Rabu, 11 Januari 2012

KECAPI NAGA (11)


11

TUBA

Tanpa terasa hari raya Idulfitri telah tiba.
Selesai shalat Id, Nago Salapan dan Atos pulang ke rumah kontrakan mereka di Siteba. Sepanjang jalan mereka bersilaturahmi, menyalami orang-orang yang mereka temui. Dan ada pula yang menawarkan atau mengajak ke rumah mereka. Akan tetapi Nago Salapan dan Atos menolak halus agar tidak menyinggung perasaan mereka.
“Bang, saya sering mendengar tentang kembalinya manusia ke fitrah. Memangkah yang disebut kembali ke fitrah tersebut, kita akan hidup kembali bagai bayi yang baru lahir. Artinya setelah Ramadhan, semua dosa kita hapus,” tanya Atos sampai di rumah.
“Ya, seperti yang kita dengar dari khotbah katib.”
“Kalau begitu, semua orang yang telah menyelesaikan ibadah puasa dapat disebut mencapai kemenangan di hari raya Id adalah manusia suci. Manusia yang telah dihapus segala dosanya.”
Nago mengangguk.
“Tapi kehidupan ini akan terus berjalan. Kemungkinan manusia akan membuat dosa-dosa baru.” Sambil berbincang-bincang, Atos meraup kacang tojin di stoples. Berderak-derak kacang tojin tersebut dikunyahnya.
Nago meneguk es sirup di gelas. Ia minum bukan karena haus tapi karena Atos bertanya menggebu-gebu, mirip kendaraan yang remnya blong. Permasalahan yang dikemukan Atos kedengarannya sederhana. Tapi sukar untuk dijawab.
“Ayo Bang. Kenapa bengong?”
Nago ketawa lebar. “Saya bukan bengong. Tapi terperanjat. Terperanjat karena kamu bertanya tidak putus-putusnya. Mestinya kamu bertanya kepada dirimu sendiri. Apakah puasa yang kamu kerjakan pada bulan Ramadhan lalu. Hanya sekadar menahan lapar dan haus?”
Sekarang Atos balik terkekeh.
“Kenapa kamu ketawa?”
Sesaat Atos memandang Nago. Tatapannya itu tampak lucu. Mulut Atos menganga. Kemudian lagi-lagi meraup kacang tojin. Sejenak ia kenyah-kenyoh. “Abang sepertinya tidak percaya bahwa saya melaksanakan puasa dengan ikhlas. Siang saya menahan. Malam saya tarwih, bersedekah, tadarusan, dan membayar zakat fitrah. Apakah perbuatan semacam itu belum cukup untuk menjadi manusia fitri di hari kemenangan ini?”
Nago Salapan mendesah. “Allah Maha Tahu. Puasa itu adalah ibadah batin. Justru karena itu Allah berfirman,”Puasa itu untuk-Ku.” Jadi ukuran manusia kembali ke fitrah dapat dilihat dari perbuatan selanjutnya.”
“Maksudnya, saya harus konsisten melaksanakan ibadah dan amal baik seperti apa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan.”
“Ya. Bahkan di bulan ini, kita harus lebih meningkatkan ibadah, iman dan takwa itulah sebabnya bulan Syawal disebut juga bulan peningkatan “
“Hal ini sungguh-sungguh berat. Kehidupan semakin sibuk dan persaingan semakin ketat, bahkan keras. Apalagi seperti saya yang kuli tinta ini. Di mana profesi tersebut banyak berhubungan dengan orang lain.”
“Wartawan atau kuli tinta. Kenapa profesimu engkau kambing hitamkan agar kamu lebih leluasa berbuat engkar? Di muka bumi kita memang diharuskan untuk bekerja, demi kehidupan yang kita jalani. Dan semua yang kita lakukan adalah untuk mencapai keselamatan di akhirat.”
“Oya.”
“Manusia diciptakan sang Khalik memang berbeda-beda. Demikian juga dengan profesi atau pekerjaan mereka. Tapi kita tidak boleh berbeda dalam mengimani serta melaksanakan suruhan Allah, dan menjauh dari larangan-Nya,”tutur Nago seraya menoleh pada Atos. Anak muda itu bertopang dagu. “Ya, kita adalah manusia biasa. Manusia yang lemah, cenderung berbuat khilaf. Siang kita menjadi orang Muslim dan kadangkala pada sorenya menjadi musyrik. Justru karena itu kita harus tawakal. Tawakal itu artinya waspada. Waspada terhadap azab dunia dan azab akhirat.”
Atos menggaruk kepalanya yang memang gatal.
“Sudahlah Tos. Marilah kita sama-sama berikhtiar, berupaya agar mendapat rida Allah. Mudah-mudahan shalat dan amal baik kita diterima Allah.”
“Amiiin…” Dan saat itu pula telpon genggam Atos berdering. “Sebentar ya Bang. Hari gini kok telpon-telponan, “ Atos bersungut-sungut. Ia menjauh keluar. Wajahnya yang semula cemberut kini tampak serius. Tak lama kemudian anak muda itu. Ia berbenah siap hendak berangkat. “Saya harus berangkat ke Painan Bang. Ada pesan dari Bupati,” katanya.
Setelah Atos pergi, Nago Salapan pindah ke ruang tengah – nonton televisi. Matanya melihat ke televisi tapi pikiran nya menerewang jauh. Semula ia ingat Nadia. Kenapa akhir-akhir ini gadis seakan-akan menjauh darinya. Msetinya gadis itu menunggu dia di Gunung Pangilun  Menunggu kedatangan Anurangga dan Kati Muno. Sebab keduanya adalah musuh mereka bersama. Kedua tokoh jahat ini tidak mungkin dihadapi sendiri-sendiri. “Saya memang tidak tahu, masalah apa yang membuat Rinjani menjauh,” Nago meggumam.

