Kamis, 09 Juni 2011

SELENDANG PEMBUNUH ANGGANG (16)

16

Westenk Jr

Westenk Junior diterima Logos di ruang tengah kediamannya. Lelaki berkebangsaan Belanda tersebut mengamati Selendang Pembunuh Anggang yang terhampar di atas meja. Ia mengamati selendang itu dengan kaca pembesar. “Benda ini asli,” komentarnya.
Logos tersenyum riang. “Selendang ini berusia ratusan tahun. Dan tidak muda untuk mendapatkannya,” tukas lelaki itu.
“Tidak sia-sia saya melakukan perjalanan dari Holland. Dulu kakek buyut saya pernah bertugas di negeri ini. Beliau sudah pernah mendengar tentang Selandang pembunuh Anggang. Namun beliau belum pernah melihatnya. Tulisan dan catatannya tentang benda ini cukup banyak.”
Logos menyodorkan cerutu pada Westenk Jr. “Cerutu ini dari Havana. Pasti tuan suka,” kata Tuan Logos. Lelaki berkebangsaan Belanda itu menariknya sebatang. Keduanya merokok.
Di antara kepulan asap cerutu, Westenk Jr berkata,”Tuan mau tawarkan berapa benda ini?”
“Saya kira 200 ribu dolar adalah harga yang pantas,” sahut Tuan Logos. Sambil menunggu jawaban Westenk, dia menggamit seorang gadis cantik yang duduk di ceruk ruangan itu. “Kamu siapkan teh dan makanan ringan buiat kami berdua,” perintah Tuan Logos pada gadis tersebut.
Asap rokok mengepul di bibir Westenk Jr. lelaki itu benar-benar menikmati cerutu Havana tersebut. “Saya pernah bertemu dengan diktator Fidel Castro. Ternyata orangnya ramah, tidak seperti yang diberitakan pers Amerika. Anda pernah berjumpa dengan Fidel Castro?”
“Belum. Tahun 1980 saya dikirim ke West Point. Karena itu, saya kurang simpati pada diktator Komunis tersebut. Apakah tuan tertarik pada Komunis?”
Lola muncul dan menghidangkan dua cangkir teh, juga makanan ringan. Westenk mengerling pada Lola. Lalu mengalihkan pandangan pada Tuan Logos. “Mmm, saya pernah membaca Das Kapital karya ilmiah Karl Mark, dalam buku itu ia menuangkan rumusan dasar teori Komunis.” Berkata demikian, Westenk hanya menatap lawan bicaranya sekilas. Tapi matanya lebih condong pada Lola.
“Teh ini, teh Kayu Aro. Teh yang sangat disukai bangsa tuan,” kata Tuan Logos seraya mempersilahkan Westenk Jr mencicipi minuman dan penganan yang terhidang. Setelah lelaki berkebangsaan Belanda tersebut meneguk minuman di cangkir, Tuan Logos berkata,”Tuan penganut ajaran Komunis?”
Diam sesaat Westenk Jr. Ia melayangkan pandangannya pada Lola yang menyilangkan kakinya di ceruk sana. “Saya kagum pada Karl Marx tapi tidak suka pada Komunis,” sahut lelaki itu datar. “Oya, pembicaraan kita jadi melantur ke mana-mana. Saya lupa pada angka yang anda tawarkan.”
“200 ribu dolar…”
Manggut-manggut Westenk Jr. Ia kembali mengamati selendang yang terhampar di atas meja. Lalu mendongak pada Tuan Logos. “Tawaran anda cukup menggelitik saya berpikir. Agaknya anda mata duitan juga.”
“Tuan keberatan?”
Diam Westenk Jr sesaat. Bola mata lelaki itu berkeliaran, menatap Tuan Logos. Lalu beralih pada Lola, seakan-akan ia lebih tertarik pada gadis tersebut dari pada Selandang Pembunuh Anggang. “Saya ingin menawarnya.” Kata Westenk tak lepas memandang Lola.
Logos mengusap wajahnya. “Dalam duania bisnis tawar menawar adalah lumrah. “Ingin saya mendengar tawaran anda.”
“100 ribu dolar!” Westenk Jr melipat selendang di hadapannya. Seolah-olah ia yakin tawarannya itu akan diterima. Bahkan semakin nakal pandangannya pada Lola. Mirip kucing melihat ikan panggang di atas meja makan.
Tidak menyahut Tuan Logos. Ia membakar kembali cerutu di bibirnya yang telah padam. Lelaki itu menikmati senikmat-nikmat cerutu Havana tersebut. Otaknya menjalarkan mengkali-kalikan angka tersebut dengan kurs rupiah. Cukup banyak pikirnya. Tapi belum pantas sebagai sebuah harga barang langka dan benda kuno seperti Selandang Pembunuh Anggang. Instingnya pun bergerak bahwa di samping Selandang Pembunuh Anggang, Westenk Jr pun tertarik pada Lola. “Sebaiknya tuan nikmati dulu teh Kayu Aro di cangkir itu.”
Ketawa Westenk Jr, lalu meneguk minuman di cangkir. “Di negeri kami teh ini sangat terkenal. Harganya juga mahal. Nenek moyang kami telah berjasa memperkenalkan teh ini pada dunia.”
“Nenek moyang tuan telah banyak membuat sengsara bangsa kami. Sejarah mencatatnya sebagai malapetaka,” balas Tuan Logos.
“Tapi generasi muda Belanda sadar akan hal itu. Justru karena itu negeri kami sangat peduli pada Indonesia.”
“Generasi muda Indonesia tak pernah melupakan bibit kesengsaraan yang diciptakan bangsa tuan.”
Westenk Jr merapatkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia tampaknya tersinggung akan ucapan Tuan Logos. “Anda lebih nasionalis dari penganut nasionalis. Dan sekaligus juga kapatilas liberal.”
“Saya lebih suka tawaran tuan dinaikkan.”
Mendesah Westenk Jr. “Okelah, saya setuju membayar selendang ini 200 ribu dolar,” ujar lelaki tersebut seraya mengeluarkan buku cek dari kopernya. Ia menuliskan angka 200 ribu dolar di cek tersebut. Kemudian menyodorkan pada Tuan Logos. “Oya, saya suka pada Lola,” sambungnya.
Tuan Logos mengambil cek yang disodorkan lelaki itu. Dan menoleh pada Lola. “Kamu diajak tuan Westenk Jr. Saya harap kamu tak menolak,” sahut Tuan Logos.
Sebelum Lola menyahut, Westenk Jr memasukan Selendang Pembunuh Anggang ke dalam koper. “Saya sudah pesan dua tiket ke Jakarta. Kamu dan saya enjoy-enjoy semalaman di sana. Lalu berangkat ke Amsterdam. Kamu setuju kan?”
“Kapan tuan berangkat?”
“Siang ini juga. Time is money. Jadi saya tidak mau menunda-nunda jadwal.” Lelaki itu bangkit dan menyalami Tuan Logos. Lantas mengerling pada Lola. “Mari kita berangkat.”
Lola mengangguk.

