Rabu, 11 Januari 2012

KECAPI NAGA (10)

10

Gunung Pangilun

Matahari siang memancarkan sinarnya agak redup. Cahaya redup itu jatuh di atas Gunung Pangilun. Gunung Pangilun sebenarnya hanyalah sebuah dataran tinggi, dan penduduk pribumi lebih suka menyebutnya gunung, bukan bukit.
            Saat itu dua belas orang sedang melakukan penggalian di atas bukit Gunung Pangilun. Konon tersiar kabar bahwa di atas bukit tersebut tersimpan sebuah mustika. Mustika Kayu!
            Tersebut seorang dukun yang bernama Kutar bermimpi pada 27 Ramadhan. Lelaki tersebut mengaku didatangi oleh seorang berjubah putih, dan berjenggot panjang. Makhluk tersebut mengatakan bahwa Kutar harus menggali sebuah makam kuno yang terletak di Gunung Pangilun.
            “Dalam kuburan tersebut kamu akan menemukan mustika kayu. Mustika Kayu itu milik Sultan Sulaiman. Jika engkau berhasil mendapatkan mustika tersebut, engkau akan menjadi dukun sakti. Dukun sakti yang tidak ada tandingannya,” makhluk berjubah putih itu menuturkan.
            Kutar terbangun. Ia segera keluar rumah. Lelaki tersebut berdiri di halaman. Menurut penuturannya, ketika berdiri di halaman itu, ia melihat pohon yang tumbuh di sana bersujud. Dan angin tak berembus ketika itu. Suasana sangat tenang saat itu.
            Segera Kutar menggenggam dahan pohon yang merunduk itu. “Allahu Akbar,” gumamnya. Bersamaan dengan itu ia mendengar azan berkumandang. Kemudian Kutar bergegas ke masjid. Selesai shalat Subuh, Kutar menceritakan pada jemaah masjid tentang peristiwa yang dialaminya.
            “Engkau telah mendapat Lailatul Qadar.”
            “Mungkin engkau digoda setan,” tukas yang lain.
            “Akh. Mimpi itu hanyalah bunga tidur.”
            “Kamu percaya pada mimpi tersebut?”
            “Akh. Itu Cuma bid’ah,” tukas jamaah lain.
            Memang beragam komentar orang ramai. Namun Kutar meyakini bahwa makhluk berjubah putih tersebut adalah jelmaan malaikat. Malaikat utusan Tuhan untuk memberi rahmat kepadanya.
*
Keyakinan Kutar semakin bertambah, sejak ia mengalami peristiwa tersebut, banyak orang berkunjung untuk berobat. Sembilan dari sepuluh orang yang berobat kepadanya, telah sembuh seketika. Hal menambah keinginannya untuk mencari mustika Sultan Sulaiman yang tersimpan pada makam kuno di Gunung Pangilun tersebut.
            Hari itu adalah hari ke sepuluh, ia bersama para pekerja melakukan penggalian makam kuno tersebut. Sudah lebih lima meter kedalaman mereka melakukan penggalian. Namun belum menemukan tulang belulang manusia yang dikubur di makam itu. Dan juga belum menemukan mustka kayu.
            Kutar dan pengikutnya tidak putus asa. Mereka terus menggali dan menggali. Sungguh luar biasa, siang malam mereka menggali tanpa kenal lelah. Tujuan mereka hanya satu yaitu Mustika Kayu. Setiap batu atau kerikil yang mereka temukan diamati Kutar, ternyata bukan benda yang mereka cari.
            Menjelang lohor mereka berisirahat, duduk di bawah pohon beringin yang rindang. Kutar membagi-bagikan makanan, nasi bungkus. Dengan keringat yang masih menetes, para pekerja tersebut makan dengan lahap. Kutar melepaskan lelah, ia bersandar pada pohon. Lelaki itu menengadah ke puncak pohon. Sambil menikmati sebatang rokok kretek sehabis makan, ia tatap asap rokok yang menjulang berbundar-bundar ke atas sana.
            “Apakah mimpi saya salah?” Kutar menerawang bimbang. Berkali-kali lelaki itu menarik nafas. Dia mengerling ke arah pekerja yang tampak kelelahan. Wajah para pekerja tersebut tampak lesu. Ada di antaranya yang merebahkan diri di tanah dengan berbantal lengannya. Malah ada yang ketiduran mendengkur.
           
            Di bawah sana beberapa orang melangkah mendaki bukit. Terlihat di antara mereka yang menyandang kamera televisi. Mereka adalah wartawan televisi dan mass media cetak serta radio. Kadatangan mereka tentu saja hendak meliput kegiatan penggalian kuburan kuno tersebut. Di antara mereka kelihatan Atos.
            “Selamat siang,” Atos menyapa Kutar.
            “Siang,” sahut Kutar.
            Kameramen menyorot wajah Kutar, menyorot para pekerja penggalian yang sedang rebah beristirahat di bawah pohon beringin itu. Berikutnya kamera menyorot lubang galian.
            “Pak Kutar, dapatkah bapak menceritakan kenapa begitu yakin bahwa di Gunung Pangilun ini ada mustika kayu?”
            Sejenak Kutar menghirup rokok di bibirnya. “Oya. Saya yakin karena bermimpi suatu malam.”
            “Mimpi apa,Pak.”
            “Mimpi didatangi seorang tua berjubah dan berjanggut panjang. Dia memberi tahukan bahwa di Gunung Pangilun ini ada sebuah benda keramat. Seperti kalian lihat, kami telah menggali kuburan kuno ini hampir sepuluh hari.” Kutar menunjuk lobang yang menganga lebar, yang disebutnya kuburan kuno itu.
            “Hanya dengan berbekal mimpi tersebut bapak yakin mustika kayu itu berada di makam itu?”
            “Ya, kenapa tidak. Mimpi saya bukan mimpi biasa. Saya bermimpi pada malam ke dua puluh satu Ramadhan. Orang tua berjanggut panjang itu pastilah seorang malaikat.”
            Para wartawan itu manggut-manggut.
            “Siapa yang dikubur dalam kuburan kuno itu, Pak?”
            Diam sesaat Kutar. “Saya memang tidak tahu. Tapi yang pasti, orang itu keramat. Karena ia dikubur bersama mustika kayu. Mustika kayu tersebut milik Nabi Sulaiman.”
            “Mustika kayu itu milik Nabi Sulaiman?”
            “Ya, benda itu benda keramat. Siapa yang memilikinya maka orang tersebut akan jadi orang sakti.”
            Wawancara itu cukup lama. Nyamuk-nyamur pers itu cukup puas mendapat informasi dari Kutar. Bebarapa orang kembali turun, dalam pikiran mereka, berita ini akan menjadi berita hangat dan menghebohkan. Jelaslah masyarakat lebih tertarik pada berita sensasi seperti ini.
            Peristiwa penggalian kuburan kuno Gunung Pangilun tersebut bukan saja ditayangkan oleh televisi lokal tapi juga oleh televisi nasional. Keesokan harinya koran daerah dan koran Ibukota menurunkan berita Gunung Pangilun sebagai head line.