**

Di atas motor besarnya (motor Harley Davidson), Nago Salapan masih dikelilingi beragam pikiran. Dia tidak tahu harus menuju. Ia berputar mengitari kota. Akhirnya ia parkir di pantai Padang.
Setiap sore pantai Padang ramai dikunjungi orang. Warga kota membawa anak-anak mereka untuk menikmati laut dari pinggir pantai. Beberapa orang anak tanggung tampak berlarian di pasir yang menghampar. Sementara itu orang tua mereka mengamati dari jauh. Umumnya orang dewasa duduk santai di restoran atau kafe-kafe yang menghadap ke laut.
Nago Salapan duduk di kafe, memandang ke laut. Ketika itu laut sedang tenang, angin berembus semilir menimbulkan riak-riak kecil menghempas ke pantai. Buih-buih menjalar bagai busa deterjen – meresap masuk ke dalam pasir. Sejenak pikiran Nago yang mumat kini jadi plong. Ia nikmati angin yang berembus halus. Ia nikmati ombak-ombak kecil yang menjalar ke pantai.

Sebuah sedan mewah bewarna metalik parkir di depan kafe. Dari kendaraan tersebut turun seorang perempuan cantik, rambutnya panjang tergerai di bahu. Dengan kaca mata terpasang di wajahnya, ia tampak semakin cantik. Sepasang lengannya dipenuhi gelang mas. Dan ketika gadis itu melangkah kedengaran bunyi berdering-dering.
Dia, Olivia atau Puti Galang Banyak. Perempuan itu telah mengikuti Nago Salapan ketika lelaki tersebut keluar dari rumah. Ia memang mengatur jarak sehingga Nago tidak menduga ia sedang diikuti. Tatkala Olivia melihat Nago duduk sendirian di kafe, ia mendekati.
“Halo Tuan Pendekar…”
Saat itu Nago sedang menghirup minumannya, ia hampir tersedak ketika mendengar suara merdu menyapa. Ia menoleh balas menyapa, “Oh, Puti.”
Bibir Olivia yang merah delima mereka menyunggingkan senyum. “Boleh saya duduk?”
Nago Salapan mengangguk.
Puti Galang Banyak duduk di samping lelaki itu. Ia menatap lelaki itu lalu tersenyum. Senyum yang terkesan menggoda. “Oya, saya belum mengucapkan Selamat Hari Raya Id’. Mohon maaf lahir batin,” ujar gadis itu seraya menyalami Nago.
“Kamu masih di sini?” Nago menyambut salam itu.
“Ya. Saya masih betah di kota ini. Kota yang nyaman dan bersih.
Nago diam. Tapi dalam hatinya ada keresahan. Apalagi duduk berdampingan dengan Puti Bagalang banyak. Namun untuk beranjak begitu saja jelaslah tidak mungkin. Lalu untuk menutupi keresahan Nago berkata,”Kamu mau minum apa?”
“Minum apa ya? Ya, terserah kamu deh…”
“Orenye jus?”
Gadis itu mengangguk. Nago menggamit pelayan seraya memesan minuman yang diminta Olivia.
Anak-anak tanggung berlarian di pasir yang menghampar. Mereka berlarian sambil ketawa riang, kadang menyemburkan air laut kepada kawannya. Lalu berlari lagi, suasana riang, tiada beban dalam hati mereka – dengan wajah yang ceria. Tatapan mata Nago Salapan lekat-lekat memandang anak-anak yang bermain itu. Sejenak melupakan Puti Galang Banyak ada di sampingnya.
“Kamu sedang be-te ya, “ tiba-tiba Olivia menukas. Perempuan itu mengangsur gelas minuman ke samping. Ia semakin merapat pada Nago. Jemari Olivia yang lentik dan indah itu menyentuh tangan lelaki tersebut.. Ia berbisik ke telinga Nago, “Kamu tidak suka, saya hadir di sini?”
