saya tidak ingin mengganggu pekerjaanmu.”
Atos ketawa lebar. “Abang jangan berpikir begitu. Betapapun sibuknya aku. Kalau Abang beritahu, saya akan membawa Abang ke mana saja.”
“Okelah. Sekarang kita mau ke mana?”
“Terserah Abang.”
“Kita ke pantai.”
*

Sore itu di pantai.
Seekor burung elang melayang di kulit air. Burung itu menyambar seekor ikan lalu terbang menjauh. Nago Salapan kembali ingat akan pertemuannya dengan Puti Galang Banyak di pantai ini. Sungguh tega perempuan itu meracuni dirinya. Dan lelaki tersebut juga menyesali kebodohannya. Kenapa dia demikian gegabah, mau percaya saja pada bujukan Olivia alias Puti Galang Banyak.
Sekarang, semuanya telah terjadi, nasi sudah jadi bubur. Seorang pendekar harus selalu waspada. Jika ia lengah dalam kehidupan dunia persilatan yang keras ini, maka ia akan jadi pecundang.
Tiba-tiba Imam Ali ingat petuah Imam Ali. “Kamu harus sabar menghadapi cobaan ini. Imanmu sedang diuji Ilahi.” Bersamaan dengan itu, ia menyaksikan Atos bermain ombak.Tampaknya anak muda tersebut menikmati suasana itu. Atos memungut sebuah kerang, ia permainkan sejenak di tangannya. Lalu melemparnya ke laut. Ia pandang kerang itu masuk ke dalam laut. Atos ketawa senang.
Matahari sore kian condong ke barat. Seorang anak muda, sebaya Atos melangkah menghampiri Nago. Ia memakai baju kaos bertuliskan “Go To Hell” Kemudian tanpa basa-basi dia berkata pada Nago,”Bagi rokoknya Bung!”
Terkesima Nago menatap anak muda itu. “Maaf, saya tidak merokok,” sahut Nago.
Wajah anak muda tiba-tiba menjadi kaku mendengar jawaban Nago. Ia tampak sangar  Mulutnya bau minuman keras. “Kalau begitu bagi duit!”
Semakin terpana Nago melihat kelakuan anak muda tersebut. Baru seumur hidupnya dia dipaksa orang agar memberi uang. Dan lagaknya sungguh-sungguh tak bersahabat. Tapi Nago tetap tenang dan sabar. Ia rogoh kantong celananya, lalu ia sodorkan selembar uang lima ribuan.
Dengan kasar anak muda itu mengambil uang tersebut. Ia kemudian menatap Nago dengan mata disipitkan – memandang rendah. “Uang segini mana cukup Men. Kami bertiga. Harusnya dua puluh ribu!”
“Maaf. Bukankah kamu sendiri. Lagi pula uang saya hanya lima ribu itu,” sahut Nago.
Pemalak itu bersuit. Bebarapa  saat kemudian muncul dua orang pemuda. Soni, si mata juling mencekal krah baju Nago Salapan. “Kamu jangan main-main. Ayo keluarkan dompetmu. Atau kugebuk!,” ancam si mata juling.
Menggigil Nago menahan amarah. Tapi dia tak berdaya, tenaganya lemah. Padahal cekalan tersebut hanya cekalan biasa. Namun ia tidak mampu melumpuhkan pemuda tersebut. Dadanya terasa sesak, dari  sekujur mengucur keringat dingin. Lelaki itu hanya bisa menggumam ketika Soni merogoh kantongnya. Dari sana Soni mengambil dompet Nago.
Riang seketika Soni. Cukup lumayan uang yang berada dalam dompet Nago. Setelah menguras dompet Nago, Soni memberi isyarat pada Jek dan Ben. “Mari kita pergi.” Mereka lalu beranjak dari sana sambil melemparkan dompet Nago Salapan yang kosong.
“Awas kamu kalau berani ngadu sama polisi!”
“Bisa kupotong lehermu!”
Nago Salapan terhenyak di bangku beton. Tidak lama kemudian datang Atos. Anak muda itu heran melihat wajah Nago muram.
“Ada apa Bang?”
“Tidak ada apa. Cuma dada saya terasa sesak.”
Atos melihat dompet di tangan Nago Salapan. “Kenapa dompet Abang. Katakanlah apa yang terjadi?”
Nago menunduk. “Saya telah menjadi manusia tak berguna. Jangankan menolong orang lain. Menolong diri sendiri. Saya tidak bisa.”
“Maksudnya, Abang dirampok. Dikompas orang?”
Nago Salapan mengangguk lemah.