*

            Anurangga menyaksikan tayangan tersebut bersama Olivia. Lelaki itu tentu saja amat tertarik pada pencarian benda keramat itu. “Denai yakin Kutar akan mendapatkan mustika kayu, kata Anurangga seraya mengerling pada Puti Bagalang Banyak.
            Olivia menggumam. Malam itu perempuan tersebut baru saja mencat kukunya dengan warna pink.
            “Besok kita ke sana. Kita rebut mustika kayu itu dari tangan mereka,” ujar Anurangga. “Bila perlu denai hubungi Kati Muno. Pasti beliau gembira menerima informasi ini.”
            “Tadi siang Slang menelpon. Dia bilang akan ke sini,” tukas Olivia.
            “Bagus. Bersama Kati Muno, kita akan lebih mudah merebut mustika tersebut.”

*

            Gugum pun telah membaca berita tentang mustika kayu itu. Keinginannya untuk datang ke Gunung Pangilun muncul seketika. Roh Ki Samudro dalam tubuhnya memberi tahukan agar ia tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
            Pagi sekali, Gugum berangkat ke rumah kontrakan Nago Salapan. Di sana ia mendapatkan Nago Salapan masih memakai kain sarung dengan kaos singlet. Langsung saja Gugum menceritakan tentang mustika kayu yang sedang dicari orang di Gunung Pangilun.
            “Saya juga telah mendengar. Atos pun telah memberi tahu tentang pencarian mustika tersebut. Anak itu baru saja berangkat ke kantornya.”
            “Apakah anda tidak tertarik?”
            “Seperti Mas, saya juga ingin ke sana. Dan saya telah menduga Mas akan kemari.”

            Keduanya berangkat naik motor besar. Beberapa saat kemudian mereka telah tiba di kaki Gunung Pangilun. Gunung Pangilun tidak terlalu tinggi, tidak sebatang rokok mereka telah sampai di pinggang bukit. Samar-samar Nago dan Gugum mendengar suara gaduh di atas bukit tersebut.
            Ternyata malam tadi, para penggali berhasil menemukan sebongkah batu sebesar kepala bayi. Bongkahan batu itu oleh Kutar diyakini berisi “Mustika Kayu”. Lalu ia memerintahkan agar membersih bongkahan batu itu dari lumpur dan pasir. Ada kilauan cahaya membersit dari bongkahan batu tersebut.
            Kutar tersenyum. Ia segera membawa batu tersebut ke bawah pohon beringin. Di sana ia amati dengan seksama. “Batu ini harus dipecah. Dari pecahan ini, saya yakin ditemukan mustika kayu,” gumamnya. Lantas ia menggamit seorang pekerja, dan memerintahkan membawa martil untuk memecah batu.
            Tidak lama kemudian, ia kembali membawa martil. Sesuai dengan perintah Kutar, lelaki tersebut menghantam bongkahan batu dengan martil. Kedengaran benda keras beradu. Batu itu menggelinding beberapa jengkal dari landasan. Kemudian diambil kembali dan diletakkan pada landasan dari besi. Lalu pekerja tadi mengayunkan martil tersebut sekuat tenaga ke bongkahan batu. Bongkahan batu melenting berkali-kali. Dan bongkahan tersebut belum juga pecah!
            “Ayo gantian!”
            “Kamu lagi.”
            Lelaki kedua menggantikan temannya yang sudah kepayahan itu. Tanpa menunggu lebih lama, lelaki itu menghantam batu tersebut sekuat tenaga. Namun seperti temannya, ia juga gagal. Berulang-ulang ia mencoba, bongkahan tersebut masih tetap utuh.
            Lewat tengah malam, bongkahan batu belum juga bisa dipecahkan. Semua pekerja telah mencoba memecahkan bongkahan batu tersebut dengan martil tapi hasilnya tetap sia-sia. Mereka saling pandang. Wajah mereka kuyu dan putus asa. Kutar pun terperangah. Ia membolak-balik bongkahan batu itu. Sungguh dia tidak mengerti kenapa batu itu tidak mampu dipecahkan. Jangankan pecah, retak pun tidak. Bibir Kutar komat-kamit membaca mantera. Lalu meludahi batu itu.
            “Nah kalian coba lagi!”
            Seorang pekerja maju, ia mengayunkan martil menghantam bongkahan batu yang disodorkan oleh Kutar. Kedengaran bunyi melengking. Batu tersebut bergulir tapi masih tetap utuh. Sejenak pekerja itu mengatur nafas, lalu kembali mengayunkan martil. Lagi lagi dia gagal. Dan kemudian diganti oleh pekerja lain. Semua pekerja masing-masingnya telah mencoba dua kali. Bahkan ada di antaranya sampai tiga kali. Namun hasilnya tetap sama. Bongkahan batu itu masih utuh. Sementara itu dari dalam bongkahan muncul cahaya berserat hitam.
           