Nago Salapan mengerling sejenak. Lalu mengalihkan pandangan ke laut. Riak-riak ombak bekejaran menuju pantai,”Saya tidak pernah mengatakan terganggu akan kehadiranmu. Tapi pikiran saya sedang gundah.”
“Dia menjauhimu?”
“Bisa ya, bisa tidak.”
Olivia mendesah. Ia mengelus lengan lelaki itu.
Nago Salapan menarik lengannya perlahan. Lalu ia menatap gadis tersebut. “Olivia memang gadis yang sempurna kecantikannya. Ia titisan Puti Galang Banyak di dunia lampau. Kedua sosok itu dapat meruntuhkan iman lelaki mana pun. Namun ia menggunakan kecantikannya pada posisi yang salah, sehingga membuat rumah tangga orang lain berantakan,” Nago mendesah dalam batinnya.
“Oya, saya hampir lupa. Di atas mobil ada minuman yang menyegarkan. Sebentar, saya ambil,” ujar Olivia seraya melnagkah ke mobil. Tidak lama kemudian ia membawa dua botol minuman. “Minumlah. Minuman ini dapat menambah semangat. Pikiranmu yang be-te akan hilang,” kata gadis itu menyodorkan sebotol pada Nago.
“Saya pantang minum minuman berakohol,” Nago mengelak.
Olivia ketawa renyah. “Jangan takut. Minuman ini hanya minuman suplement. Minum biasa kok. “ Gadis itu mendahului mereguk minuman di tangannya.
Nago Salapan merasa kurang enak kalau menolak ajakan Olivia. Lelaki itu mereguknya. Kerongkongannya terasa sejuk dan segar. Lalu ia reguk lagi, kerongkongan Nago semakin lapang.
“Segar kan?”
Nago Salapan mengangguk.
Waktu terus bergulir. Matahari semakin condong ke barat. Tawa ceria anak-anak yang bergelut di pantai semakin riuh. Tiba-tiba kepala Nago Salapan berdenyut-denyut. Segera lelaki itu mengatur nafas, menghirup perlahan lalu menghembuskan perlahan-lahan. Sejenak rasa pusing dan denyut di kepalanya sirna.
Sementara itu Olivia berkali-kali melihat ke arlojinya. Ia seperti menunggu sesuatu. Kadang ia bangkit meninggalkan Nago, menatap jauh ke ujung jalan. Kemudian kembali lagi duduk di samping lelaki itu. Tak tersirat ada kekhawatiran akan perubahan yang terjadi pada Nago.
Nago batuk-batuk dan bersin berkali-kali. Dan kepalanya berdenyut lagi. Ia tarik nafas kembali, dan bersin-bersin. Pandangan mata Nago kadang kabur kadang normal. Ia bangkit menuju motornya. Sepertinya ia tak peduli pada Olivia. Perempuan itu bengong-bengongan di kafe.
Dalam perjalan pulang, Nago menahan sakit yang tak terhingga. Ia lawan sakit itu dengan menghimpun hawa murni di pusarnya. Dan sampai di rumah, ia terhempas di ruang tamu. Mulutnya berbusa-busa, ia menekan perutnya yang terasa melilit-lilit. Sepasang lutut Nago terasa bergetar, ia kejang-kejang. Nago coba bangkit. Dadanya seperti terbakar, kerongkongannya kering kerontang. Ia haus. Sempoyongan lelaki itu melangkah, Nago berusaha meraih cangkir di atas meja. Tapi sebelum sempat mengambil cangkir tersebut, dia terhempas. Dunia seperti terbalik di pelupuk matanya.
Kini rumah itu sepi.