*

Nago diajak Gugum ke kawasan kampung Duku. “Rumah orang tua saya di sana. Ayah saya pensiunan tentara. Ada sesuatu yang hendak perlihatkan kepada anda,” ujar Gugum di atas Angkot dalam perjalanan tersebut.
Ternyata di rumah ayah Gugum ada sebuah motor Harley Davidson. “Waktu saya masih dinas dulu, saya suka naik motor ini, “ tutur ayah Gugum. “Setelah saya pensiun, motor ini hanya parkir dalam rumah saja.”
“Kenapa Mas Gugum tidak memakainya?”
“Saya tidak suka naik maotor. Dulu pernah saya pakai tur bersama teman-teman ke Pakanbaru. Hanya sekali saja.”
“Kok kapok?”
Gugum tersenyum. “Pulang dari Pakanbaru, sekujur tubuh ini seakan-akan lepas tulang belulang. Kalau kamu mau, bisa pakai. Begitu kan Ayah,” kata Gugum seraya mengerling pada ayahnya.
“Boleh. Kendaraan ini masih tokcer. Setiap pagi Ayah panaskan.” Orang tua itu lalu menghidupkan mesin kendaraan tersebut. Kedengaraan bunyi mesinnya menderu-deru.
“Tapi saya tidak punya uang. Kendaraan macam ini kan sedang tren, dan harganya sangat mahal,” tukas Nago Salapan.
Gugum ketawa. Ayahnya pun terkekeh. “Kamu ada-ada saja. Motor ini tidak dijual. Tapi kamu bisa pakai sampai kamu bosan,” kata orang tua itu.
Kendaraan itu memang masih layak jalan. Menjelang sore Nago pulang. Ia pulang sendirian karena Gugum tinggal di rumah orang tuanya. Sungguh beruntung Nago mendapat pinjaman motor besar tersebut. Biasanya ia pinjam motor Atos. Bila Atos sibuk maka terpaksalah dia naik Angkot.

