Senin, 09 Januari 2012

KECAPI NAGA (6)

Pertarungan di Airdingin

Diluar dugaan kalau ia akan bertemu dengan Puti Bagalang Banyak alias Olivia. Sebenarnya Nago hendak merebahkan diri di ranjang malam itu. Namun kedatangan Olivia ke rumah tersebut membuat lelaki itu kembali bangkit.
“Apakah saya mengganggu anda, tuan pendekar?” basa-basi Olivia.
Nago menggeleng halus. “Kamu datang sendirian?”
Perempuan itu mendesah renyah. “Ya, saya anggap pertemuan ini sangat spesial. Antara kamu dan saya.” Perempuan muda tersebut membuka jaketnya, lalu menyampirkan ke sandaran kursi. Tampak belahan kaos di dadanya sangat rendah sehingga kelihatan tumpukan dadanya menantang bagai sepasang gunung kembar. Olivia memang selalu terkesan seksi setiap penampilannya.
“Kamu ingin bicara apa?”
“Bicara antara seorang perempuan dengan seorang lelaki.”
Jatuh tatapan Nago ke lantai sejenak. Ketika ia mengangkat kembali wajahnya, ia melihat senyum perempuan itu. Senyum bibir yang basah menggoda. Memang tidak dapat dipungkiri, Olivia adalah perempuan cantik jelita. Lekuk-lekuk tubuhnya mengundang birahi dan meruntuhkan iman setiap lelaki yang memandangnya.
Di luar turun gerimis. Udara dingin menusuk tulang.
Perempuan muda itu mendekat. Bahunya menyentuh bahu Nago. Dan wajahnya pun dekat. Harum parfum dan nafas menebar di ruangan tersebut.
Nago menggeser duduk agar bahunya berjauhan dari Olivia. “Saya tidak mengerti maksudmu,” tukas Nago gamang.
“Apakah saya tidak secantik Puti Rinjani?”
Makin gamang Nago mendengar ucapan perempuan itu. Ia ingat kembali peristiwa di bungalow. Hampir saja ia masuk perangkap Olivia.
“Atau kamu membenci saya?”
Pertanyaan Olivia begitu pendek. Tetapi sukar untuk dijawab. Apalagi ia yang harus menjawabnya. Bencikah ia pada perempuan itu? Apakah Olivia kalah cantik dari Nadia? Sudut mata Nago menelusuri wajah Olivia yang duduk di sampingnya. Secara kasat mata, sosok perempuan tersebut tampak ceria, terbuka dan seksi. Namun dibalik kedatangannya, ia menyembunyikan sesuatu. “Saya sungguh tak mengerti. Kenapa saya harus membenci kamu.”
Olivia menyibakkan rambutnya. Lalu mempermainkan gelang di lengannya. Kemudian tersenyum. “Jadi kamu tidak membenci saya?”
Lelaki itu menggeleng pelan.
Gerimis semakin tebal di luar sana.
“Kamu membawa pesan dari Anurangga?”
“Saya sudah kuduga kamu akan bertanya seperti itu. Namun saya sungkan menyampaikan padamu pendekar.”
“Kenapa kamu tidak tega. Sampaikanlah, bila itu penting.”
Olivia menjatuhkan pandangan ke lantai. Berat hati perempuan itu berkata, sebab pesan tersebut menyangkut hidup mati. Ia gigit bibirnya menahan perasaan agar ia menyampaikannya. “Ia menantang tuan pendekar bertarung.”
“Ia kembali menantang saya bertarung?”
“Ya.”
Nago menarik nafas dalam-dalam. Pikirannya menerawang jauh. “Agaknya Anurangga tidak akan pernah puas sebelum melenyapkan saya,” gumam lelaki tersebut. “Ya, perseteruan ini tidak akan habis-habis menjelang salah seorang tewas. Mungkin inilah takdir bagi manusia abadi. Antara manusia abadi golongan putih dengan manusia abadi golongan hitam.”
Perempuan itu mengerling pada Nago. Ada rasa khawatir dalam hati Olivia. Sekarang Anurangga, suaminya itu memiliki pedang Jinawi, sebuah pedang sakti yang dapat membunuh manusia abadi. Dulu boleh saja Nago lolos dari pedang tersebut. Namun kali ini Anurangga benar-benar bersumpah untuk menghabisi Nago. Apalagi sekarang Anurangga dibantu pula oleh Kati Muno.
“Kapan waktu dan tempatnya ditentukan?”
“Besok malam setelah tarwih. Anurangga menunggumu di Airdingin.”
“Jangan khawatir. Saya akan datang ke Airdingin.
Kelat kerongkongan Olivia mendengar jawaban Nago. Ia membakar rokok di bibir guna menghilangkan stres yang datang tiba-tiba. “Mestinya kamu menghindar,” ujarnya kemudian.
“Menghindar? Anurangga akan mengejar saya ke mana pun lari. Kematian bukanlah hal yang perlu ditakuti. Capat atau lambat, kematian akan datang kepada siapa saja.”
Asap rokok Olivia berbundar-bundar melayang ke udara. Sesaat kemudian ia mematikan rokok tersebut di asbak. Lalu menatap lelaki di sampingnya itu. Tanpa sadar perempuan itu meremas jemari Nago. “Saya tidak ingin kehilangmu, Nago. Saya menyintaimu,” desah gadis itu.
Nago melepaskan jemari dari genggaman perempuan tersebut. Di luar gerimis semakin tebal. Dingin malam merasuk ke tulang sumsum. “Sebaiknya engkau menyintai suamimu. Cintailah Anurangga.”
“Saya tidak menyukai dia. Dia pun begitu.”
Nago Salapan diam.
Puti Bagalang Banyak atau Olivia pun hening. “Malam telah larut. Lebih baik saya pamit,” ujar perempuan itu.
Lelaki itu duduk termanggu ketika Olivia bangkit dan keluar. Beberapa jenak kemudian kedengaran bunyi mobil menderu.

