Selasa, 10 Januari 2012

KECAPI NAGA (7)


7

Mustika Tanah



Marilah kita kembali mengikuti perjalanan Kati Muno dan Slang. Saat itu senja telah tiba. Mereka msuk ke sebuah hotel mewah. “Kenapa kita kemari Silangkaneh?”
“Guru, di sini diselenggarakan pagelaran mode. Nah, di sini kita akan menemukan banyak orang. Lihatlah ke sana, di atas pentas tersebut tampak perempuan-perempuan jelita memperagakan pakaian,” tutur Slang.
Kati Muno memandang ke pentas. Di sana berlenggang-lenggok perempuan cantik bertubuh langsing. Mereka tersenyum, berputar memperagakan pakaian yang dikenakannya. Tapi menurut Kati Muno, perempuan-perempuan tersebut bukan memperagakan pakaian tapi lebih cenderung memperagakan keindahan tubuh mereka.
“Guru tertarik/”
Kati Muno hanya tersenyum.
“Mari kita cari tempat duduk,” ajak Slang.
Namun Kati Muno menarik lengan Slang. “Denai lebih suka berdiri, dan memandang dari sini.” Lelaki tersebut tertegun menyaksikan seorang pragawati yang memakai anting-anting hitam bewarna gelap. Seakan-akan mata Kati Muno lekat di anting-anting itu.
Slang mengerling pada Kati Muno, dan berkata,”Guru tertarik pada seseorang?”
Lelaki itu tidak menyahut, ia melangkah ke depan, menyeruak di antara penonton yang terpesona oleh peragaan tersebut. Kati Muno masuk ke ruang rias pragawati. Di sana ia berpapasan dengan seorang perempuan cantik dan anggun. Usianya sekitar 40-an. Keduanya saling berpandangan.
“Tuan mencari seseorang? Tunggu di luar sana. Tamu tidak dibenarkan masuk ke ruangan ini. Apalagi kaum pria,” tukas Lili, perempuan itu.
“Oya. Tapi denai suka bertemu dengan kamu.”
“Saya sedang sibuk,” kata Lili agak ketus. Lalu perempuan itu memberi isyarat pada pragawati berpakaian ungu. “Kamu tampil berikutnya,” sambung Lili. Dan pragawati tersebut naik ke pentas.
Ketika Lili hendak kembali ke depan. Kati Muno berkata,”Denai suka anting-anting yang dipakai yang diperagakan pragawati itu. Berapa anda jual anting-anting tersebut?”
Lili menelusuri Kati Muno, dari ujung sepatu sampai ujung rambut. “Boleh juga lelaki ini,” gumam perempuan itu. “Anting-anting itu tidak dijual,” sahut Lili tegas.
“Jika anting-anting itu kamu jual pada denai. Berapa pun harganya akan denai beli. Denai juga akan memberikan sesuatu yang berharga. Berharga bagi kehidupan nona,” tawar Kati Muno.
Kembali Lili menatap lelaki tersebut. Mendesah perempuan itu mendengar tawaran Kati Muno. Anehnya, perempuan itu semakin tertarik pada lelaki tersebut. Padahal ia dikenal orang sebagai perempuan “berhati beku”. Justru karena itu, walaupun ia jelita, kaya tapi Lili sampai sekarang belum menikah.
“Denai tunggu nona di puncak bangunan,” kata Kati Muno. Kemudian lekai itu kembali menemui Slang.
Dan Lili menarik nafas,”Apakah saya sedang kasmaran?’ Ia menggumam. Ketika ia kembali ke belakang pentas, ia menemui Bob. Bob heran, kenapa sang Bos itu mau menjambanginya. Biasanya saat pagelaran berlangsung, Lili tampak kaku. Kali ini wajah perempuan itu tampak ceria.
“Ada apa Mbak,” sapa Bob.
“Saya kedatangan tamu istimewa. Kamu awasi acara ini,” ujar perempuan itu.
“Tamu istimewa?”
“Ya. Mungkin saya sedang jatuh cinta.” Lili tersenyum renyah. Keluar ruangan Bob, perempuan itu lalu naik ke tingkat atas. Ruangan tersebut sebuah pelataran luas. Dari atas sana orang dapat memandang ke bawah. Tampak kendaraan berlalu lalang bagai semut merangkak. Lampu-lampu gemerlapan.