            Subuh para pekerja tidak sadarkan diri lagi. Mereka begitu letih, dan bergelimpangan. Dan Kutar juga demikian tapi tetap waspada. Ia genggam batu tersebut. Antara lelap-lelap ayam Kutar mendengar langkah kaki ringan. Tiba-tiba bongkahan batu di tangannya lepas bagai ditarik tenaga yang luar biasa kuat.
            “Maling!”
            Fajar memang hampir berganti, cahaya pagi terlihat lembut. Embun-embun masih lengket di ujung daun, disinari kelembutan cahaya fajar yang masih tersisa. Di antara embun-embun yang bermanik-manik bagai mutiara, tampak sosok ramping duduk bersila di atas hamparan batu besar. Dari lekuk tubuh dan rampingnya sosok tersebut, kita dapat menduga bahwa ia seorang perempuan. Gadis itu adalah Puti Rinjani alias Nadia.
            Beberapa orang pekerja terbangun. Samar-samar mereka melihat bayangan Puti Rinjani yang duduk di atas hamparan batu tersebut. Mereka melongo. Tiupan angin semilir menyibakan rambut Nadia. Ia tampak semakin cantik dengan rambut yang berkibar-kibar. Di hadapan gadis tersebut tampak bongkahan batu. Dan para pekerja tidak bergeming, tak berkedip memandang Nadia. Mereka tidak mendengar seruan Kutar agar menangkap gadis di atas batu itu.
            “Kalian tunggu apa lagi. Dia telah mencuri batu kita,” seru Kutar seraya menuding ke arah Nadia. Lelaki tersebut berang bagai kucing kebakaran ekor.  “Serang dia!”
            Seperti baru terjaga dari mimpi buruk, para pekerja saling pandang. Mereka menggumam. Lalu bersungut-sungut. Kemudian bangkit dengan malas. Hanya bangkit tapi tidak berbuat apa-apa.
            Kutar menghentakkan kaki kesal. “Apa kalian pakak (tuli)!” Lelaki itu menghardik.
            Para pekerja masih bengong.
            “Tangkap gadis itu!”
            Akhirnya para pekerja itu sadar. Mereka segera bergerak mendekati batu besar. Lalu bergerak memanjat batu besar tersebut. Dinding batu tersebut licin, satu persatu mereka melorot ke bawah. Terhenyak di tanah.
            “Pandir!” Kutar berang bukan main. Lelaki itu bercarut bungkang. Dia bukanlah orang sembarangan, di samping seorang dukun, Kutar adalah seorang guru silat. Karena melihat para pekerja tidak berdaya maka lelaki tersebut memanjat ke atas batu. Sampai di hamparan batu, nafasnya agak tersengal-sengal.
            Di bawah sana para pekerja memandang “Bos” mereka telah berhasil naik ke atas hamparan batu itu. Mereka ingin menyaksikan bagaimana Kutar merebut kembali bongkahan batu tersebut dari Nadia.
            “Ooo Upik rancak. Sebutkan namamu agar saya bisa memberi nama pada nisanmu,” ujar Kutar. Melihat yang merebut bongkahan batu itu hanyalah seorang gadis, lelaki itu menjadi sombong. Ia menduga akan mampu mempecundangi gadis lemah itu dengan mudah.
            Nadia menatap tajam ke arah Kutar. Tatapan itu membakar.
            Kutar merasakan jantung berdenyut-denyut tidak normal. Kemudian ia mengatur nafas, berkomat-kamit. Lalu mendegup ludah. Kini jantungnya kembali normal.
            “Saya Puti Rinjani.”
            “Hmm.. Kalau begitu kembalikan benda di tanganmu itu!”
            Mencuat naik alis gadis tersebut mendengar ocehan Kutar. Nadia ketawa melengking. “Engkau minta saya mengembalikan benda ini. Silahkan kamu ambil sendiri!”
            Menggelegak darah di jantung Kutar. Gadis ini sungguh sombong, gumam lelaki itu. “Jangan besar kepala dulu, hai Upik. Bersiaplah engkau, saya akan memelukmu. Ha…ha…ha.”
            “Lakukanlah kalau engkau bisa. Ambillah benda ini dari tanganku.”
            Kesabaran Kutar hilanglah sudah. Ia segera mengulurkan tangan, dan meraih benda tersebut yang di letakan di sela paha Nadia. Begitu yakin ia mendapatkan benda itu. Di samping ia dapat mengambil benda tersebut, dia juga akan meremas paha gadis itu. Membayangkan semua itu, jakun Kutar turun naik.
             Sayang angan-angan Kutar hanyalah bayangan belaka. Sebelum niatnya terlaksana, Nadia menggeser dari kedudukannya semula. Kontan lelaki tersebut meubruk tempat kosong di atas batu itu. Hampir saja ia jatuh berguling ke bawah.
            “Tuan menangkap apa? Atau tuan ingin tidur lagi?”
            Merah telinga Kutar mendengar ejekan gadis itu. Ia bangkit agak sempoyongan. Kemudian memasang kuda-kuda, kembali menghadapi Nadia. Kali ini ia tidak main-main lagi. Dengan segenap tenaga yang ada padanya, ia menyerang. Secepat kilat ia menubruk, sepasang lengannya menjulur hendak menangkap pinggang gadis tersebut.
            Nadia mencelat ke udara. Lalu hinggap pada tubir atau pinggiran batu. Ia masih menggenggam bongkahan batu mustika.
            Tersenyum Kutar melihat posisi gadis tersebut. “Kini kau tak mungkin mempermainkan saya lagi,” lelaki itu menggumam riang. Kutar riang karena Puti Rinjani berdiri pada posisi yang rapuh. Dengan sekali tubrukan, gadis tersebut akan terjungkal ke bawah.
            “Kenapa tuan bengong. Ayo ambil biang mustika ini,” ujar Nadia menggamit Kutar.
            “Ya, kamu tidak mungkin lolos lagi!”
            Lalu bagai kerbau jalang Kutar menyeruduk kencang ke arah Nadia. Ia yakin tubrukannya pasti berhasil. Tidak mungkin gadis itu berkelit. Bila Nadia menggeser kakinya, ia akan jatuh.
            Namun dugaan Kutar meleset lagi. Ternyata gadis itu sangat lincah. Dalam posisi seperti itu, Nadia mampu melompat melewati kepala Kutar. Sementara itu Kutar melesat kencang menubruk Nadia. Gerakan itu tak tak ditunda lagi oleh Kutar. Maka ia kembali menubruk tempat kosong. Lelaki itu memekik, tubuhnya jatuh ke bawah. Dia terhenyak di bawah sana.
            Para pekerja terperanjat, mereka segera berlarian menghampiri Kutar. Ketika Kutar berusaha bangkit, ia kembali terhenyak.
“Kenapa Pak?” Para pekerja bertanya serentak.
Kutar meraung-raung seraya memegang pinggangnya.
“Pinggang bapak terkilir.”
“Bukan terkilir tapi patah.”
“Jangan banyak omong. Angkat dia!”
“Ayo!”  
            Mereka menggotong Kutar ramai-ramai ke bawah pohon beringin, dan membaringkan di sana. Kemudian mengipas lelaki itu. Ada juga yang memijat pinggang Kutar. Tapi ketika Kutar meraung, orang itu menunda pijatannya.
            “Apa yang sakit,Pak?”
            Kutar meringis meraba pinggangnya. “Pinggang saya seperti akan putus. Tolong saya…”
            “Pinggang bapak masih utuh,” tukas seseorang.
            “Husy! Waang pakak. Pinggang Pak Kutar serasa akan putus. Jadi bukan putus.”
            “Begitu ya.”

            Nadia melangkah ke arah kerumunan orang ramai itu. Melihat kedatangan gadis tersebut, mereka yang merubungi Kutar segera berkuak. Mereka khawatir Nadia akan membunuh induk semang itu. Lantas ada yang bersiaga.
            “Kalian tak usah takut. Saya tidak makan orang. Minggirlah,” ujar gadis itu.
            Mereka melongo. Melongo ketika Nadia mendekati Kutar yang terbaring mengerang-erang di sana. Sekonyong-konyong gadis itu menjambak rambut Kutar, dan menekan pinggang lelaki itu dengan tumit. Lalu kedengaran bunyi berderak. Kutar meraung.
            “ Ooi Amak mati den!”
             Para pekerja terpana.
            Nadia bangkit. Gadis itu tersenyum seraya mengerling pada para pekerja yang masih bengong tersebut. “Kalian tidak perlu cemas. Dia sudah sembuh.” Berkata demikian Nadia berkelabat. Gadis itu lenyap seketika.
            Apa yang dikatakan gadis itu memang benar. Kutar merasakan pinggangnya sembuh seketika. Ia segera bangkit.
            Para pekerja gembira melihat “Bos” itu sembuh.
            Tiba-tiba Kutar ingat akan biang mustika, ia segera berteriak,” Mana gadis itu. Dia telah mencuri biang mustika!”
            “Dia sudah pergi, Pak.”
            Kutar terhenyak. Lelaki itu kecewa berat.