**
Atos pulang lepas senja. Ia melihat pintu rumah terbuka, di depan tampak motor besar Nago sembarangan. Anak muda bergegas turun dari motor. Ia bersorak,”Bang…Bang…Bang Nago!”
Tidak ada sahutan.
Ketika ia masuk ke ruang tengah, ia melihat Nago tertelengkup di sana. “Abang!”
Nago Salapan tidak bergeming.
Atos membungkuk, ia mengguncang-guncang tubuh Nago. Tapi Nago Salapan tetap tidak bergerak. Dari bibir lelaki itu meleleh busa-busa. Baunya anyir, bau lumpur, bau bangkai – bercampur baur-
“Bangun Bang. Ini Atos!” Atos menjerit histeris. Kemudian lari keluar rumah mencari bantuan pada tetangga. Tapi sebagian besar tetangga belum pulang. Mungkin mereka masih di kampung atau di tempat keramaian menikmati Lebaran. Untung Atos bertemu dengan Pak Uyun, Tua Erte.
“Ada apa,Tos?”
“Bang Nago sekarat. Mulutnya berbusa-busa,” Atos berkata terbata-bata. Ia bingung mesti bicara apa.
“Mari kita kesana,” ajak Pak Uyun.
Akhirnya Nago Salapan dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. Lelaki tersebut langsung masuk ke ruang ICU.
Atos tercenung di ruang tunggu. Anak muda itu tidak habis mengerti, kenapa Nago Salapan yang dikenalnya sebagai seorang yang tangguh dan sakti, kok tiba-tiba mendapat penyakit aneh!. Masih terbayang di ruang matanya, ia dan Nago Salapan berbincang-bincang selelai shalat Id. Lelaki tersebut masih tampak segar bugar dan ceria. Tapi sekarang, ia terbaring di ruang ICU. Tiba-tiba melintas kekhawatiran yang sangat buruk dalam pikirannya,”Akan matikah lelaki perkasa itu?”
Tidak lama kemudian, dokter Budi yang memeriksa Nago Salapan keluar dari ruangan ICU. Ia menemui Atos dan Pak Uyun. “Dari pemeriksaan, kami menyimpulkan bahwa tuan Nago keracunan,” Dokter Budi menjelaskan.
“Keracunan?”
“Ya, dia keracunan. Tapi sampai sekarang tim kami belum dapat memastkan, apa penyebab keracunan tersebut. Untung daya tahan Nago Salapan sangat luar biasa. Jika tidak entah apa jadinya.”
“Selamatkan Bang Nago, dokter.” Atos semakin cemas.
Dokter Budi menepuk pundak Atos. “Mari kita sama-sama memohon kepada Sang Khalik,” kata dokter itu. Kemudian ia masuk kembali ke ruang ICU. Dan Atos memandang dari balik kaca. Anak muda itu berkali-kali menarik nafas panjang. “Ya, Tuhan selamatkanlah Bang Nago,” ia berdoa.
“Mudah-mudahan ia cepat sembuh,” tukas Pak Uyun.
Wajah Atos sendu memandang Pak Uyun. Dalam benaknya muncul berbagai pikiran, terutama kecemasan akan hilangnya Nago Salapan.
“Tenangkan hatimu Tos. Mari kita terus memanjatkan doa kepada Allah,” Pak Uyun membujuk.
Satu jama telah berlalu, tanda-tanda Nago Salapan akan sadar diri belum terlihat. Lelaki itu masih terbaring, mulutnya masih dipasang alat pembantu pernafasan, dan infus. Lewat kaca tampak dokter dan perawat sibuk.

