14
Pertemuan
Subuh itu Nago terbangun di teras Bu Rahmi. Ia datang ke Sungailereh senja kemaren mencari Nadia. Tapi gadis itu tidak berada di sana.
“Nadia belum pulang. Tidak biasa ia pulang terlambat. Saya khawatir Nadia mendapat halangan. Jangan-jangan ia diculik lagi,” desah Bu Rahmi.
Nago tidak menunggu lagi, ia segera berangkat senja itu juga mencari gadis tersebut. Memang ada kekhawatiran dalam hati Nago, sesuai dengan “gerak hatinya” Nago mendatangi rumah Sarah tapi gadis itu tidak tahu di mana Nadia berada. Kemudian lelaki itu mencari Mori di Taman Budaya, Mori pun tidak tahu. Sampai dini hari Nago Salapan belum juga menemukan Nadia. Padahal ia telah menelusuri pelosok dan gang-gang yang ada di kota ini. Akhirnya ia kembali ke rumah Bu Rahmu.
Bu Rahmi telah tidur. Nago sungkan membangunkan perempuan tersebut. Maka ia ia berbaring saja di teras, melepas lelah.
Dan ketika ia mendengar suara azan, Nago terbangun. Ia pergi ke belakang, di sana ada selokan. Airnya jernih. Orang-orang kampung biasanya mandi di sini. Karena airnya jernih, laki-laki tersebut tergerak pula mandi, kemudian berwuduk. Ia shalar Subuh di pinggi selokan itu.
Tatkala Nago berbincang-bincang dengan Sabar di ladang belakang rumah Bu Rahmi. Lelaki itu mendengar deru motor. Saat itu matahari telah sepenggalahan.
“Nadia!” Bu Rahmi berteriak memanggil. Perempuan tua itu melihat Nadia turun dari ojek. Gadis itu naik ke rumah. Bu Rahmi memeluk Nadia rapat-rapat. “Ibu kok menangis?” Nadia mengusap mata perempuan tersebut, “Saya tak apa kok,” ujar gadis itu.
“Kami mencemaskan engkau. Cemas kalau-kalau kamu diculik lagi. Dia telah mencarimu ke mana-mana. Bahkan Ibu tidak tahu ia sampai ketiduran di teras,” kata Bu Rahmi ketika melihat Nago Salapan.
Nago tertegun di tangga. Langkahnya tertunda-tunda menaiki tangga. Debaran jantungnya kian keras. Gembira dan rindu bercampur baur dalam dada lelaki tersebut. “Rinjani,” ia menyapa.
Rinjani terpaku sejenak. Kini mereka saling bertatapan. “Uda,” tegur Nadia. Ia semakin tak mampu beringsut. Sepasang kakinya terasa kaku. Bibirnya kelu. Hanya bola matanya yang bergerak. Cahaya mata gadis itu menyiratkan berbagai perasaan.
Nago pun terpana. Tak ada lagi kata-kata yang dapat diucapkan selain menyebutkan nama “Rinjani”, nama masa lalu Nadia!
Seekor ayam jantan melompat ke atas pagar. Binatang itu mengepak-ngepakkan sayap, lalu berkokok. Seekor ayam betina yang sedang mengais tertegun.
Melompat turun ayam jantan. Ia berlari mengejar betina. Betina tersentak, dan menjauh. Kedua binatang itu berlari ke samping rumah. Di sana ada tumpukan sampah, ayam jantan mengais-ngais sampah di sana. Jantan memanggil-manggil dengan rayuan khasnya. Betina tertarik.
“Dia selalu berupaya mencarimu,” ujar Bu Rahmi memecahkan kesunyian.
Keduanya pun tersentak.
“Kamu tampak lelah,” ujar Nago memulai kata.
Nadia mengangguk.
“Istirahatlah.”
*
Memang tidak banyak yang mereka bicarakan dalam pertemuan itu. Sejoli tersebut lebih banyak diam dan saling menatap. Gelora kerinduan di hati mereka dinyatakan lewat tatapan mata. Cahaya mata itulah yang bercerita.
Sore Nago pulang ke rumahnya. Sebenarnya ia ingin berlama-lama bersama Nadia. Tetapi semua itu tidak mungkin. Mereka memang sudah menjalin hubungan cinta. Namun belum resmi jadi suami istri. Entah kenapa sejoli ini selalu saja gagal hendak melangkah ke pelaminan.
Di atas yang dikendarainya, pikirannya terus tinggal bersama Nadia atau dikenal pada zaman lalu sebagai Puti Rinjani. Apakah mereka ditakdirkan sebagai manusia abadi maka senantiasa terganjal untuk membangun rumah tangga? Bertahun-tahun, bahkan beratus tahun hal tersebut jadi buah pikiran Nago Salapan.
Percakapan mereka di rumah Bu Rahmi, juga membicarakan tentang Anurangga. Lelaki itu tak pernah putus asa mengejar Puti Rinjani. Zaman boleh saja berganti tetapi kemauan Anurangga untuk memiliki perempuan terus bergelora. “Kalau tak lalu dandang di air, di darat pun akan denai tanjakan,” sumpah Anurangga.
Permusuhan Nago Salapan dengan Anurangga bukan hanya dalam perebutan seorang perempuan. Anurangga menganggap Nago Salapan adalah penghalang segala cita-citanya. Cita-citanya yaitu menguasai Minangkabau seutuhnya, bahkan ia pun ingin menggenggam dunia. Demi cita-cita besar tersebut ia bersedia menghalalkan segala cara, termasuk bersekutu dengan Iblis!
Justru karena itu dalam setiap penjelmaannnya Anurangga selalu mencari dan hendak menghabisi Nago Salapan. Baginya, Nago Salapan adalah duri dalam daging. Namun dalam setiap penjelmaan, Anurangga selalu jadi pecundang. Selalu saja kalah bertarung melawan Nago Salapan.
Pada sisi lain, setiap zaman kemunculan Anurangga, ia ditakdir mempunyai pengaruh besar dan terpandang serta memiliki harta berlimpah. Sementara itu Nago Salapan selalu saja ditakdirkan sebagai orang biasa, hidup sederhana tapi memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Anurangga merasa iri dan dengki terhadap reputasi Nago Salapan. Demikian juga dengan teman-teman Nago Salapan. Lagi-lagi dia bersumpah, “Denai belum bisa tenang sebelum ia mati. Ke mana ia lari, Nago Salapan itu akan denai buru. Ke Akhirat sekali pun dia akan denai kejar!” (Bersambung...15)***
Dari Meja Kerja Amran SN
Padangsarai-Sumatera Barat, Juni 2011Dari Meja Kerja Amran SN
0 komentar:
Posting Komentar