Kamis, 12 Januari 2012

KECAPI NAGA (13)


13

Panggilan ke Tanah Suci

Atos tersentak, dan bersamaan Gugum pun terjaga. Sinar matahari pagi masuk lewat ventilasi. Terperanjat Atos ketika Nago Salapan tidak ada di pembaringannya. “Mas, Bang Nago tidak ada. Ke mana dia?”
Gugum meregang lengannya, menggeliat. Ia bangkit seraya mendekati Atos yang terpana memandang ke ranjang. “Kamu kan tidur di bawah ranjang. Apa kamu tidak melihat ia bangkit dan pergi?”
Gatal-gatal seketika kepala Atos. “Jangan-jangan penyakitnya kumat. Dan dia pergi begitu saja.” Lalu Atos segera ke belakang, ia berharap Nago Salapan ada di kamar mandi. Tapi lelaki itu tidak ada di sana.
Sementara itu Gugum membuka pintu depan. Pintu tersebut tak terkunci. Dia menyapukan pandangan, kalau-kalau Nago Salapan duduk di sana. Tidak apa-apa.
“Dia tidak ada di belakang,” ujar Atos.
“Dia sudah keluar. Pintu depan sudah terbuka kuncinya. Dan Nago tidak ada di halaman.”
Mondar-mandir Atos gelisah. Kepalanya terasa semakin gatal. Cemas anak muda tersebut. Kalau Nago keluar sendiri, bisa barabe, bisik Atos dalam hati.
Seorang lelaki berlari-lari kecil di jalan gang. Itulah Nago Salapan. Ia terbangun ketika mendengar azan Subuh. Setelah shalat ia keluar mencari udara segar. Atos dan Gugum masih mendengkur. Terasa tubuh Nago semakin segar menghirup udara pagi.
Ketka Atos melihat Nago Salapan berlari menuju rumah, Atos berseru,”Bang Nago!”
Gugum menoleh ke jalan. Ia melihat Nago.
“Saya kira Abang diculik orang,” sapa Atos asal bunyi.
Nago tersenyum. “Diculik? Buat apa saya diculik. Saya bukan politisi atau konglomerat. Saya bangun ketika kalian masih bermimpi di tempat tidur masing-masing.”
Atos mengamati Nago Salapan dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Ia melihat ada perubahan di wajah lelaki tersebut. Wajah Nago berseri-seri. Kemaren ia masih tampak pucat bagai kertas tisu yang dihapuskan ke wajah seseorang. “Ke mana Abang pagi-pagi begini?”
Sambil menyeka keringat dengan handuk kecil, Nago berkata,”Selesai shalat Subuh, saya berjalan di halaman. Ketika saya melihat beberapa orang anak muda maraton pagi itu. Saya pun ikut lari. Eh, tau-taunya sampai di jalan Khatib Sulaiman.”
“Abang maraton sampai ke Khatib Sulaiman?”
“Apa itu aneh…”
“Ya…iyalah. Kalau kondisi Abang masih seperti dulu, ya tidak aneh. Tapi Abang kan masih sakit.” Sekali lagi menelusuri sekujur tubuh lelaki tersebut. Tampaknya lelaki itu memang segar bugar. “Tapi Abang tidak boleh begitu. Apapun alasannya, Abang harus memberi tahukan kepada kami.”
“Oke Bos,” canda Nago Salapan seraya ketawa terkekeh.
Atos pun ketawa lebar.

Beberapa saat kemudian ketiga orang tersebut kelihatan berbincang-bincang di teras, sambil minum kopi. “Syukurlah anda sembuh kembali. Cuma saya heran, tadi malam ketika saya datang, engkau mengerang menahan sakit. Dan engkau tidak mengenal saya. Sungguh luar biasa, pagi ini kamu sehat total,” ujar Gugum.
Nago Salapan menarik nafas panjang. “Ya, sebenarnya saya sudah pasrah Apa yang terjadi – terjadilah. Namun Allah berkehendak lain. Kun Fayakun! Seperti yang kalian lihat saya segar bugar hari ini.”
Gugum paham. Tidak mungkin ia mendesak bagai mana proses kesembuhan pendekar tersebut. Antara sadar dan tidak, tengah malam tadi ia merasakan goncangan hebat. Anehnya, ia tak mampu membuka matanya. Seakan-akan tiada daya untuk bangkit menyaksikan peristiwa tersebut. “Itulah kemukjizatan yang orang awam tak boleh melihatnya,” gumam Gugum.