Lili memnadang ke bawah. Ia merasakan keindahan kota metropolitan tersebut. Dulu, Lili seorang model dan pragawati top seakaligus perancang mode tersohor. Ia berlimpah ceria dan glamour dalam kehidupannya. Memasuki usia 40-an, Lili lebih menitik beratkan karirnya sebagai perancang mode. Perempuan itu tidak lagi melenggang-lenggok di cat walk, dunia itu telah ditinggalkannya. Ia sukses sebagai perancang mode dan juga memiliki sekolah yang dinamakannya “Institut Kepribadian”
Namun dalam kehidupan pribadinya, ia gagal mendapatkan kasih sayang atau cinta. Hubungannya dengan lelaki selalu kandas di tengah jalan. Ia tidak tahu kenapa. Kini ia bertemu dengan seoarang lelaki. Lelaki yang baru dikenalnya. Kenapa ia merasakan ada harapan dalam lelaki tersebut?
“Nona menunggu denai?”
Lili mengalihkan pandangan dari kendaraan yang beringsut di bawah sana. Ia tatap lelaki yang menyapanya itu. Lelaki itu tersenyum penuh arti. Berdebar jantung Lili. “Saya tidak mendengar langkah tuan. Saya terpesona oleh pemandangan di bawah sana. Dan saya berpikir, alangkah nikmat kalau saya punya sayap. Saya ingin terbang melayang,” ujar Lili.
“Begitukah?”
Hotel tempat pagelaran mode tersebut terletak di tengah keramaian kota. Bangunannya bertingkat 17, dan sekarang mereka berada di tingkat paling atas.
Perempuan itu membayangkan dirinya memiliki sayap. Ia mengembangkan sepasang lengannya bagai burung sedang mengapung di udara. Ia menyandarkan bahunya pada Kati Muno. Terasa jantung Lili berdegup keras. Jalan darahnya berpacu kencang.
“Kamu ingin terbang?”
Lili mengangguk.
“Denai akan mengabulkan permintaanmu. Ayo lihat,” ujar lelaki tersebut. Kati Muno melompat ke bawah.
Terperanjat Lili menyaksikan kenekadan Kati Muno. Ia melihat lelaki itu meluncur ke bawah. Perempuan itu berseru tertahan. Betapa gilanya lelaki itu. Ia terjun tanpa parasut, melayang-layang di udara bagai seekor rajawali. Dan tidak lama kemudian Kati Muno kembali di samping Lili.
“Sekarang kamu percaya, denai dapat memenuhi permintaanmu. Denai akan membawamu terbang.”
Lili masih bengong. Mimpikah ia? Lili mencubit lengannya, tetapi terasa sakit, artinya dia bukan sedang bermimpi. Perempuan itu menatap Kati Muno yang menggenggam jemarinya. Mereka tersenyum.
“Oya, kaum punya anting-anting. Anting-anting itu adalah mustika tanah,” ujar Kati Muno. Ia menatap Lili. Tatapan yang menggoda perempuan itu. Lili terasa di awang-awang. Perempuan itu seperti kena hipnotis.
“Saya tidak menjual anting-anting ini.”
“Bukankah kamu menyintai denai?”
Lili bimbang.
Tiba-tiba Kati Muno menyeringai. Lelaki itu menarik lengan Lili dan melompat ke bawah. Melayang-layang keduanya di udara. Jantung perempuan itu seperti hendak copot karena ketakutan dan gamang.
“Berikan anting-anting itu. Atau kamu akan jatuh terhempas ke bawah!” Saat mereka melayang di udara, Kati Muno mengancam Lili. Ia melonggarkan gengaman tangannya.
Lili semakin gamang. Kati Muno melepaskan perempuan itu. Di bawah sana kendaraan tampak merayap bagai semut. Lili menjerit. “Jangan. Saya mohon kamu tidak lakukannya!” Perempuan itu memekik.
Kati Muno ketawa. Lantas ia melayang menyambar tubuh Lili yang melesat ke bawah. Kemudian melesat kembali ke atas.
Tersengal-sengal Lili. Perempuan itu dengan berat hati, akhirnya memberikan anting-anting mustika tanah pada Kati Muno.
Tersenyum riang Kati Muno. Ia mencium anting-anting itu dan menyimpannya dalam kantong celananya.
Lili terkesima. Dan sekonyong-konyong tubuhnya melayang. Kati Muno melemparkannya ke bawah. Kedengaran pekik pilu perempuan itu. Beberapa jenak ke mudian tubuh Lili terhempas ke aspal, beserpihan. Perempuan malang itu tewas menggenaskan. (Bersambung....8)

0 komentar:

Posting Komentar