Rabu, 11 Januari 2012

Al- Faatihah Mencerahkan Jiwa dan Hati


PENGANTAR

Amran SN
Kata-kata filsafat diucapkan “falsafah” dalam bahasa Arab, dan berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang berarti cinta kepada ilmu pengetahuan. , dan terdiri dari dua kata, yaitu philos yang berarti cinta (loving) dan sophia yang berarti pengetahuan (wisdom, hikmah). Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut philosophos atau failasuf dalam ucapan bahasa Arab. Pencipata pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau dengan perkataan lain: orang yang mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
Syekh Mustafa Abdurrazik, setelan meneliti pemakaian kata filsafat dikalangan muslimin, maka ia berkesimpulan bahwa kata-kata hikmah dan hakim dalam bahasa Arab dipakai dalam arti filsafat dan filosof dan sebaliknya. Mereka mengatakan Hukama ul-Islam atau falasafatul Islam.
Hikmah adalah perkara tertinggi yang dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alatnya yang tertentu, yaitu akal dan metode-metode berpikir. Dan Allah Swt berfirman. “Tuhan memberikan hikmat kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan siapa yang diberi hikmat, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak sekali.”  (QS.2: 269)
Datangnya hikmah bukan dari penglihatan saja, tapi juga dari penglihatan hati atau dengan kata lain yakni dengan mata hati dan pikiran yang tertuju kepada alam yang ada di sekitar kita. Banyak orang yang melihat tapi tidak memperhatikan.
“Tiap-tiap orang, baik pencangkul sawah ladang atau bankir, seorang kepala negara atau penguasa, maupun rakyat jelata, adalah filosof dalam arti sebenarnya. Sebagai makhluk yang mempunyai akal dan susunan syaraf yang lebih maju, maka ia mesti berpikir. Dan berpikir ini merupakan salah satu jalan ke arah filsafat.” (S.E. Frost dalam bukunya: Basic terachings of the Great Philosopher)
Dunia yang kita diami ini tidak akan membiarkan kita diam. Ia akan terus mengusik kita dan memberikan tantangan terhadap kita dengan berbagai persoalan untuk dipecahkan. Ia memberi kita untuk bertindak bijaksana, dan kalau tidak demikian, maka kita akan dimusnahkan oleh kekuatan-kekuatan yang menempati dunia ini. Dengan jalan ini, maka lahirlah lapar dan kepuasan, derita, gembira, pandangan, perasaan, suara dan lain-lainnya.


Al-Faatihah merupakan “pembukaan” dari al-Quran. Seperti diketahui dalam sistem pemikiran Islam sudah melampaui dari bernas, karena ada al-Quran yang sarat dengan analisis terperinci berkisar seputar hakekat realitas dan anjuran-anjuran moral bagi para pembaca. Setelah al-Quran, ada Sunnah bagi kebanyakan umat muslim, dan bimbingan yang berkesinambungan dari pemimpin sprritual bagi yang lain.
           