**

Selesai berbuka Nago berangkat ke Airdingin naik motor besar. Ia tarwih di masjid An Nur. Beberapa saat kemudian terlihat lelaki tersebut memacu motor melewati jembatan Lubuk Minturun. Nago menikung ke kanan masuk kawasan Airdingin. Dulu jalan Airdingin dipersiapkan pemerintah kota sebagai jalan alternatif menuju Solok. Oleh karena itu orang-orang berduit membeli tanah di sekitar kawasan tersebut. Bahkan ada yang membangun vila di kaki bukit. Namun sekarang, kawasan itu seperti dilupakan. Jalan yang telah dikerikil dan dikeraskan, kini mulai rusak.
Hujan turun lebat. Nago memakai mantel yang memang sudah dipersiapkannya sejak dari rumah. Langit hitam bagai belacu hitam. Dengan sorot matanya yang tajam, lelaki tersebut melihat sebuah dangau di pinggir jalan. Nago masuk ke jalan setapak. Kini ia telah duduk di dangau.
Waktu terus berlalu. Malam semakin dingin. Hujan menggenang menyirami tanah. Anurangga belum tampak muncul. Menjelang kedatangan lawannya itu, Nago bertasbih, tahmid dan tahlil. Dangau tersebut bergetar.
Hujan mulai reda berganti dengan gerimis. Langit masih kelam. Kala itu sebuah jip bergerak menyusuri jalan. Sekitar 100 meter dari dangau jip tersebut berhenti. Di antara guyuran gerimis, di antara pekat malam turun tiga orang lelaki dari jip itu. Mereka memakai mantel hujan. Manusia Kucing dan Janggo menyandang senjata otomatis. Sementara itu di belakang, Anurangga memegang sebilah pedang. Pedang Jinawi.
“Kalian melihat bayangan di dangau itu?”
“Ya.”
“Nago telah menunggu kita,” tukas Manusia Kucing. Ia segera menurunkan senjata di bahunya. Janggo pun demikian.
Sorot matanya yang tajam bagai mata elang, Anurangga dapat melihat Nago duduk di atas dangau. Ia lalu menoleh pada Janggo. “Kamu kembali ke mobil. Saat lelaki itu mendekati kita. Kamu hidupkan lampu!”
Kedua orang itu mengangguk. Manusia Kucing segera berlari mendekat. Sedangkan Janggo kembali ke mobil.
“Nago!” Manusia Kucing bersorak.
Nago telah mengetahui kedatangan mereka. Ia melihat bayangan di sana. Lelaki tersebut turun dari dangau. Tenang langkahnya mendekat. Ia melihat Manusia Kucing berdiri mengarahkan senjata padanya.
Dan ketika Nago melangkah selangkah lagi, tiba-tiba lampu mobil menyala. Terang benderang cahaya itu, menyilaukan mata. Berkedip mata Nago sesaat. Namun dengan satu tarikan nafas, pandangan mata lelaki itu menyorot lebih tajam dari lampu mobil di sana.
Anurangga mencabut pedang Jinawi. Langit tiba-tiba berkuak. Di saat itu pula kedengaran suara pekik histeris keluar dari pedang yang tercabut tersebut.
