Kamis, 12 Januari 2012

KECAPI NAGA (14)


14
“GRRRR…!”

Sepertu dugaan Nago Salapan, gadis yang berbonceng dengan lelaki tersebut memang Nadia. Lelaki itu, Mori. Mereka baru saja kembali dari rumah kost Sarah.
Tadi siang mereka berlatih di Taman Budaya. Setelah selesai berlatih, Nadia terperanjat, kalungnya hilang. “Kalung saya hilang, Sarah,” ujarnya.
“Tadi saya masih melihat kalung itu di lehermu,” sahut Sarah.
Termangu Nadia. Kalung itu berbandul dua mustika. Satu mustika air dan sebuah lagi mustika kayu. Dia berusaha mencari kalung tersebut di sekitar ruangan latihan. Namun sudah demikian mencari kalung tersebut tetap saja tak ketemu.
“Atau tercecer di rumah Sarah,” ujar Mori.
“Saya kurang tahu juga. Sebaiknya kita ke rumah kost saya,” usul Sarah.
Sampai di rumah kost Sarah, mereka langsung mencari. Mereka membalik karpet di ruang tamu. Lalu membuka laci buffet, lemari pakaian. Hasilnya sia-sia saja.
Mengeluh Nadia duduk di pinggir ranjang Sarah dalam kamar itu. “Saya sungguh tak mengerti di mana kalung itu tercecer. Aduh…gimana ini, “ gadis itu menepuk dahinya sendiri.
Sarah bersimpuh di lantai. Ia juga gelisah. “Atau kalung itu tertinggal di rumahmu,” ujar Sarah.
Nadia menggeleng. “Tidak mungkin, saat saya latihan kalung itu mengantung di leher ini.”
“Lalu ke mana mengirapnya?”
Nadia menarik nafas dan menghembuskan lepas-lepas. Ia tampak sedih. Bandulan kalung tersebut terdiri dari dua mustika. Mustika yang sangat langka. Dan amat berarti bagi saya.”
“Ya, saya juga melihat.”
“Andaikata jatuh ke tangan orang lain, terutama bagi mereka mengetahui kemukjizatan benda tersebut. Bila benda itu digunakan untuk maksud jahat. Maka habislah dunia ini.”
“Atau kita kembali ke Tabud (Taman Budaya),” ajak Sarah.
Terpaku sejenak Nadia.
“Ayo, “ Sarah menarik lengan Nadia.
“Tidak usah. Kamu sudah cape. Istirahatlah.”
“Jangan kamu pikirkan soal itu. Mari saya antar lagi ke Tabud.”
Sebelum Nadia menjawab, tiba-tiba kedengaran suara motor di halaman. Ternyata yang datang Mori.
“Ada apa, Bang,” sapa Sarah.
“Saya baru ingat.”
“Ya, apa Abang menemukan?”
“Bukan. Tapi saya melihat kaluing itu dipegang oleh Icha. Ia mempermainkan di tangannya. Kebetulan ia tidak ikut menari.”
“Icha itu siapa?”
“Dia anggota baru. Tapi saya tahu tempat tinggalnya,” Mori menjelaskan. “Biar saya antar kamu ke sana.”
Nadia berdebar-debar. Segera saja mereka berangkat ke rumah Icha di Lubuk Buaya. Akan tetapi sampai di Lubuk Buaya, mereka kecewa. Ternyata telah berangkat. “Gadis itu memang tinggal di sini. Dia baru seminggu di sini. Icha menyewa pavilyun, ” tutur pemilik rumah.
“Ke mana dia. Apa ada pesan ke mana perginya?”
“Wah, soal itu saya kurang tahu. Sore tadi ia tampak mengemasi barang-barangnya. Padahal pavilyun itu dikontraknya untuk setahun. Sudah ia bayar lunas. Ketika ia berangkat, ia beri pula kami hadiah,” ujar istri pemilik rumah yang mendampingi suaminya.
Nadia menggigit bibir kesal. Tiba-tiba Nadia ingat sesuatu, dan bertanya pada pemilik rumah. “Apakah gadis itu gelang di kedua belah tangannya?”
“Oya. Tampaknya gadis itu dari keluarga berada juga. Ia cantik dan suka memakai perhiasan. Sepasang lengannya dipenuhi gelang emas, sampai ke siku. Saat ia berjalan kedengaran bunyi gemerincing.” Suami istri itu saling berpandangan.
Nadia sudah menduga, siapa gadis tersebut. Pastilah dia Puti Galang Banyak atau Olivia.  “Nama gadis itu bukan Icha,” kata Nadia mengerling pada Mori.
“Dia, Puti Galang Banyak. Jelaslah ia mengenal benda tersebut. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Sia-sia menunggu di sini. Ia tahu bahwa saya akan mencari dia.”