Seorang penulis Barat mengemukakan bahwa sejarah dalam perjalanannya telah menjadi raksasa yang menghantam kemanusiaan dari segala arah, hingga ia bengkak-bengkok dibuatnya. Lalu timbullah kebingungan dan keputus-asaan di sana-sini. Jika tak tersedia pengetahuan untuk memilih berpacu lari ke suatu pemikiran yang positif, akhirnya kelompok-kelompok manusia yang tak sabar dan tak punya stamina handal ini memilih untuk mengikatkan diri ke dalam berbagai totaliterisme, baik politik maupun keagamaan –entah itu fundamentalisme ataupun paguyuban-paguyuban mistikal yang menjanjikan kepastian secara simsalabim-ardakabra! (secara gampang).
            Akibatnya, sejumlah orang lebih banyak seperti ini akan terjebak ke dalam konflik yang semakin jauh dari resolusi yang bisa diterima semua pihak yang bertikai. Maka akan muncul pendapat terutama dari “orang bijak” bahwa kemampuan kita menyelesaikan konflik-konflik secara damai semakin lama semakin melorot. Gejala-gejala seperti ini dapat kita simak di mana terlihat menonjol di berbagai tatanan kehidupan, hubungan antar bangsa, regional maupun domestik. Pergaduhan antar suku, antar kelompok politik dan antar agama yang terasa menonjol akhir-akhir ini di negeri kita, tampaknya bermuara dari kegagalan melihat masalah sebagai suatu kompleksitas seperti ini!
            Disinilah filsafat dapat mengambil peran penting. Seperti fatwa seorang filosof,”Dalam filsafat, Anda selalu bisa menemukan pandangan-pandangan berbeda atau berseberangan, pandangan yang bertentangan itu tentang apa saja.”  Filsafat dapat diartikan suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sedalam-dalamnya. Tak satu pun bagaimana kecilnya lepas dari pengamatan filsafat. Tak ada satu pernyataan yang bagaimana pun sederhananya yang diterima begitu saja tanpa pengkajian yang seksama.
Filsafat menanyakan segala sesuatu dari kegiatan berpikir dari awal sampai akhir, seperti dinyatakan oleh Socrates, bahwa tugas filsafat, sebenarnya bukanlah menjawab pertanyaan kita, namun mempersoalkan jawaban yang diberikan. Kemajuan manusia dalam berfilsafat bukan saja diukur dari jawaban yang diberikan namun juga dari pertanyaan yang diajukan. Namun bisa kita lihat sebagai ajaran yang mengenal kompleksitas segala permasalahan yang kita hadapi dan pada gilirannya, mengajarkan kita untuk tidak pernah merasa benar sendiri dan cepat puas.  
           
Islam tak pernah melarang umat muslim menggunakan akalnya untuk mempelajari sesuatu, baik tentang ayat-ayat Tuhan atau wahyu yang diturunkan-Nya. Bahkan dianjurkan umat Islam untuk berpikir, di mana dapat kita baca betapa banyaknya ayat-ayat dalam al-Quran yang menyatakan,”Kenapa kamu tidak memikirkannya?” Justru karena itu tidaklah aneh bila al-Faatihah dirujuk dari sisi filsafat. Dari sisi filsafat kita dapat menelusuri lebih mendalam tentang ayat-ayat yang terkandung pada al-Quran, khususnya al-Faatihah.
Al-Kindi menegaskan bahwa filsafat itu adalah upaya manusia yang paling mulia, karena tujuannya mulia, yakni mendapatkan dan mengamalkan kebenaran. Filsafat tidaklah bertentangan dengan agama (wahyu), karena apa yang dicari filsafat, seperti pengetahuan tentang Tuhan, keesaan-Nya, keutamaan, hal-hal yang bermanfaat dan mudharat, tidak lain dari apa yang diinginkan oleh agama. Siapa pun wajib berfilsafat, termasuk peentang filsafat, karena ia perlu mencari argumen yang jelas dan kuat bagi pendiriannya. Sedangkan mencari argumen tersebut adalah bagian esensil dari filsafat. “Sebaiknya kita tidak malu menyambut baik dan mengambil kebenaran dari mana pun datangnya. Kebenaran atau pengetahuan yang telah diperoleh oleh bangsa-bangsa lain di masa lalu, perlu diambil dan dimanfaatkan dalam rangka memungkinkan kita, untuk mengetahui banyak hal yang belum mereka ketahui.” kata al-Kindi ketika menangkis serangan dari mereka yang menentang filsafat.  
            Sementara itu Ibnu Rusy dalam rangka membela filsafat dan para filosof muslim dari serangan para ulama, ia menegaskan antara lain; antara Islam (agama) dan filsafat, tidak ada pertentangan. Tugas filsafat tidak lain dari berpikir tentang wujud untuk mengetahui Pencipta segala yang ada ini. Al-Quran pun menyuruh manusia supaya berpikir tentang wujud atau alam yang tampak ini dalam rangka mengetahui Tuhan. Dengan demikian al-Quran menyuruh umat manusia supaya berfilsafat.
           