**

            Sementara itu Nadia turun dari bukit, ia melewati pekuburan. Kabut pagi masih menyelimuti Gunung Pangilun. Dalam perjalanan menuruni bukit tersebut, Nadia merasa bongkahan batu yang berisi mustika kayu itu akan merepotkannya.
            Sejenak Nadia mengamati bongkahan batu tersebut, ia memperhatikan sisi lemah dan kerapuhan batu itu. Betapa pun kerasnya suatu benda, pasti ada titik rapuhnya. Gadis itu membolak-balik biang mustika itu, ke atas lalu ke bawah, ke samping kiri dan kanan. Akhirnya Nadia menemukan sisi kelemahan dan kerapuhan biang mustika tersebut. Sisi lemah itu terletak pada bagian bawah.
            Dan Nadia mengupil dengan telunjuknya, ternyata benar. Sebagian bongkahan batu tersebut berderai. Segera ia menggenggam sekuat-kuatnya. Kemudian ia kerahkan tenaga murninya ke pusat sisi lemah batu itu.
            “Hiaaat!”
            Kedengaran suara mendesis halus. Lalu ledakan perlahan. Bongkahan batu itu berderai, serpihannya berdebu jatuh ke bawah. Sesaat tampak membersit cahaya kuning tua. Riang seketika Nadia, mustika kayu itu terhampar di telapak tangannya. Tak tahan lagi, Nadia melompat kegirangan.
            Saat bersamaan muncul Anurangga dan Silangkaneh. Mereka melihat Nadia sedang menggenggam mustika kayu, gadis itu belum sempat menyimpannya. Tentu saja kedua orang itu tidak membiarkan gadis membawa mustika tersebut seenaknya.
            “Adinda Puti Rinjani. Kita memang berjodoh. Denai selalu datang tepat waktu,” ujar Anurangga.
            Terperanjat Nadia melihat kedatangan Anurangga dan Slang. Kedua orang ini jelas akan jadi penghalang besar baginya untuk memiliki mustika kayu. Ketika Nadia mendengar ucapan Anurangga, gadis itu menyahut sinis. “Tuan memang keras kepala. Mana mungkin kita berjodoh. Darah biru tuan lebih kenatal dari saya. Lagi pula, tuan telah punya istri, yaitu Puti Galang Banyak.”
            Anurangga ketawa, ia mengerling pada Slang. “Agaknya zaman telah merubah jalan pikiran gadis pilihan denai ini. Dari ucapannya, dia tidak lagi mempercayai suratan tambo.”
            Slang pun ketawa. Ia mengangguk. “Suratan tambo menjelaskan bahwa Tuanku sebagai raja muda dapat saja mempunyai istri lebih dari seorang. Bahkan sepuluh orang istri pun boleh. Hik..hik…hik.”
            “Kamu memang pintar Silangkaneh,” sahut Anurangga memuji. Lelaki itu menatap Nadia, tatapan nakal seorang lelaki mata keranjang. Seakan-akan tatapan itu mampu menanggalkan pakaian Puti Rinjani. “Rinjani sayang, antarkan mustka kayu itu pada denai.”
            Serasa akan muntah Puti Rinjani mendengar rayuan Anurangga. Ia membuang ludah ke tanah, membuang rasa muak mual itu. Sejenak menenangkan diri, lalu berkata tenang,”Tuan, jika tuan mempunyai nyali, ambil mustika ini dari tangan saya.”
            Ucapan Nadia terasa datar. Tapi membuat mata Anurangga berkedip-kedip. Wajahnya menghitam menahan emosi. Lelaki itu tersinggung karena dia dianggap tidak punya nyali. Anurangga menoleh pada Slang. “Silangkaneh, kamu dengar yang diucapkan gadis itu?”
            “Ya.”
            “Nah, kamu tunggu apa lagi. Ambil mustika itu!”
            Kelat kerongkongan Slang mendengar perintah Anurangga. “Tapi tuanku, gadis itu menantang tuanku. Bukan saya,” Silangkaneh coba berkilah.
            “Dasar banci. Percuma denai pelihara kamu. Ayo maju!” Anrangga mendorong Slang ke depan.
            Slang melangkah ke depan, agak bimbang. Sepasang kakinya melangkah tertatih-tatih. Lelaki itu sebenarnya cukup memiliki kepandaian ilmu beladiri atau ilmu silat yang bukan terbilang rendah. Apalagi kalau diukur dengan ilmu bela diri pesilat biasa zaman sekarang. Kendati pun demikian, ia keder juga menghadapi Puti Rinjani.
            Lelaki itu memulai serangannya dengan kibasan tangan. Bukan sembarangan kibasan, kibasan tersebut tampak lembut dan sederhana. Namun dibalik kelembutan dan kesederhaan itu, tersembunyi kekuatan besar.
            Gadis ini telah merasakan sambaran angin kibasan Slang. Ia waspada bahwa kibasan tersebut mengandung tenaga dalam. Namun ia ingin menjajal kekuatan tenaga dalam lelaki banci tersebut. Nadia membalas serangan Slang dengan kibasan pula. Dua tenaga kibasan itu bertemu di udara terbuka. Sejenak Nadia merasakan hawa dingin merasuk ke kulitnya. Namun ia tak bergeming pada posisinya.
            Sementara itu, Slang surut selangkah, kuda-kudanya agak goyah seketika. Tampaknya tenaga dalam Slang berada di bawah gadis tersebut. Walaupun kibasan angin pukulan yang dilancarkan tadi, bukan tenaga dalam sepenuhnya. Hanya sekadar serangan penguji belaka.
            Akan tetapi di hadapan Anurangga, Slang merasa mendapat malu. Justru karena itu, dia tidak mau kehilangan muka untuk serangan berikutnya. Tiba-tiba ia menggenggam sebuah kipas di tangannya. Itulah senjata andalannya. Dengan kipas itu dia telah malang melintang di dunia persilatan. Cukup banyak pendekar yang roboh dengan sabetan kipasnya itu. Sehingga di masa lampau ia dikenal dengan julukan “Banci Berkipas Badai”
            “Rinjani. Sebaiknya engkau serahkan mustika itu!”
            Nadia mendengus.  Gadis itu mengerti kenapa Slang sesumbar ketika memulai serangannya dengan kipas tersebut. Pastilah lelaki itu amat yakin akan merobohkan gadis tersebut. “Silangkaneh, saya sudah mendengar akan kehebatan ilmu kipasmu. Tapi saya akan menjajalnya,” tantang Nadia.
            Slang mendegup ludah. Ia menghimpun udara yang dihirupnya dan mengalirkan ke pusar, dari pusar menjalar ke seluruh pembuluh tubuhnya. Lalu menimbulkan hawa murni. Kipas di tangan itu bergetar, rambutnya mencuat naik bagai bulu landak. Saat itulah Slang berseru keras, kipas bergoyang menimbulkan angin angin kencang.Menerjang Nadia!
            Daun-daun tua yang berserak di tanah, naik ke udara. Semakin lama semakin kencang tiupan angin tersebut. Kali ini Nadia tidak bisa menganggap enteng serangan lawannya. Sepasang lengannya bersilang seketika, ia hirup nafas dalam-dalam. Lalu ia himpun hawa murni dalam tubuh itu. Telapak tangan Nadia sekonyong-konyong bercahaya putih. Sementara itu melesat angin serangan lawan ke arah gadis tersebut
            “Hiaat!”
            “Heptaahhh!”