Sore itu Nago singgah di surau Katib Agam. Ia diterima oleh Pakih Basyir yang mewakili orang tua tersebut. Menjelang magrib mereka berbincang-bincang.
Pakih Basyir menuturkan bahwa praperadilan yang diajukan Katib Agam di pengadilan kalah. Instansi berwenang di Jakarta menyatakan Kejaksaan tidak salah dalam prosedur. “Guru sekarang dititipkan di LP Cipinang.”
 Membeku Nago mendengar penuturan Pakih Basyir. Lelaki tersebut menyalahkan dirinya. “Mestinya saya menggunakan hawa gaib agar bisa menyelamatkan Katib Agam. Kenapa saya terlalu lemah menghadapi urusan dunia ini,” bisiknya dalam hati.
“Sebenarnya sebagai manusia abadi, Buya mampu meloloskan diri. Tapi hal itu bukan meruapakan jalan terbaik, kata Buya dalam suratnya kepada kami,” ujar Pakih Basyir menjelaskan. Sepertinya informasi tersebut menjadi jawaban dari perasaan Nago Salapan.
“Pikiran saya jadi buntu.”
“Kami berencana hendak ke Jakarta. Dalam waktu dekat ini Katib Agam segera disidangkan.”
“Ya, saya pun akan ke sana. Mudah-mudahan dengan kehadiran kita, Buya terbantu secara moral.”
*

Lepas senja Nago ingat akan Nadia. Ia segera memacu motor besar itu menuju Sungailareh. Rumah itu tampak lengang. Berkali-kali Nago mengetok pintu depan. Tapi tak ada sahutan.
Sabar muncul dari belakang. “Oh, Nago. Mari ke belakang,” ajak lelaki separuh baya tersebut.
“Ke mana Nadia?”
“Kamu selalu melangkah dengan kaki kiri. Sore tadi Bu Rahmi dan Nadia berangkat ke Jakarta. Nadia mendapat informasi bahwa Selandang Pembunuh Anggang dibawa ke Jakarta.”
Galau pikiran Nago sesaat. “Oh, Tuhan apakah salah umat-Mu ini. Kenapa begitu banyak masalah yang harus kami hadapi,” gumam laki-laki itu.
“Ternyata yang mencuri Selendang Pembunuh Anggang itu, tetangga kami. Pantas akhir-akhir ini, ia kaya mendadak. Ia perbaiki rumah, lalu membeli sepeda motor. Tubuh Toj yang dulu kerempeng, sekarang gemuk bagai babi.”
“Kok Pak Sabar bisa tahu…”
“Anaknya sendiri yang membuka rahasia. Semula saya hendak melaporkan ke kantor polisi. Tapi Nadia melarang. Biar saya menangani hal ini, katanya.”
“Lalu kepada siapa benda itu dijual?”
“Toj mengaku pada Nadia, ia menjual Selendang Pembunuh Anggang pada Tuan Logos. Dan Tuan Logos menjualnya pada seorang kolektor Belanda. Sebab itu Nadia berangkat mendadak ke Jakarta.
Mendapat informasi dari Sabar, Nago berangkat pulang. “Saya harus ke Jakarta,” bisiknya di atas motor besar tersebut.