**
Atos duduk bersandar di ruang tunggu. Ia tampak lelah, matanya terpejam. Pak Uyun datang dari luar, ia membawa dua bungkus nasi dan beberapa makan kecil.
“Sebaiknya kita makan dulu,” Pak Uyun menepuk bahu Atos.
“Saya tidak lapar, Pak,” sahut Atos tanpa membuka mata.
“Ayolah. Nanti kamu sakit.”
Atos hanya memandang nasi bungkus itu. Tatapannya kosong, pikirannya jauh melayang. Lalu matanya terpejam lagi.
Sementara itu Nago Salapan terbujur di ruang ICU, matanya terpejam, sedikit pun tidak ada gerak pada anggota tubuhnya, nafasnya pun terlihat lamban. Dokter Bud telah coba membuat nafas buatan dan menekan dada lelaki tersebut, tapi hasilnya sedikit sekali.
“Jika ia belum juga siuman. Mungkin saya akan melaporkan pada Dokter Kepala, dokter Frans,” ujar Bud pada dokter Yani.
“Mungkin begitu lebih baik,” sahut Yani.
Beberapa saat kemudian mereka keluar lewat pintu khusus. Memang saat itu sudah jam istirahat, dan waktu pergantian petugas. Sejenak ruang tersebut sepi.