            Slang berseru keras.   
            Nadia berputar, ia melangkah ringan bagai menari. Deru angin yang menyerangnya, luput. Tapi serangan dahsyat itu tidak berhenti sampai disitu. Masih ada serang baru. Serangan kipas Slang datang bertubi-tubi. Tubuh Nadia berubah jadi bayangan-bayangan. Melejit lincah di antara serangan beruntun lawan.
            Sepuluh jurus pertarungan telah berlalu. Slang memang tidak tanggung kali ini, ia pertaruhkan pamornya di hadapan Anurangga. Sekarang, bukan saja daun-daun tua yang berserakan naik ke udara. Pasir, kerikil mulai terbang disapu kipas Slang.
            Berkelabat ke sana-sini, Nadia seperti berlari di udara menghindari serangan serang angin kipas Slang. Suatu ketika Nadia berjumpalitan, ia bertengger di cabang pohon.
            Slang menatap. Kipasnya terkembang di dada. Lelaki banci tersebut merasa di atas angin. Betapa tidak, dalam sepuluh jurus, lawannya belum pernah punya kesempatan membalas serangannya. Gadis itu agaknya kerepotan berkelit menghadapi serangan lelaki banci itu.
            “Rinjani kamu tidak mungkin menang. Agar selamat maka serahkanlah mustika itu!”
            Angin pagi berembus lembut.
            “Silangkaneh, kamu bisa saja sombong. Tapi sekejap lagi kesombonganmu akan lenyap,” tukas Nadia.
            Slang meludah ke tanah. Semburan ludahnya itu adalah bagian dari pandangan Slang meremehkan ucapan lawannya itu. Tiba-tiba kipas Slang yang terkembang di dada, mengatup, ia lantas berputar bagai gasing. Saat bersamaan, kipas Slang terbuka. Dari kipas yang terbuka itu menderu angin kencang menyerang Nadia, yang bertengger di cabang pohon.
            Pohon bergoyang-goyang. Nadia yang masih berdiri di cabang pohon tersebut pun bergoyang seperti hendak jatuh. Serangan kipas Slang kali ini lebih hebat dari sebelumnya. Cabang pohon yang diinjak Nadia berderak-derak. Agaknya keselamatan gadis tersebut berada di ujung tanduk!
            “Hiaat!”
            “Haaaaaa!”
            Cabang pohon itu rengkah
            Semula wajah Slang tampak riang. Ia menyaksikan Nadia meluncur ke bawah. Meluncur deras. Sudah pasti gadis itu akan cedera, jatuh di tanah.
            Nadia berjumpalitan sampai tiga kali di udara. Sesaat kemudian, ia menjejakkan kaki kanannya dengan enteng ketika mennyentuh tanah. Nadia berdiri tidak jauh dari Slang. Tangan gadis itu membentangkankan Selendang Pembunuh Anggang.
            Melihat Nadia memegang Selandang Pembunuh Anggang, Slang surut segera. Senjata pamungkas di tangan gadis tersebut amat ditakuti oleh makhluk abadi seperti mereka. Amat ditakuti oleh Slang maupun Anurangga.
            Nadia dan Slang saling beradu pandang.
            Anurangga pun mencabut pedang Jinawi.
            Kipas di tangan Slang bergetar. Ia berusaha mengumpulkan nyalinya yang tersisa. Slang mengatup kipas, lalu terbuka. Lelaki itu berseru keras, angin dari kipasnya kembali menerjang lawan. Tidak ada jalan lain, ia harus mendahului lawannya itu.
            Nadia tidak tinggal diam. Gadis itu menyambut serangan lawan dengan kibasan Selendang Pembunuh Anggang. Ada bunyi mencericit, melengking, meraung lalu kedengaran ledakan keras. Angin kipas Slang bertemu dengan angin kibasan Selendang Pembunuh Anggang.
            Dedaunan rontok bagai hujan ke tanah.
            Gadis itu berdiri kokoh masih memegang Selandang Pembunuh Anggang. Ia tampak anggun dengan senjata pamungkas tersebut. Slang bergulingan di tanah. Ketika ia bangkit, lelaki banci itu terhuyung-huyung. Kipas di tangannya hanya tinggal bingkai belaka. Darah segera menetes di bibirnya.
            Anurangga mendekati Slang, ia membungkuk di depan lelaki tersebut. Wajah Slang tampak pucat. “Kamu terluka dalam,” ujar Anurangga. Segera ia menotok beberapa bagian urat nadi banci itu. Selang beberapa jenak, Slang batuk-batuk. Darah kental bewarna biru melompat dari mulutnya.
            “Terima kasih, Tuanku,” rintih Slang.
            “Ya, sekarang kamu pulihkan tenagamu. Biar denai menghadapi perempuan tak tahu diuntung ini. “ Anurangga bangkit, ia membelintangkan pedang Jinawi di dada. Cahaya mata lelaki tersebut menyala-nyala.
            Pun Nadia bersiaga, Selendang pembunuh Anggang di tangannya menjuntai ke tanah. Kini kedua insan itu saling bertatapan.
            “Rinjani…Kamu masih punya kesempatan. Serahkan mustika tersebut. Atau kamu akan jadi bangkai!”
            Nadia mendengus. Gadis itu mengibaskan selendang. “Anurangga…Saya sangat menyesal sekali. Karena tidak bisa memenuhi permintaanmu. Kalau tuan ingin mengambil mustika ini, langkahilah mayatku.”
            “Hmmm.” Anurangga mendengus sinis. Kemudian lelaki itu memutar pedang Jinawi di atas kepalanya. Kedengaran suara melengking bagai bayi menangis. Semakin lama semakin kencang pedang itu berputar.
            Angin bersiut.
            Angin melengking.
            Angin meraung-raung karena pedang Jinawi dalam genggaman Anurangga semakin kencang berputar. Tiba-tiba Anurangga merubah gerakkanya, dari memutar pedang di atas kepala,  menjadi membelintang di wajah, seakan-akan wajah tersebut bagai terbelah dengan mata pedang mengarah pada lawan.
            “Yaaaatttt!”
            Anurangga berlari kencang ke arah Nadia. Ujung pedang Jinawi menususk ke arah lawan yang sedang tegak menjuntaikan Selandang Pembunuh Anggang. Kian lama kian dekat ujung pedang Jinawi itu ke tubuh Nadia. Jika Nadia tidak menggeser langkah, maka tubuh gadis itu akan ditembus padang Anurangga.
            Kecepatan serangan Anurangga sungguh luar biasa. Bila Nadia terlambat berkelit sepersekian detik, tak mungkin lagi nyawanya selamat.
            Angin berembus mengoyang pucuk pohon.
Daun-daun tua jatuh ke tanah. Tersandung-sandung daun tua yang kering itu menggelinding di tanah.
Nadia belum tampak menggeser posisi. Mungkin gadis itu mempunyai perhitungan sendiri. Ia hanya membentangkan Selendang Pembunuh Anggang di dada.
Anurangga berseru riang. Ia menyangka ujung pedang Jinawi akan menembus selendang tersebut. Lalu menembus jantung gadis itu. Terbayang di pelupuk mata lelaki tersebut, Puti Rinjani terkulai dan darah mrengalir di dada.