Puja-puji disampaikan kepada Allah Swt yang telah menggiring saya untuk menyelesaikan “Al-FaatihahMencerahkan Jiwa dan Hati” ini. Tanpa bimbingan petunjuk dari Allah, jelaslah saya tidak mungkin demikian lancar menulis karya yang fenomenal ini. Saya sadar, bahwa untuk melahirkan sebuah karya yang berjudul Al-FaatihahMencerahkan Jiwa dan Hati, tidaklah mudah. Tetapi dengan dorongan beberapa kawan agar saya hendaknya mencoba untuk melahirkan sebuah buku yang bermanfaat bagi kaum muslimin (muslimat), dengan rujukan al-Faatihah secara khusus, dan secara umum berpedoman pada al-Quran, serta bacaan lainnya (buku-buku filsafat).
            Mudah-mudahan buku ini dapat menggelorakan semangat anda atau pembaca, sehingga kita semua semakin kokoh dan masuk ke dalam Islam secara menyeluruh.
            Kepada teman-teman yang telah membantu dan mendorong secara moril agar buku Al-Faatihah Mencerahkan Jiwa dan Hati ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya, saya sebagai penulis mengucapkan terima kasih. Dan tak lupa pula kepada istri tercinta yang selalu menyediakan kopi dan makanan kecil serta mendampingi saat saya menulis buku ini.
           

Wassalam Penulis,




AMRAN SN



SATU

Dengan Nama Allah



Al-Faatihah, artinya pembukaan. Surat al-Faatihah terdiri dari tujuh ayat meliputi lafaz Bismillaahhir rahmanir rahiim. Sebagai pembukaan, surat ini disebut juga Ummul Kitab-Induk al-Quran, karena semua kandungan al-Quran adalah penjelasan secara lebih detil dari apa yang telah termaktub dalam surat pertama ini. Diturunkan di Makkah, karenanya disebut surat “Makkiyah” Dan surat ini termasuk diantara surat yang diturunkan secara lengkap.
Ada yang menyamakan dengan Doa Pujian dalam agama Kristen. Al-Faatihah membentuk dasar-dasar atau pondasi doa. Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa tidak ada doa yang lengkap tanpa Faatihah. Al-Faatihah adalah inti hubungan manusia dengan Pencipta. Disebabkan surat al-Faatihah menjadi induk seluruh isi al-Quran, maka pantaslah jika didalam setiap shalat menjadi kewajiban untuk dibaca. Pun surat al-Faatihah ini lazim disebut Assab’ul Matsani, yaitu tujuh (ayat) yang diulang-ulang. Dinamakan demikian karena surat al-Faatihah diulang-ulang membacanya dalam setiap shalat.


I

INTI KANDUNGAN SURAT AL-FAATIHAH

Ada beberapa unsur pokok yang terkandung di dalam surat al-Faatihah, yang semuanya mencerminkan isi seluruh kandungan al-Quran, Unsur pokok tersebut adalah :


  1. Masalah Keimanan.

Masalah keimanan yang dimaksud yaitu keimanan kepada Allah Swt, yang secara tegas dinyatakan bahwa segala puji serta ungkapan rasa syukur, hanya tertuju kepada Allah Swt. Meyakini hal tersebut merupakan suatu keimanan. Dia adalah sumber segala nikmat dan penguasa seluruh alam semesta tanpa kecuali. Kenikmatan itu sendiri bersifat menyeluruh, meliputi segala kenikmatan yang dirasakan oleh manusia.
Kata Raab dalam lafaz Rabbil’aalamin, tidak hanya berarti “Tuhan” atau “Penguasa”, tetapi juga mempunyai pengertian mendidik (tarbiyah) atau menumbuhkan. Dengan menyadari bahwa segala kenikmatan bersumber dari Allah Swt, hal ini merupakan suatu pendidikan bagi setiap insan yang meyakininya, agar kenikmatan itu disyukurinya.
Allah sebagai Tuhan yang menguasai dan merajai seluruh alam ini, hendaknya tanda-tanda kekuasaan-Nya, benar-benar dipikirkan oleh manusia, agar dirinya memperoleh kenikmatan yang dapat mempertebal keyakinannya akan kemuliaan Tuhan.