*

Keesokan hari Gugum mengajak Nago Salapan ke kediaman tuan Logos. “Sebenarnya bapak sudah lama ingin bertemu dengan engkau. Beliau sangat menyesal tidak dapat menjenguk kamu ke rumah sakit. Dia sangat sibuk di Jakarta waktu itu.”
“Karena itukah tuan Logos mengundang saya?”
Tertegun sejenak Gugum, kemudian ia berkata,”Saya juga kurang tahu. Bapak hanya memberi perintah agar mengundang anda.”
Logos telah menunggu Nago Salapan di ruang tamu. Ia tampak ramah menyambut lelaki tersebut. “Pertama sekali, saya mohon maaf karena tidak sempat menjenguk anda di rumah sakit. Tugas saya di Jakarta tidak dapat ditinggalkan. Maklumlah, saya hanya seorang bawahan. Prajurit harus patuh pada pimpinan.”
“Tuan tidak perlu minta maaf. Mestinya saya minta terima kasih pada tuan. Tuan telah meringankan beban kami dalam melunasi biaya perawatan di rumah sakit.”
Komandan itu mengerling pada Gugum.
“perintah bapak telah saya laksanakan. Semua kuitansi yang ada di rumah sakit, yang berhubungan dengan segala biaya di sana. Sudah saya selesaikan.”
“Sudahlah, jangan dibesar-besarkan. Hanya itulah yang bisa saya bantu. Bahkan kalau anda bersedia, saya ingin mengajak anda menunaikan ibadah haji.”
Menunaikan ibadah haji? Terperanjat juga Nago mendengar ucapan tuan Logos. Belum pernah terlintas dalam pikirannya, bagaimana ia bisa menunaikan ibadah tersebut. Lagi pula dari mana ia dapat biaya ONH sebanyak itu.”
Tuan dapat membaca pikiran Nago Salapan. “anda tidak perlu bimbang. Segalanya sudah saya urus. Besok kita Manasik.
Nago Salapan sungguh tidak mengerti. Tidak mengerti kenapa Logos demikian peduli padanya. Apakah tawaran itu benar-benar ikhlas. Atau ada udang di balik batu? Ia menyandarkan punggungnya dalam-dalam ke sandaran sofa. “Apakah nsik haji itu sah jika bukan atas usaha sendiri?” ia menggumam dalam batin.
“Anda tidak usah bimbang. Selama ini anda telah banyak membantu saya, teutama dalam penggerebekan pengirim senjata senjata ilegal oleh Anurangga,” ujar Logos.
Nago Salapan mengalihkan pandangan pada Gugum. Gugum mengerdip memberi tanda agar menerima tawaran itu. “Akan saya pertimbangkan tawaran tuan, sahut lelaki itu kemudian.
Logos tersenyum.