Dugaan tak selalu tetap memang. Ujung pedang Jinawi tertahan, tangan Anurangga bergetar. Pedang Jinawi tidak mampu menembus Selendang Pembunuh Anggang.
Bukan saja tak mampu menembus tak mampu menembus Selendang Pembunuh Anggang. Tapi Anurangga seperti didorong oleh kekuatan dahsyat. Lelaki tersebut terlempar ke belakang. Jungkir balik ia beberapa kali.
Setelah beberapa kali jungkir, Anurangga bangkit. Agak pucat wajahnya. Dadanya terasa sempit dan tersengal-sengal. Anurangga menghirup udara, menghimpun ke dalam dada.
“Bangsat!” Anurangga memaki dalam hati. Sedikit pun ia tidak menyangka akan “kalah” tenaga dalam dari gadis itu. Apalagi dia memiliki pedang Jinawi, pedang yang tersohor kehebatannya di dunia persilatan. Dan kenyataan yang ada, dia menjadi pecundang.
“Tuanku, sebaiknya kita pergi saja,” rintih Slang.
Anurangga diam.
Dan Nadia tersenyum melihat keadaan lawannya itu. Ia segera bersiap meninggalkan meninggalkan kedua lawannya itu.
“Tunggu!” Anurangga berseru.
Nadia menunda langkahnya. Tapi ia tak berpaling. “Apakah masih ada yang ingin tuan katakan?”
Anurangga mendegup ludah, ia basahi bibir dengan ludahnya. Sebenarnya ia sudah kehilangan kata-kata. Tapi bukanlah namanya Anurangga, mau menyerah begitu saja. “Adinda Puti Rinjani, denai mau berdamai denganmu. Kamu boleh memiliki mustika itu. Tapi kamu mau bergabung dengan kami.”
Geli seketika Nadia mendengar tawaran lelaki itu. Sungguh tidak tahu diri lelaki ini, gumamnya. Tawaran tersebut jelas tak mungkin ia terima. Ah, barangkali dia hanya ingin mengulur waktu. Saat berpikir seperti itu, Nadia mendengar langkah kaki. Akan tetapi gadis itu lebih dulu menghilang.
Dua orang lelaki muncul dari balik bukit itu. Mereka, Nago dan Gugum. Melihat kedatangan kedua orang tersebut, Anurangga semakin ciut. Betapa tidak, menghadapi Puti Rinjani saja dia sudah kewalahan. Apalagi ditambah dengan Nago Salapan dan Gugum.
Kendati pun tawarannya belum dijawab oleh Nadia, Anurangga merasa tawaran itu tak mungkin diterima gadis tersebut. Ia menarik langkahnya ke belakang, di sana Slang berdiri. Lelaki itu mengangguk.”Kamu benar. Sebaiknya kita pergi dari sini,” ujar Anurangga.
Slang mengangguk.
Namun sebelum Anurangga dan Slang melangkah pergi, Gugum maju ke depan. “Mengapa tuan berdua tergesa-gesa?” sapa Gugum.
Tentu saja Anurangga tidak mau kehilangan muka. Apalagi di sana ada Nago Salapan. Sementara itu pandangannya pada Gugum agak “remeh”, hanya seorang manusia biasa. Dan apa yang bisa dibuat oleh Gugum yang sersan itu, jika berhadapan dengan dia.
“Kamu punya urusan apa dengan denai?”
“Urusan apa? Tuan sungguh pelupa. Tuan seorang penjahat besar yang mengkhianti negara ini. Status tuan adalah buronan. Jika tuan menyerahkan diri, alangkah terhormatnya.”
Ketawa terbahak-bahak Anurangga. Sinis pandangan lelaki tersebut ketika ia melihat Gugum mengacungkan pistol. “Wahai sersan. Kamu bilang denai mengkhinati negara ini. Denai tidak merasa negara ini. Kalian jangan coba memutar balikkan fakta. Kalian orang-orang modern telah mengambil wilayah Minangkabau. Ketahuilah, denai adalah Anurangga penguasa di Minangkabau ini.”
Gugum diam.
Matahari telah sepenggalahan. Sinar matahari masuk ke sela-sela dedaunan. Burung-burung berkicau di pucuk pohon.
“Mestinya kalian yang denai tuduh sebagai pengkhianat!” Anurangga berkata lantang.
Sesak dada Gugum mendengar ucapan lelaki itu. Telapak tangannya yang menggenggam pistol berkeringatan. Gagang senjata itu terasa licin. Ingin ia menembak dahi Anurangga segera.
“Kalian boleh bilang denai penjahat. Tapi apakah kamu tidak merasakan betapa banyaknya penjahat berkeliaran di negeri ini. Mereka membuat undang-undang untuk memayungi kejahatan mereka. Katakan pada denai, siapa orang suci di Republik ini!”
Gugum menelan ludah. Kerongkongannya terasa kering mendengar “kotbah” Anurangga. Ia segera melepaskan tembakan!
“Mas Gugum!” Nago ingin menghalangi tapi terlambat. Peluru itu telah terlanjur meluncur dari pistol Gugum. Timah panas itu melesat kencang bagai panah api menuju Anurangga.
Anurangga mendekap dada.
Slang berlari mendekati majikannya. Ia meraba dada Anurangga. “Tuanku terluka?”
Anurangga mengejapkan mata. Lalu tersenyum. “Kita tidak boleh jadi pecundang. Apalagi dipecundangi manusia biasa,” kata lelaki itu seraya mencabut peluru yang menancap di dadanya. Kemudian ketawa terbahak-bahak.
“Tuan bisa juga bercanda.”
“Slang…”
“Ya, tuanku.”
“Lupakah kamu siapa kita?”
“Tidak.”
Anurangga bangkit. Lalu merangkul Slang dan berkata,”Jelaskan kepada dia siapa kita!”
Slang mempermainkan ujung peluru di antara jempol dan telunjuknya. Ia pun tersenyum, seakan-akan ada yang lucu. Ia kemudian ketawa terkikih-kikih bagai kuda betina meringkik. Setelah itu menatap tajam pada Gugum. “Kamu bukan makhluk seperti engkau, Gugum. Kamu boleh bangga dengan senjata modern ini. Tapi manusia abadi seperti kami, tak mempan oleh senjata modern apa pun. Nah, sekarang terimalah peluru ini!” Slang menyambitkan peluru itu ke arah Gugum.
“Awas!”
Nago menarik lengan Gugum sehingga lelaki itu bergeser dari posisi semula. Peluru yang disambitkan Slang menghantam pohon di belakang. Selamatlah Gugum.
Melihat Gugum centang perenang diserang ujung peluru yang disambitkannya, Silangkaneh ketawa meringkik. “Hai sersan, sambitan tersebut hanya peringatan awal dari saya. Dan sekarang, kalian berdua segeralah meninggalkan tempat ini,” ujar banci itu. Agaknya ucapan itu juga ditujukan pada Nago Salapan.
Dipancing seperti itu, Nago Salapan tidak tersinggung dan marah. Ia tahu, Slang memang sengaja memancing dia dengan ucapan tersebut, agar turun tangan lebih awal. “Silangkaneh, saya kurang berminat melayani engkau. Jika saya memang ingin bertarung juga. Saya lebih suka bermain-main dengan Anurangga.”
Suara Nago terdengar jelas. Kuping Anurangga panas bagai terbakar oleh ucapan Nago yang secara tak langsung menantang dia. Lelaki itu baru saja memulihkan tenaga murninya yang tersedot akibat pertarungan dengan Puti Rinjani. Tapi kini emosinya naik kembali.
“Nago Salapan!” Anurangga memekik seraya menghentakkan kaki. Amarahnya menggebu-gebu. Wajahnya menghitam menatap musuh bebuyutannya itu. Ingin rasanya ia mengunyah Nago Salapan mentah-mentah.