Atos menepuk kepalanya sendiri. “Aduh! Kenapa Abang tidak memanggil saya. Atau berteriak…”
“Sudahlah Tos. Barangkali ini merupakan bagian dari cobaan kepada saya.”
“Cobaan? Ya, boleh-boleh saja. Tapi sebagai manusia, Abang harus berikhtiar. Kita tidak boleh menyerah dengan keadaan. Bukankah Abang mengajarkan kepada saya bahwa tawakal itu adalah terpelihara. Nah, bagaimana mungkin kita terpelihara. Kalau kita hanya pasrah pada keadaan.”
Nago Salapan mengangkat wajah. Matanya berbinar-binar. Di dalam dadanya terasa hawa panas. Ada gelombang-gelombang. Sepertinya Nago Salapan terpicu oleh ucapan Atos. Ia segera bangkit. Lelaki tersebut melangkah pasti ke tanggul yang menjorok ke laut. Angin semilir bertiup. Angin itu bertiup menghembus wajah Nago.
Atos membiarkan lelaki itu berdiri di tanggul.
Lelaki itu turun ke bawah, ia melangkah perlahan di pantai. Kadang menatap langit. Kadang menyapukan kakinya pada ombak yang menyiram. Lalu terlihat ia merentangkan lengannya. Bibirnya komat-kamit, seperti berbicara dengan seseorang. Mungkin juga dengan dirinya sendiri.
“Hoaaa!”
Angin bertiup sepoi-sepoi.
Matahari mulai melembut jatuh ke laut.
“Hoaaaa!”
Nago Salapan berdiri kaku memandang laut yang bergelombang. Matahari kian condong hendak masuk ke kaki langit. Ombak-ombak kecil menggelinding ke pantai menyapu kaki lelaki tersebut. Tiba-tiba lelaki itu berlutut, matanya mencorong tajam melintasi ombak yang berlari ke pantai.
Seekor burung camar terbang di kulit laut. Suatu ketika camar menyambar ikan kecil. Lalu terbang membubung. Ada gelombang-gelombang kecil dalam ada Nago Salapan. Gelombang itu menyesak dada lelaki tersebut. Ia tarik nafas dalam-dalam, dan hembuskan perlahan-lahan
Ada gelembung-gelembung dalam dada Nago Salapan. Dada tersebut terasa menyesak. Ia hembuskan udara dari mulutnya perlahan-lahan. Bersamaan dengan itu bertiup angin lembut keluar dari tubuh lelaki tersebut. Asap abu-abu membersit dari setiap pembuluh darahnya. Nago Salapan berteriak.
“Hoaaa!”
Terakan itu membahana, menghempas ke bukit sana. Menukik ke dalam laut. Ombak bergelora. Angin pasat berputar-putar.
“Waaaaa!”
Rambut Nago Salapan berkibar-kibar. Sesak di dadanya masih tersisa. Jantungnya berpacu keras, berpacu bagai kendaraan yang melaju kencang. Sekonyong-konyong ia menghambur ke ke laut!
Dan lelaki itu berdiri tegar di permukaan laut. Sepasang lengan Nago Salapan merentang lebar. Ia berteriak menggema. “Ya, Allah…Peliharalah aku dari azab dunia dan dari azab-Mu!”
Ombak bergulung-gulung ke pantai. Ombak menerpa tubuh Nago Salapan. Ketika ombak menerpa tubuh lelaki tersebut, air laut mencrat tinggi sehingga mengyupkan sekujurnya.
“Woaaa!”
Nago Salapan memekik lagi. Ikan-ikan kecil meletik ke kulit air laut.

**

Atos merebahkan tubuh Nago Salapan di ranjang, di rumah kontrakan mereka. Anak muda itu menyeka keringat Nago yang mengucur deras. Tubuh lelaki tersebut panas dingin. “Abang jangan banyak berpikir,” kata Atos. Ia kembali menghapus keringat lelaki tersebut. Keringat terus mengalir membasahi tubuh Nago Salapan.
Senja datang.
“Saya haus,” desah Nago.
Atos mengambil air minum ke belakang. Ia regukan air pada lelaki tersebut. Air dalam gelas segera keras. Duduk Atos di depan ranjang. Ia merasa sedih melihat keadaan Nago Salapan. Lelaki di hadapannya itu, adalah lelaki yang demikian perkasa dan tangguh. Kini terbaring lemah.
Keringat menetes bagai manik-manik di dahi Nago. Setiap kali Atos menyeka keringat itu, keringat baru muncul lagi. Lelaki itu menggigau. Ia memanggil Nadia, Katib Agam, Gugum dan Atos. Atos megguncang-guncang bahu lelaki tetrsebut.