**

Jam dinding yang tergantung di kamar itu berdetak-detak memecah kesunyian. Nago Salapan membuka mata perlahan-lahan. Ia menyapukan pandangan sekeliling kamar, ruangan itu bewarna putih. Pun pakaian yang dikenakan bewarna putih. Ia melepaskan alat bantu pernafasan, tali infus di lengannya. Saat itu ia merasakan tubuhnya mengapung, melayang keluar kamar. Di luar dia melihat Atos sedang mendengkur di bangku, dan Pak Uyun duduk merokok.
“Pak Uyun…” Nago menyapa.
Pak Uyun tidak menyahut, menoleh pun tidak. Sepertinya lelaki tersebut tidak mendengar teguran Nago. Pak Uyun masih asyik menikmati rokok. Akan tetapi ada nyamuk menggigit ia langsung menepuk lengannya.
“Pak Uyun!”
Lelaki itu bangkit, ia melangkah menjauhi Nago. Lalu masuk ke WC. Sudah lewat tengah malam. Dia menguap beberapa kali. Di bangku tempat duduknya semula, ia menyandarkan kepalanya. Lelaki itu mendengkur.
“Apakah Pak Uyun tidak melihat saya?” gumam Nago. Kemudian ia mendekati Atos yang juga sedang pulas. Nago menggoyang bahu Atos. Anak muda itu bergerak menepuk pipinya. Nago tertegun sejenak. “Jika Atos bangun. Mungkin ia tidak akan melihat saya. Sama dengan yang dialami Pak Uyun.”
Suasana di rumah sakit semakin sepi.
Nago Salapan menyapukan pandangannya jauh ke depan. Tampak beberapa orang tidur di lantai. Mereka adalah sanak keluarga dari pasien. Mereka sama keadaannya dengan Atos dan Pak Uyun, yaitu menunggu dia.
Termangu Nago duduk di bangku. Ia coba mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya. Kenapa ia berada di rumah sakit? Dan mengapa Pak Uyun dan Atos tidak melihat dirinya? Sekonyong-konyong terbayang wajah Olivia di pelupuk matanya. Perempuan itu tersenyum padanya.
Siang itu mereka bertemu di pantai. Tatkala itu ia sedang menaikmati keramaian pantai, menyaksikan keceriaan bocah-bocah bermain air laut. Kedatangan Olivia memang sama sekali tidak diharapkan Nago Salapan. Tapi semua itu telah terjadi, dan lelaki tersebut tak mungkin menolaknya. Dan dia ingat, perempuan itu memberinya sebotol minuman – minuman suplement. Beberapa saat kemudian ia merasa pusing, jantungnya berpacu kencang, aliran darahnya tidak stabil.
“Kenapa ia begitu tega meracuni saya?” Nago Salapan menggumam. “Oh, kenapa saya demikian bodoh. Bukankah Olivia yang titisan Puti Galang Banyak adalah istri Anurangga? Tentu wajarlah dia berpihak pada suaminya.
Racun? Ramuan macam apa yang diberikan oleh Puti Galang Banyak pada Nago Salapan. Lelaki itu adalah manusia abadi, tidak mempan oleh unsur-unsur kimia modern. Pastilah Anurangga telah meracik racun berkuatan luar biasa untuk melumpuhkannya. Bahkan untuk membunuh!
*
Menghadapi Nago Salapan memang tidak mudah. Denai belum dapat mengukur setinggi apa kesaktiannya. Lagi pula denai baru mendapatkan tiga Mustika Alam. Jika kelima mustika tersebut berada di tangan denai, tentulah lebih mudah menghadapinya secara pisik,” tukas Kati Muno.
Anurangga batuk-batuk. Dadanya terasa sesak karena cedera saat bertarung dengan Nago Salapan. Di Gunung Pangilun. Ia terbaring dengan kepala yang berganjal bantal. Lelaki tersebut acapkali mengerang kesakitan. Hal ini membuat Puti Galang Banyak khawatir, ia usap kening suaminya itu. Usapan itu membuat rasa sakit Anurangga berkurang.
“Kalau begitu, apa yang mesti kita lakukan Guru?” tanya Slang.
“Kita racuni dia!”
“Meracuni Nago Salapan?” Olivia agak terperanjat.
Kati Muno memandang Olivia. Dengan pandangan itu, Kati Muno dapat membaca isi hati perempuan tersebut. Lelaki tersebut semakin yakin bahwa Puti Galang Banyak tidak akan setuju jika Nago Salapan diracun. Karena selama ini ia tahu, Puti Galang Banyak menaruh perhatian pada Nago Salapan. Tapi Kati Muno tidak peduli. Ia tersenyum,”Ya, lelaki itu harus kita racun. Denai punya bubuk racun yang luar biasa ampuh. Jangankan manusia, dewa dan jin sekalipun akan mampus!”
“Racun apa itu Guru?” tanya Anurangga.
“Luar biasa, Guru,” tukas Silangkaneh.
Kati Muno ketawa terbahak-bahak, dadanya berguncang-guncang. Kemudian ia mengeluarkan sebungkus bubuk dari kantongnya. “Racun ini dibuat oleh seorang ahli racun yang bertapa di puncak Colma Longma. Ia meramu bubuk ini dari tanduk menjangan merah dan bisa ular kobra matahari serta pasir batu bulan.” Lelaki itu ketawa terbahak-bahak seakan-akan kemenangan telah berada di depan mata.
Anurangga yang berbaring di ranjang pun ikut tertawa. Tapi kemudian ia merasakan dadanya sesak, ia batuk-batuk.
“Hmmm….tapi siapa yang akan memberikan bubuk itu,” sela Slang.
“Tentu saja kamu,” kata Anurangga.
Wajah Silangkaneh berubah kecut.
“Bukan. Yang akan memberikan bubuk ini adalah Puti Galang Banyak. Sebab denai yakin, Puti mampu menggoda Nago Salapan,” tukas Kati Muno cepat.
Anurangga batuk-batuk.
Silangkaneh senang. Ia seperti terlepas dari beban. “Saya setuju,” katanya.
Olivia belum menyahut.  Ia tahu ucapan Kati Muno tersebut memancing kesetiaannya pada Anurangga. “Pasti Kati Muno ingin mendorong Anurangga untuk menyetujui sarannya itu,” gumam Puti Galang Banyak.
Bimbangnya Puti Galang Banyak terbaca oleh Kati Muno. “Kamu tidak perlu cemas. Serbuk ini dikemas sedemikian rupa. Bubuk ini mudah larut bila dicampur dengan air. Dan tidak berbau dan bewarna. Denai yakin, Nago Salapan tidak akan curiga.”
Gimana kalau gagal?”
“Serbuk ini bernama Tuba Pemutus Nyawa. Jangankan manusia, 100 ekor gajah minum setetes air larutan tuba ini. Maka 100 gajah tersebut akan mampus seketika!”