*

Tiba di Sungailareh Nadia langsung masuk kamar. Bu Darmi, ibu angkat Nadia hanya menggeleng kepala melihat wajah cemberut gadis itu. Biasanya, perempuan itu bertanya setelah Nadia keluar kamar.
Nadia melonjorkan kakinya lurus-lurus di ranjang. Ia hembuskan nafas berkali-kali untuk menghilangkan stres. Kesal bukan main Nadia, menyesali ketidak-waspadaannya. Kurang awas dia!
Senja telah berlalu. Malam mulai beranjak perlahan tapi pasti. Puti Rinjani khawatir . “Jelaslah Puti Galang Banyak segera terbang ke Jakarta menyerahkan kedua mustika tersebut pada Kati Muno. Dan selanjutnya Anurangga dan Kati Muno akan memporak-berandakan dunia. Mungkinkah itu yang harus diterima?”
Gadis itu menangkupkan wajahnya ke bantal.  Ia ingin menyembunyikanrasa khawatir itu  Dengan bersatunya lima mustika tersebut maka Kati Muno sukar ditandingi.

**

Sementara itu Puti Galang Banyak malam tersebut telah tiba di bungalow Anurangga. Ia disambut Silangkaneh begitu memasuki ruang tamu. “Tuanku mencemaskan keselamatan Rangkayo Permaisuri,“ kata lelaki banci itu seraya menenteng tas yang dibawa Puti Galang Banyak
“Mana kanda Anurangga?”
“Tuanku bersama Guru di atas.”
Tersenyum lebar Anurangga melihat kedatangan perempuan itu. Lelaki tersebut bangkit dari sofa dan memeluk Olivia. “Denai merindukan kamu,” desahnya seraya mencium kening permaisurinya itu.
“Mana mustika itu?” Kati Muno tanpa basi langsung bertanya.
Olivia membuka jaketnya, menyampirkan di sofa. “Agaknya Guru sudah tak sabar lagi,” tukas perempuan itu. Ia menggamit Slang. “Sini tas itu Slang!”
Slang memberikan tas yang dibawanya pada Puti Galang Banyak. Puti Galang Banyak atau Olivia membuka tas tersebut. Cahaya membersit di ruangan tersebut ketika ia memperlihatkan kalung berbandul dua mustika itu.
“Sungguh berat perjuangan saya merebut mustika ini. Saya terpaksa menjelma menjadi seorang gadis. Icha nama gadis itu. Sosok itu tidak dikenal oleh Puti Rinjani dan Nago Salapan.”
“Syukurlah penyamaranmu tak ketahuan,” tukas Anurangga. Raja muda tersebut takjub melihat cahaya membersit yang keluar dari dua mustika tersebut.
“Rangkayo permaisuri memang ahli soal samar menyamar,” sela Silangkaneh.
Kati Muno mangut-mangut. Lelaki itu berdecak kagum. Kagum akan kepiawaian Puti Galang Banyak merubah sosoknya. Itulah ilmu “Seribu Wajah” yang diwariskannya kepada perempuan tersebut.
Setelah menatap Puti Galang Banyak, Anurangga dan Silangkaneh silih berganti, Kati Muno mengeluarkan tiga mustika yang lainnya. Mustika itu adalah mustika angin, mustika api, dan mustika tanah. Ruangan itu semakin bercahaya.
Olivia mengerling pada Anurangga. Anurangga mengangguk tanda setuju. Tanda Puti Galang Banyak tiba-tiba ketawa berderai. Dada gempal perempuan itu yang kelihatan bagai sepasang bukit kecil tersebut beguncang-guncang.    
Anurangga heran. Lelaki itu heran kenapa tiba-tiba permaisuri tersebut ketawa seperti itu. Apakah ia tidak menghormati suaminya dan Kati Muno?
“Anak manis. Kenapa kamu. Apa ada yang lucu?”
“Tidak…”
“Lalu?”
Sekali lagi Olivia mengerling pada Anurangga. “Saya tahu bila kelima mustika alam ini disatukan. Maka kesaktian Guru akan sempurna. Di dunia ini, Guru tak akan ada tandingannya.”