Senja itu NagoSalapan kembali.Gugum menawarkan untuk mengantarkannya tapi lelaki tersebut menolak dengan halus. “Mungkin Mas masih diperlukan tuan Logos. Biarlah saya naik angkot saja.”
Agak lama juga Nago Salapan berdiri di pinggir jalan. Kendaraan yang distopnya selalu penuh. Sebuah sepeda motor melintas di depannya. Seketika lelaki itu terkesima, ia melihat gadis yang berbonceng di belakang itu memeluk erat pemboncengnya. Gadis berambut panjang sebahu itu adalah Nadia. Sedangkan lelaki pembonceng tersebut kurang diperhatikannya.
Ada rasa cemburu dalam Nago. Sampai hari ini ia belum bertemu dengan Nadia. Kemudian ia mendengar kabar Nadia berangkat ke negeri tetangga mengikuti pagelaran tari internasional. Mungkinkah Nadia atau Puti Rinjani melupakannya? “Ah, mungkin saya salah lihat,” gumamnya.
Di atas angkot Nago Salapan masih dibungkus cemburu. Ia tidak habis pikir, kenapa Puti Rinjani melupakan hubungan mereka. Cinta mereka dibangun sejak lama. Ratussan tahun yang lalu. Dalam waktu yang demikian lama memang sering terjadi masalah. “Cintaku tak akan lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas,” bisik Nago dalam hati.
Atau Puti Rinjani cemburu pada Puti Galang Banyak? Ya, lelaki tersebut mengakui bahwa dia hampir saja terperdaya oleh istri Anurangga itu. Tapi aia tidak serendah itu, mau mengorbankan cinta sucinya, hanya karena kenikmatan sesaat. Atau perjalanan zaman membuat cinta mereka mudah rapuh?
*

