Senin, 09 Januari 2012

TUANKU JABUS


By: Amran SN
Amran SN


L
elaki itu menyapukan pandangan sekeliling pelabuhan. Terik matahari membakar daun-daun ketaping yang tumbuh di halaman kawasan pelabuhan tersebut. Angin semilir bertiup merontokkan daun tua pohon ketaping. Dedaunan yang menguning itu berderai melayang-layang ke tanah, dan ada juga yang bergulir ke selokan.
            Di depan pelabuhan Muara Panjalinan, menunggu bendi dan pedati. Kendaraan tersebut digunakan oleh penumpang kapal yang hendak ke kampung halaman mereka.
            Tuanku Jabus menenteng kopor anyaman rotan seraya melangkah menghampiri salah satu bendi.
            “Tuan mau kemana?” Kusir bendi bertanya.
            “Ke Subangek”.
            “Ayolah…”
            Segera Tuanku Jabus naik. Ia duduk di belakang kusir sambil memangku kopor anyaman rotannya. Sepanjang perjalanan ia melepaskan pandangannya. Dengan melepaskan pandangan itu, lelaki tersebut dapat mengobati rasa rindu pada kampung halamannya.
            Sepuluh tahun lamanya dia meninggalkan Subangek. Dia tinggalkan istri dan emaknya. Sebelum itu Jantan telah tamat mengaji dan belajar agama Islam pada Angku Marigin di Padang Sarai. Suatu hari Angku Marigin memanggilnya.
            “Hari ini kamu telah tamat belajar pada saya,” kata Angku Marigin.
            “Tapi saya belum merasa apa-apa dibanding murid-murid lainnya, Ngku.”
            Senyum mengukir di bibir Angku Marigin.Lewat cahaya pelita, orang itu menatap jantan. “Merasa diri belum apa-apa adalah sikap yang baik. Tapi pada kenyataannya kamu telah mempelajari segala ilmu yang ku ketahui. Jadi itulah sebabnya saya panggil kamu.”
            Jantan duduk berdiam diri.
            “Saya telah menyurati Syekh Maulana Abdul Rauf di Aceh. Dan kemaren datang balasannya. Segeralah berangkat kesana. Timbalah ilmu sebanyak-banyaknya pada dia,” kata Angku Maringin.
            Berangkatlah Jantan ke Aceh menemui Syekh Maulana Abdul Rauf. Sepuluh lelaki itu berguru di Aceh. Setelah tamat, Syekh Maulana Abdul Rauf mengganti nama Jantan dengan Tuanku Jabus.
            “Tuanku itu gelar ke-ulamaanmu. Sedangkan Jabus … Bukit Keselamatan. Bukankah Engkau tinggal di bukit kampung halamanmu ?” ujar Syekh Maulana Abdul Rauf.
            “Ya, Guru. Kami sekeluarga tinggal di atas bukit.”
            “Nah, sekarang kamu boleh pulang ke kampung halamanmu. Sebarkan ajaran Rasulullah di negerimu.”
            Tersentak Tuanku Jabus ketika roda bendi masuk ke jalan berlubang. Tanpa terasa hampir sampai di kampung Subangek. Lelaki itu menengadah melihat bukit barisan yang memanjang bagai ular naga sedang tidur,