Nago menunda langkahnya. “Agaknya kali ini Anurangga tidak main-main,” gumamnya. Ia pernah merasakan ketajaman pedang Jinawi.
“Nago! Apakah kamu punya pesan terakhir sebelum mati.” Kedengaran suara Anurangga bersiponggang.
Gerimis mulai reda. Burung hantu di dahan pohon merantih berbunyi. Suasana terasa mencekam.
Nago mendengus. “Kematian bukan urusanmu. Mestinya kamu yang harus berhitung. Menghitung dosa-dosamu!”
Kaku wajah Anurangga mendengar sindiran Nago. Ia menghentakkan kaki kesal. Dan memberi perintah pada kedua anak buahnya. “Tunggu apa lagi. Habisi dia!”
Janggo melompat dari mobil. Dan bersamaan dengan itu kedengaran rentetan senjata otomatis meledak-ledak. Peluru-peluru beterbangan dari laras senjata kedua orang tersebut. Nago yang sedang berdiri tampak dibungkus oleh siraman peluru-peluru itu.
Burung-burung yang sedang lelap di sarangnya, terperanjat. Mereka terbang ke udara. Kera-kera di atas pohon memekik riuh rendah. Binatang itu berlompatan, mencari tempat persembunyian yang aman.
Anurangga ketawa terbahak-bahak.
Manusia Kucing dan janggo menyeringai puas. Mereka yakin sasaran tembaknya mengena dengan jitu. Betapa tidak, senjata otomatis di tangan mereka mampu membunuh sekawanan gajah. Sukar dipercaya kalau Nago akan selamat dari berondongan peluru tersebut.
“Cari bangkai lelaki itu!”
Kedua orang itu segera bergegas mencari mayat Nago. Mereka melihat tanah bekas tempat lelaki itu berpijak telah berhamburan. Berhamburan jadi lumpur. Mereka menyapu lumpur dengan kaki, keduanya berharap menemukan mayat Nago.
Anurangga berdiri pongah. Ternyata senjata otomatis pembunuh gajah mampu meluluh-lantakan Nago Salapan. Untuk selanjutnya, ia akan berbuat kemungkaran di muka bumi. Nago Salapan telah mati jadi bubur!
Hampir setengah jam mereka mencari mayat Nago Salapan, tapi belum juga ditemukan. Apakah laki-laki benar-benar tewas? Dan kalau memang dia tewas, kenapa mereka tidak menemukan tanda-tanda sedikit pun. Sekurang-kurangnya serpihan dagingnya yang berserakan. Manusia Kucing was-was.
“Mungkin dia telah hancur lebur,” tukas Janggo.
“Agaknya begitu,” sahut Manusia Kucing.
“Mari kita pergi.”
Anurangga melangkah masuk hendak ke jip. Malam semakin dingin.
Tiba-tiba kedengaran teriakan. Anurangga menoleh. Lelaki itu terbelalak. Janggo melayang bagai daun kering di udara. Manusia Kucing melepaskan tembakan. Di sana berdiri Nago Salapan. Tersenyum sinis lelaki tersebut memandang Manusia Kucing yang menghamburkan peluru.
           