Tiba di rumah, Nago membuka pintu. Lampu belum hidup. Atos belum kembali. Setelah menghidupkan lampu, ia bergegas ke kamar mandi, berudhuk. Ia berdoa selesai shalat Magrib. Kemudian duduk di ruang tamu. Termenung sendirian Ia masih memikirkan Puti Rinjani. Lelaki itu berusaha membuang jauh-jauh pikirannya pada gadis tersebut. Tapi makin ia berusaha membuangnya makin galau pikirannya.
Tiba-tiba pintu diketok.
“Oh, Pak Uyun. Mari masuk,” basa Nago.
“Tadi sore saya ke sini. Tapi kamu tidak ada. Pintu tertutup. Maka saya balik saja.”
“Ada apa, Pak.”
“Ya, saya ingin menjenguk nak Nago. Kebetulan saya akhir-akhir ini agak sibuk sehingga tak sempat datang menjenguk.”
Nago Salapan tersenyum. “Saya maklum. Mestinya saya mengucapkan terima kasih kepada bapak. Bapak telah bersusah papayah menjaga saya ketika di rumah sakit.”
“Ohoo…Antara sesama Muslim kita harus berbuat lebih dari itu. Apalagi saat nak Nago mendapat musibah. Dan saya kan Er-Te, itulah salah satu kewajiban saya.”
“Terima kasih, Pak.”
“Tapi…”
“Ada apa, Pak?”
“Sore tadi seorang perempuan mencari nak Nago. Ia bilang nak Nago kenalan lama. Saya antar dia ke sini. Tapi nak Nago sedang pergi “
“Lalu?”
“Ya, dia pergi. Katanya, nanti akan hubungi nak Nago lewat HP.”
Sejenak Nago Salapan berpikir,”Seorang perempuan. Siapa dia?” Nago Salapan tak ingin menduga-duga. Ia bertanya pada Pak Uyun,” Bagaimana ciri-ciri perempuan itu?”
Berpikir sejenak orang tua itu. “Dia…perempuan itu rancak bana. Gelang emas di lengannya banyak sekali, hampir sampai ke siku. Ketika ia melangkah kedengaran bunyi gemericing ramai.”
“Pastilah perempuan itu Puti Galang Banyak.”
“Ya, gelangnya banyak.”
“Maksud saya nama perempuan itu Galang Banyak.
“Oya.”
“Maaf, Pak. Dari tadi kita ngomong saja. Bapak belum disuguhkan minum,” ujar Nago seraya ke dalam. Tidak lama kemudian ia membawa dua cangkir kopi.
“Kamu kok repot-repot.”
“Biasalah… Oya, saya baru kembali dari rumah teman. Setelah kami bicara panjang lebar. Dia mengajak saya ikut menunaikan ibadah haji.”
“Syukurlah kalau begitu. Naik haji itu kan panggilan Tuhan. Kamu akan jadi tamu Allah di sana.”
“Tapi saya belum memutuskan. Memutuskan menerima tawaran teman tersebut. Ada sebagian pendapat yang mengatakan untuk melaksanakan ibadah haji tersebut harus dengan biaya sendiri. Kalau dibayarkan orang lain maka hajinya tidak sah,” tutur Nago.
Pak Uyun mereguk kopi. “Kadang-kadang kita memang ragu mengambil keputusan. Apalagi menyangkut menunaikan ibadah haji. Sebenarnya, titik persoalannya terletak pada keikhlasan. Apakah temanmu itu mengajak kamu ke Mekah naik haji?”
“Ia bilang sangat ikhlas.”
“Dan kamu punya niat untuk ke sana.”
“Sebagai sebagai seorang muslim, saya memang sudah lama berniat hendak ke Baitullah. Ya, tapi karena masalah dana itu, niat saya tersebut masih terkatung sampai kini.”
Kembali Pak Uyun menghirup kopinya.
Nago pun mengirup kopinya.
“Nak Nago…”
“Ya, Pak.”
“Sya pernah membaca sebuah hadis,”Rasullulah bersabda, : Ibadah yang kamu lakukan haruslah menurut keyakinanmu. Dan janganlah engkau berdusta.”  Pak Uyun menatap Nago Salapan penuh arti.. “Nah, jika kamu sudah yakin tentang sesuatu. Maksud saya dalam menerima tawaran temanmu itu. Ya, terima saja.”
Nago Salapan diam.
Pak Uyun menyelipkan sebatang rokok di bibir. Ia membakar, asap mengepul ke udara. “Ada tiga panggilan bagi orang yang hendak melaksanakan ibadah haji, “ ujar Pak Uyun tiba-tiba.
“Tiga panggilan. Bisakah bapak jelaskan?”
Pak Uyun mengangguk.  Lelaki itu kembali menghirup rokok dalam-dalam. “Pertama, panggilan setan. Panggilan ini adalah panggilan karena riya. Orang tersebut inin dipuji. Kebetulan punya banyak uang. Entah karena jerih payahnya, entah karena mendapat baru mendapatkan warisan. Atau mungkin karena korupsi dan duit haram. Lantas ia naik haji.” Batuk-batuk ia ketika menghirup rokok. Dan kemudian melanjutkan penuturannya,”Tahukah kamu apa yang terjadi setelah kembali dari Mekah?”
Nago menggeleng.
“Orang yang ke Baitullah karena dipanggil setan ketika ia kembali. Maka perilakunya tidak pernah berubah. Bahkan makin buruk dari semula. Tingkah lakunya tidak mencerminkan seorang haji.”
Mangut-mangut Nago Salapan menyikapi penuturan orang tua tersebut.
Lalu Pak Uyun melanjutkan,”Setan memang tidak pernah puas menggoda manusia, terutama mereka yang lemah iman. Dan kamu bisa melihat dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang telah berkali-kali naik haji, mereka tetap berbuat zalim, berzina dan jadi ahli maksiat. Juga kikir dan sombong.”
“Dan bagaimana dengan orang kedua?”
“Orang kedua adalah orang yang menerima panggilan malaikat. Mereka ditakdirkan meninggal dalam melaksanakan ibadah haji.”
“Masyaallah…”
“Dan orang ketiga. Orang yang menerima panggilan Allah. Mereka datang ke Baitullah mengharap rida Allah. Setelah mereka kembali ke negerinya. Ia semakin tawaduk. Makin giat melaksanakan amal saleh. Dia selalu ingat bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah. Bersyukur menerima nikmat dan sabar ketika mendapat ujian.”
Cukup lama Pak Uyun berbincang-bincang. “Wah, saya sudah bicara panjang lebar. Barangkali saya sepertinya menggurui nak Nago. Maaf kalau menggurui tupai melompat.”
“Ah, bukan begitu,Pak. Saya berterima kasih atas nasehat bapak.” (Bersambung....14)

0 komentar:

Posting Komentar