Manusia tidak cukup saja meyakini Allah Swt sebagai Tuhan, tapi juga membutuhkan penegasan bahwa dirinya  juga menyembah dan mengabdi sekaligus memohon pertolongan, hanya kepada-Nya. Hal ini ditegaskan secara jelas dalam ayat ke lima dalam surat al-Faatihah tersebut. Di dalamnya terdapat isyarat Tauhid atau keimanan yang paling tinggi, karena pengamalan terhadap ayat ke lima itu, yakni Iyyaaka na’badu wa iyyaaka nasta’iinu – menunjukkan ketidak-berdayaan manusia sebagai hamba Allah yang mengabdi secara total kepada-Nya.

2. Hukum-hukum

            Jalan lurus adalah jalan kebenaran dan bagaimana seharusnya menempuh jalan itu untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. Yang dimaksud dengan “hidayah” sebagaimana tertera pada ayat ke enam; Ihdinaa ‘shiraathal mustaqim adalah petunjuk untuk menempuh kebenaran dan bukan menyimpang dari pada jalan yang terbentang lurus itu. Hidayah ini meliputi akhlak, keyakinan, hukum-hukum, pelajaran dan sebagainya yang secara keseluruhan manjadi inti kebahagiaan di dunia dan akhirat, jika dikerjakan dengan benar dan lurus.

3. Kisah-kisah
Pada ayat terakhir surat al-Faatihah ini mengandung kisah-kisah para penantang Allah, yaitu orang-orang yang menyimpang dari tuntunan dan petunjuk-Nya sehingga menyebabkan mereka tersesat.
            Sementara itu pada ayat terakhir dua perbedaan manusia yang sangat menyolok. Yang satu adalah kelompok manusia yang diberi kenikmatan oleh Allah – alladzina an’amta ‘alaihim – dan orang-orang sesat – dhaalliin -. Golongan manusia yang memperoleh nikmat Allah adalah para Nabi, shiddiqqiin (mereka yang benar-benar beriman, shuhada’ (mereka yang saleh). Sedangkan golongan maghdub dan dhaalliin adalah mereka yang menyimpang dari ajaran agama ini (Islam), yang berarti menyimpang dari jalan Allah  **