            “Oya, saya belum mengenal tuan. Siapakah gerangan tuan?” kata Kusir bendi ketika Tuanku Jabus turun.
            “Panggil saja saya, Tuanku Jabus.”
            “Tuanku Jabus … Ya, akan saya ingat. Nama saya Ladong. Suatu saat kita bertemu.”
            Matahari kian condong ke barat.
            Lelaki itu melangkah menyeruak semak di antara pepohonan asam kandis. Di persimpangan jalan sana, ia melihat sepasang suami istri duduk bersimpuh di bawah pohon beringin.
            Bau kemenyan menerpa hidung Tuanku Jabus. Sepasang suami istri itulah membakar kemenyan. Di depan mereka ada nasi kuning dan panggan ayam dia atas baki. Bibir keduanya berkomat-kamit seraya menadahkan tangan ke atas pohon beringin.
            “Ya, Si Mambang penghuni beringin sakti. Berilah kami keturunan. Berilah kami seorang anak. Sudah lima tahun kami berumah tangga tapi belum punya keturunan. Kabulkanlah permintaan kami ini Si Mambang….”
            Tuanku Jabus menunda langkahnya. Ia hampiri kedua orang tersebut. “Assalamu’alaikum …” sapa lelaki itu.
            Suami istri itu menoleh tapi tidak menyahut salam Tuanku Jabus.
            Jongkok Tuanku Jabus di depan sesajian itu. Ia berganti-ganti memandang kedua mereka itu.” Kalian sedang apa?”
            “Kami mohon anak pada Si Mambang,” sahut sang suami.
            Tuanku Jabus menggeleng. “Upaya kalian sia-sia. Perbuatan ini adalah syrik. Mempersekutukan Allah dengan yang lainnya,” Tuanku Jabus menjelaskan.
            Suami istri itu saling berpandangan.
            Dan si suami akhirnya mengenal Tuanku Jabus. “Bukankah engkau si Jantan? Ya, tidak salah lagi. Kamu tinggal di atas bukit. Kadang saya melihat engkau mengembalakan kerbau.” Ujar lelaki itu.
            “Dugaanmu tidak salah. Dulu saya bernama Jantan. Tapi sekarang saya bergelar Tuanku Jabus.”
            Moneng, si suami mendengus cemooh. “Saya tidak peduli apakah engkau berganti namamu berganti seribu kali. Tapi saya mengenal siapa engkau. Otakmu belum mengeruhkan air seember. Jadi tidaklah perlu menasehati kami.”
            Tuanku Jabus menoleh pada Syamsiar, istri Moneng itu. Kasihan dia pada perempuan itu, dia subur. Dan msih muda. Sedangkan Moneng berusia sekitar 40-an. Hampir setiap kampung dia mempunyai istri. Tapi tak seorangpun yang di berinya keturunan. Mungkin Monenglah yang mandul.
            “Terserah kamu. Saya hanya mengingatkan kalian berdua. Sia-sia meminta anak pada si Mambang. Jika kalian ingin minta sesuatu mintalah kepada Allah. Allah Maha Pemberi!”
            Kemudian Tuanku Jabus meninggalkan mereka.
            “Bangsat, sok tahu!” Moneng meludah ke tanah. Lantas ia mengajak istrinya pulang.
*

            Sudah seminggu Tuanku Jabus di rumahnya. Kedatangan kembali lelaki itu telah tersebar di seluruh Nagari Koto Tangah. Dia mendirikan surau diatas buki.
            Sementara itu Moneng masih sakit hati pada Tuanku Jabus. Di mana saja ia cemoohkan Tuanku Jabus. Ia sebarkan pada orang Nagari bahwa Tuanku Jabus akan merubah adat istiadat Nagari.
            “Saya letakkan nasi nasi kunyit – singgang ayam di bawah pohon beringin. Dan minta tolong pada si Mambang. Dia katakan saya mempersekutukan Tuhan. Saya tidak tahu apa yang dimaksudnya dengan Allah,” kata Moneng di warung.
            Saat itu masyarakat belum kental benar mengenal dan mengamalkan ajaran Islam. Masih bercampur kebiasaan lama dan kepercayaan animisme. Bahkan masih ada yang makan daging tanpa di masak, ajaran yang dibawa oleh Tuanku Jabus terasa asing bagi mereka!
            Moneng di kenal orang kampung Subangek berasal dari keluarga terpandang. Bapaknya, penghulu Lebe, orang terkemuka di kampung tersebut, disegani masyarakat. Tidaklah salah ucapannya didengar dan diiyakan ketika ia berbicara di lapau atau di warung. Di samping itu, Moneng adalah saudagar beras yang kaya. Karena ia kaya maka tidalah heran kalau Moneng banyak istri.
            “Kamu sekalian harus hati-hati. Dia telah meracuni anak-kemenakan kita dengan ajarannya. Konon setiap akan berbuat anak-anak disuruhnya membaca Bismillahirahmanirrahim. Apakah kalian tahu arti kalimat itu?”
            Orang ramai yang duduk di lapau menggeleng.
            “Saya juga tidak tahu.”
            Ada diantara orang yang duduk itu menggumam sambil membelakang. “Dia juga tidak tahu artinya. Apalagi kita.”
            Puas berceloteh ke barat ke timur di lapau, Moneng segera pergi. Sebelum berangkat, ia membayar minuman orang-orang yang duduk di lapau tersebut.
Di bawah pohon asam kandis sekawan anak-anak sedang bermain gundu. Asyik anak-anak itu bermain – mereka tidak melihat Moneng lewat.
Idong menghitung-hitung gundu kemiri. Tadi dari rumah ia membawa dua puluh kemiri. Selang beberapa lama bermain, ia terus kalah. Gundu kemirinya tinggal sembilan buah.
“Ayo Dong, kenapa kamu termenung ?” kata Bocet
Idong masih berpikir. Gilirannya sudah tiba. Memang ia bimbang. Bila kali ini ia kalah lagi, maka kemirinya tinggal lima butir.
Tiba-tiba ia ingat ajaran Tuanku Jabas. Idong tersenyum.
“Akan saya coba,” ia berkata dalam hati. Anak itu menebarkan sepuluh kemiri ke depan.
Bocet dan dua temannya menghela nafas.
Idong membalik salah satu kemiri. Lututnya yang bertelekan di tanah agak gemetar. “Bismillah…….” Gundu di tangan Idong melayang kencang, dan mengenai dua buah kemiri yang paling jauh!
Anak – anak yang lain melongo.
Idong meraup buah kemiri di tanah.
“Hore, saya menang!” Idong meloncat kegirangan.
Masam wajah Moneng menyaksikan kemenagan Idong. Sambil bersungut-sungut Moneng berlalu. “Pasti ia telah mengajarkan sihir!”
Berita tentang Tuanku Jabas mengajar anak-anak ilmu sihir, cepat berkembang. Para pemuka masyarakat segera melaksanakan rapat di Balai Kerapatan Adat.
“Jika demikian kita datangi Tuanku Jabas. Dan dia harus menghentikan ajarannya,” ujar Penghulu Lebe.
“Kita usir dia dari kampung,” sela Moneng.
“Saya setuju,” Penghulu mendukung usul anaknya itu.
“Jangan!” Penghulu Gadang membantah. “sebaiknya kita nasehati dia. Dia bukan orang lain, ia anak kemenakan kita juga,” sambung orang tua itu.
Pemuka masyarakat yang lainnya-setuju dengan saran Penghulu Gadang.
Lepas senja Penghulu Gadang, Penghulu Lebe, Moneng, dan beberapa orang lelaki mendaki bukit tempat tinggal sekaligus surau Tuanku Jabus. Dari kejauhan mereka mendengar suara anak-anak menggaji membaca Al-Qur’an.
“Suatu kehormatan bagi kami menerima kedatangan Peghulu ke surau ini,” kata Tuanku Jabus menyambut mereka.
“Anak-anak ini belajar pada kamu,” tukas Penghulu Lebe dengan suara tinggi. Ia menyapukan pandangannya ke barisan anak-anak yang duduk bersandar ke dinding. Dihadapan anak-anak itu terkembang surat Jus Amma, dan Al-Qur’an.
“Ya, mereka sedang belajar mengaji dan agama,” Sahut Tuanku Jabus datar.
“Kata orang kamu mengajarkan ilmu sihir. Apa benar?” Penghulu Gadang menyela
“Sihir? Astaghfirullah… Siapa yang menyebarkan fitnah itu?”
Penghulu Gadang melemparkan pandangan ke Moneng. Dan yang  lainnya – kecuali penghulu Lebe. Semuanya menatap Moneng.
Berkeringat kening Moneng. Ia berkipas-kipas dengan telapak tangannya. Gerah sekali dia.
“Silahkan tanya pada anak-anak ini. Apa yang saya ajarkan pada mereka.”
“Kami belajar alif ba ta,” Bocet menjawab sebelum di tanya.
“Juga belajar shalat.”
Penghulu Gadang manggut-manggut. “Sudahlah mari kita pulang. Saya sudah menduga. Tuduhan itu hanyalah fitnah.”