“Bang…Bangunlah Bang.”
Nago Salapan membuka mata. Mata itu menatap sayu. “Apakah mereka sudah datang?”
Atos termangu. Ia tidak mengerti maksud pertanyaan lelaki tersebut. “Mereka siapa?” Anak muda itu bingung. Setelah menyeka keringat di dahi Nago, ia berkata,”Abang ingin bertemu dengan Nadia. Biar aku SMS ya?”
Tatapan mata Nago sayu dan kosong. Lelaki itu mengibaskan tangan lembut. “Bukan. Saya ingin bertemu dengan Katib Agam. Panggilkan dia.”
“Katib Agam? Dia tidak mungkin dihubungi. Sekarang dia telah dipindahkan ke Nusa Kambangan.”
“Nusa Kambangan? Apakah dia koruptor. Saya kira sahabatku ini tak pernah korupsi. Dia bukan pejabat. Dan bukan pula anggota dewan. Bukan pula teroris.”
Tercenung Atos. Sungguh berat beban cobaan lelaki tersebut. Tampak matanya terbuka tapi jiwanya merantau jauh ke alam lain. Tiba-tiba Atos mendengar ketokan pintu. Kedengaran orang megucapkan salam.
“Maaf saya terlambat. Ketika kamu beritahu saya sedang di ruang ICU,” kata dokter Budi. Dokter itu memang janji akan terus mengecek kesehatan Nago. Dan ketika Atos menelpon dokter itu. Dia segera datang.
“Silahkan masuk dokter,” sapa Atos.
Dokter Budi segera memeriksa Nago Salapan. Dan Atos menunggu harap-harap cemas. Ia gelisah. Anak muda itu membatin, “Apakah penyakit lelaki semakin parah. Atau dia akan mati?” Pikiran buruk Atos itu muncul karena dokter Bud terlalu lama memeriksa Nago.
“Dia depresi,” ujar dokter Bud menjelaskan. “Tapi saya sudah memberi injeksi penenang.”
“Mengapa Bang Nago bisa depresi. Bukankah ia hampir sembuh dari racun laknat.”
“Ya. Kami hanya bisa memberi obat penghambat racun agar tidak menjalar ke otaknya. Namun kalau ia banyak berpikir atau jiwanya terganggu. Maka racun itu akan bergerak lagi.”
“Ya dok. Jiwanya terganggu ketika berhadapan dengan ketidak-adilan. Bang Nago sudah terbiasa menolong mereka yang tertindas. Tapi siang tadi dia menyesali dirinya. Jangankan menolong orang lain. Menolong dirinya sendiri pun ia tak berdaya. Ia sangat terpukul.”
“Kamu harus banyak menghiburnya.”
Atos mengangguk Setelah dokter Bud pergi, Atos menghubungi Nadia. Tapi HP gadis itu tidak aktif. Namun ketika ia hubungi Gugum, Gugum menyahut segera tiba.
*

Malam itu sunyi. Tiada angin berembus. Juga tidak ada suara jangkrik yang biasa berisik bila tengah malam tiba. Hanya jam dinding yang berdetak-detak memecah kesunyian.
Atos menggeletak di lantai beralaskan tikar. Ia lelah membujur di bawah ranjang Nago Salapan. Sementara itu Gugum yang datang menjenguk, kelihatan bergelung di sofa. Tadi mereka berbincang-bincang seraya menjaga Nago Salapan yang terbaring. Mungkin karena kelelahan dan malam pun telah larut. Akhirnya mereka pulas.
Nago Salapan terbangun tiba-tiba. Ia menyapukan pandangannya. Semula memandang Atos yang berbaring di bawah ranjangnya. Lalu menoleh pada Gugum yang berkeluk bagai angka tiga di sofa. “Ya, Allah. Saya telah menyusahkan mereka,” lelaki itu menggumam. Nago Salapan bangkit. Anehnya, kali ini tubuhnya merasa ringan. Langkahnya mengapung.
Entah kenapa, tiba-tiba tergerak hatinya untuk membuka lemari buffet yang terletak di sudut ruangan. Di sana ada sebuah kecapi. Nago Salapan terperanjat. Kenapa Kecapi Naga tersimpan dalam lemari buffet itu. Bukankah Kecapi Naga telah menyatu ke dalam tubuhnya? Ya, ia masih ingat ketika itu, ia berada bersama Tuan Janaka dan Imam Ali di Alam Antah Berantah. Kedua tokoh sakti itulah yang “menyatukan” antara Kecapi Naga dan dirinya.