Sampai di rumah ia melihat Atos sedang shalat Isya. Nago terus ke belakang mencuci muka sekaligus berwudhuk. Dan tidak seperti biasanya, kali ini selesai shalat laki-laki itu berdoa lebih lama.
Ketika selesai shalat, Atos menyapa,” Abang dari mana. Kok bawa motor Harley Davidson.”
“Cukup panjang perjalanan saya hari ini. Motor ini milik ayah Gugum. Beliau berbaik hati meminjamkan pada saya.”
“Mujurlah itu. Kalau Abang naik motor ini, ya mirip Charles Bronson. Dan pasti cewek-cewek semakin banyak naksir,” Atos ketawa lepas.
“Ah, kamu bisa aja.”
“Oya Bang. Hari ini kan Kamis malam Jumat. Biasanya di surau-surau ada wirid pengajian Tarekat. Sebulan yang lalu Abang pernah menjelaskan tentang Adam.”
“Ya.”
“Sejauh mana kedekatan manusia dengan Tuhan?”
“Apakah itu perlu bagimu.”
“Ya, iyalah. Jika tidak, tentu kita akan mengawang-awang, khususnya dalam beribadah. Saya sering mendapatkan orang Islam yang tidak shalat. Tapi ia selalu membusungkan dada sebagai Muslim sejati. Sebagai orang awam, tentu hal itu membuat saya bingung.”
Nago Salapan mengatur nafas sejenak. “Sungguh dalam pertanyaanmu Tos. Saya sebenarnya bukan ahli dibidang ini. Kendati pun demikian merupakan kewajiban bagi seorang Muslim sepanjang yang diketahuinya. Pertama tentang kedekatan manusia dengan Tuhan. Dalam al-Quran dijelaskan Tuhan itu sangat dekat dengan manusia. Dekatnya Allah dengan manusia yaitu lebih dekat dari urat leher kita sendiri.”
Mata Atos berkejap-kejap, agaknya ia sedang mempersiapkan pertanyaan baru atau tanggapan. “Begini Bang, manusia itu kan berjuta-juta bahkan milyaran bertebaran di muka bumi ini. Kalau Allah itu dekat dengan manusia sedekat urat leher. Tentulah Allah itu lebih dari Satu. Sedangkan ajaran agama kita menyebutkan Tuhan itu Esa.”
“Ya, Tuhan itu Esa. Ia tempat bergantung segala sesuatu. Perlu engkau pahami dekat Tuhan dengan manusia, bukan dekat secara pisik atau ujud.”
“Maksud Abang.”
“Yang dekat itu adalah qalbu manusia. Dan manusia yang tidak berusaha mendekat kepada Allah, Ia pun akan menjauh. Oleh karena itu sebagai umat-Nya kita wajib menjalankan perintah dan menghentikan larangan-Nya. Hal ini memang tidak mudah. Apalagi bagi orang yang enggan.”
Malam semakin larut. Bulan tumbuh bagai belanga tergantung di langit. Percakapan mereka kian mendalam dan serius. Atos terus bertanya dan menanggap apa yang disampaikan Nago Salapan.
“Shalat itu tiang agama. Dengan shalat kaum muslimin dan muslimat akan dapat menjaga agamanya sekaligus dirinya sendiri. Dari perkembangan tumbuhnya Islam maka berbagai paham muncul di antara ulama-ulama kita. Kadang karena kecintaannya kepada Allah, mereka pun “terpeleset” dalam memahami.”