II

        NAMA YANG AGUNG

Dalam salah satu Hadis Qudsynya, Nabi juga bersabda,”Allah berkata: Aku membagi surat al-Faatihah untuk diri-Ku sendiri dan untuk hamba-Ku sama beratnya dan hamba-Ku pasti mendapatkan apa yang dia minta. Kelebihan dari surat al-Faatihah ini, yakni pada ayat pertama dimulai “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Jadi ada tiga nama Tuhan pada ayat pertama tersebut, yang semuanya merupakan nama-nama indah dari Allah.
            Sesuai dengan firman-Nya, Allah adalah sebuah nama untuk wujud sejati, wujud yang mempersatukan sifat-sifat ilahiah, yang menjadi sifat-sifat ketuhanan, dan yang unik eksistensi sejatinya. Karena tidak ada wujud lain kecuali Dia yang dapat mengklaim eksis sendiri., sementara itu wujud-wujud lain sirna sejauh mereka eksis dengan sendirinya, dan eksis sejauh mereka berhadapan dengan Dia.
            Segalanya akan sirna kecuali wajah-Nya. Dan amatlah mungkin bahwa dalam menunjukkan makna ini (Allah) sama dengan nama-nama yang baik, sehingga segala yang dibicarakan mengenai asal-usulnya dan difinisinya itu bersifat buatan (artifisial) dan berubah-ubah.
            Allah adalah nama yang paling agung di antara sembilan puluh sembilan nama Allah Swt. Nama ini menunjukkan esensi yang mempersatukan segala sifat Ilahiah, sehingga tidak ada lagi sifat yang tertinggal, dalam pada itu tiap-tiap dari nama-nama yang lainnya hanya menunjukkan satu sifat; mengetahui, kuasa, menyebabkan, dan seterusnya. Allah pun merupakan nama yang paling khusus, karena tidak ada yang dapat menggunakannya untuk siapa pun, kecuali Dia, baik secara harfiah maupun secara kiasan. Sementara itu nama-nama lainnya dapat menyebutkan hal-hal selain Dia. Contohnya; Yang Mahakuasa, Yang Maha Mnegetahui, Yang Maha Penyayang dan sebagainya. Maka dalam hal ini tampak bahwa nama Allah adalah yang teragung di antara semua nama-nama indah ini.
            Merujuk dari kekhususan nama ini, maka nama lainnya yang digambarkan, sebagai nama-nama dari Allah, yang ditegaskan untuk Dia: disebutkan bahwa “Yang Mahasabar”, “Yang Maha Bersyukur”, “Raja”, dan Maha Memperbaiki’, termasuk di antara nama-nama Allah Swt. Akan tetapi tidak disebutkan bahwa Allah termasuk di antara nama-nama dari Yang Bersyukur, serta Yang Mahasabar. Semuanya adalah karena Allah sampai ke tingkat – lebih menunjukkan wujud makna-makna Ilahiah dan justru karenanya lebih khusus, lebih dikenal dan lebih jelas.. Oleh sebab itu tidak perlu difinisikan dengan sesuatu selain-Nya. Dan lain-lainnya diberi batasan melalui hubungan dengan Dia.
            Andaikata manusia ikut pula memiliki nama ini, maka ia harus menjadi seperti tuhan, yang maksudnya adalah bahwa hati dan aspirasinya ada bersama Allah Swt, sehingga dia tidak memperhatikan yang selain Allah, dan tidak memperhatikan yang bukan Dia, lalu dia tidak memohon dan tidak takut pada apa-apa kecuali kepada Allah. Jelaslah dia tidak bergeser dari hal tersebut. Karena sudah dipahaminya dari nama ini bahwa Dia adalah yang sungguh-sungguh ada, dan segala yang selain Allah itu berlangsung sekejap saja, hapus dan tidak ada arti, kecuali dalam kaitan dengan Dia. Sang hamba menyaksikan dirinya pertama-tama sebagai yang pertama di antara yang fana dan yang tak berarti, seperti yang dilakukan Rasulullah Saw ketika bersabda,”Syair yang paling benar diucapkan oleh orang Arab adalah ucapan Labib:
           
            Sesungguhnya selain Allah, segalanya itu sia-sia
            Setiap kebahagiaan itu sementara masanya.

*


III

AR-RAHMAN – AR-RAHIM.

            Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah dua nama indah yang berasal dari “kerahiman.” Kerahiman tersebut memerlukan objek kerahiman, dan tidak satu pun yang merupakan objek kerahiman, kecuali bagi mereka yang membutuhkan. Akan tetapi orang yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang fakir, tidak dapat disebut pengasih, jika pemenuhan kebutuhan fakir tersebut tidak disertai niat, kehendak atau perhatian terhadap si fakir. Artinya, dia hanya berbuat karena ingin dipuji yang ujungnya bisa dikategorikan sebagai perbuatan riya belaka. Namun bila dia tidak mampu, tapi ia punya niat dan kehendak dengan tulus, dia tetap disebut pengasih. Meskipun dalam pengertian yang kurang baik – ditilik dari segi  empati yang mempengaruhi dirinya –
            Kerahiman yang sempurna adalah mencurahkan ke dermawaan kepada mereka yang membutuhkan, dan kerahiman yang menyeluruh adalah ketika kerahiman tersebut meliputi pihak yang patut menerima dan pihak yang tidak patut menerima. Sedangkan kerahiman Allah Swt, sempurna dan menyeluruh sempurna, karena kerahiman itu ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang memerlukan; dan menyeluruh karena kerahiman tersebut meliputi pihak yang patut menerima serta pihak yng tidak patut menerimanya. Dan hal ini meliputi dunia dan akhirat, juga mencakup keperluan dan kebutuhan yang sangat sederhana, serta karunia-karunia khusus atas mereka. Maka tak pelak lagi, Allah sungguh-sungguh pengasih.
            Kerahiman bukanlah tanpa empati yang menyakitkan yang mempengaruhi pihak yang rahim, dan megggerakkan dia untuk memenuhi kebutuhan penerima kerahiman itu. Akan tetapi Tuhan – Maha Terpuji, Dia Yang Maha Tinggi – melebihi hal tersebut, maka anda mungkin bimbang mengira hal seperti itu mengurangi makna kerahiman. Namun perlu disikapi bahwa hal ini merupakan suatu kesempurnaan serta tidak mengurangi kerahiman.
            Namun kesempurnaan kerahiman terletak pada memperhatikan pihak yang menerima kerahiman  demi pihak yang menerima kerahiman tersebut, bukan demi kebebasan dari penderitaan dan kepekaannya sendiri.
            Sementara itu ar-Rahman lebih khusus dari ar-Rahim, Sehingga Allah Swt saja yang dinamai dengan kata ini, sedangkan ar-Rahim dapat digunakan untuk selain Allah. Perlu diketahui, dalam hal ini, ar-Rahman dengan nama Allah Ta’ala yang berfungsi sebagai sebuah nama indah, meski pun berasal dari nama kerahiman (rahmah). Dan untuk tujuan itu Allah Swt memadukan kedua kata tersebut tatkala berfirman: Serulah Allah ataulah seru ar-Rahman, yang mana pun yang  engkau seru, milik-Nya lah nama-nama yang indah. (QS: 17:10) Dalam hal ini dengan mengeyampingkan kesinoniman antara nama-nama itu. Maka perlu kita bedakan makna-makna dua nama tersebut. Tepatnya makna ar-Rahman tentunya adalah suatu kerahiman yang di luar kemampuan orang, dan berkaitan dengan kebahagiaan di akhirat. Ar-Rahman adalah Dia yang mencintai manusia: pertama dengan menciptakan manusia; kedua memandukan mereka ke imanan dan sarana-sarana keselamatan; ketiga dengan buatkan mereka bahagia; keempat dengan menganugerahi mereka perenungan tentang wajah mulia-Nya.
           