**

Kemarau

R
umput-rumput menguning di tengah padang itu. Terik matahari membakar garang tumbuh-tumbuhan, dedaunan menguning dan kering. Pepohonan tampak lesu dan kekurangan air, ranting-ranting cepat rapuh-berderai di tiup angin semilir.
Anak sungai di hulu sana nyaris kering. Air mengalir tersendat-sendat. Tanah gersang dan rengkah-rengkah.
Tiga bulan lebih hujan tidak turun, setetespun. Udara siang sangat panas-malam dingin sampai menusuk tulang sumsum.
Orang-orang kampung mulai gelisah. Sampai hari itu mereka belum bisa ke sawah, bandar kering tanpa air. Sumur pun sudah dangkal, airnya kuning berlumpur, tidak bisa untuk mandi. Apalagi buat minum. Untuk mendapatkan air minum, mereka harus berjalan ke hulu sungai. Tidak banyak air di sana, satu tempayan harus menunggu sekian lama agar bisa penuh.
Entah kapan hujan datang.
Tuanku Jabus mengiring kerbaunya jauh-jauh ke sarasah. Sarasah terletak di puncak bukit barisan. Disana persediaan air pun mulai menipis. Dan Tuanku Jabus pulang menjelang senja. Kadang lelaki itu ditemani oleh dua orang muridnya, Idong dan Bocet. Jika waktu shalat maghrib datang dalam perjalanan,mereka shalat dalam perjalanan itu.
Mereka ke sarasah sekali dua hari. Oleh karena itu mereka membawa dua tong besar guna diisi ketika pulang. Tong besar tersebut mereka angkut dengan kerbau.
Bila Tuanku Jabus tidak ke sarasah, ia berkeliling kampung. Ia prihatin karena masyarakat mengeluhkan air. Ia hibur mereka dengan memberinya harapan.
“Kita sedang diuji Allah,” ujarnya.
“Tapi hampir empat bulan hujan belum turun.”
“Oleh karena itu berdoalah. Mudah-mudahan doa kita di dengar Allah.”
Sebagian masyarakat mengikuti petunjuk Tuanku Jabus. Tapi ada juga yang mencibir, mencemooh.
“Dia tau apa …”
“Lebih baik kita ke tempat keramat.”
“Atau minta hujan pada Si Mambang.”
Sebagian mereka ada juga yang tidak peduli. Tidak peduli, turun atau tidaknya hujan. Mereka menganggap hujan tidak turun hanyalah peristiwa biasa. Dan bukan ujian dari Tuhan.
“Si Jantan itu ingin terkenal. Dia keturunan orang kebanyakan. Ayahnya kuli angkat di pasar. Kaum kerabatnya tidak mempunyai harta pusaka. Itulah sebabnya mereka memondok diatas bukit,” oceh Moneng sambil mengelus-elus kepala ayam jagoannya,si Kurik itu. “Dan kalau di melihat kita menyabung ayam. Maka dia anggap kitalah penyebab kemarau panjang ini,” sambungnya.
“Mengapa harus berpedoman pada Tuanku Jabus. Biarkan anjing menggonggong tapi kafilah tetap berlalu,” tukas Udin.
Mengapa memiringkan pipinya ke arah Udin. “Kamu bilang apa tadi?”
“Mengapa harus berpedoman pada Tuanku Jabus.”
“Phuih! Jijik saya mendengar panggilan itu… Tuanku Jabus. Sebut saja namanya si Jantan.
Udin terdiam sejenak. “Saya memang latah. Bocet anak saya berguru padanya. Dia memanggil Tuanku pada gurunya itu.” Kata lelaki itu menjelaskan
Asyik bercakap-cakap tanpa terasa mereka sampai di gelanggang adu ayam. Di gelanggang tengah berlaga dua ekor ayam. Orang ramai menonton mengitari sepasang ayam jago yang berlaga itu.
“Ayo Pileh. Patuk terus!”
“Kinantan… Tikamkan tajimu!”