Menjelang Subuh wirid tersebut diakhiri Nago Salapan. Selesai shalat Subuh Nago duduk bersandar di kursi memejamkan mata. Sedangkan Atos bergelung di lantai. Dia terbangun pukul sembilan. Ketika Atos siap mandi, Nago telah siap hendak berangkat ke bandara.
“Abang mau ke mana?”
“Saya hendak ke Jakarta menjenguk Katib Agam. Beliau sekarang dipenjara di LP Cipinang.”
“Ya, biar saya antar ke bandara,” ujar Atos.
“Tidak usah. Nanti mengganggu pekerjaanmu. Lagi pula jangan-jangan Gugum bertandang ke mari. Karena itu saya naik bis khusus ke bandara.”
*
Westenk Jr duduk di teras kamar sambil memandang ke pantai. Malam itu ia melihat lampu-lampu nelayan yang melaut, kelihatan bagai kunang-kunang. Dari dalam kedengaran langkah kaki halus. Dan aroma parfum yang semerbak membersit dari tubuh Lola. Ketika Lola duduk di sampingnya, Westenk Jr menyapa,”Hai.”
Dan gadis itu pun menyahut dengan ucapan yang sama.
“Negeri ini sangat indah,” gumam Westenk Jr. “Berbahagialah orang-orang yang dilahirkan di sini.”
“Oya.”
“Sudah lama kamu bekerja pada Tuan Logos?”
Gadis itu menyibakan rambutnya. Wajahnya terasa hangat disapu angin laut. “Lebih setahun. Tapi saya bekerja part time. Karena saya kuliah,” sahut Lola.
Lelaki tersebut mengerling menelusuri Lola, menelusuri tubuh gadis itu, yang tampak nyaris sempurna. Aapalagi dia memakai pakaian tidur yang terbuat dari sutra tipis. Westenk beralih pandang ke pantai tapi pikirannya menerawang ke masa-masa lalu. Setelah ia menyelesaikan kuliah dan mendapat gelar sarjana arkeologi, ia mengembara ke pelosok dunia. Westenk Jr pernah menetap di dataran Mekong. Di sanalah ia tertarik pada tenunan kuno. Kemudian ia mendapat informasi tentang Selendang Pembunuh Anggang. Informasi tersebut digabungkannya dengan catatan yang ditulis oleh kakek buyutnya, Westenk.
“Tuan ingat seseorang di negeri tuan?” Lola memecahkan kesunyian.
Westenk Jr terjaga dari lamunannya. Tersenyum dia. “Oh, tidak. Saya belum punya tambatan hati. Waktu kuliah saya pernah pacaran. Tapi ia kemudian menikah dengan sahabat saya. Sonya dan Albert kini menetap di Amerika.”
“Tuan patah hati?”
Lelaki itu menggeleng. “Entahlah,” sahutnya kemudian.Westenk meraih lengan Lola ke pangkuannya. “Gadis Asia umumnya cantik. Saat mendarat di bandara Minangkabau, saya melihat wajah asli gadis-gadis Minang. Tapi tampaknya mereka kurang suka pada bangsa lain.” Lelaki tersebut mencium punggung tangan Lola.
Lola membiarkan jemarinya dalam genggaman Westenk Jr. “Bangsa tuan lebih suka menjadikan gadis-gadis kami sebagai Nyai. Sekadar pelepas rindu. Lalu kembali pulang ke negerinya untuk menikah,” tukas Lola.
Westenk Jr menarik nafas. Matanya lekat menatap Lola, ada arti tersendiri dalam tatapan itu. “Semua itu adalah masa lalu bangsa kami. Dulu nenek moyang kami menganggap inlander adalah bangsa barbarian, suka bikin kerusuhan, merampok. Justru karena itu sebagai penjajahmereka bersikap keras pada bangsamu.”
“Dan melecehkan kaum perempuan?”
“Sekarang tidak. Generasi muda Belanda telah membuka mata. Membuka mata bahwa setiap orang suku bangsa dan bangsa mempunyai kebebasan dalam menentukan hidup mereka.”
Lola menarik lengannya lembut dari genggaman Westenk Jr. “Lalu apa pandangan tuan terhadap saya?”
“Kamu gadis yang cantik dan cerdas.”
“Hanya itu saja?”
Westenk Jr menghenyakkan punggungnya dalam-dalam ke sandaran kursi. “Saya jatuh cinta padamu.”
Bercampur antara senang dan bimbang dalam hati Lola. Mereka baru saja berkenalan. Mungkin debu tanah Minang belum hapus di telapak sepatu saya, bisik gadis tersebut. Dan mereka berkencan di hotel ini. Tapi apakah enjoy-enjoy dadakan tersebut dapat membentuk cinta. Kebimbangan tersebut terus menggeluti diri Lola.
“Besok siang kita berangkat ke Amsterdam. Say aharap kamu tidak menolak,” ujar Westenk seraya mengecup kening gadis itu. Lampu-lampu nelayan yang sedang melaut tampak bergerak seperti kunang-kunang.
Lola diam. Ia terus bergelimang dengan kebimbangannya. “Mudah-mudahan ia tidak melontarkan rayuan gombal.
Dan tiba-tiba Westenk Jr memondong Lola masuk kamar.** (Bersambung...17)



Dari Meja Kerja Amran SN 
Padangsarai - Sumatera Barat, Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar