Selasa, 10 Januari 2012

“Aku Berpikir – Aku Menulis – Aku Ada “

AMRAN SN
Amran.SN, dilahirkan di Padang, Kampung Jambak, Koto Tangah, 31 Desember 1948. Ketika terjadi pelanggaran batas demarkasi oleh Belanda, gugurnya beberapa orang pejuang rakyat, di kampung tersebut, ia dibawa orang tuanya ke pusat kota.

Sejak kecil suka membaca komik. Kelas dua SR, ia telah membaca komik karangan RA.Kosasih. Dan tulisan pendeknya dimuat majalah Anak si Kuncung. Majalah tersebut mengirimkan  paket buku cerita kepada Amran.SN dalam jumlah yang relatif banyak.Ia makin tenggelam dan asyik membaca. Kelas V SR, ia telah membaca novel Ernest Hemingway, dan Steinbeck, dan menamatkan kisah ( komik) Mahabrata karangan R.Kosasih dibacanya berulang-ulang Kemudian ketika membanjirnya cerita silat Cina, Amran.SN pun membaca cerita tersebut. Ia bukan saja membaca cerita Kho Ping Ho ( Waktu itu belum terkenal), Gan KL, Liang I Shen. Di samping membaca komik, novel, Amran SN mulai tertarik membaca karya sastra penulis Indonesia. Karya Motinggo Bosye,dan Pramudya Ananta Tur sangat mempengaruhi tulisannya kelak.

Namun ia aktif menulis pada tahun 80-an. Pertama kali cerita pendeknya, dimuat di Harian Haluan berjudul Pohon Tumbang. Ia juga menulis di koran Singgalang. Tahun 80-an itu, ia sangat produktif. Amran.SN menulis di mana-mana, beberapa cerpennya di muat di mass media ibukota. Gaek, cerita pendeknya yang mengisahkan nasib seorang lelaki Minang, dimuat majalah Horison (87), dan Calon Tunggal, di Suara Pembaharuan. Ia kemudian menjadi penulis tetap di Mingguan Canang, menulis berbagai artikel, cerita pendek, cerbung. Pun menulis cerita Anak di majalah Sai. Maco, Pendekar Cilik, dimuat bersambung oleh Sai, dan diterbitkan. Saat itu cerita tersebut sangat disukai anak-anak( tahun 90-an ). Banyak karya-karya Amran.SN bertebaran tapi dia jarang sekali menyimpan karangannya itu.

Sampai tahun 1992, Amran.SN menulis cerita silat bersambung di harian Haluan Padang. Karyanya yang diingat pembaca sampai sekarang adalah Nago Salapan.
Waktu dia duduk di lembaga legislatif di Padang, ia menyempatkan diri menulis cerita silat bersambung berjudul Janggo Sang Buronan, harian umum Singgalang .

Dari dulu ia punya keyakinan bahwa jadi penulis dapat menghidupkan keluarga. Asalkan penuis itu konsisten dengan dunianya itu. Memang jam kerja penulis tidak menentu, begitu juga cara mereka bekerja. Orang bilang bermenung itu, kerja sia-sia, membuang-buang waktu tapi bagi Amran.SN, justru bermenung itu adalah pekerjaan. Dengan bermenung( merenung) ia menggaet ide-ide, meraih khayalannya untuk dituangkan ke kertas, dan mesin ketiknya berderam-deram. Asap rokoknya mengepul, sampai pukul dua dini hari. Amran SN baru mulai menulis dengan komputer pada 2004. Bahkan komputer tersebut didapatnya dengan menggadaikan sertifikat tanah dan rumahnya. Dan akhirnya rumah tersebut terpaksa dijual, dan membeli rumah di kelurahan Padangsarai – Koto Tangah Padang.

“Aku tidak bisa tidur bila tidak mengetik di depan mesin ketik, yang sekarang tentunya mengetik di depan komputer. Pikiranku selalu saja menerawang, ke langit tanpa batas. Jika sudah demikian aku segera bangun dan segera menulis. Menulis tentang apa saja, bisa menyelesaikan novel yang terbengkalai, bisa juga menuliskan ide-ide baru, baik tentang budaya, feature, sosial dan politik. Berpikir dan menulis bagiku adalah kebutuhan hidup. Tanpa berpikir dan menulis, aku seakan-akan hampa.”

Dalam usia yang relatif tua itu kesehatannya mulai menurun, giginya sudah tinggal dua. Mata kirinya diserang katarak, sebelumnya mata kanannya dioperasi atas bantuan seorang teman. Maka dengan mata kanan itu Amran SN terus menulis. Penyakit lain yang menggangunya adalah kehilangan suara, bilang dokter, aku mengidap radang tenggorokan. Biarlah…aku akan tetap menulis.

Dan informasi lainnya; Amran SN tidak bisa melanjutkan kuliahnya, di STI SosPol Imam Bonjol Padang. Semua itu karena ia tidak tekun dan tabah di perguruan tersebut. Ia hengkang dari STI SosPol tahun 1982. Ia harus belajar sendiri( otodidak), rak-rak bukunya penuh berbagai buku-buku, bukan saja buku sastra, tapi juga politik, filsafat, dan buku ilmu sosial lainnya.

Bila ada orang yang bertanya mengenai pekerjaannya sekarang, ya menulis. Amran SN menjawab tanpa canggung sedikit pun. Cerita Rakyatnya yang berjudul Lubuk Buaya, menjadi pemenang III, sayembara penulisan cerita rakyat tingkat nasional untuk umum dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra tahun 2004. Cerita Anak Amran.SN, juga dimuat Harian umum Singgalang berjudul  Dibuang Ke Bumi ( 2006 ). Kumpulan Cerita Rakyat Pulau Sumatera diterbitkan Impreso tahun 2009. Dia sekarang menjadi redakturMingguan  Serambi Pos Membantu di majalah DPRD Sumbar sebagai redaktur dan menulis artikel di tabloid Tuah Sakato. (Majalah DPRD dan Tuah Sakato sudah tutup)



Kegigihannya menulis terus bertahan sampai sekarang. Walaupun karya-karyanya kadangkala jarang dikirim ke mass media lagi. Dalam usia yang kian senja (63 tahun), ia terus menulis. 18 Juni 2011, ia membuat Blogspot Tambo Dunia yang memuat tentang budaya budaya Minangkabau.


“ Aku akan terus menulis, menulis apa saja, artikel; feature, komentar, cerita pendek, cerita bersambung, sejarah dan tambo,filsafat dan adat istiadat. Karena itulah  lowongan profesi bagiku. Setelah “ pensiun “ jadi orang politik. Ha…ha…ha. “ Amran. SN ketawa, menernawakan dirinya sendiri. Sekarang orang bilang saya budayawan.”

**

0 komentar:

Posting Komentar