“Kati Muno ketawa lebar. “Nah, apa yang kamu tunggu. Mari denai satukan lima mustika itu!”
“Saya mengajukan syarat!” Tiba-tiba Puti Galang Banyak berkata.
Terperanjat bukan main Anurangga. Ia tidak menyangka Puti Galang Banyak melontarkan kata-kata itu. Etah setan apa yang memasuki pikiran perempuan itu sehingga dia mengajukan syarat. Syarat macam apa itu? Anurangga menunggu.
Sementara itu Slang yang dikenal mempunyai kemampuan berkelit berkilah dan bersilat lidah, pun tidak kuasa membaca maksud Puti Galang Banyak. Kenapa sang permaisuri tersebut mengajukan syarat.
“Kamu mengajukan syarat? “ Kati Muno kaget sesaat. Kemudian ia menatap Anurangga. Lalu menatap Silangkaneh. Akhirnya menukikan pandangan pada Puti Galang Banyak. “Apakah diantara kita tidak saling mempercayai lagi. Bukankah denai kembali ke dunia fana ini adalah untuk membantu cita-cita kalian? “
Olivia mengerling pada Anurangga. “Percayakah kanda, jika Guru Kati Muno menggabungkan lima Mustika Alam jadi satu. Dan dia akan menguasai bumi ini. Apakah Guru akan menjadi sekutunya? Jangan-jangan dia akan menghabisi kita.”
Dada Kati Muno turun naik menahan amarah. Ia tiba-tiba ketawa lebar. Setelah puas ketawa, ia melotot. Mata lelaki itu mencorong tajam.
Anurangga tidak berani menantang. Ia lebih suka memandang ke sudut lain.
Slang menjatuhkan pandangan ke lantai.
Olivia menyambut tatapan mata Kati Muno yang garang itu. Mata perempuan tersebut perih alang kepalang.
“Jadi kamu khawatir denai akan berkhianat. Baiklah…Ajukanlah syaratmu itu!”
Puti Galang Banyak tersenyum. Senyum penuh kemenangan. “Baik guru. Dengarlah!”
Kati Muno mendengus.
“Pertama, guru harus mengakui kanda Anurangga sebagai raja Pagaruyung yang berdaulat penuh.”
Lelaki itu mengangguk.
Wajah Anurangga tampak cerah.
“Kedua, saya adalah permaisuri raja Pagaruyung. Dan guru harus mengakuinya!”
Kati Muno mengerling pada Anurangga. Tampak Anurangga mengangguk tanda setuju. “Syarat pertama dan kedua denai terima. Demi bumi dan langit denai junjung syarat tersebut. Lalu apa syarat ketiga?”
“Syarat ketiga adalah syarat yang paling berat dan penting dari sebelumnya.”
“Katakanlah.”
“Guru siap mendengarnya?”
“Mmm…”
“Tidak akan menolak syarat ini?”
“Tidak!”
Puti Galang Banyak melempar senyum pada Anurangga. Ia mengangkat dagu tinggi sehingga tampak angkuh. “Inilah syarat ketiga itu. Saya permaisuri raja Pagaruyung  dengan ini menyatakan bahwa setiap langkah guru dan raja harus mendapat restu dari saya!”
Terhenyak Anurangga.
Slang merinding mendengar pernyataan tersebut.
Rahang Kati muno bergerak kencang. Darah lelaki tersebut mendndih. “Perempuan ini semakin cerdik. Dan sangat licik,” gumam Kati Muno. Ingin dia membakar perempuan tersebut dengan sorotan matanya. Tapi niat itu dia batalkan. “Baiklah. Semua syarat yang kamu ajukan denai terima!”
“Guru…”
“Denai harap Baginda raja tidak membantah.”
Renyah ketawa Puti Galang Banyak penuh kemenangan. Ia bangkit sambil berpangku tangan. Gaya perempuan itu sungguh pongah di hadapan lelaki tersebut. “Perlu diketahui bahwa Guru dan yang mendengarnya terikat pada janji itu. Jika Guru dan yang mendengarnya mungkir maka akan tumbuh bisul di tubuh setiap hari. Dan sembuhnya satu dalam setahun!”