Pemilik ayam aduan tersebut bersorak memberi semangat  pada jagonya. Demikian para petaruh, mereka bersorak-sorai ketika melihat jagoan pilihannya menang di atas angin. Sedangkan bagi petaruh yang jagoan pilihan tampak tersudut dan mulai letih, mereka kesal dan bercarut-bungkang.
Suatu saat ayam Pileh, ayam berbulu hitam bercampur keputihan terkeok. Ayam itu lari keluar gelanggang. Hanya beberapa depa dari gelanggang, ayam tersebut tersungkur. Dan terkulai dengan leher hampir putus kena taji ayam Kinantan.
“Hebat juga ayam Sutan Mudo,” Puji Moneng. Ia mengerling pada Udin. “Coba kamu tanya. Apakah Kinantannya mau diadu dengan si Bangkok ini.”
Udin mengangguk. Ia segera mendekati Sutan Mudo. Mereka berbicara sebentar , tampak Sutan Mudo manggut-manggut.
“Kata Sutan Mudo, kalau Kinantan tak mungkin di adu lagi. Tapi ia punya ayam lain, si Tadung namanya,” lapor Udin.
Moneng mengangguk tanda setuju.
Tidak lama kemudian si Kurik, ayam Moneng dan Tadung milik Sutan Mudo bertarung di gelanggang. Orang ramai bersorak serai kembali. Seakan-akan merekalah yang berkelahi.
Lepas lohor itu, Tuanku Jabus berjalan menyusuri sungai. Air sungai dangkal dan keruh. Beberapa orang anak tanggung mandi dengan timba. Mereka tidak bisa lagi berkecimpung-kecimpung karena air hanya sebatas betis.
Terenyuh Tuanku Jabus melihat keadaan itu. Dan penyakit kudis pun berjangkit, terutama pada anak-anak. “Saya harus berbuat. Tidak bisa berpangku tangan begitu saja,” Tuanku Jabus berkata  dalam hati.
Lelaki itu menemui beberapa oarang lelaki di kampung itu. Ia mengajak mereka mengambil air ke sarasah.
“Benar. Tapi itu cukup jauh dari kampung kita.” kata Tonek.
“Kita perlu bambu yang banyak untuk pembuluh air hingga sampai ke kampung.” yang lainnya menukas.
“Benar. Tapi jika kita gotong royong, tidak akan berat.”
“Oya. Kalau begitu kapan kita mulai,” kata Tuanku Jabus.
Sebagian masyarakat Subangek segera bergotong royong. Mereka siapkan bambu-bambu untuk pembuluh. Dan ada pula yang bekerja menyiapkan penampung air, membuat kulah atau bak air besar.
Hampir sebulan penuh mereka bekerja. Akhirnya air sarasah itu dapat mengalir ke bak penampung. Sesuai kesepakatan bersama maka air dalam bak penampungan hanya untuk minum saja. Sedangkan untuk mandi tetap sungai.
Tetapi Moneng dan kawan-kawannya tetap tidak senang. Mereka terus menebar fitnah dan kebencian pada Tuanku Jabus.
“Kalian semua bodoh. Sudah bersusah payah mengalirkan air dari sarasah ke kampung. Tapi airnya hanya untuk minum.”
“Kalau air itu digunakan buat mandi dan mencuci. Jelas tidak cukup.” Bantah Tonek.
“Ya. Kita tunggu saja hujan datang.”
“Kapan hujan datang? Tahun yang akan datang. Pikiran kalian memang sudah dikotori Tuanku Jabus,” kata Moneng dengan sinis.
Hujan memang tidak pernah turun. Tanah telah rengkah-rengkah. Tanaman dan pepohonan sudah banyak yang mati. Daun-daun tua yang telah menguning berserakan, kadang bertebaran ditiup angin.
Pada malam itu Tuanku Jabus duduk bersimpuh di sajadah. Selesai shalat tahajud, Tuanku Jabus selalu tafakur berdoa memohon kepada Allah.
“Ya, Allah tunjukkan saya jalan yang lurus. Dan tunjukkan mereka jalan yang benar. Jalan yang Engkau ridhai, bukan jalan yang Engkau murkai…….” Mata Tuanku Jabus terpejam, bibirnya terus melantunkan doa-doa.