“Ya, saya masih di sini,” sahut Nago datar.
“Hari ini denai bersumpah demi langit dan bumi. Engkau akan denai kirim ke Alam Antah Berantah. Denai akan menghabisi dengan pedang Jinawi ini!”
Nago melihat lelaki tersebut mengacungkan pedang Jinawi di atas kepalanya. Lalu Anurangga menggenggam hulu pedang itu dengan sepasang tangannya, ujungnya mencuat ke angkasa. Matanya merah mencorong. Agaknya lelaki itu tidak akan gegabah lagi seperti menghadapi Puti Rinjani.
Cahaya matahari menghunjam ke pinggang bukit. Berkilau pedang Jinawi diterpa sinar matahari sepenggalahan itu.
Anurangga beringsut di atas tanah. Seketika kedengaran bunyi mendesis. Lalu raungan harimau. Lalu pekik elang. Lalu suara ketawa makhluk halus. Suara itu bercampur baur.
Slang merinding.
Jantung Gugum bergetar hebat. Sepasang kakinya menggigil. Dan kupingnya mendenging-denging bagai dirubungi ribuan lebah. Sekonyong-konyong kepalanya dikitari bintang-bintang. Ia ingin muntah.
Suara magis itu memang berasal dari pedang Jinawi. Senjata ini berhawa jahat karena dipakai atau dimiliki oleh seorang penakluk sejati, Timur Lenk. Dalam penaklukan Timur Lenk merambah musuh-musuhnya tanpa berkedip sedikitpun, saat menghabisi nyawa korbannya. Dan roh-roh penasaran itu masuk ke dalam pedang Jinawi. Sehingga tatkala pedang tersebut dikeluarkan dari kerangkanya maka akan kedengaran suara pekikan, raungan, isak tangis.
“Hiyaaa!”
Anurangga meluncur kencang dengan ujung pedang Jinawi menngancam leher Nago Salapan.
Dedaunan di atas bukit itu rontok, ratusan helai atau mungkin ribuan helai daun berderai melayang-layang. Daun-daun tua yang kering menumpuk di tanah pun mengapung ke udara. Ribuan daun terbang merubungi Nago Salapan yang berdiri tegar. Matanya yang tajam bagai elang mengamati ujung pedang yang meluncur ke arahnya. Selembar daun hinggap di mata lelaki tersebut. Padangannya terhalang!
“Hiaaa!”
Nago Salapan berseru menggema. Daun-daun yang membungkus tubuhnya berserakan, melayang jauh. Sementara itu mata pedang tinggal seincin lagi masuk ke lehernya. Tidak mungkin Nago Salapan berkelit. Ia mengibaskan ujung pedang itu dengan jentikan jari. Kedengaran bunyi,”Tiiiinggg!”
Dan ujung pedangtersebut melenceng dari sasaran. Tubuh Anurangga melayang deras, meluncur terus. Pedang Jinawi menancap di pohon. Bergetar pohon tersebut.
Anurangga berdiri lagi dengan kuda-kuda yang kokoh. Ia cabut pedang yang menancap di pohon. Pohon itu meraung. Bukan saja pohon itu meraung tapi bukit itu bergetar. Bergetar dan menimbulkan gempa sesaat. Dan lebih mencengangkan lagi, daun-daun tua yang masih melekat di cabang pohon, rontok bertebaran di tanah. Tidak lama kemudian, pohon itu hangus!
Kini terasa nyeri terasa jemari Nago Salapan yang menjentik ujung pedang Jinawi. Untung tadi dia waspada melindungi tubuhnya dengan hawa murni “Rabbulalamin” yang diajarkan Imam Ali. Walaupun demikian, racun pedang Jinawi masih mampu membuat telunjuk Nago Salapan menghitam. Beberapa jenak kemudian, pandangan lelaki tersebut kabur.
Anurangga dapat membaca keadaan lawannya. Hati lelaki itu riang bukan main. Boleh saja serangan tadi belum berhasil merobohkan lawannya tapi serangan berikutnya akan membunuh Nago Salapan. Anurangga membatin.
“Nago. Hari ini adalah hari kematianmu!”
Langkah Anurangga bergeser cepat. Lincah sekali langkah itu mendekati lawan. Pedang Jinawi di tangan Anurangga berkobat-kabit menyerang Nago Salapan. Ke mana lawan berkelit, pedang Jinawi terus memburu. Nafsu membunuh Anurangga menggebu-gebu.
            Dengan tarikan nafas yang sempurna, Nago Salapan mampu kembali menghimpun hawa murni dalam tubuhnya. Ubun-ubunnya tampak mengeluarkan asap tipis bewarna kelabu. Pandangannya yang tadi kabur, kini terang kembali, lebih tajam dan mencorong bagai mata rajawali. Serangan demi serangan yang dilakukan oleh Anurangga, tampak tak berhasil menyentuh ujung pakaiannya.
            Tanpa disadari pertarungan itu telah berlangsung hampir dua puluh jurus. Nago Salapan bergerak lincah ke sana-sini, ia melayang ringan bagai burung walet. Tubuh Nago Salapan berkelabat bagai bayangan, mata biasa tak mungkin mengikuti gerakan lelaki tersebut.
            Kadangkala Anurangga seperti kehilangan jejak. Bayangan Nago Salapan kadang melayang di udara, kadang berputar mengelilingi Anurangga. Ketika Anurangga menebas ke kanan, bayangan lelaki tersebut muncul di belakang, mengetok punggung lawan. Sempoyongan Anurangga. Dan saat ia membalik seraya menikam dengan pedang Jinawi, Nago Salapan berada di samping kiri. Tiba-tiba pinggangnya digebuk lawan. Anurangga terdohok keras! Terperangah dia, nafasnya tersengal-sengal. Anurangga berdiri kaku, ia menopang tubuhnya dengan pedang Jinawi.
            Sungguh Anurangga jadi bulan-bulanan. Dan Anurangga mendadak merasakan sekujur tubuhnya lemas. Dari tiap helai bulunya membersit darah. Ketika ia mengusap wajahnya, wajah itu berpeluh darah. “Silangkaneh, di mana kau?”
            Slang berlari tertatih-tatih mendekati majikannya itu. “Ada apa, tuanku,” sahut Slang. Banci itu terperanjat menyaksikan wajah majikannya yang berpeluh darah.
            Anurangga menggelosor, menghenyak di tanah. Tubuhnya menggigil kehilangan tenaga. Walaupun ia mempertongkat pedang Jinawi, tenaganya masih tak berdaya menopang tubuh itu. “Mari kita pergi. Persetan dengan mustika kayu itu,” ujar Anurangga terbata-bata.
            “Saya juga berpendapat begitu. Sejak semula saya tidak peduli.”
            “Ayo…” Anurangga bersigantung pada Slang. Slang tertatih memapah majikannya itu. “Denai berharap Kati Muno muncul saat ini,” rintih Anurangga. Bibirnya komat-kamit memanggil Kati Muno.
            Nago Salapan diam menatap Anurangga dan Slang.
            Gugum mengokang pistol, ia tidak ingin kehilangan buronannya. Ia bidik lurus-lurus ke arah kepala Anurangga.
            Langit tiba-tiba berawan. Dan awan itu berubah jadi hitam pekat. Pohon-pohon di Gunung Pangilun bergoyang-goyang ditiup angin. Bukan sembarang angin. Itulah angin puting beliung. Pohon-pohon berderak-derak.
            Tiba-tiba Nago Salapan ingat Nadia. Di mana gadis itu? “Apakah Mas melihat Nadia?” Lelaki itu bertanya pada Gugum.