Tapi Nago Salapan tak tahan untuk meraih Kecapi Naga tersebut. Ia duduk bersila di lantai. Berikutnya, ia petik dawai kecapi, kedengaran dentingan halus. Sekonyong-konyong muncul keinginannya untuk memetik kecapi. Dan ingin memainkan sebuah senandung. Senandung sedih yang sesuai yang suasana hatinya.
Di luar malam semakin sunyi.
Sambil memejamkan mata lelaki itu memetik dawai kecapi. Jemarinya bergerak lincah menari di atas dawai-dawai. Sebuah senandung sedih, bercampur kerinduan. Rindu yang tak bertepi.
Atos menggeliat ke samping kanan
Gugum di sofa pun menggeliat, bibirnya berdecap-decap. Tapi matanya masih merem.
Senandung yang dinyanyikan Nago Salapan lewat gesekan kecapi kedengaran mendayu-dayu. Andaikata Atos dan Gugum terbangun malam itu, mungkin mereka akan ikut hayut oleh tembang tersebut.
Angin semilir masuk ke dalam. Imam Ali tiba-tiba muncul.
Nago Salapan terus memetik kecapi.
“Petikan kecapimu mengundang saya.”
Nago Salapan menutup senandungnya. Ia duduk berhadapan dengan Imam Ali. “Saya sedang bimbang, Imam. Apakah hari-hari berikutnya, saya tidak dapat berbuat baik pada sesama manusia. Kondisi saya terus melemah. Aapakah beban ini akan terus berlanjut tanpa ujung?”
Imam Ali mengusap janggutnya yang putih menjuntai. Senyumnya ramah menatap lelaki tersebut. “Setiap awal pasti ada akhirnya. Engkau khawatir dengan kondisimu. Sesungguhnya manusia diciptakan dari sebaik-baik kejadian. Dan ia akan terlempar menjadi makhluk serendah-rendahnya. Kecuali bagi mereka yang beriman dan beramal saleh serta selalu meng-Esakan Allah.”
“Tapi Imam, racun dalam tubuh saya ini sebentar lagi akan menjalar ke otak. Menurut dokter saya lumpuh selama-lamanya. Bila racun tersebut masuk ke otak.”
“Allah Maha Kaya dan Maha Penyembuh. Manusia boleh saja berpendapat demikian. Jika Allah berkehendak engkau sembuh. Maka sembuhlah kamu. Tidak ada yang mampu menghalangi.”
Tiba-tiba Nago Salapan menangkup. Ia memegang kepalanyanya, kepala itu berdenyut-denyut seperti hendak meledak. Kecapi dalam pangkuan lelaki itu lepas!
Imam Ali menadahkan tangan ke udara, bibirnya komat kamit. Sepasang tangan Imam Ali bercahaya putih. Lalu ia usapkan tangannya ke kepala Nago Salapan. Kedengaran suara mendesis halus.
Dan sekonyong-konyong muncul asap biru dari kepala Nago Salapan. Tubuh lelaki itu bergetar hebat, sepasang kakinya mengejang. Matanya terbuka lebar. Saat itu asap biru tebal keluar dari ubun-ubunnya.
Bersamaan dengan kedengaran suara mendesis-desis. Kecapai naga yang menggeletak di lantai terbang ke udara, berputar di ruangan tersebut. Berkelabat menyerang Imam Ali.
Imam Ali mengibaskan tangan.
Kecapi tersebut surut tapi kemudian meluncur kembali menyerang Imam Ali. Lelaki itu mengibas lagi. Kecapi Naga berkelit, kedengaran suara mendengung bagai ribuan lebah terbang. Kemudian mendadak menerjang Imam Ali.
Melihat situasi tersebut, Imam Ali bangkit dari duduknya, ia menangkap kecapi. “Kembalilah engkau pada dia!”
Ruangan itu bergetar hebat bagai gempa. Gempa yang disertai raungan dahsyat!
Kecapi Naga melesat ke arah Nago Salapan. Sejenak benda itu berputar mengitari tubuh lelaki tersebut. Kecapi berubah jadi kabut tpis dan masuk ke dalam tubuh Nago Salapan. Bergetar tubuh itu menerima kembali Kecapi Naga.
Sunyi.
“Maha Benar Engkau ya Allah,” gumam Imam Ali. Sesaat lelaki itu menatap Nago Salapan yang terbujur tenang. Lalu Imam Ali mengirab dalam gumpalan asap. (Bersambung....13)


0 komentar:

Posting Komentar