“Wahai Sang Khalik ,kami tahu Engkau tidak akan memberi beban yang tidak mungkin sanggup kami pikul. Kemarau yang panjang, kekurangan makanan, fitnah yang merajalela adalah ujian dan peringatan-Mu. Ya, Allah siramlah bumi kami dengan hujan. Maafkanlah mereka tapi takdir-Mu akan saya terima,” desah Tuanku Jabus, lalu mengusap wajahnya.
Lelaki itu memandang murid-muridnya yang tidur lelap beralaskan tikar pandan. Sekarang di surau itu bukan saja terdiri dari anak-anak tanggung. Tapi orang dewasa pun telah belajar pada Tuanku Jabus. Mereka, Tonek dan Lodong, si kusir bendi itu.
Sejenak Tuanku Jabus merebahkan tubuh di tikar. Antara tidur dan jaga, Tuanku Jabus melihat kabut tipis mengapung dalam ruangan surau. Di mihrab!
Kabut tipis itu se konyong-konyong lenyap. Tampak sosok bayangan.
Tuanku Jabus mengucek-ngucek matanya. Ia seperti tidak percaya pada apa yang dilihatnya di mihrab. Syekh Maulana Abdul Rauf  duduk di sana menatapnya.
“Guru…” Tuanku Jabus segera duduk
“Ya…. Wahai muridku. Engkau memang sedang diuji. Menegakkan kebenaran tidaklah mudah. Tapi kamu jangan putus asa. Allah memperlihatkan yang haq dan melenyapkan kebatilan.”
Ayam berkokok.
Syekh Maulana Abdul Rauf  lenyap bersama kabut tipis. Tuanku Jabus terpana. Fajar pun menyingsing.