Manusia yang memiliki  sifat ar-Rahman adalah manusia yang menunjukkan kerahimannya kepada orang yang lalai., dengan mengajak supaya jangan lagi lalai mengingat Allah Swt. Baik melalui teguran, maupun nasehat, dengan kelembutan bukan dengan kekasaran; memandang orang yang durhaka dengan mata rahimnya; bukan dengan mata yang menghina; memandang setiap kedurhakaan yang dilakukan di dunia ini sebagai kemalangannya sendiri, sehingga ia berupaya semampunya menghapuskannya –mencurahkan kerahimannya kepada orang yang durhaka, agar orang yang durhaka itu dapat diselamatkan dari kemurkaan Allah. Karena orang yang terkena kemurkaan Allah maka si pendurhaka tersebut terjauhkan dari Allah Swt.
            Dan manusia yang ikut memiliki sifat ar-Rahim adalah manusia yang tidak berpaling dari orang-orang yang membutuhkan, di mana dia memenuhi kebutuhan mereka sejauh kemampuannya, tidak berpaling dari orang miskin dan sekitarnya atau di kotanya, dengan menyediakan bantuannya untuk mereka dan melepaskan mereka dari kemiskinan, baik kekayaan maupun kedudukannya sendiri, atau dengan menjadi perantara bagi mereka. Bila ia tidak mampu melakukan semua itu, maka dia kan membantu dengan doa. Atau dengan menunjukkan kepeduliannya atas kebutuhan mereka dengan bersimpati dan cinta kepada mereka. Dia ikut merasakan kemalangan dan kebutuhan mereka.
            Lantas terlintas dalam pikiran anda, apa artinya Allah Ta’ala untuk rahim dan untuk yang paling rahim di antara mereka yang paling rahim? Karena orang yang rahim bila melihat orang yang menderita atau sakit, maka ia segera akan menolongnya. Bila ia mampu. Akan tetapi Tuhan – segala puji bagi Dia Allah Ta’ala – memiliki kemampuan untuk menghapuskan setiap penderitaan, untuk memenuhi semua kebutuhan, untuk menyembuhkan semua penyakit, dan akan menjauhkan semua mudharat. Meskikan Dia membiarkan hamba-hamba-Nya untuk diuji dengan kemalangan dan kesulitan, dan sementara itu dunia ini dipenuhi berbagai penyakit, cobaan dan malapetaka. Namun Dia mampu menyingkirkan semua itu. Yang Rahim tentu saja menghendaki bagi pihak yang menerima kerahiman.
            Tidak ada keburukan yang mengandung kebaikan di dalamnya, dan kalau keburukan itu dihapuskan maka kebaikan yang ada di dalammya, ikut terhapus pula. Dan hasil akhirnya akan berupa keburukan yang lebih buruk bila dibanding yang mengandung kebaikan. Dapat dicontohkan di sini, diamputasinya sebuah tangan atau kaki nyata-nyata sebuah keburukan, tapi pada situasi ini ada kebaikan yang banyak, yaitu menyangkut kesehatan tubuh. Jika orang menjalani amputasi kaki, akibatnya tubuhnya akan binasa, maka ia dapat dipandang suatu keburukan yang lebih parah dari semula. Jadi, dengan contoh amputasi tangan atau kaki tersebut untuk kesehatan tubuh, merupakan suatu keburukan yang di dalammya  terkandung kebaikan.
            Nah, niat semula yang dijadikan pertimbangan untuk melakukan amputasi itu adalah untuk kesehatan, merupakan kebaikan besar. Namun dengan amputasi tangan atau kaki tersebut adalah cara untuk mencapai kesehatan, maka amputasi itu dimaksud demi kebaikan; jadi kesehatan itu dicari demi kesehatan itu sendiri – pada mulanya – Dan amputasi demi yang lain bukan demi amputasi itu sendiri. Keduanya menjadi niat, namun pertama yang dimaksud adalah demi yang pertama itu sendiri. Agar lebih jelas, pengertian yang akan anda ambil bahwa niat pertama dan kedua sudah tidak sejalan lagi. Maka di sini Allah berfirman,”Kerahiman-Ku mendahului murka-Ku.”  Dia memaksudkan keburukan, maka keburukan akan terjadi karena Dia memaksudkan-Nya. Dalam pada itu kebaikan terjadi karena Dia memaksudkan kebaikan. Namun jika memaksudkan kebaikan itu demi kebaikan itu sendiri. Lalu memaksudkan keburukan bukan demi keburukan itu sendiri.tapi karena ada kebaikan ada di dalamnya, maka kebaikan terjadi secara esensial dan keburukan secara aksidental. Dan masing-masingnya menurut keputusan Allah. Nah dalam hal ini tidak ada yang bertentangan dengan kerahiman.
            Kok makin ruwet saja tentang kerahiman ini. Lalu anda bertanya dan berpikir, bahwa kebaikan dapat dicapai tanpa keburukan itu ada di dalamnya? Dan akhirnya jangan ragukan Dia adalah paling rahim atau kerahiman-Nya mendahului kemurkaan-Nya. Dan siapa pun yang memaksudkan keburukan demi keburukan, dan bukan demi kebaikan, maka dia tidak patut disebut rahim. Kita sebagai manusia mempunyai batas kemampuan, di balik semua ini ada rahasia yang pengungkapannya dilarang oleh wahyu, justru karena itu berdoalah. Anda telah diberi petunjuk. Maka anda patut mendapatkan petunjuk itu! (Bersambung)

Catatan: 
Bagi sidang pembaca yang berminat dan berkepentingan untuk menerbitkan tulisan ini secara lengkap yang terdiri dari 9 Bab dapat menghubungi penulis Amran SN di Hp. 081266880894


0 komentar:

Posting Komentar