Petir menggelegar. Kilauan cahayanya masuk ke dalam ruangan.
“Ya,” sahut Kati Muno.
Puti Galang Banyak mendekati Kati Muno. Bibirnya yang merah itu merekah basah. Ia angsur mustika air dan mustika kayu ke tangan Kati Muno.
Muncul dahaga birahi dalam pikiran lelaki itu. Ia berniat merengkuh pinggang perempuan itu, dan melumat bibir tersebut. Namun ia lebih memilih mengambil kedua mustika itu. Kemudian tanpa membuang waktu, kati muno mempersatukan kelima mustika tersebut.
Tiba-tiba kedengaran suara mendengung-dengung.
Petir menggelegar sambung bersambung.
Kati Muno menggenggam erat kelima Mustika Alam tersebut. Bergetar lengan lelaki itu diguncang mustika itu. Mustika tersebut seakan-akan berontak dari genggaman Kati Muno.
Kedengaran bunyi mendesis-desis. Raungan aneh membahana. Ketawa ramai kedengaran nyaring bagai ringkik kuntilanak. Lalu bunyi genderang perang bertalu-talu. Puput salung dan talempong mendayu-dayu, dan melengking tinggi. Semuanya bercampur aduk.
Ruangan itu jadi hingar bingar. Bergoyang bagai diguncang gempa hebat. Angin berputar di luar sana. Anurangga terlempar ke sudut itu. Sedangkan Silangkaneh mengelosor ke bawah meja. Meja itu menghantam punggung banci tersebut.
“Grrrrrhhh!”
Tubuh Kati Muno bergetar hebat. Rambut lelaki itu mencuat. Kelihatan ular-ular kecil  di atas kepala Kati Muno. Rambutnya berubah jadi ular kecil yang bergerak mencuat.
Sekonyong-konyong di ruangan tersebut tampak sosok ular raksana. Itulah bentuk asl Kati Muno. Cahaya biru membungkus ular raksana tersebut. Berderai bagai manik jatuh ke lantai sisik-sisik Kati Muno.
“Grrrrrrh!”
Cahaya biru membungkus ular raksasa jelmaan Kati Muno.
Anurangga ternganga-ngaga.
Puti Galang Banyak mendekat Anurangga.
Slang berusaha keluar dari runtuhan meja.
“Owaaaaa!”
Bagai roket meluncur, Kati Muno meluncur naik ke atas, ubun-ubunnya menghantam loteng. Berderai dan beserpihan loteng tersebut. Tubuh Kati Muno seperti kehikangan kendali, ia melayang membentur dinding. Menghantam apa saja yang menghalanginya. Ia kini melayang jauh keluar sana!
Penduduk di sekitar sana terbangun dari tidur lelap.
Kang...Akang. Bangun!”
“Ada apa. Akang udah cape.”
“Gempa. Rumah kita akan roboh!”
Lelaki itu terbangun. Ia melompat dari ranjang, terhuyung-huyung. Istrinya telah duluan keluar seraya menggendong sesuatu. Nun di sana, perempuan itu melihat api membakar hutan.
“Bukan gempa tapi kebakaran,” gumam perempuan itu.
Lelaki itu mengomel seraya menarik lengan istrinya. “Tunggu Kang. Nanti si Otong terbangun,” ujar perempuan itu. Tapi ketika melihat gendongannya, ternyata sebuah bantal guling. Tadi ketika ia terbangun ia merasakan gempa. Karena itu dia cepat keluar dan menyambar bantal guling yang dikiranya bayi.
Kebakaran hebat itu terjadi karena Kati Muno meluncur bagai roket dan jatuh di hutan belantara. Api yang menyelimuti tubuh Kati Muno terus melalap hutan belantara. Itulah proses kesempurnaan kesaktian lelaki tersebut !

SAMPAI JUMPA


** Kati Muno digambarkan sebagai tokoh jahat (ular raksasa) sezaman Datuk Perpatih Nan Sebatang. Tokoh ini dibunuh oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang.



0 komentar:

Posting Komentar