**



Sunyi tengah malam itu bukan saja di kawasan rumah sakit tersebut tapi juga dalam hati Nago Salapan. Ia ingin “curhat” dengan seseorang. Mungkin dengan Atos atau dengan Pak Uyun atau dengan siapa saja. Namun ia tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Itulah yang membuat Nago semakin sepi.
Bibir Atos berdecap-decap. Ia menepuk pipinya yang dihinggapi nyamuk. Anak itu membuka matanya, ia melihat Pak Uyun menyandarkan kepala di sandaran bangku, meleleh ilernya karena mendengkur. “Pak Uyun, bangun!” Atos menggoyang bahu lelaki tersebut.
Pak Uyun terperanjat tiba-tiba. Ia melompat seketika. Lelaki itu segera merentang lengannya seperti orang bersilat. “Hep tah tih. Saya habisi kalian. Tahhhh!”
Terpingkal-pingkal Atos melihat kelakuan Pak Uyun.
Pak Uyun mengucek-ucek matanya. “ Ada apa. Eh, kenapa kamu ketawa?” Lelaki memandang Atos yang ketawa terpingkal-pingkal. “Kita dikeroyok orang. Mana mereka sekarang?”
“Kita masih di rumah sakit, Pak. Tidak ada yang mengeroyok. Bapak mimpi.”
Sesaat kemudian Pak Uyun tenang kembali. Ia membakar sebatang rokok dan menyelipkan di bibir. Asap mengepul ke udara. “Oya…Apakah Nago sudah siuman.”
“Tampaknya belum.”
Asap rokok menjulang ke udara. Pak Uyun mengikuti asap itu dengan pandangannya. Saat bersamaan pintu kamar ICU terbuka. Keluar dokter Yudhi, pengganti dokter Bud. Lelaki tersebut menyapa Pak Uyun. “Bapak keluarga Nago?”
“Ya,” sahut Pak Uyun dan Atos serentak.
Diam sejenak dokter Yudhi, ia menatap kedua orang itu. “Kami sudah berusaha sedaya mungkin Agaknya racun dalam tubuh Nago sangat kuat. Racun tersebut telah merusak syaraf otaknya.”
Kemudian dokter Yudhi berbaik hati mengajak keduanya masuk melihat keadaan Nago Salapan. Atos tertegun di samping ranjang melihat nago terbaring koma. Tanpa sadar air mata Atos meleleh.
Lebih 40 hari Nago Salapan koma di rumah sakit. Atos menunggunya dengan setia. Memang ada di antaranya yang datang menjenguk, seperti Gugum dan Tuan Logos. Sedang Puti Rinjani atawa Nadia hadir ketika Nago hendak pulang. Gadis itu menyesali ketidak-hadirannya. “Saya tidak menyangka Nago akan mendapat musibah separah ini. Begitu saya mendengar kabar, saya langsung berangkat dari Kuala Lumpur,” tutur gadis itu terenyuh. Ia menatap Atos penuh arti.
“Maafkan saya. Saya terlambat memberi-tahu pada kamu,” tukas Atos.
“Bukan kamu yang minta maaf. Tapi saya.” (Bersambung.....12)

0 komentar:

Posting Komentar