Peluru-peluru yang keluar dari senjata otomatis mencurah bagai hujan lebat yang mencurah dari langit. Sedikit pun Nago beranjak dari posisinya. Menurut akal sehat tentulah lelaki ini akan cabik-cabik. Tubuhnya akan beserpihan bagai ikan sardin dalam kaleng. Ternyata, sebelum peluru-peluru itu mengenai tubuhnya, ada semacam dinding tanpa ujud melindungi tubuh Nago Salapan. Sejengkal sebelum mendekati tubuh lelaki tersebut, peluru-peluru itu jatuh berderai ke tanah.
“Puaskah engkau?”
“Bangsat!”
Manusia Kucing menarik pelatuk senjatanya kembali. Kedengaran bunyi “klik”. Terperanjat ia, peluru dalam magazin telah habis. Mengeong kesal Manusia Kucing, ia melemparkan senjata tersebut.
Tenang langkah Nago mendekati lawannya.
Manusia Kucing tidak ingin kehilangan pamor, segera ia mencabut clurit di pinggangnya. Lantas dengan penuh emosi, ia menyabet ke arah lawan. Tapi sabetannya menemui tempat kosong. Dan sekonyong-konyong, ia merasakan lengannya nyeri. Nyeri karena lengan itu ditelikung Nago. Manusia Kucing meraung panjang, lengannya berderak patah. Berikutnya, Nago menjambak rambut Manusia Kucing dan lehernya berderak patah!
Kering kerongkongan Anurangga. Telapak tangannya yang menggenggam hulu pedang Jinawi terasa licin karena keringatan. Ia tergugah melihat kematian Manusia Kucing.
Langit terang benderang seketika. Sejumput lidah api menerpa mayat Manusia kucing. Kedengaran bunyi mendesis. Mayat itu terbakar. Lalu muncul asap biru tipis dan melayang ke arah Nago salapan.
Tubuh Nago Salapan bergetar hebat. Hawa murni roh Manusia Kucing bersatu masuk ke dalam tubuh lelaki tersebut. Tubuh Nago Salapan semakin kencang bergetar. Lalu ia memekik!
Bersamaan dengan itu Anurangga berlari kencang seraya mengayunkan pedang Jinawi. Ia menebas dada Nago. Terjadi dua pertemuan pekik antara kedua lelaki tersebut. Petir menyambar! Ada sosok terhempas bagai layang-layang putus.
Sunyi seketika.
Di sana, Janggo bangkit dengan susah payah. Wajah dan mulutnya penuh lumpur. Ia ludahkan lumpur itu berkali-kali. Pinggangnya terasa ngilu dan terjerembab. Saat itu melihat sosok terkapar. “Tuanku,” sapanya lemah.
Nasib Anurangga tidak jauh lebih baik dari Janggo. Ketika ia melihat Nago menyerap hawa murni yang keluar dari tubuh Manusia kucing, Anurangga coba mencuri kesempatan untuk menyerang lawannya itu. Dengan pedang Jinawi, ia yakin bisa mempecundangi Nago Salapan.
Dugaan Anurangga ternyata meleset. Nago Salapan lebih cepat menyerap hawa murni roh Manusia kucing, dan kekuatan lelaki tersebut jadi kian berlipat ganda. Saat Anurangga menebaskan senjatanya, lawannya itu membalikkan serangan tersebut. Serangan balik tersebutlah yang membuat Anurangga terlempar bagai layang-layang putus. Tulang belulang Anurangga seakan-akan rontok.
“Tuanku tidak tidak apa-apa?”
Anurangga merintih. Ia menggenggam pedang Jinawi tapi tenaganya telah kosong. Tinggal lagi tenaga untuk merangkak. “Kita harus kembali, “ lelaki tersebut.
“Ya, saya memang sudah tak kuat.”
Keduanya beruasa bangkit. Mereka tertatih-tatih menuju mobil. Dan akhirnya berhasil naik kendaraan tersebut. Tidak lama kemudian, jip itu tampak bergerak. Sementara itu Nago memperhatikan dari jauh. Walau pun sebenarnya nago masih bisa menghadang jip itu. Tapi dia membiarkan saja.
Dan saat yang bersamaan, muncul dua kendaraan, sebuah jip dan truk militer. Kedua kendaraan tersebut membelintang menghadang jip yang ditompangi Anurangga dan Janggo.
Logos turun dari jip. Sang komandan tersebut berseru lewat mikropon,”Tuan Anurangga. Tuan ditangkap demi hukum!” Menggema suara seruan itu.
Anurangga bersandar di jok. Lewat kaca depan, ia melihat puluhan serdadu melompat turun dari truk. Mereka bergerak menuju jip yang ditompanginya itu.
“Mereka mengepung kita, Tuanku.”
“Diam kamu!” Geraham Anurangga gemeretak, ia menghidupkan kembali mesin mobil. Tiba-tiba jip itu menderu kencang. Anurangga nekad menerobos kepungan tersebut. Serdadu-serdadu berkuak dan mencari posisi masing-masing.
Berhamburan hujan peluru ke arah jip Anurangga. Jip tersebut miring ke kiri dan kanan. Anurangga benar-benar nekad, ia tidak peduli dua kendaraan militer menghadang. Jip itu terus melaju dengan kecepatan tinggi.