**



Banjir Bandang

K
etika matahari terbit sepenggalahan serombongan orang berkumpul di lapangan. Mereka adalah murid-murid dan pengikut Tuanku Jabus yang hendak melaksanakan shalat istisqa atau shalat hujan.
Orang-orang kampung yang mendengar dengungan doa jamaah Tuanku Jabus segera berdatangan, mereka ikut bergabung. Bahkan ada diantara mereka yang menggiring ternak-ternaknya.
Tua-muda, gadis, dan janda, yang buta datang berbimbing, yang pincang datang bertongkat, yang lumpuh berdukung. Sebagian besar warga kampung datang untuk ikut shalat hujan tersebut.
Selesai shalat hujan, Tuanku Jabus menyiapkan khotbahnya. “Sanak saudara saya yang di rahmati Allah. Kita baru saja melaksanakan shalat Istisqa atau shalat hujan. Seperti yang kita alami sekarang, kemarau tahun ini memang amat panjang. Kita kekurangan air. Dan kita telah berusaha bergotong royong menyalurkan air dari sarasah ke kampung ini. Namun hal itu belum dapat memenuhi kebutuhan kita bersama.”
“Ya, saya belum bisa mandi. Kulit ini gatal-gatal setelah mandi di sungai. Air sungai dangkal dan keruh,” tukas seorang jamaah.
“Anak saya yang bungsu kena kudis,” timpal seoarang ibu muda.
“Husy… jangan bercakap-cakap. Dengarkan khotbah Tuanku!”
“… Sebagai orang beriman, kita akan diuji Allah. Bahkan kita diberi peringatan agar sadar dan bertobat. Oleh karena itu, marilah kita tinggalkan larangan dan kerjakan suruhan-Nya.”
Tuanku Jabus menutup khotbahnya. Kemudian mengajak jamaah berdoa mengharap ridha Allah. Orang ramai menyalami Tuanku Jabus, berlalu hendak kembali ke rumah atau pergi ke ladang.
Matahari di atas sana terasa semakin panas.
Di antara kerumunan orang ramai tiba-tiba kedengaran sorak lantai. “Dia penipu. Lihatlah ke atas sana. Terik matahari makin garang memanggang tubuh kita!”
Orang ramai menoleh ke arah suara itu. Mereka melihat Moneng dan beberapa orang lelaki mencibir ke arah Tuanku Jabus. Moneng mendekati Tuanku Jabus. Ia menuding lelaki itu.
“Kapan datang hujan?”
Sedikitpun  Tuanku Jabus tidak tersinggung oleh ucapan lelaki itu. “Hujan pasti datang bila Allah menurunkan,” sahut Tuanku Jabus tenang.
“Jadi yang kalian lakukan ini untuk apa?”
“Kami berdoa dan memohon kepada-Nya.”
Moneng ketawa terbahak-bahak. Laki-laki tersebut memandang teman-temannya, lalu berkata, “Betapa sia-sia dia mengajak orang kampung berdoa di lapangan luas. Mana hujan itu!”
Udin, Onot dan yang lainnya pun ketawa.
Kesabaran seseorang ada batasnya. Demikian juga dengan Tuanku Jabus. Ia emnadahkan tangan ke langit, “Ya Allah… Engkaulah Yang Maha Tahu. Ampunilah aku.”
Lelaki itu mengambil sebatang ranting.
Moneng dan kawan-kawannya ketawa terbahak-bahak.
“Apa pula yang akan ia lakukan dengan sebatang ranting itu?”
“Mungkin ia mencongkel tanah menggali air.”
Moneng mencibir. Ia melangkah makin dekat, jongkok dekat ranting yang ditancapkan Tuanku Jabus. Lalu ketawa terkekeh-kekeh. “Saya tidak melihat air “
“Ya… ya. Tapi air itu tidak ada.”
“Cabutlah ranting ini. Kalau kamu berhasil mencabut ranting yang saya tancapkan ke bumi itu. Kamu akan melihat air.”
Moneng memandang Tuanku Jabus dengan tatapan sinis. “Ranting sekecil ini harus saya cabut? Alangkah mudahnya,” ujar Moneng seraya menarik ranting tersebut.
Udin dan kawan-kawannya melongo.
Orang ramai terpana.
Ranting tersebut tidak goyah sedikitpun ketika Moneng mencabutnya. Ia coba berulang-ulang, keringat membasahi sekujur tubuh Moneng. Heran dia kenapa ranting yang ditancapkan ke tanah oleh Tuanku Jabus tak bergeming. Walaupun ia telah mengerahkan segenap tenaganya.
“Udin. Ayo kalian bantu saya!”
Udin , Onot dan enam orang lainnya segera membantu Moneng. Semula mereka mengira akan mudah mencabut ranting itu. Sembilan orang jumlah mereka sekarang.namun tetap saja ranting itu tak tercabut!
Dasar Moneng keras kepala. Lagi pula ia sangat malu, betapa di hadapan orang ramai, ia tidak mampu mencabut rantingyang dipancangkan Tuanku Jabus. Entah kemana mukanya akan disurukkan bila ia tidak sanggup membongkar ranting tersebut.