Saat itu Gugum bimbang, ia menunda niatnya menembak Anurangga. Ia mendengar suara deru angin putting beliung. Terpaku lelaki tersebut, sehingga ia tidak mendengar pertanyaan Nago Salapan.
“Mas melihat Nadia?” Nago Salapan mengulang pertanyaannya.
“Tidak,” sahut Gugum ketika tersentak.
Sementara itu angin puting beliung kian jelas. Di angkasa tampak bayangan menukik ke bumi. Suara angin puting beliung menderu-deru. Atap rumah beterbangan, pohon-pohon tumbang. Ada rumah yang roboh, tiang listrik tumbang.
Nago Salapan tertegun. Instingnya mengatakan angin puting beliung ini bukanlah angin puting beliung biasa. Ia menatap langit, di langit tampak sosok bayangan aneh, mirip manusia. Lelaki itu ingat, ia pernah menyaksikan sosok bayangan tersebut. Di mana?
Ia mencoba mengingat-ingat. Ya, bayangan itu pernah hadir ketika Nago Salapan berada di Alam Antah Berantah.
“Ada apa Nago?” Gugum bertanya.
“Dia datang.”
“Siapa?”
“Guru Anurangga. Dia datang menjemput Anurangga dan Slang.”
Pohon-pohon di atas bukit berderak-derak, ada di antaranya yang roboh. Kedua lelaki itu menghindar mencari tempat perlindungan. Mereka masuk ke lubang Jepang yang ada di bukit itu. Hujan pun turun.
“Tadi anda katakan, Guru Anurangga akan muncul. Siapa dia?”
“Dia bernama Kati Muno. Tokoh itu jauh lebih sakti dari Anurangga.
Sekonyong-konyong kedengaran suara menggema. “Nago Salapan. Denai ingin bertarung dengan engkau. Tapi bukan hari ini. Akan denai cari yang tepat untuk pertarungan kita!”
Suara itu menggema. Pohon-pohon berderak-derak. Hujan kian lebat. Angin kencang tiba-tiba lenyap. Nago Salapan melompat keluar, ia berteriak,”Perlihatkan dirimu, Kati Muno.”
Hujan turun semakin deras. Tubuh Nago Salapan basah kuyup. Sementara itu tampak bayangan melayang-layang, mendarat ringan di depan Anurangga dan Silangkaneh.
“Guru!” Anurangga dan Slang menyapa serentak. Mereka merangkul Kati Muno.
Kati Muno ketawa terbahak-bahak. Menggema ketawa itu, membahana di atas bukit tersebut. Gugum terpengaruh oleh suara ketawa itu. Gendang telinga berdenging-denging bagai hendak pecah. Namun Nago Salapan tak bergeming, ia tetap tegar berdiri di bawah siraman hujan.
“Kati Muno, serahkan Anurangga pada kami!”
Kati Muno membalik, ia menatap Nago yang menghardiknya. Tatapan lelaki itu sekaligus mengukur kepandaian lawan di depannya tersebut. Dia lalu melangkah beberapa tindak, berhenti dalam jarak lima meter dari Nago Salapan. Manggut-manggut dia sesaat. Kemudian Kati Muno menyipitkan mata, pertanda ia meremehkan lawan di depannya. “Oh, beginikah tampang Nago Salapan yang tersohor itu?”
“Pujian tuan boleh juga. Tapi tuan akan kecewa bila kita melangkah selangkah dua.” Nago Salapan pun tak kalah, ia membalas kata dan sikap Kati Muno yang meremehkan itu.
“Kenapa?”
“Tuan akan jadi pecundang.”
Kedengaran ketawa bagai kuda meringkik. Kati Muno berjingkrak-jingkrak seperti kera kebakaran buntut.
“Anak muda! Kau terlalu sombong. Mustahil denai dikalahkan. Apalagi oleh kamu. Tahukah kamu siapa yang berada di hadapanmu?”
“Saya tahu…”
“Apa yang kau ketahui tentang denai?”
Nago Salapan memang sengaja memancing kemarahan Kati Muno, agar dia mau bertarung hari ini. “Kamu adalah manusia yang baru lahir dengan meminjam rahim seorang gadis. Gadis itu kemudian engkau durhakai. Ia kamu bunuh. Lalu untuk menyempurnakan kelahiranmu maka engkau mencari lima mustika alam.”
Berguncang-guncang dada Kati Muno karena ketawa terpingkal-pingkal. Lagi-lagi ia jingkrak-jingkrak. “Kamu benar. Sayang denai terlambat. Gadis ingusan itu telah merebut mustika kayu.”
“Jadi oleh sebab itu tuan keder bertarung?”
Tertegun Kati Muno. Ia amati Nago Salapan dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Besar juga nyali anak ini,” gumam lelaki tersebut. Tapi tentu saja ia tak mungkin kalah pamor. “Anak ingusan. Kamu jangan coba memancing kemarahan denai!”
Selesai berkata, Kati Muno mengibaskan tangannya. Seberkas angin puyuh menerjang Nago Salapan. Anak muda itu terkesiap, ia tidak menyangka diserang. Hampir saja ia digulung angin puyuh yang keluar dari kibasan tangan Kati Muno. Segera Nago Salapan menggelinding. Serangan tersebut luput.
Kini Nago Salapan bangkit. Tubuh anak muda tersebut basah dan berlepotan lumpur karena berguling tadi. Hujan agak mereda. Dan Nago Salapan mengambil ancang-ancang, bersiap menunggu serangan lawan selanjutnya.
Ternyata Kati Muno tidak menyerang lagi. Ia ketawa terkekeh. Kemudian melambaikan tangan. Lantas mendekati Anungga dan Slang. Lelaki itu menyukupi kedua orang tersebut dengan mantelnya yang lebar.
Sekonyong-konyong mereka berubah jadi gulungan angin. Langit menganga. Angin itu naik ke langit.Nago Salapan kesal. Kesal karena Kati Muno tidak mau melayaninya, seakan-akan tokoh jahat naomor satu itu memandang remeh dia. Nago Salapan menengadah ke langit. Sayup-sayup kedengaran suara ketawa Kati Muno bersiponggang dalam selimut angin.
Gugum keluar dari lobang Jepang, ia terseok-seok mendekati Nago Salapan. Sementara itu mengulum ludah untuk menghilangkan kekesalannya. Ketika ia melihat Gugum menghampiri, ia berkata,”Buronan itu telah lolos.” Dan Gugum mengikuti pandangan Nago Salapan yang menatap langit. Di langit ada awan hitam menggulung tegak lurus.
“Angin apa itu?”
“Kati Muno telah menyelamatkan mereka.”
“Maksudnya, angin itu jelmaan Kati Muno?”
Nago Salapan mengangguk. Kemudian ia menuruni bukit tersebut, dan Gugum ikut di belakang. Dalam hati Gugum tersimpan berbagai pertanyaan serta penyesalan. Mestinya ia tidak menyuruk dalam lobang Jepang berlama-lama. Karena itu ia hilang kesempatan menyaksikan Kati Muno. Tiba-tiba Gugum mendengar suara halus. Suara itu datang dari dalam dirinya. “Kamu tidak usah bingung cucuku.”
“Siapa ini?”
“Saya kakek buyutmu, Ki Samudro.”
“Kenapa kakek buyut tidak muncul. Bukankah kakek buyut mengetahui kedatangan Kati Muno?”
“Benar, saya tahu kedatangan Kati Muno. Tapi saya tidak perlu keluar. Karena Kati Muno hanya menjemput Anurangga dan Slang.”
Gugum diam. Ia mengikuti langkah Nago Salapan yang berkelabat cepat. Ketika melihat Gugum datang, Nago menghidupkan mesin motor. Gugum melompat naik. Kendaraan itu segera melaju memasuki jalan raya. (Bersambungan...11)

0 komentar:

Posting Komentar