Logos mengusap wajahnya. Dingin wajah itu. Betapa pun kuatnya mental Logos tapi ketika jip Anurangga melaju kencang hendak menabrak jip yang ditompanginya, Logos terguncang juga. Namun tembakan gencar serdadu-serdadu itu berhasil menggulingkan jip Anurangga. Maka selamatlah nyawa Logos.
Jip terguling rebah kuda. Tercium bau bensin. Tangki bensin kendaraan Anurangga bocor karena berondongan peluru. Kedengaran rintihan kesakitan. Di depan tampak Janggo berlumuran darah, tubuhnya tergencet stir. Mesin mobil masih hidup, api mulai menjalar ke tangki bensin.
Segera Nago bertindak cepat, ia keluarkan lelaki tersebut. Janggo meraung-raung kesakitan. Gugum dan Kompe berlari ke sana, ikut membantu menyelamatkan Janggo. Mereka menyeret tubuh lelaki tersebut, menjauh dari mobil yang dijilat api.
“Mana Anurangga?” Gugum bertanya.
“Coba lihat kembali dalam mobil. Mungkin ia masih di sana,” sahut Nago.
Gugum menyenter ke dalam mobil tapi ia tidak melihat Anurangga. Sementara itu api semakin marak. Sebentar lagi kendaraan tersebut akan meledak. Mereka segera bergegas keluar dari tempat itu. Jip tersebut meledak!
Asap hitam mengepul ke udara. Bunga-bunga api menjulang ke angkasa. Tidak lama kemudian kedengaran letupan-letupan. Api makin besar meludaskan kendaraan itu.
Logos terpana. Ia mengerling pada Janggo yang meringkuk di tanah, tangannya telah diborgol Kompe. “Naikkan dia ke atas truk!” Logos memberi perintah. Lantas Kompe memapah Janggo ke truk. Janggo melangkah terseok-seok. Dua orang serdadu menarik lengan lelaki itu, dan mendorongnya ke atas truk.
“Mana Anurangga?” tanya Logos pada Gugum.
“Ia terbakar bersama jip itu, “ sahut Gugum. “Saya berusaha mencarinya dalam kendaraan tersebut. Tapi…”
Sang komandan itu menoleh pada Nago. Lelaki itu memahami bahwa Logos minta pendapatnya tentang Anurangga. “Anda harus tahu siapa Anurangga. Dia manusia seperti apa?”
“Dia otak penyelundupan senjata ke daerah konfik. Kami baru saja menggagalkan penyelundupan tersebut. Orang-orang Anurangga telah kami tangan.”
“Sykurlah kalau begitu. Tapi tuan belum menjawab pertanyaan yang saya ajukan tadi,” kata Nago.
“Saya tidak mengerti maksud tuan.”
Tersenyum Nago. Ia memandang Logos. Lalu Gugum dan Kompe. Kemudian beralih lagi pada Logos. “Anurangga bukan mansuia biasa. Ia manusia abadi. Dia tidak mungkin tewas semudah itu. Saya menduga, Anurangga telah lolos.”
Berkerut kening Logos mendengar penjelasan Nago. “Anurangga lolos. Bukankah di hangus terbakar bersama jip tersebut?”
Anjing melolong di kejauhan.
Kilat bercahaya di langit.
Sekonyong-konyong kedengaran ketawa menggema dari jauh. Semuanya berpaling ke arah gema suara tersebut. Bersamaan dengan gema ketawa itu, di atas pohon merantih sana tampak berdiri sosok hitam. Nago mengetahui sosok hitam tersebut adalah Anurangga. “Itulah Anurangga,” tukas Nago Salapan.
Logos menghempaskan kaki ke tanah. Geram ia bukan main. Segera ia memberi perintah agar mengejar Anurangga ke pinggir hutan tersebut. Serdadu-serdadu bersiaga hendak mengejar buruan itu.
“Hentikan!”
Logos menatap tajam kepada Nago.
“Jika pasukan tuan mengejar Anurangga. Korban akan berjatuhan di pihak tuan,” Nago Salapan memberi peringatan.
Semakin tajam pandangan Logos pada Nago Salapan. “Kenapa anda menghalangi perburuan itu. Dia harus ditangkap, hidup atau mati!”
  Nago Salapan mengangkat bahu, tanda semua it terserah Logos. “Tapi tuan jangan menyalahkan saya. Bila apa yang saya katakan terjadi pada pasukan tuan,” kata lelaki itu.
Komandan itu tertegun. Sejenak kemudian, Logos melambaikan tangan agar serdadu-serdadu berbalik kembali. “Baiklah. Kali ini nasehat anda, saya ikuti. Namun saya berharap, anda dapat menangkap Anurangga. Hidup atau mati!”
Dalam pada itu, Anurangga berkelabat dari pohon merantih. Ia masuk ke dalam hutan. Samar-samar kedengaran suara menggema kembali. “Nago. Kita pasti akan bertemu lagi!”
“Ya. Saya menunggu pertemuan itu.” Nago Salapan membalas tantangan lawannya itu lewat suara yang bergema pula.

Logos mengajak Nago ikut naik ke jipnya. “Kita akan lebih banyak bicara di markas. Sekalian kita sahur di sana.”
“Baik. Tapi saya naik motor,” sahut Nago. Ia kembali ke dangau mengambil motor besar tersebut. (Bersambung......7)

0 komentar:

Posting Komentar