“Kalian itu bagaimana? Badan saja besar seperti kerbau tapi tak bertenaga. Ayo, cabut lagi!” Moneng menghardik.
Mereka menyeka keringat. Sungguh mereka tidak habis pikir, bagaimana ranting kecil itu bisa membuat mereka kewalahan. Biasanya, jangankan ranting, pohon dapat mereka tumbangkan,
Matahari memanggang garang dia atas ubun-ubun mereka. Keringat Udin dan kawan-kawannya sudah sampai tumit.
“Satu… dua… tigaaaaa!”
Mereka berseru bersama. Kaki  mereka bersitumpu di tanah. Wajah mereka merah karena mengerahkan tenaga. Ranting itu tetap tak bergeming. Keringat menetes.
Terperanjat Moneng.
Udin, Onot dan keenam temannya memekik histeris. Mereka menjauh dari ranting itu. Keringat yang keluar dari tubuh mereka, bukanlah peluh biasa. Tiap pori-pori kulit mereka tampak bintik merah. Keringat darah!
“Saya tidak kuat,” rintih Udin. Dan teman-temannya terhenyak di tanah. Sepasang lutut mereka masing-masing gemetar. Bintik-bintik merah terus meniris dari pori-pori kulit.
“Bangsat kamu!” Moneng memekik dan meraung.
Tuanku Jabus melangkah mendekati rantingtersebut. Ia menyapukan pandangan pada orang ramai. “Sanak saudara. Saya telah berjanji jika ranting ini dicabut, Moneng akan melihat air. Atas kehendak Allah dan ridha-Nya. Saya ucapkan Bismillahi Rahmanir rahim….
Enteng sekali Tuanku Jabus mencabut ranting itu, seakan-akan ia tidak menggunakan tenaga. Kini ranting itu ada dalam genggaman lelaki tersebut.
Sekonyong-konyong kedengaran petir di angkasa.
“Air… Air… Air!”
Benar! Air muncrat dari bekas ranting yang menancap itu. Kian lama kian besar lobang bekas ranting menancap. Air menyembur-nyembur dan menggenangi lapangan tersebut.
“Kampung ini akan terbenam. Kalian semua harus menyingkir ke atas bukit!” Tuanku Jabus berseru.
Orang ramai tersentak. Mereka segera berlarian menuju bukit. Ada yang menggendong anak, ada membimbing orang tuanya, ada yang menghalau ternak.
“Kain dan baju saya masih di rumah !”
“Kambing saya dimana?”
“Aduh, bayi saya dalam buaian.”
Hiruk pikuk suara orang ramai. Bersamaan itu hujan pun turun bagai dicurahkan dari langit. Air semakin tinggi, sudah sebatas pinggang.
“Ayo mari kita pulang,” ajak Moneng. Ia berlari duluan.
“Tunggu dulu. Saya tidak kuat,” rintih Udin. Lelaki itu bukan lari ke kampung tapi ke bukit, Moneng segera mengejar Udin
“Kamu lari kemana? Kampung ini tidak akan tenggelam. Percayalah pada saya!’
“Tidak. Saya lebih baik ke bukit!”
“Pandir kamu!”
Memang ada sebagian yang tidak percaya bahwa kampung tersebut akan tenggelam. Sebab mereka ingat akan harta benda yang tinggal di rumah.
Hujan turun deras. Sementara itu, air di bawah tanah terus menyemburke atas. Dalam sekejap air sudah sampai sedada orang dewasa. Lidah air bergelora deras, menghanyutkan apa saja. Pohon-pohon bertumbangan, pondok yang terletak dekat lapangan hanyut.
Moneng berenang melawan gelombang air. Tapi ia dihanyutkan air, timbul dan tenggelam. Sedaya mungkin ia menyelamatkan diri. Laki-laki tetap bersikeras menolak ajakan Tuanku Jabus.
Senja pun datang. Air bah terus menggelora. Moneng, dan beberapa orang kampung yang tidak mau mengungsi ke bukit, tenggelam diseret arus..
**

Seminggu kemudian air susut kembali,mereka yang mengungsi ke bukit kembali ke kampung. Beberapa saat kemudian, kampung itu dibangun kembali. Mereka juga membangun sebuah surau.
Tuanku Jabus mengangkat Ladong sebagai wakilnya di surau tersebut. Kadang-kadang Tuanku Jabus ikut juga mengajar di surau sana.
Pada usia 70 tahun Tuanku Jabus meninggal dunia. Ia di kuburkan murid-muridnya di atas bukit itu. Sekarang surau Tuanku Jabus sudah tidak ada lagi. Orang pun tidak menemukan jejak kuburannya. Konon ia telah mengirap ke langit, seminggu kematiannya.

***


TAMAT

Catatan: 
Bagi pembaca atau penerbit yang berminat untuk menerbitkan cerita anak ini dapat menghubungi saya Amran SN Hp. 081266880894 





           

0 komentar:

Posting Komentar